Taman

Tania's Pov

"Gue jemput ke rumah lo jam 2." aku membaca pesan dari Kak Jingga yang tanpa basa-basi dengan seksama.

"Iya kak." Balasku yang hanya dibaca olehnya.

Senior satu ini emang kayaknya gak bisa basa-basi sama sekali. Selalu on point, gak suka yang ribet, dan sekenanya aja kalau ngomong. Tapi sikapnya yang seperti itu seakan runtuh kalau dia sudah bersama Kak Retta. Kadar kejutekannya turun beberapa persen.

"Kamu mau ke mana Kak? Sama siapa?" tiba-tiba saja Bunda masuk ke dalam kamarku ketika aku sedang memilih outter.

"Bunda ngagetin aja deh. Aku mau anterin Kak Jingga Bun cari kado," jawabku masih sambil bercermin.

"Oh sama Jingga yang suka anterin kamu naik mobil itu? Deket tah kamu sama dia Kak? Dia anaknya ramah banget ya, suka deh Bunda, sopan gitu," sahut Bunda.

"Apanya yang ramah? Juteknya naudzubillah gitu Buuuun," batinku dalam hati.

"Hehe iya Bunda, Kak Jingga emang baik."

"Kalo Jingga deket sama kamu berarti kamu selalu dijagain dong sama dia di sekolah? Kan dia senior kamu Kak."

"Duh Bunda, yang sering jagain aku tuh justru Kak Retta," gumamku lagi dalam hati.

"Hehe iya Bunda. Bunda lagi gak masak atau apa gitu?"

"Haha kenapa emang Kak? Kamu fokus banget deh daritadi ngaca terus, bisa-bisa pecah deh tuh cermin."

Aku memanyunkan bibir. "Haha iya-iya Bunda balik lagi deh nih ke dapur. Kamu jangan pulang terlalu malem ya Kak nanti."

"Iya Bundaaaa."

Aku sudah bersiap diri duduk di halaman depan rumah menunggu Kak Jingga datang. Baru saja duduk 5 menit di sini, sebuah mobil Toyota Rush berwarna putih berhenti di depan rumahku. Aku pun mengerutkan dahi mencoba menebak siapa yang ada di dalam mobil itu.

Pintu sebelah kanannya terbuka dan keluarlah sosok Kak Jingga yang memakai kaos polos panjang berwarna cokelat tua yang dibalut cardigan hitam, jeans hitam, dan sepatu vans all white. Ia tampak sederhana tetapi tetap memiliki daya tariknya sendiri. Wajahnya tanpa make up, aku rasa Kak Jingga hanya memakai lipgloss dan rambutnya pun sengaja ia gerai begitu saja. Ini pertama kalinya aku melihat Kak Jingga tidak memakai seragam sekolah.

Kak Jingga berjalan masuk ke dalam halam rumahku. "Kok lo kayak ngeliat hantu sih?"

Ucapannya tersebut membuyarkan lamunanku. "Eh, eh engga Kak."

"Bunda lo mana?"

"Hah?"

"Can you please to stop say 'hah'?"

"Hah? Oh oh iya Kak, bentar a-aku panggilin Bunda dulu." Aku pun masuk ke dalam rumah untuk memanggil Bunda yang sedang menonton tv di ruang tengah bersama dua adik kembarku.

"Assalamu'alaikum Tante," sapa Kak Jingga sangat ramah sambil menyalami tangan Bunda ketika Bunda menghampirinya.

"Walaikumsalam Jingga. Duh cantik banget deh kamu," sahut Bunda mengelus-elus lengan Kak Jingga.

"Hehe makasih Tante. Tante, aku izin ajak Ketan eh Tania untuk pergi dulu sebentar ya," ucap Kak Jingga salah tingkah.

Bunda pun mengerutkan dahi. "Ketan?"

"Itu panggilan aku Bunda di sekolah," sahutku akhirnya.

"Haha siapa yang panggil kamu itu? Lucu banget deh, cocok sama kamu Kak. Bunda ikutan panggil kamu Ketan juga ya di rumah?"

Melihat gurauan Bunda membuat Kak Jingga cekikikan menahan tawanya. Uh sial, kenapa sih semua orang pada bilang panggilan itu cocok denganku?!

"Iiih Bundaaa, gak mau ah. Ketan khusus di sekolah aja, huh," aku kembali memanyunkan bibir lalu dicubit gemas pipiku oleh Bunda.

"Haha anak pertama Tante ini tukang ngambek Jingga, kamu tolong ingetin dia ya di sekolah buat gak ngambek-ngambek manja kayak gini nih," ucap Bunda ke Kak Jingga.

