Taman Bunga

Jingga's Pov

Pada minggu pagi seperti ini sudah menjadi rutinitasku dan Retta untuk jogging bersama di komplek perumahan kami. Biasanya kami menghabiskan waktu dua jam untuk olahraga sambil mencari sarapan. Retta yang selalu aktif berbicara entah kenapa pagi ini seperti diam seribu bahasa. Sejak tadi kami keluar rumah, ia hanya mengucapkan selamat pagi dan lebih memilih mendengarkan musik dengan earphone miliknya.

"Ta, lo kenapa sih?" tanyaku akhirnya setelah kami memesan dua mangkok bubur ayam.

"Hemm? Gue gak apa-apa, emang gue kenapa?" jawabnya sambil melepaskan earphone yang sejak tadi bertengger di telinganya.

"Lo aneh, lo banyak diem gak kayak biasanya."

"Ah masa sih? Lo kangen gue bawelin ya?" Retta memajukan wajahnya mendekat ke wajahku.

Aku menjauhkan wajahnya dengan telapak tanganku. "Ih sana-sana, ditanya serius juga malah ngeselin."

"Haha ya lagi lo tau-tau bilang gue aneh."

"Ya emang lo aneh. Lagi ada yang dipikirin? Biasanya juga lo cerita kalo ada masalah."

"Gak ada apa-apa Dee, gue cuma..." kalimatnya menggantung.

Aku menaikan sebelah alisku menatapnya, "cuma?"

Rette menggeleng, "never mind, I'm good."

"No, you're not. Gue tau lo pasti lagi mikirin sesuatu, apa Ta?"

"Misi neng Retta dan neng Jingga, ini buburnya sudah jadi," ucap Mang Usup di tengah-tengah obrolan kami.

"Iya Mang, makasih ya. Yuk makan dulu Dee," sahut Retta.

Kami pun melahap bubur ayam dengan diselingi obrolan santai dan Retta terus berusaha mengalihkan pembicaraan tadi. Setelah selesai sarapan, kami kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Selama di perjalanan pulang pun Retta masih menyembunyikan apa yang ada di pikirannya.

"Satu jam lagi gue ke rumah lo," teriakku dari depan pintu rumahku.

"Yooo," sahut Retta dari depan rumahnya.

.

.

.

Di tempat lain di waktu yang sama, Tania dan Dhea sedang jogging berdua.

Tania's Pov

"Dheeeee," aku terus menggelayuti lengan Dhea.

"Aduh apaan sih Ketaaaan? Pegel ah daritadi lo gelayutan terus," Dhea masih mencoba melepaskan peganganku.

"Gue bingung niiiiih," aku terus merengek seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan.

"Duh lo tuh daritadi ngomong bingung, galau terus tapi gak mau cerita. Ada apa siiih? Lo kenapa?

Aku menghentikan langkah, "gue takut."

"Apa sih? Lo takut kenapa?"

"Gue takut Dheaaaa," aku kembali merengek.

"Ya takut apa? Hantu?"

"Bukan."

"Terus?"

"Takuuuut."

"Astaga Taniaaaa. Lo takut apaan sih? Lo hamil?" suara Dhea barusan sukses membuat orang-orang di sekitar kami menengok kaget.

Aku langsung membungkam mulutnya dengan sebelah tanganku lalu mencubit perutnya, "lo kalo ngomong yang bener kek."

"Emmm, emmm, emmm," gumamnya.

Aku melepaskan tanganku. "Sakit iiiishhhh," ringis Dhea.

"Ya lo sih ngomong sembarangan," gerutuku padanya.

"Yaa abis lo daritadi bikin kesel. Jadi lo takut apaan?"

Aku menghela nafas, "duduk situ aja deh yuk ah."

Kami duduk di bangku taman yang letaknya tepat di bawah pohon.

"Jadi lo takut apaan Miss Ketan gak pake susu?"

Aku menatapnya sebal, "sekalian aja Dhe Miss Ketan gak pake dibakar, Miss Ketan gak pake serondeng, Miss Ketan gak pake gula."

