Sparring Partner
Bel pulang telah berbunyi beberapa menit lalu. Aku dan anak-anak basket lainnya sudah berkumpul di depan ruang OSIS. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, sekolahan masih sangat ramai di jam pulang seperti ini. Bukan karena ada pelajaran tambahan, tapi mereka ingin menyaksikan pertandingan persahabatan pertama di tahun ajaran baru ini jam 3 sore nanti, termasuk teman-temanku.
Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum pertandingan dimulai. Kami, tim putri sudah berganti kostum dan tengah mendengarkan arahan dari coach Irfan. Tim basket putra juga ikut berkumpul bersama kami sebagai bentuk dukungan mereka.
Aku yang tengah duduk di samping Nova sejak tadi memerhatikan Kak Retta. Tampaknya Kak Retta sedang tidak fit hari ini, wajahnya terlihat sedikit pucat, dan ia selalu memegang tisu di tangannya.
Tak lama kemudian tiba-tiba saja terdengar suara riuh dari anak-anak cowok. Saat aku melihat ke arah lapangan, tim basket putri SMA 34 sudah sampai di sekolah kami. Coach Irfan pun menghampiri mereka dan memberikan salam hangat. Kami satu tim juga ikut berdiri dan bersalaman sama mereka.
Setelah semuanya sudah bersalaman satu sama lain, coach Irfan meminta kami untuk relaks sejenak. Aku pun memilih untuk menemui Dhea, Uben, Sassya, dan Indira.
"Wuiiiih keren juga nih temen sebangku gue," ucap Dhea menatapku dari atas sampai bawah.
"Haha belum pernah ngeliat cewek abas keren kayak gue ya?" sahutku pede menanggapinya.
"Ih males deh," Dhea langsung memutar bola matanya.
"Gleeee, aaaaaahhh," tiba-tiba saja Uben berteriak sambil berlari menghampiri seorang cewek yang memakai seragam berbeda dengan kami.
Mereka berdua pun berpelukan tapi tampang si cewek tersebut terlihat tidak nyaman. Uben akhirnya menggandeng cewek itu ke arah kami.
"Gengs, ini kenalin adik kembar gue," ucap Uben membuat kami berempat terkejut dan saling berpandangan.
"HAH?!" Dhea tak bisa menahan rasa kagetnya.
"Ih biasa aja keleus Dheee, ini kenaliiiin namanya Glennys," Uben memegang tangan cewek tersebut untuk bersalaman sama kami satu persatu.
Uben pun menutup muka Dhea dengan sebelah tangannya, "hahaha biasa kali Dhe ngeliatin adek gue."
"Glee, ini si Uben beneran kakak kembar lo?" sifat SKSD Dhea keluar.
"Hehe iya, dia kakak kembar gue," jawab Glennys malu-malu.
"Nih Gle, nanti lo bakal tanding sama temen gue nih si Ketan," ucap Uben ke Glennys yang gak ada mirip-miripnya itu. Glennys pun tersenyum padaku sopan.
"Ben, ganti baju dulu ya," lalu Glennys meminta izin dan dirinya menuju ke toilet sambil disuit-suitin sama anak-anak cowok.
"Anjir Ben, kok adik kembar lo cantik banget gitu sih? Mukanya juga kayak blasteran kenapa lo begini amat bentukannya?" tanya Sassya membuat kami semua tertawa karena ekspresinya.
"Ih kurang ajar nih emang si Sassya. Dia itu emang adik kandung gue, kita lahir cuma beda 5 menit. Gue ikutin gen bokap gue yang orang Batak to, nah si Glennys itu ikutin nyokap yang emang keturunan Belanda. Puas looooo?" tampang Uben sangat lucu sekali.
"Hahahaa pantesan beda bangeeeet," sahut Sassya.
"Eh guys, gue ke sana dulu ya kayaknya udah mau siap-siap nih. Wish us luck ya..." ucapku dan langsung diberikan umpatan semangat dari teman-temanku.
Ketika aku ingin masuk ke lingkaran di mana anak-anak lain sudah berkumpul, aku sempat melihat Kak Retta sedang berbicara dengan Kak Jingga.
