The Answer
Retta's Pov
Kami kembali menuju rumah Jingga dengan membawa Tania yang sedang tertidur. Bau alkohol sedikit tercium dari wajahnya, entah Bima sudah memberikannya minuman jenis apa tapi yang pasti Tania tak sadarkan diri karena itu.
Kami pun langsung membawa Tania ke kamar Jingga tanpa diketahui oleh orangtuanya Jingga. Sebelumnya aku sudah menelepon Bunda untuk memberitahukan ke beliau kalau Tania malam ini menginap di sini.
Setelah membaringkan tubuh Tania, Jingga langsung mengambil kotak P3K. Dia begitu khawatir karena tadi aku sempat bersitegang dengan Bima. Benar dugaanku selama ini kalau cowok satu itu pasti memiliki niat yang tidak baik.
Raut kekhawatiran terlihat dari ekspresi Jingga ketika mengompres luka di wajahku. Kami pun harus berbisik agar tidak membangunkan Tania.
"You know that I love you Ta," ucap Jingga lembut sambil memeluk tubuhku erat.
Aku membalas pelukannya. "Yeah I know Dee, and I love you too."
Aku menyayangi Jingga sebagai seseorang yang paling berharga di hidupku.
Ketika kami masih berpelukan, terdengar suara sebuah tangis. Aku langsung melepaskan dekapan Jingga dan menoleh ke Tania. Perlahan ia membangunkan tubuhnya dan tersedu menatap kami berdua.
"Ketan," ucap Jingga.
"Aku mau pulang," sahut Tania.
Aku langsung berdiri lalu menghampirinya, "gak Tan, kamu nginep di sini dulu."
Tania menghempaskan peganganku. "Aku mau pulang, aku gak bisa terus-terusan lihat Kak Retta kayak gini ke Kak Jingga."
Aku bingung harus merespon apa. "Retta bodoh, gak seharusnya lo pelukan sama Jingga kayak tadi," batinku kesal.
"Retta ngelakuin itu karena dia punya alasan Tan," sahut Jingga dan aku langsung menoleh ke arahnya.
"Dee!" aku langsung menyelanya.
"Apa Kak? Emang pada dasarnya Kak Retta gak bisa bales perasaan aku kan?"
"Retta kayak gitu karena dia udah janji sama seseorang untuk terus jagain lo," jawab Jingga lagi.
Aku berdiri memegang tangan Jingga untuk tidak lagi mengatakan apapun ke Tania. "Dee, stop it."
"Lo gak pernah tahu gimana ada di posisi Retta yang selalu khawatirin lo, tapi gak bisa lakuin apa-apa selain jagain lo dari jauh. Lo gak tahu gimana kesiksanya Retta nahan perasaannya sendirian. Dan lo juga gak pernah tahu gimana gue harus dealing sama hati gue ketika tahu kalau Retta tuh sukanya lo, Tania!"
Aku semakin erat memegang lengan Jingga. "Jingga, udah."
Jingga menghela nafas kasar lalu menghempaskan peganganku. Tania pun menatap kami berdua masih dengan air mata di pipinya dengan ekspresi tidak percaya.
"Jadi Kak Retta... selama... ini? Siapa Kak? Seseorang itu siapa?"
Aku mengusap dahiku frustasi menghadapi situasi seperti ini.
Aku menarik nafas panjang. "Oke, bisa gak kita bahas ini jangan sambil teriak-teriak? Please?"
Situasi hening sejenak.
"Mending lo kasih tahu si Ketan deh Ta daripada lo terus-terusan sembunyiin rahasia itu dari dia. Gue mau ke dapur dulu ambil minum," ucap Jingga sudah menurunkan intonasi suaranya, lalu ia meninggalkan kami berdua di kamarnya.
"Siapa Kak Retta? Siapa?"
"Hemmm..." aku masih berpikir keras apakah sebaiknya aku memberitahukan Tania atau tidak.
"Jawab Kak. Aku berhak tahu."
Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata sejenak. Mungkin memang ini saatnya untuk Tania tahu semuanya.
"Gista. Aku janji sama Gista untuk jagain kamu."
Tania hanya diam menatapku. "Kak... Kak Gista sepupu aku?"
"Iya Tan..."
"Kenapa?"
"Aku hutang budi sama Gista."
"Gimana kalian bisa kenal satu sama lain? Sejak kapan Kak Retta kenal sama Kak Gista? Dan, kenapa gak ada satu orang pun yang kasih tahu aku tentang itu?"
"Aku kenal Gista 3 tahun lalu waktu aku masih SMP. Dia nyelamatin aku waktu ada 3 cowok nyerang aku. Maaf Tan, aku sama Gista sembunyiin ini dari kamu."