"Dan Miss Ketan kesayangan Kak Retta, ihiy."

Aku langsung tersedak mendengar ucapan Dhea barusan, "rese."

"Haha sampe kesedak gitu. Ah jangan-jangan daritadi bilang galau, bingung, takut, ada hubungannya nih sama Kak Retta, ya kaaaan?"

Duh, anak ini kenapa sih kayak tau segalanya. Jangan-jangan si Dhea nih beneran cenayang dari gunung kidul.

"Hemmm," gumamku meng-iya-kan.

"Hemm? Beneran?" aku menganggukkan kepala.

"Lo kenapa emang sama Kak Retta?" tanya Dhea lagi.

"Lo jangan cerita lagi ke anak-anak yang lain ya, janji?"

"Yaelah Tan, kapan sih mulut gue bocor? Tenang, semua rahasia aman di tangan Dhea," ia mengepalkan tangannya ke udara dengan sangat percaya diri, bikin kesel.

"Hemm iya-iyaaa," sahutku malas melihat tingkahnya.

"Apa? Jadi kenapa? Gimana-gimana?"

Aku menarik nafas, "gue..."

Dhea mengerutkan dahinya menatapku.

"Gue... gue nyium Kak Retta," ucapku menundukan kepala tak berani menatap balik Dhea.

"What?????" seperti dugaanku, Dhea pasti kaget.

"Tan lo serius Tan? Lo nyium Kak Retta? Cium apa?"

Aku memukul keras bahunya, "bisa gak sih lo pelanin suara lo?"

"Hehe iya-iya sorry. Lo, lo seriusan nyium Kak Retta? Kapan?" tanya Dhea berbisik.

"Serius, semalem di kamar gue pulang dari nonton IBL. Gue, gue cium bibirnya Kak Retta.

Dhea diam sesaat, "lo udah gila ya Tan?"

"Iya gue tau gue udah gila. Makanya gue takut nih Dheeeee," aku kembali merengek.

"Wait wait, lo suka sama cewek?" tanya Dhea sangat berhati-hati.

"Gue gak tau, gue gak pernah kayak gini sebelumnya," jawabku jujur.

"Hemmm, terus responnya Kak Retta gimana?"

"Ya Kak Retta sih awalnya kaget tapi beberapa detik kemudian Kak Retta malah bales nyium gue."

"What?! Seriusan lo?" aku kembali menganggukan kepala.

Dhea menatapku sambil menggelengkan kepala. "Gue bingung."

"Nah itu yang gue rasain daritadi Dheeee, dari semalem malah gue sampe gak bisa tidur mikirin ini terus."

"Hemm, lo suka sama Kak Retta?"

"Yaa siapa sih di sekolah yang gak suka sama dia?"

"Bukan itu maksudnya, lo suka like literally suka? Suka beneran gitu lho Tan bukan kagum, paham gak sih maksud gue?"

"Iya-iya gue paham. Nah gue gak tau Dhe, tapi jujur banget kalo lagi di deket Kak Retta tuh jantung gue deg-degan parah. Apalagi kemaren pas nonton IBL. Duh gue gak tau deh mesti ngomong apa, yang pasti Kak Retta udah buat gue nyaman banget."

"Ya gue sih gak tau ya apa yang lagi lo rasain sekarang, mungkin lo lagi bertanya-tanya tentang orientasi lo dan gue juga gak mau nge-judge atau gimana. Tapi yang pasti gue akan selalu dukung apapun keputusan lo selama itu gak ngerugiin lo."

Aku menatap Dhea lalu memeluknya, "makasih Dheaaaaa, u r my best!!"

"Hemm tapi tunggu deh," Dhea melepaskan pelukanku.

"Apa Dhe?"

"Kak Retta sama Kak Jingga gimana? Gue pikir mereka lebih dari seorang sahabat."

"Ya itu gue juga gak tau sih."

"Lo suka perhatiin gak sih Tan gimana Kak Jingga tiap kali natap mata Kak Retta? Dan sebaliknya juga gitu? Beda kan sama yang lain? Apa gue doang yang ngerasa kayak gitu?"