Obrolan mereka terdengar samar-samar di telingaku.
"Udah deh lo tuh bilang aja sama pelatih lo kalo lo lagi sakit, gak usah maksain Ta," ucap Kak Jingga.
"Ya gak enak lah gue, gue kan udah dipilih jadi line up nya. Gue gak apa-apa kok, gue ke sana dulu ya," sahut Kak Retta melangkah menjauh dari Kak Jingga tapi Kak Jingga menahannya dengan menarik tangan Kak Retta.
Kak Jingga berdiri dekat sekali di hadapan Kak Retta sambil memperhatikan Kak Retta dari atas sampai bawah dengan ekspresi khawatir.
"Lo tuh emang manusia paling keras kepala tau gak. Mau gue mohon kayak gimana juga pasti lo akan tetep ikut tanding. Pokoknya kalo lo udah gak kuat, lo harus bilang sama pelatih lo. Gue serius lho Ta," ucap Kak Jingga.
"Duh iya Adeeva Jinggaaa, lo tuh bawel banget deh. Udah ah gue mau ke sana, udah pada kumpul tuh." Kak Retta terlihat mulai jengkel.
"Yaudah sana, barang-barang lo gue jagain." Aku pun baru sadar kalau sejak tadi Kak Jingga menenteng tas sekolahnya Kak Retta.
"Iyaa, kalo ada telepon dari siapapun entah itu Papa atau Mama lo angkat aja ya. Gue ke sana," Kak Retta akhirnya berjalan ke arah kami dan aku buru-buru memalingkan wajah.
"Oke semua udah kumpul. Kalian main gak usah mikirin menang atau kalah, yang penting fun dan all out di lapangan. Okeee?" coach Irfan menyemangati kami.
"Oke coaaaaach!!" jawab kami serempak.
"Seperti latihan terakhir kemarin, yang main pertama itu ada Retta, Ayunda, Jeihan, Nindi, dan Dinda. Semangat yaaa, yuk yuk yuk..." kami pun berdoa dan melakukan tos bersama.
Aku yang duduk di bangku pemain cadangan terus memerhatikan senior-seniorku yang sedang bersiap diri. Dari semua anggota anak kelas X, hanya Jeihan yang dipilih main pertama oleh coach. Ya, Jeihan memang playmaker yang memiliki skills di atas rata-rata, pantas saja kalau coach Irfan memintanya untuk jadi line up.
"Retta lo gak apa-apa yakin?" tanya coach Irfan ke Kak Retta yang sedang memunggungiku.
"Gak apa-apa coach, gue bisa main kok," jawab Kak Retta.
Wasit pun akhirnya memanggil para pemain untuk ke tengah lapangan. Riuhan tepuk tangan menyambut pertandingan ini lumayan meriah. Dari lantai 2, beberapa senior perempuan berteriak memanggil nama Claretta. Lagi-lagi Kak Retta menjadi center of attention.
Namun ketika aku melihat ke pinggir lapangan, ada Kak Jingga yang sedang duduk di bawah pohon bersama beberapa anak OSIS lainnya. Kak Jingga sejak tadi terus memerhatikan Kak Retta tanpa henti. Sebelah tangannya juga terlihat sedang memegang ponsel milik Kak Retta, mereka sedekat itu kah?
"Priiiiiitttt..." bola dilemparkan oleh wasit dan langsung ditepis oleh Kak Ayunda lalu ditangkap sempurna sama Jeihan.
Jeihan kini men-dribble bola dengan fokus di wilayah lawan. Jeihan mengangkat tangan kirinya memberikan sinyal ke pemain lain. Jeihan mengoper bola tersebut ke Kak Nindi, sedangkan Kak Ayunda sudah bersiap di daerah keyhole bersiap melawan center tim lawan. Kak Nindi men-drive bola tersebut masuk lebih dalam tapi dihadang oleh point guard lawan. Ketika itu pula Kak Retta berlari ke wilayah 3 point dan meminta bola. Kak Nindi yang melihat peluang itu langsung memberikan over head pass yang ditangkap oleh Kak Retta.