"Lalu semua ini? Sikap baik Kak Retta ke aku, rasa perhatian Kakak, dan segalanya cuma karena Kakak hutang budi sama Kak Gista?"
Aku kembali memijat keningku, "gak gitu Tan, engga. Awalnya emang aku ngelakuin itu semua karena permintaan Gista. Tapi, lama-kelamaan perasaan itu berubah lebih dalam. Tapi aku gak bisa lakuin apa-apa."
"Kenapa Kak? Karena Kak Gista udah nyelamatin Kak Retta?"
"Itu salah satunya."
"Lalu?"
Aku kembali terdiam memejamkan mata. Tania kemudian menggerak-gerakkan lenganku.
"Kak, jawab aku please!"
Aku menghela nafas. "Gista, Gista sayang dan cinta sama kamu ngelebihin apapun Tan. Dan aku gak bisa khianatin dia, sampai kapan pun."
Wajah Tania kembali shock.
"Gak, gak mungkin. Dia sepupu aku, gak mungkin Kak," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
"Ya aku juga gak tahu Tan. Aku sempat jadi sahabat pena Gista, sampai akhirnya dia pindah ke Jakarta untuk kuliah, aku ketemu lagi. Dia cerita semua ke aku, dan dia minta aku jagain kamu karena waktu itu kamu akan masuk ke sekolah aku. Aku udah tahu kamu bakal hadir jauh sebelum kamu masuk di SMA kita."
"Lalu, kenapa, kenapa Kak Gista bisa punya perasaan ke aku?"
"Maaf Tan, untuk satu itu Gista yang lebih berhak kasih tahu kamu secara langsung."
Tania diam tak bergeming, ia hanya menundukkan kepala sambil memikirkan sesuatu. Aku pun kemudian merangkulnya.
Tania kembali menangis. "Maafin aku Tan udah sembunyiin ini dari kamu. Aku gak tahu harus berbuah apa, aku cuma bisa pendam sendiri. Jingga pun juga baru tahu belum lama ini."
"Maafin aku juga Kak, aku selama ini udah egois cuma mikirin semuanya dari sisi aku aja. Maafin aku Kak," ucap Tania sambil tersedu.
"Hey, kamu gak perlu minta maaf. Aku yang salah Tan. Maafin aku udah bikin kamu nangis berkali-kali. Aku juga sebenarnya gak tega lihat kamu kayak gini, aku ngerasa bersalah, banget. Tapi aku gak tahu harus gimana."
Tania menggeleng dalam rangkulanku. "Aku, aku juga harus minta maaf ke Kak Jingga. Kak Retta dan Kak Jingga emang lebih cocok bersama. Aku udah salah menilai semuanya selama ini."
"Sstttt, udah jangan pikirin itu dulu. Aku tahu kamu mabuk, kepala kamu pasti masih pusing apalagi sekarang kamu nangis dan tahu segalanya. I know this is really hard for you Tan."
Tania melepaskan dirinya dari rangkulanku lalu menatap wajahku dengan mata sembab. Sebelah tangannya memegang sebelah pipiku.
"Aww," ringisku ketika ia memegang luka lebamku.
"Maaf Kak, Kak Retta jadi harus kayak gini karena aku. Seharusnya dari awal aku gak pernah terbujuk sama omongan Bima, dia brengsek."
"Iya udah, ini gak apa-apa kok. Nanti juga bakal sembuh dengan sendirinya. Yang penting kamu baik-baik aja. Kamu minum apa sih sampai mabuk gak sadar diri gitu?"
"A-aku gak tau Kak, awalnya aku ikutin kemauan dia untuk minum alkohol, itu juga cuma sedikit. Cuma yang aku inget sebelum aku ngajak pulang, dia kasih aku segelas teh atau lemon tea gitu, dan abis itu aku baru ngerasa pusing."
Aku mengepalkan tangan. "Bima brengsek!" umpatku dalam hati.
"Yaudah, sekarang kamu coba untuk tidur lagi ya. Atau kamu mau bersih-bersih dulu sambil ganti baju? Sorry, tadi Jingga ngelapin muka kamu pakai tisu basah biar bau alkoholnya gak terlalu kecium."
"Iya Kak gak apa-apa, maafin aku udah ngerepotin Kakak."
"Ngerepotin apa sih, engga lah."
"Emmm, tapi kok kenapa tiba-tiba Kak Retta dan Kak Jingga ada di sana? Aku kayaknya gak lihat Kakak di acara party-nya Bima."