Aku mencoba mengingat-ingat, "hemm iya sih Dhe, gue juga kadang mikir sama kayak lo. Tapi Kak Retta selalu bilang ya mereka emang udah sahabatan dari kecil."

"Itu kata Kak Retta kan? Kalo kata Kak Jingga?"

"Gak tau..."

.

.

.

Rumah Claretta

Retta's Pov

Sejak tadi aku terus menghela nafas, entah sudah ke berapa puluh kali. Aku merebahkan tubuh di atas sofa bed setelah selesai mandi. Tania, what was that kissed for? And what's going on with me?!

"Rettaaaaa," tiba-tiba saja suara Jingga menggema di ruang kamar ini.

"Hemm?" Jingga pun ikut merebahkan tubuhnya tepat di sampingku.

"Udah seger abis mandi?" aku menganggukan kepala menjawab pertanyaan Jingga.

"Hari ini mau ke mana?"

"Belum ada plan apa-apa sih, kenapa?"

"Lo gak mau nonton IBL lagi?" kali ini aku menggelengkan kepala.

"Hemmm, main ice skating yuk?"

"Ke mall dong?"

"Iya," jawab Jingga.

"Males ah."

"Yaudah, ke puncak yuk?"

"Hah?" aku melongo menatap Jingga, ini pertama kalinya ia mengajakku pergi jauh secara tiba-tiba. Jingga bukan tipikal orang yang suka melakukan perjalanan tanpa persiapan, ya walaupun hanya ke puncak.

"Haha lo kena virusnya Ketan ya?"

"Hah?" aku tak mengerti maksudnya.

"Nah itu, hah?"

"Oh haha, iya juga ya," sahutku menggaruk pelipis yang tidak gatal sama sekali.

"Yuk, ganti baju gih. Gue juga ke rumah dulu ambil jaket," ucap Jingga tanpa meminta persetujuanku.

Aku menatapnya bingung.

"Udah jangan diem gitu, buruan gerak. Gue udah ijin kok ke nyokap, dan dibolehin. Lima menit lagi gue tunggu di depan ya, pake mobil gue aja jalannya tapi lo yang nyetir. See you in 5 minutes, hurry up!" Belum sempat aku menyahutinya, Jingga sudah menutup kembali pintu kamarku. Adeeva Jingga Myesha, aku yakin kalau dia jadi seorang istri akan jadi alfa lady yang dominan.

Aku pun mengikuti kemauannya dan langsung mengganti baju sambil mengambil jaket parka kesayanganku. Benar saja ketika aku keluar rumah, Jingga sudah memarkirkan mobilnya di depan jalan di antara rumah kami. Senyumannya sumringah dan seperti biasa, Jingga terlihat sangat fashionable.

Rambut panjang lurusnya sengaja digerai yang menutupi sebagian scarf bermotif tribal yang bertengker di lehernya. Ia mengenakan kaos polos putih yang terlihat longgar di tubuhnya dengan celana cino berwarna hijau army, sepatu vans old school all white, dan tak lupa kacamata rayban hitam di wajahnya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya, "tumben banget nona satu ini terlihat sedikit boyish?"

"Lagi males pake rok," sahutnya santai.

"Terus jaket lo mana?"

"Tuh di dalem, nih kuncinya, tolong setirin saya ya Mbak Retta," ucap Jingga sambil melemparkan kunci padaku dan dia masuk ke dalam mobil dengan sok anggun.

Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingakahnya yang menurutku aneh hari ini.

"Kok kita samaan sih pake baju warna putih?" Tanya Jingga.

Ya, aku juga memakai kaos polos warna putih sama sepertinya dengan celana jeans hitam dan sepatu docmart maroon. Namun berbeda dengan Jingga, aku memilih mengenakan kalung panjang di leherku. Dan aku membawa tas ransel berisikan segala sesuatu yang aku butuhkan nanti.

"Jodoh kali Dee," sahutku santai.

"Hemmm," gumamnya.

"Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue ke puncak? Ini kita mau ke puncak ke mananya nih?" tanyaku ke Jingga sambil tetap melihat ke depan.