Shoot... tembakan three point Kak Retta melesat ke ring dengan sempurna.
"Whoaaa, Claretta, Claretta, Claretta, whoaaa," sorakan para penonton membangkitkan suasana lebih meriah lagi.
Kak Retta hanya melempar senyum dan kemudian matanya menatap sosok Jingga di ujung lapangan sana. Kak Jingga pun mengulas senyuman di wajahnya. Aku sangat yakin pasti ada sesuatu di antara mereka.
Sekarang giliran tim lawan yang menyerang. Dari kelima orang tersebut, aku belum melihat Glennys bermain. Sepertinya ia sama sepertiku, jadi pemain cadangan.
Playmaker tim lawan mencoba menerobos pertahanan tim kami. Posisi 2 – 3 diminta coach Irfan sebagai posisi defense kami di quarter pertama ini. Ketika playmaker tersebut berlari untuk melakukan lay up, Kak Ayunda langsung membloknya dan bola tersebut kembali diambil oleh Jeihan. Jeihan yang bebas tanpa pengawalan langsung melesat ke wilayah lawan dan melakukann lay up. Dua poin tambahan untuk tim kami.
Kedua tim terus bertanding dengan sengit. Kak Ayunda yang digantikan oleh Kak Raya langsung merebahkan tubuhnya sambil meminum air mineral yang sudah disediakan. Quarter pertama masih berlangsung, dan tim kami masih unggul 4 bola dari tim lawan. Setelah 10 menit berlalu, wasit meniupkan pluit tanda istirahat.
Semua pemain line up merebahkan tubuh mereka sambil memegang handuk masing-masing. Ketika aku ingin mendekat ke coach Irfan yang sedang memberikan penjelasan, seseorang memanggilku dari belakang.
"Tan, Ketaaan," aku pun menoleh ke orang tersebut.
"Sini," panggilnya lagi.
"Kenapa Kak Jingga?"
"Ini kasihin ke Retta dong, bilang sama dia jangan minum air dingin," Kak Jingga memberikanku sebotol air berwarna.
"I-iya Kak," aku pun langsung mengambilnya dan buru-buru menghampiri timku.
"Kak Retta, ini dari Kak Jingga," bisikku.
Kak Retta tampak bingung tapi tetap mengambil botol tersebut. "Thanks dek," sahutnya.
"Quarter kedua Tania main gantiin Jeihan, dan Retta lo harus istirahat dulu, muka lo udah pucet soalnya," ucap coach Irfan tanpa ada penolakan dari kami.
Quarter kedua dimulai dengan bola di tim kami. Aku men-dribble bola ini tenang sambil melihat peluang di kanan-kiriku. Dan kini aku tengah berhadapan dengan Glennys. Dia tampak fokus menatap bola di tanganku. Aku pun baru sadar kalau Glennys memiliki tatapan yang mengintimidasi.
Aku oper bola tersebut ke Kak Dinda yang ada di sebelah kanan. Kak Raya melakukan pick&roll sehingga Kak Dinda dengan leluasa masuk ke dalam dan melakukan lay up. Dua poin tambahan lagi untuk tim kami.
Setelah itu tim SMA 34 mengganti 3 pemainnya dan langsung membawa perubahan yang signifikan. Perlahan tetapi pasti, mereka semakin mengejar ketertinggalannya. Glennys pun seakan tak mau kalah, ia melakukan 2x lay up dan 1x under ring yang semuanya menghasilkan poin.
Coach Irfan pun meminta Kak Nindi digantikan oleh Kak Retta, Kak Raya diganti lagi sama Kak Ayunda, sedangkan Kak Dinda diganti Jeihan. Tim kami semakin kuat dan terus berusaha memperoleh poin tambahan.
Kak Retta kembali melesatkan three point sebanyak 4x tapi hanya dua yang berhasil menambahkan angka. Kini kami sedang dalam posisi offense, kali ini Jeihan yang men-drive bola. Kak Ayunda bertukar posisi dengan Kak Retta di bawah ring. Melihat Kak Retta kosong, Jeihan langsung mengoper bola tersebut. Ketika Kak Retta ingin melakukan under ring, pemain center lawan menghadangnya dengan sedikit mendorong tubuh Kak Retta sehingga Kak Retta terjatuh.