"Hehe iyaa Bunda, nanti Tania aku sentil deh kalo suka ngambe." Kenapa ini Kak Jingga jadi berasa deket banget sama Bunda deh?

"Yaudah kalian hati-hati ya di jalan. Jangan pulang terlalu malam ya Jingga, nanti kamunya juga kecapean karena harus nyetir."

"Iya Tante pasti, saya gak akan anterin Tania pulang terlalu malam. Maksimal jam 9 udah ada di sini lagi." Entah kenapa Kak Jingga jadi super ramah gini.

"Makasih ya cantik. Have fun ya kalian," ucap Bunda dan kami pun menyalami tangannya lalu berjalan menuju mobil Kak Jingga.

Suasana awkward pun langsung berasa ketika kami baru masuk ke dalam mobilnya. Hening, aku bingung harus berbicara apa.

"Emm, kok mobil Kak Jingga beda?" aku pun akhirnya mencoba membuka pembicaraan.

Kak Jingga sudah menjalankan mobilnya sambil menyalakan radio. "Iya lagi tukeran."

"Oohh..." dan suasana kembali hening.

"Ketan," panggil Kak Jingga.

"Iya Kak?"

"Gimana Adrian?"

"Hah?"

Kak Jingga menengok ke arahku dari balik kemudinya dengan memicingkan mata.

"Eh iya Kak, apa? Kenapa?"

"Kata 'hah' kan bisa lo ganti sama sorry atau iya, daripada bilang 'hah'. Gak elegan tau buat cewek."

Aku hanya mendengus. "Iya Kaaaak."

"Terus gimana Adrian? Masih gangguin lo gak?"

"Emmm kadang masih suka text aku sih tapi gak aku bales, sekalinya aku bales juga cuma sekenanya aja kok."

"Lo tuh jangan pernah percaya sama modusannya dia. Gue udah hampir kena jadi korbannya dia, untung ada Retta yang ingetin gue."

"Hah? Kak Jingga pernah hampir jadian sama Kak Adrian?"

"Ketaaaan, duh bisa gak sih lo gak nyebut kata 'hah' kalo lagi sama gue?!"

"Emang kenapa sih Kak? Udah kebiasaan," akhirnya aku pun mulai sudah merasa gak segan lagi padanya.

"Nah justru kebiasaan itu harus diubah. Kan tadi gue udah bilang gak elegan tau ngomong hah." Dan aku hanya memanyunkan bibir beberapa senti.

Tak lama kemudian kami pun sampai di sebuah mall di daerah Tangerang Selatan. Mall ini cukup besar, dan yang aku suka dari tempat ini ialah tamannya yang cukup luas. Kalau weekend juga selalu ada live music yang bisa ditonton secara gratis.

Kak Jingga memarkirkan mobilnya di tempat khusus lady parking. Setelah itu kami pun langsung memasuki tempat perbelanjaan ini. Di hari Sabtu kayak gini memang banyak sekali pasangan muda atau keluarga yang sedang menghabiskan waktu di sini.

"Tan, ke atas dulu yuk. Gue rencananya sih mau kasih clutch atau tas pesta gitu buat nyokapnya Retta. Nah gue mau compare di store yang ada di lantai 3 sama di lantai 2."

"Iya Kak, aku mah ikut aja."

Kak Jingga berjalan di sampingku, beberapa pasang matapun memandangnya, mungkin karena dia terlihat sangat cantik hari ini dengan tampilan sederhana. Kami pun naik ke lantai 3 lalu melihat-lihat clutch yang ia cari. Setelah itu kami turun ke lantai 2 sesuai rencananya untuk membandingkan modelnya dengan merk lain. Melihat 2 brand saja sudah menghabiskan waktu 30 menit, huh kenapa ya perempuan tuh kalau belanja detail banget.

"Huh bingung nih gue. Tan, menurut lo bagusan yang item tadi apa merah ini?" tanya Kak Jingga sambil memegang clutch merah di tangannya.

"Ya aku kan gak tau kesukaannya Mamanya Kak Retta."

"Hemmm, kalo lo sendiri lebih pilih yang mana?"

"Yang item tadi sih Kak, lebih simpel dan bagus aja."

"Gue juga berpikiran yang sama sih. Duh gimana ya?"

Mbak-mbak penjaga yang berdiri di samping Kak Jingga sejak tadi pun akhirnya bertanya kembali. "Jadi gimana Mbak? Yang ini best seller kok, stock nya juga yang baru tinggal satu."

"Umm, nanti saya balik lagi ke sini deh ya Mbak. Makasih," sahut Kak Jingga sopan lalu menarik tanganku keluar dari toko tersebut.