"Oh itu aku minta tolong Tira untuk terus kabarin aku. Dia blg di tengah-tengah acara kamu diajak pergi sama Bima. Aku dan Jingga sebenernya udah ada di salah satu kafe deket club tempatnya si manusia brengsek itu ngadain party. Jadi aku langsung susulin kamu."
"Makasih ya Kak, aku gak tahu gimana kalau gak ada Kak Retta dan Kak Jingga."
Aku tersenyum menatapnya. "Gak usah terima kasih terus Tan. Kamu istirahat ya, mau bersih-bersih?"
"I-iya Kak," ucapnya terlihat malu-malu.
"Yaudah bentar, aku samperin Jingga dulu ya untuk pinjemin kamu baju tidurnya."
"Iya Kak," sahutnya.
Aku pun mencari Jingga di dapur rumahnya. Dia tengah berdiri menghadap ke ruang tengah dengan tatapan kosong sambil memegang segelas air putih di tangannya.
"Dee?" panggilku menghampirinya.
"Eh Ta." sahutnya kaget.
"Kok lo malem-malem gini bengong sih. Kenapa?"
Ia menghela nafas, "gue cuma lagi mikir."
"Mikirin apa emmm?"
Jingga membalikan tubuhnya kemudian menatapku. "Tentang lo dan Ketan."
"Why?"
Ia kembali menghela nafas. "Ketan sekarang udah tahu semuanya, dia tahu gimana perasaan lo sebenarnya. Dan gue gak bisa untuk pretend baik-baik aja Ta."
Aku memajukan langkahku mendekat ke arahnya. Aku mengambil segelas air putih yang ada di tangannya, lalu menaruh gelas tersebut di kitchen table sebelah kami.
Aku menggenggam tangan Jingga. "Dee, selama ini gue berpikir keras tentang perasaan gue sendiri."
"Hemmm?" ia mengerutkan dahi.
Lalu kali ini giliranku yang menarik nafas dalam. "Dari kita kecil, lo satu-satunya orang yang ada di hidup gue. Gue pun gak tahu sejak kapan gue punya perasaan care yang berlebihan ke perempuan, dan itu ke lo. Gue emang sempet beberapa kali pacaran sama cowok, tapi deep inside my heart, there's only you."
"Ma-maksud lo Ta?"
Aku diam sejenak. "Gue kaget banget waktu tahu lo punya perasaan ke gue. Gue pun mencoba untuk denial tapi gue gak bisa. Gu-gue, gue selalu nyaman di deket lo dan gue merasa cukup dengan adanya lo."
"Then, perasaan lo ke Ketan?"
Aku menggelengkan kepala lemah. "Setelah gue pikirin baik-baik, rasa sayang gue ke dia hanya sekadar kakak ke adiknya. Di sini gue tuh beda ketika gue sama lo dan gue sama dia," aku menunjuk ke ulu hatiku.
"Gu-gue masih gak ngerti maksud lo Ta."
Aku memejamkan mata lalu menatapnya dalam. "I love you, Adeeva Jingga."
Jingga pun terlihat langsung menelan air liurnya mendengar ucapanku barusan.
Sebelah tanganku memegang wajahnya, lalu aku dekatkan bibirku pada bibirnya. Sedetik kemudian aku menciumnya. Ini bukan lagi sebuah kecupan, Jingga yang memang pada awalnya hanya diam tak berkutik tapi di detik berikutnya ia membalasan ciumanku.
Aku mengulum bibirnya yang lembut, sebelah tangan Jingga pun memegang tengkuk leher belakangku. Entah sudah berapa lama kami berada di posisi ini, aku yang mulai kehabisan nafas akhirnya menarik bibirku.
"I love you, Dee," bisikku sambil menatapnya.
Sebulir air matapun jatuh di pipinya. "I love you more, Ta."
Tadaaaaaa~
Akhirnya update juga ya si Ketan tanpa susu hehehe.
Well, saya yakin pasti di kolom komentar nanti akan banyak yang bilang; "Kok Retta sama Jingga?", "Kasian Ketan, sama gue aja Tan.", atau "Author-nya jahat."
Yaaa, jadi inilah jawaban dari chapter-chapter sebelumnya.
Mungkin ya, mungkin nih, Reminisce akan segera habis sebentar lagi.
Ssssttt... but I have something more than that.
Saya udah mikirin akan buat Reminisce yang kedua.
Lalu akan mengisahkan tentang apa, siapa, dan bagaimana, yang pasti mereka bertiga sudah akan lulus dari masa putih abu-abu.
So, see you di beberapa chapter berikutnya.
And one more thing, salam #moiseng nya di chapter berikutnya ya hehehe.
Happy weekend,
Salam,
Mo!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top