"Lagi pengen makan jagung bakar sama indomie rebus plus gemblong tanjakan puncak," jawabnya.

"Heee? Random banget lo?"

"Hehe engga deh, gue mau ke Taman Bunga. Udah lama gak ke sana kan Ta, terakhir pas kita kelas 6 SD."

"Ya ampun, ngapain ke sana sih? Kan cuma bunga-bunga doang?"

"Gue mau main go kart."

"Lo ke sana cuma mau main go kart? Dee, di Pancoran ada, di BSD ada, kenapa harus ke puncak sih? Puter balik aja deh nih ya kita ke BSD."

"Engga!! Lo lupa ya sama janji gue waktu itu?"

"Janji? Janji apaan?"

"Ah tuh kan lo lupa. Waktu kita ke sana dulu kan kita tanding go kart terus lo menang, sebagai hukuman gue gendong lo di taman yang muncul air-air itu. Dan gue bikin janji sama lo, next time kita ke sana gue yang akan ngalahin lo dan lo yang harus gendong gue, inget gak?"

"Oalaaah, ya ampun Jinggaaaaa. Iya-iya gue inget. Emm, jadi lo nantangin gue lagi nih? Kali ini bakal tetep gue kok yang menang, hahaha."

"Ih super pede banget."

"Haha let's see how," aku menaikan kedua alisku menatapnya.

Jingga memutar bola matanya malas tak mau membalas tatapanku.

Setelah dua jam berkendara, kami akhirnya sampai di Taman Bunga, Puncak, Bogor. Kami turun dari mobil dan langsung membeli tiket masuk. Suasana di dalam ramai dengan para pasangan suami-istri yang membawa anak-anaknya.

Tidak banyak perubahan yang terjadi dari terakhir kali kami bertamasya ke sini 5 tahun lalu. Semuanya hampir sama hanya saja ada beberapa tambahan fasilitas.

Kami berjalan menyusuri bunga-bunga indah yang ada di taman ini. Sesekali Jingga memotretnya dengan kamera mirrorless yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tak jarang juga dia memotretku diam-diam.

"Sejuk ya Ta di sini," ucap Jingga sambil menghirup udara dan memejamkan matanya ke langit.

"Ya kalo panas mah di Ancol," sahutku.

Jingga membuka matanya lalu menatapku sebal, "kalo dingin di Bromo."

"Kalo macet di Sudirman."

"Kalo lancar di Kemayoran."

"Kalo rame di Tanah Abang."

"Kalo sepi di Jeruk Purut."

"Kalo kangen ya ke rumah gue aja," ucapku mengejeknya.

"Ih gak nyambung," sahut Jingga dengan wajah malas.

"Ya disambungin, susah banget," ucapku lagi.

Jingga menatapku sambil memicingkan matanya, "bo-do a-mat!"

"Hahaha marah-marah terus lo, juteknya makin keliatan tuh."

"Bodo amat, cari makan yuk ah gue laper argument sama lo," Jingga melangkah pergi.

"Iya-iyaaa tunggu-tunggu, duh ngambek terus pusing deh gue," aku mengejarnya.

Kami pun akhirnya makan siang di tempat makan yang ada di Taman Bunga ini. Jingga memesan Soto Bogor sedangkan aku memilih ayam penyet dengan sayur asem beserta tahu tempe. Sejak tadi ada saja cowok yang menatap ke Jingga membuatku kesal. Namun bukan Jingga namanya kalau tidak menjuteki mereka dengan tatapannya yang memang super jutek.

Setelah menghabiskan makan siang kami dan beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan untuk ke arena go kart khusus dewasa. Setelah mengantri selama 10 menit lamanya, akhirnya kami mendapat giliran.

"Sesuai janji ya Ta?" Jingga kembali mengingatkan.

"Yes, Adeeva," jawabku.

Go kart di sini sekali main itu terdiri dari 3 lap. Mobil yang disediakan sekali jalan hanya ada 5 mobil. Aku mendapat urutan paling belakang dan Jingga tepat di depanku. Setelah semuanya bersiap diri di posisi masing-masing, lampu hijau pun menyala sebagai tanda pertandingan dimulai.