"Kok gak jadi Kak?"

"Masih bingung gue, emmm makan dulu deh yuk. Laper gak lo?"

"Emmm terserah Kakak aja sih aku mah."

Kak Jingga menghela nafas. "Dasar perempuan, tiap ditanya jawabnya terserah."

"Haha Kakak kan juga perempuan," sahutku sambil sedikit tertawa.

"Oh iya," jawabnya agak terlihat salah tingkah.

"Lo mau makan apa? Gue yang traktir, kan gue yang ajakin lo jalan hari ini."

"Kak Jingga lagi maunya apa?"

"Ditanya malah nanya balik. Emm gue mau makan ikan dori sih di ta'wan. Liat dulu deh yuk ke atas rame apa gak."

"Iya Kak." Dan kami pun kembali menaiki escalator ke lantai 3.

Baru saja kami berhenti di depan tempat makan yang tadi dimaksud Kak Jingga, ternyata sudah ramai dan ada beberapa orang di antrian waiting list.

"Yah rame lagi. Hemmm, makan pepper lunch aja deh yuk," ajaknya lagi.

"Di mana Kak?"

"Tuh di bawah." Lalu kami menuruni escalator lagi menuju lantai 2. Bulak-balik terus gini jadinya.

"Lo mau makan apa Tan?"

"Samain aja kayak Kakak."

"Yaudah gue pesenin lo cari tempat duduk deh. Di luar aja kayaknya lebih enak."

"Oke Kak."

Aku pun mencari tempat di smoking area yang langsung memandangi taman mall ini. Aku memilih tempat di pojok berhadapan dengan lift pengunjung. Setelah beberapa menit menunggu, Kak Jingga menghampiriku.

"Nih minuman ocha nya, pesenannya nanti dianter," ucap Kak Jingga padaku dan aku hanya menganggukkan kepala sambil bilang terima kasih.

Tak lama kemudian, seorang waiters membawa nampan yang berisikan hot plate dengan nasi dan daging sapi di dalamnya.

"Beef pepper rice?" tanya mas-mas itu.

"Oh iya Mas sini."

"Sudah tahu cara mengolahnya?" tanya dia lagi.

"Sudah kok mas, makasih. Satu lagi sama ya Mas."

"Oke Mbak, ditunggu."

Aku pun hanya melihat hot plate tersebut yang sedang diberikan beberapa bumbu tambahan oleh Kak Jingga sambil diaduk. Dan selang satu menit, hot plate yang sama diantar lagi oleh masnya dan ditaruh di depanku.

"Nih yang ini manis, yang ini asin, lo tambah-tambahin sendiri aja. Kalau kurang pedes tinggal taburin pepper lagi atau gak chilli powder ya. Buruan lo aduk biar dagingnya mateng," ucap Kak Jingga panjang kali lebar menjelaskan padaku.

"Iya Kak," sahutku lalu mengikuti arahannya.

Kami pun sama-sama menyantap makanan dari negeri sakura ini sambil diselingi obrolan santai.

"Dhea itu temen sekelas lo kan?" tanya Kak Jingga.

"Iya Kak, kenapa?"

"Emmm dia suka banget gambar manga ya?"

"Oh iya Kak, di kelas kalo dia gak suka sama pelajarannya dia selalu gambar manga di buku catetannya."

"Temen sebangku lo juga ya kalo gak salah?"

"Iya Kak, dari mos sampe sekarang."

"Emmm, Dhea anaknya gimana sih?"

Kenapa nih Kak Jingga nanya-nanya tentang Dhea?

"Gimana maksudnya Kak?"

"Yaa, dia keliatannya supel dan punya bakat untuk jadi fotografer sih. Gue sama senior yang lain tuh lagi mau daftarin beberapa anak kelas X untuk ikutan lomba fotografi bulan depan. Nah gue pengen rekomen Dhea. Menurut lo gimana?"

"Emmm aku sih belum pernah tahu hasil jepretan fotonya dia."

"Lo gak deket emang sama dia?"

"Dia gak pernah nunjukin ke aku."

"Duh Ketan, lo tanya-tanya dong sama dia. Dia tuh foto pake kamera analog atau digital hasilnya sama-sama bagus. Lo harus lihat hasilnya."

Kalau dipikir-pikir aku emang belum pernah bahas tentang ekskul mading menurut Dhea gimana sih.

"Iya Kak nanti aku coba tanyain deh ke anaknya."

Dan kami kembali fokus pada makanan kami yang hanya tinggal sedikit ini. Kak Jingga selesai makan duluan dan aku juga menghabiskannya.