"Aduh," ringisnya sambil meremas pergelangan kaki kanannya.
"Ta gak apa-apa Ta?" tanya Kak Ayunda mencoba membantu Kak Retta bangun.
"Shit, kaki gue," jawab Kak Retta sambil meringis.
Kak Ayunda dengan sigap memberi tanda ke coach Irfan untuk mengganti pemain. Kak Retta ditarik keluar dengan dipapah sama Kak Ayunda.
Pemain pengganti, yakni Kak Raya langsung mengambil posisi freethrow. Tim kami mendapatkan dua kali kesempatan. Aku sempat menoleh ke bangku pemain melihat Kak Retta sedang meregangkan kaki kanannya dibantu oleh Kak Yudha dari tim cowok.
Kembali lagi fokus ke pertandingan, Kak Raya berhasil melesatkan dua kali freethrow tersebut. Hingga akhir quarter keempat, Kak Retta tidak dimainkan lagi dan aku bergantian sama Jeihan.
Skor akhir pertandingan sore ini 42 – 37 dengan kemenangan untuk tim sekolah kami. Setelah pertandingan kedua tim kembali bersalaman. Pemain center dari SMA 34 pun meminta maaf langsung ke Kak Retta.
Coach Irfan menyampaikan ucapan selamatnya kepada kami semua. Setelah melakukan peregangan, kami sudah boleh meninggalkan sekolah. Anak-anak lain yang menonton pun langsung pulang ketika quarter empat berakhir.
Aku menghampiri Kak Retta yang sedang ingin berdiri.
"Sini Kak biar aku bantu," ucapku dan dia langsung tersenyum.
"Sakit Kak?" tanyaku sambil memapahnya berjalan ke koridor.
"Engga terlalu kok, bentaran juga sembuh," jawabnya.
Ketika aku ingin membantunya untuk duduk di bangku depan ruang lab kimia, Kak Jingga berlari ke arah kami.
"Sini biar gue aja yang bantu Retta," ucapnya jutek padaku sambil melepaskan tangan Kak Retta dari peganganku.
Aku hanya diam melihatnya yang datang tiba-tiba kayak hantu.
Kak Jingga membantu Kak Retta duduk. "Tuh kan gue bilang juga apa, lo tuh gak usah ikut tanding. Badan masih panas, kepala pusing, sekarang malah kaki tuh yang cidera. Bandel banget sih gak mau dengerin omongan gue!" Kak Jingga berbicara tanpa henti memarahi Kak Retta.
"Apa sih Jingga? Gue gak apa-apa kok, gak usah lebay deh," sahut Kak Retta santai.
"Gue gak lebay, emang lo nya aja yang susah dibilangin. Sini handuknya," Kak Jingga mengambil paksa handuk yang dipegang Kak Retta dan langsung mengelap keringat di dahi dan lengan Kak Retta.
Aku sejak tadi hanya diam berdiri melihat mereka berdua seperti layaknya kekasih yang sedang bertengkar.
"Dek, aku udah gak apa-apa. Udah sana kamu ganti baju," ucap Kak Retta padaku ramah, sedangkan Kak Jingga hanya menatapku tajam.
"Beneran Kak gak apa-apa?"
"Iya beneran kok, nih udah ada suster jutek yang bakal ngerawat aku dengan omelannya. Udah sana gih ganti baju terus pulang, udah mau magrib."
"Ya, yaudah Kak kalo gitu. Aku pamit ya, dah Kak Jingga," ucapku pamit ke Kak Jingga yang hanya dibalas dengan "hemmm".
Aku berjalan perlahan ke arah toilet masih mencoba untuk menguping percakapan mereka berdua.
"Udah lo gak usah ganti baju. Mana kunci mobilnya? Gue yang nyetir anterin lo balik," ucap Kak Jingga ke Kak Retta.
"Masa gue gak ganti baju sih Dee, gerah banget ini sumpah," sahut Kak Retta. Kok Kak Retta manggil Kak Jingga 'Dee' ya?