Tidak perlu menjadi juara satu atau dua, yang terpenting bagi kami siapa yang berhasil sampai garis finish terlebih dahulu.

Di lap pertama Jingga masih unggul di depanku, memasuki lap kedua aku mengejarnya dan berhasil berada di depannya pas ketika belokan pertama aku menancap gas membalapnya. Jingga berusaha mengejar ketika kami sudah di lap terakahir.

Aku mencoba melihatnya dari ujung mata kananku, Jingga tetap berusaha menancapkan gasnya lebih cepat sampai kami tiba di belokan terakhir sebelum garis finish. Mobil yang dikendarai Jingga terlalu mepet dengan mobilku, kalau aku tidak mengerem atau at least memperlambat gas, Jingga pasti akan tertabrak oleh mobilku atau kena pembatas sirkuit. Akhirnya aku memutuskan untuk mengerem dan memberi Jingga jalan sehingga dirinya melaju sampai garis finish lebih dulu daripada aku.

"Yeaaay gue menaaaang!! Lo harus gendong gue!!" seru Jingga sesaat setelah kami melepaskan jaket dan peralatan go kart.

"Haha iya-iyaaaa, itu air-airnya setiap satu jam sekali kan adanya?"

"Iyaa, eh 5 menit lagi nih. Ayo Taaa buruaaaan," ajak Jingga langsung menggenggam tanganku berlari menuju taman yang alasnya akan mengeluarkan air secara tiba-tiba dan titik air yang akan keluar bisa di mana saja secara acak.

Aku dan Jingga melepaskan sepatu kami di pinggir taman seperti yang orang lain lakukan. Jingga menaruh hp dan kamera di tas kecil miliknya, aku pun menitipkan hpku karena tas aku tinggal di mobil.

"Lo jongkok, gue mau naik ke punggung lo," perintah Jingga dan aku hanya mengikuti kemauannya.

Banyak pasang mata yang menatap ke arah kami dengan aneh, mungkin mereka melihat tingkah kami layaknya bocah 5 SD yang sedang main gendong-gendongan, tapi kami tidak peduli. Setelah music dinyalakan, satu persatu air keluar dari bawah kaki kami. Aku berusaha untuk menghindari air tersebut sambil menjaga keseimbangan agar Jingga tidak jatuh. Sejak kapan ya berat badan Jingga jadi seberat ini?

"Taaa ke sana Taaa," ujar Jingga menunjuk ke arah kanan kami.

Aku mengikutinya dan air pun keluar tepat di samping kami. Wajah dan rambut kami langsung basah dan sesaat kemudian, air keluar lagi dari dari sisi kiri kami dan sukses membuat baju kami basah.

"Hahaha," Jingga tertawa melihatku yang kesusahan mengelap wajah karena kedua tanganku sedang menopang tubuhnya.

"Bantuin dooong," aku mengerjapkan mata sambil menghempaskan rambut yang menutupi sebagian wajahku.

"Sini-sini," Jingga mengelap wajahku dengan tangannya dan menyampingkan beberapa helai rambut yang menutupi mataku. Aku terdiam menerima perlakuan Jingga barusan, dan Jingga pun langsung memelukku erat dalam gendonganku.

"Udahan yuk, kita udah basah," bisiknya kemudian dan aku menganggukkan kepala.

Kami kembali ke pinggir taman untuk memakai kembali sepatu kami. Tubuh kami basah seperti habis main Niagara di Dufan.

Aku menatap Jingga dari atas sampai bawah. "Yuk kita ke mobil aja balik, udah sore."

"Ayo."

Pas sampai di dalam mobil, aku mengambil kemeja flannel dari dalam tasku yang memang sengaja aku bawa.

"Nih Dee, lo ganti baju gih."

"Lo bawa kemeja? Terus lo pake apa?"

"Iya gue sengaja bawa baju cadangan. Gue mah gampang, udah buruan ganti, tuh toiletnya di situ."

Jingga menatapku, "gak usah. Lo aja yang ganti."