"Sini dulu ya tunggu makanannya turun," ucap Kak Jingga.

"Iya Kak," sahutku.

Kak Jingga mengeluarkan handphone dari tas kecil miliknya. Ia pun terlihat sedang sibuk mengetik di layar smartphone nya itu. Aku pun juga ikut mengambil handphone ku dari saku celana, ada beberapa notifikasi dari Kak Retta.

"Dek, kamu jadi jalan sama Jingga?" – Kak Retta

"Hati-hati ya, havefun jangan jutek-jutekan hehe walaupun Jingga sih pastinya yang bakal jutek sama kamu." – Kak Retta

"Tapi Jingga baik kok. Have some fun, cheers!" – Kak Retta

Aku mengernyitkan dahi, jadi Kak Retta tahu kalau aku hari ini jalan sama Kak Jingga?

"Iya Kak Retta hehe ini lagi makan sama Kak Jingga. Makasih Kak." – Tania

Pesanku sudah terceklist dua kali tapi masih belum di­-read sama Kak Jingga.

"Ketan, cabut yuk," ajak Kak Jingga membuatku jadi tak fokus lagi dengan handphone-ku.

"Oh iya Kak, ayo."

Kami berdua kembali masuk ke dalam mall dan langsung menuju ke lantai 3, store pertama yang kami kunjungi tadi. Kak Jingga langsung mengambil clutch hitam yang sejak tadi menjadi incarannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Kak Jingga langsung membayarnya.

"Udah Kak?" tanyaku.

"Belum, gue mau ke tempat peralatan olahraga dulu."

"Emm? Mau ngapain Kak?"

"Gue mau beliin Retta handband baru," jawabnya lalu ia kembali menarik tanganku untuk turun ke lantai dasar.

Kami langsung menuju ke tempat yang dituju. Kak Jingga membawaku ke store Nike.

"Nah ini dia, bagusan mana Tan? Hitam atau Abu-abu?" tanya Kak Jingga sambil memegang dua handband di kedua tangannya.

"Emm yang hitam sih bagus Kak," jawabku.

"Kalo yang ini, gimana?" Kak Jingga mengambil satu handband lagi berwarna merah maroon.

"Nah ini lebih oke, tapi kayaknya sih kalo Kak Retta bakal lebih milih yang hitam."

Kak Jingga terlihat berpikir, "Emmm bener juga sih lo. Kalo lo suka sama yang maroon ini?"

"Hah? Aku?"

"Hah lagi hah lagi. Iya lo, suka gak?"

Aku menggaruk tengkuk leher belakangku yang tidak gatal sama sekali. "Emm, yaa suka Kak."

"Oke," tanpa basa-basi Kak Jingga langsung menuju ke cashier membawa dua handband tersebut.

Setelah selesai membayar, Kak Jingga kembali menghampiriku yang masih berdiri di depan jajaran sepatu Nike Jordan.

"Lo mau main ke taman dulu gak?"

"Hemm? Ya terserah Kak Jingga aja."

Kak Jingga pun menghela nafas, "huh yaudah hayo."

Kami berdua pun jalan ke taman yang letaknya tepat di belakang mall ini. Cuaca sore di sini cukup membuatku nyaman. Ada banyak anak kecil yang berlarian, main sepatu roda, dan juga beberapa pasangan yang sedang berpacaran duduk-duduk di bawah pohon, serta beberapa orang yang melakukan jogging di sekitaran taman ini.

"Duduk situ aja yuk?" ajak Kak Jingga lagi menunjuk ke tempat duduk di bawah pohon.

Aku mengikuti langkahnya lalu duduk di sampingnya.

Kak Jingga duduk bersandar sambil menatap langit sore yang mulai kemerahan. "Reminiscing banget deh kalo ke taman tuh."

Aku mengikuti gerakannya lalu menengok ke arah Kak Jingga. Tatapannya saat ini sama seperti tatapan ia waktu itu ketika dia berdiam diri sambil melihat ke lapangan basket. Terlihat teduh, sayu, dan juga seperti menyimpan kenangan di dalamnya.

"Kak Jingga suka banget ke taman ya?"

"Hemm dulu sih."

"Terus sekarang?"

"Udah jarang."

"Kak Jingga lagi kangen seseorang?"

"Bukan cuma seseorang tapi juga moment bareng dia dulu."

Aku pun bingung harus merespon apa. Situasi ini seperti dejavu sama kayak waktu aku dan Kak Retta mengobrol di taman itu setelah pulang latihan basket.

"Emm Kak Jingga, aku boleh tanya sesuatu?"

Kak Jingga pun langsung mengengok ke arahku. "Tanya apa?"