"Woy, buruan ganti baju," tiba-tiba saja suara Dhea mendekat mengagetkanku.
"Lah lo masih di sini?"
"Masih, gue nungguin lo. Ayo mau gue anterin balik gak? Gue bawa motor nih."
"Haha baik banget sih Dheaaa. Yaudah tunggu bentar 5 menit gue ganti baju."
"Buruuuu."
Setelah aku selesai mengganti baju, Dhea masih menungguku di depan toilet. Kami pun berjalan ke parkiran motor. Di saat itu pula aku melihat ke seberang lapangan sana di mana Kak Jingga sedang merangkul Kak Retta berjalan ke parkiran mobil.
Hal tersebut membuatku menghentikan langkah. Kenapa ada perasaan yang agak sakit ya di hatiku melihat mereka berdua? Bukankah baru beberapa hari lalu Kak Retta menawarkan diri untuk jagain aku? Lalu kenapa hari ini malah dia terlihat sangat dekat dengan Kak Jingga?!
"Yeeeh nih anak malah berhenti. Liatin siapa sih?" pertanyaan Dhea membuyarkan lamunanku.
"Hah? Engga, gak liatin siapa-siapa, yuk ah," dalihku.
"Emmm gue tau nih, pasti lo lagi liatin Kak Retta sama Kak Jingga kan? Jealous lo yaaaa? Hahaha"
"Ih apaan sih lo Dhe, udah ayo buruan ke motor lo."
"Haha udah lah Tan gak usah nutup-nutupin gitu. Muka lo keliatan banget keselnya. Sebel lo ya lihat mereka berdua kayak orang pacaran? Hahahaha."
Aku memicingkan mata menatap Dhea. "Tau ah, buruan ayo pulang!"
"Haha iyaa iya iyaaa," Dhea pun melanjutkan langkahnya.
"Eh Dhe, gue mau tanya deh."
"Tanya apa?"
"Kok Kak Retta manggil Kak Jingga 'Dee' ya?"
"Ya kan namanya Kak Jingga ada Adeeva nya, mungkin dari situ kali," jawab Dhea.
"Emmm mungin."
Dhea kembali berhenti dan menoleh ke arahku. "Haha fix Ketan Jealous. Kak Rettaaaa, KETAN CEMBURU NIIIIIIH..." teriak Dhea membuat beberapa anak yang masih ada di sekolah menoleh ke arah kami, termasuk Kak Retta dan Kak Jingga di seberang sana.
Dengan cepat aku langsung menutup mulut Dhea dengan kedua tanganku lalu menariknya menuju parkiran.
"Kampret banget sih lo Dhe!" gerutuku kesal.
"Hahaha, asli muka lo kocak banget, hahaha," ia masih tertawa puas.
Aku cubit perut Dhea kencang. "Aduuuuh, sakit Tan, ampuuuun," ringisnya.
"Sebel," gumamku.
"Haha iya maaf deh, udah yuk pulang yuk," Dhea pun mengeluarkan motor Satria F150 miliknya lalu memintaku untuk segera naik.
Dhea segera menyalakan mesin dan mencap gas menuju gerbang sekolah. Tapi sebelum kami keluar, sebuah mobil Yaris berwarna merah menghampiri kami dari samping kanan. Jendela mobil tersebut dibuka, lalu aku melihat Kak Retta di bangku penumpang dengan Kak Jingga di balik kemudi.
"Dhea pelan-pelan ya bawa motornya, anterin Tania sampe depan rumah. Dek, aku pulang duluan ya sorry gak bisa anter. Byeee," ucap Kak Retta ramah dan Kak Jingga yang tak bergeming apa-apa.
"Iya Kak Retta, siap!!" sahut Dhea ke Kak Retta dan aku hanya tersenyum.
Mobil tersebut belok ke arah kiri, sedangkan motor Dhea ke kanan. Sesaat setelah keluar dari gerbang sekolah, Dhea melajukan motornya dengan sangat kencang membuatku kaget dan langsung menjitak kepalanya dari belakang.
Dasar, Dhea nyebelin! Kak Retta juga!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top