"Nanti lo sakit," sahutku.

"Terus kalo lo yang sakit gimana?"

"Gak akan, kan gue kuat. Udah deh buruan, ganti nih pake kemeja gue," aku tetap memaksanya dan akhirnya Jingga menuruti apa kataku.

Setelah 5 menit, Jingga kembali lagi ke dalam mobil. "Ta lo serius gak apa-apa baju lo basah gitu? Kita gak usah pake ac deh, kaca mobilnya dibuka dikit aja biar lo gak masuk angin."

"Iyaa Dee. Udah nih ya? Let's go home," aku pun menancapkan gas.

.

.

.


"Adeeva Jingga?" pangilku.

"Hemm?"

"Kalo lo ngantuk tidur aja gak apa-apa."

"Engga kok, gue gak ngantuk," dalihnya berbohong.

"Iya-iyaa," kami kembali terdiam dengan pikiran masing-masing dan tak lama kemudian ketika aku melirik ke Jingga, dirinya sudah tertidur.

Aku mengelus puncuk kepalanya dengan lembut. Tidak terasa sudah 16 tahun kami saling mengenal, tumbuh besar bersama, dan selalu bersama-sama. Semoga kita bisa terus kayak gini ya Dee.

"Emmm," gumam Jingga sambil mengerjapkan mata.

"Welcome back princess," ucapku.

"Emmm, udah di mana?"

"Udah mau keluar tol Semanggi. Nyenyak tidurnya? Perasaan tadi ada yang bilang gak ngantuk lho, eh tau-taunya ngorok."

"Hah? Serius gue ngorok? Bohong aja lo Ta."

"Haha ternyata lo juga kena virusnya Ketan ya? Tuh ikut-ikutan ngomong hah," aku membalikan kata-katanya tadi pagi.

"Eh iya, haha," sahutnya salah tingkah.

"Seneng gak hari ini?" tanyaku padanya.

"Ah seharusnya kan gue yang nanya itu ke lo. Niat gue ngajak lo keluar biar lo gak keliatan suntuk lagi kayak tadi pagi."

"Oh jadi lo pengen bikin gue seneng? Iya gue seneng kok Dee, thanks ya," aku tersenyum.

Jingga membalas senyumanku, "iya sama-sama Ta. So, what happened to you?"

"Haha masih nanya aja."

"Iya dong. Lo kenapa Ta keliatan stress banget kayak ada yang dipikirin," tanya Jingga menatapku dari samping.

"I did a mistake," jawabku.

"Mistake? What is that?"

"I broke my promise."

"What kind of promise? And with who?"

"I'm sorry, I can't tell you. Tapi yang pasti gue lagi feeling guilty banget karena udah lakuin itu."

"Lakuin apa sih Ta?"

"Maaf gue gak bisa kasihtau itu sekarang."

Jingga menghela nafas, "It's okay, gue ngerti. Tapi kalo lo butuh bantuan apapun atau lo butuh cerita, gue selalu ada buat lo."

"Thanks a lot, you will always be my best," ucapku ke Jingga dan Jingga tersenyum.

Kami pun akhirnya sampai di depan rumah Jingga. Dan penjaga rumahnya membukakan pagar untuk aku parkirkan mobilnya ke dalam garasi.

Aku melepaskan seatbelt dan mengambil barang-barangku. "Gue balik dulu ya, lo jangan lupa istirahat karena besok kita masuk sekolah," ucapku sebelum membuka pintu mobilnya.

"Ta," Jingga memegang tanganku menahanku.

"Iya?"

Jingga terdiam dan sedetik kemudian dia mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirku dengan cepat.

"Sorry," ucapnya kaget dengan apa yang baru saja ia lakukan sambil menjauhkan tubuhnya.

Aku menatapnya tak percaya, "emmm, emmm, ya, ya gak apa-apa Dee."

"Emmm, see-see you tomorrow," ucapnya salah tingkah sama sepertiku.

"See you tomorrow," sahutku lalu keluar dari dalam mobilnya dan berjalan ke rumah dengan langkah terburu-buru.

Oh Tuhan, ada apa ini?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top