"Kenapa Kak Jingga ngajak aku hari ini?"

"Kan gue udah bilang kalau ajak Retta kaki dia masih sakit. Kenapa emang? Lo gak suka gue ajak pergi gini?"

"Bu-bukan gitu Kak. Ma-maksud aku kenapa Kak Jingga gak ajak temen Kak Jingga yang lain? Bukannya Kak Jingga benci ya sama aku?" Aku langsung menundukkan kepala tak berani melihat matanya.

"Pertama, gue emang punya temen banyak di sekolah tapi yang deket cuma Retta. Kedua, gue ajak lo karena gue juga gak tau kenapa gue pengen aja ngajak lo. Dan ketiga, siapa yang bilang gue benci sama lo? Gue biasa aja kok," jawabnya dengan intonasi sangat tenang.

"Emmm, ta-tapi kenapa Kak Jingga selalu jutek sama aku?"

Kak Jingga menatapku dengan lekat lalu tawanya pecah. Baru kali ini aku melihat Kak Jingga tertawa sangat kencang. "Hahahaha, jadi lo selama ini ngerasa gue jutekin? Hahahaha."

"Kok ketawa sih Kak?"

Kak Jingga mulai mengatur tawanya dan menarik nafas dalam. "Duh Ketan, bener kata Retta ya lo tuh lucu juga anaknya. Segitu juteknya ya emang gue?"

"Iya Kak," jawabku polos dan kembali membuatnya tertawa.

"Aduuhh, muka gue tuh emang kayak gini, cara ngomong gue juga begini, tapi gue aslinya biasa aja kok. Ya walaupun emang banyak yang bilang gue jutek sih, tapi kayaknya kalo orang udah kenal sama gue pada bilang gue baik. Mereka yang bilang lho bukan gue yang nyuruh. Coba aja lo tanya ke Dhea gue gimana kalau lagi sama anak-anak mading."

Hemm benar juga sih, selama ini Dhea tidak pernah bilang sesuatu yang buruk tentang Kak Jingga.

"Hehehe, kan dari awal mos Kak Jingga selalu ketusin aku Kak," sahutku lagi masih memasang tampang polos.

Kak Jingga menggelengkan kepala. "Muka lo lucu banget sih abisnya kalo diisengin haha."

Aku memanyunkan bibir lagi. "Gak usah manyun gitu," ucap Kak Jingga.

"But thanks ya Ketan."

"Thanks untuk apa Kak?"

"Ya karena udah mau gue ajak keluar hari ini," ucapnya sambil tersenyum, senyuman yang biasa aku lihat kalau Kak Jingga sedang bersama Kak Retta.

Aku membalas senyumannya, "iya Kak sama-sama."

Kami berdua kembali menikmati suasana sore di taman ini sambil mengobrol santai. Ternyata Kak Jingga memang sangat baik aslinya, ia juga senang bercerita tentang visi misinya buat ekskul mading sekolah.

Setelah hampir 40 menitan kami duduk di sini, Kak Jingga mengajakku pulang. Kami pun bergegas ke parkiran dan Kak Jingga mengantarku sampai ke depan rumah. Sepanjang perjalanan tadi aku dan Kak Jingga mengobrol banyak hal, mulai dari obrolin pelajaran sampai kesukaannya terhadap dunia fotografi dan jurnalistik.

Akhirnya kami pun sampai di depan rumahku. Kak Jingga ikut turun untuk pamit ke Bunda dan Ayah.

"Kamu bener gak mau mampir dulu Jingga?" Tanya Bunda.

"Oh terima kasih Tante, aku langsung pulang aja tadi Mama udah nanyain."

"Oh iyaaa, makasih ya Jingga udah anter Tania pulang. Salam buat Mama kamu."

"Iya Tante nanti aku sampein ke Mama."

Bunda dan Ayah pun masuk lagi ke dalam rumah setelah Kak Jingga bersalaman.

"Tan, nih buat lo." Kak Jingga memberikan sebuah paperbag.

"Ini apaan Kak?"

"Buka aja."

Ketika aku membukanya, ternyata di dalamnya ialah handband merah maroon yang tadi Kak Jingga beli.

"Lho ini buat aku Kak?"

"Iya, kan lo tadi katanya suka."

"Aku pikir Kak Jingga cuma tanya saran aja."

"Udah lo pake tuh kalo lagi main basket. Gue pamit pulang ya."

"Makasih Kak Jingga."

"Iya, byeee." Dan Kak Jingga pun mulai menyalakan mesin mobilnya.

Aaaah, Kak Jingga baik bangeeeeeeet... 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top