Senyuman Jingga

*play the song


Tania's Pov

Aku berjalan lunglai memasuki gerbang sekolah. Seperti biasa, aku diantar Ayah yang sekalian berangkat kerja. Ketika aku berjalan menuju gedung sekolah yang jaraknya lumayan dari pintu gerbang, sebuah mobil Jazz hitam menepi di sampingku dan membuat langkahku terhenti.

Seseorang membuka jendela dan memanggilku, ternyata ia ialah Kak Retta yang tengah duduk di jok kanan bersama Kak Jingga yang ada di balik kemudi, pasti ini mobilnya Kak Jingga. "Hi Dek, kok sendirian aja?"

"Hehe iya Kak Retta, td dianter sama Ayah sampe depan doang," jawabku dengan cengiran yang sedikit aku paksakan.

"Oalaah, yaudah kalo gitu. Nanti aku wa kamu ya, see you Ketan," sahut Kak Retta ramah seperti biasa dengan Kak Jingga yang tak bergeming apa-apa. Itu senior jutek kenapa mukanya datar banget sih? Kalah deh tuh theory flat earth sama flat-nya muka dia.

Aku menaiki anak tangga satu persatu dengan malas. Entah kenapa sejak kemarin sore mood ku jadi berantakan gini.

Sesampainya di kelas aku langsung menaruh tas dan ikut bergabung dengan Uben, Sassya, dan Indira yang sedang ngobrol-ngobrol di depan.

"Oitt, si Dhea mana Ben?"

"Deuh lo kayak gak tau tuh anak aja ceu, dia pasti telat deh kan hari ini gak ada pr. Jadi gak ada alasan buat dia untuk datang pagi ke sekolah," sahut Uben.

"Haha iyaa bener juga yah," sahutku.

Aku pun ikut mendengarkan cerita Indira yang katanya kemarin diajak pulang bareng sama Kak Yudha. Kilatan mata Sassya dan Uben sangat excited mendengar cerita Indi. Ketika aku membalikan tubuh melihat ke arah parkiran, perasaan gak enak itu singgah lagi di hatiku.

Aku melihat dengan jelas Kak Jingga yang sedang membantu Kak Retta berjalan dengan merangkulnya. Sepertinya kaki Kak Retta masih dibalut perban karena ia mengenakan sandal bukan sepatu.

Aku pun hanya bisa menghela nafas melihat pemandangan itu. Dan aku semakin yakin kalau Kak Retta pasti punya suatu hubungan spesial dengan Kak Jingga. "Pasti mereka sahabatan dari kecil deh," gumamku pelan.

"Iya emang," tiba-tiba saja suara Dhea menyahutiku tepat di telingaku.

Aku langsung reflex melangkah mundur dan hampir terjatuh. "Aduh," umpatku ketika ada seseorang dari belakang menopang tubuhku dengan lengannya.

"Hey, gak apa-apa?" aku langsung membenarkan posisi tubuhku dan menengok ke belakang. Ada Adrian yang sedang tersenyum manis padaku dengan lesung pipinya itu.

"Oh wuooow," sahut Uben diikuti cekikikan dari beberapa anak di depan kelas yang melihat kejadian tadi.

Adrian memiringkan wajahnya masih menatapku dalam. "Kamu gak apa-apa Tania?"

"Ehem, jawab kali Tan jangan bengong aja," suara Dhea membuyarkan lamunanku. Huh anak ini bener-bener deh.

"Ummm, gak-gak apa-apa kok gue Kak," jawabku agak sedikit salah tingkah. Sekarang aku baru sadar kenapa cewek-cewek di kelasku pada tergila-gila sama si Adrian ini. Dia memang cowok yang punya pesonanya tersendiri, tapi tetap playboy sekolahan!

Kak Adrian menepuk bahuku lembut, "lain kali hati-hati ya Tan. See you..." kalimatnya diakhiri dengan kedipan sebelah mata yang sukses membuat Uben, Indira, dan Sassya gemas melihatnya. Tuh kan, dia ganjen!

Setelah Kak Adrian berlalu melewati depan kelas kami dan turun ke lantai 2, Dhea langsung menepuk tangan beberapa kali.

"Gila gila gilaaaa, cuma Tania doang deh yang bisa bikin senior-senior kece pada kecantol."

Aku langsung menarik ujung rambutnya yang dikuncir. "Apaan sih Dhe, gara-gara lo tau gak sih."

"Hahaha gak tahan kan lu sama pesonannya Kak Adrian? Cieee, cieeee. Abis jealous lihat Kak Retta malah disambar sama Pangeran Cinta, ihiyyy," dia terus menggodaku tanpa henti.

"Cieee cieee Tania, cieeee," sahut Uben, Indira, dan Sassya ikut-ikutan.

"Ah tau ah, gue mau ke kelas aja!"

.

.

.

Jam Istirahat Kedua

Aku bersama Dhea, Sassya, Indira, dan Uben memilih untuk menghabiskan jam istirahat kedua ini di kantin. Mereka sejak tadi masih saja mengolokku tentang kejadian si Pangeran Cinta, kata mereka. Apalagi Dhea yang sangat senang mengejekku sampai-sampai ia menggambar manga seorang cowok sedang menopang cewek di koridor. Bukan karena scene gambar itu yang buat aku kesal, tapi dia menggambar wajahku layaknya si buruk rupa. Dia membuat caption gambar itu dengan judul, "Si Pangeran Tampan bersama Anak Itik Buruk Rupa", kan bikin aku naik darah.

Kami berlima kini tengah duduk di meja panjang di depan gerobak Bang Midun, penjual mie ayam pangsit satu-satunya di kantin ini. Kami sedang menyantap menu yang sama dan masih sambil bercanda gurau.

Ketika aku sudah menghabisi semangkuk pangsit rebus, aku berjalan ke tukang penjual jus buah. Saat aku sedang memesan jus melon, tiba-tiba saja Kak Jingga menyelakku.

"Tan, gue duluan ya. Buat si Retta nih takut keburu bel. Bang, jus alpukat tanpa gula pakai susu cokelat aja satu ya, dibungkus. Yang jus melon tadi nanti aja," ucap Kak Jingga ke penjual jus membuatnya bingung lalu menatapku.

"Yaudah Bang, jus melon saya nanti aja. Buatin jus alpukatnya dulu aja," ucapku.

"Thanks," gumam Kak Jingga begitu pelan tanpa mau melihatku. Tapi aku masih bisa mendengar samar-samar kalau dirinya baru aja bilang 'thanks'.

"Iya Kak sama-sama," sahutku.

Keheningan kembali terjadi di antara kami. Udah malah lama banget lagi tuh jusnya jadi, bikin suasana awkward makin berasa aja.

"Emmm, Kak Jingga," kataku akhirnya.

"Ya?"

"Emmm, Kak Retta gimana kakinya?"

Kak Jingga yang sejak tadi memainkan hp akhirnya mau menoleh ke arahku. "Lo tanya aja sendiri," jawabnya singkat.

"Gimana gue mau tanya sendiri sih kalo tiap menit Kak Retta selalu sama Kak jingga?!" batinku.

"Emmm, Kak Retta lagi bawa hp gak sih Kak?" tanyaku lagi. Aku ingat kalau tadi pagi katanya Kak Retta ingin mengirimiku pesan, tapi sampai detik ini masih belum ada juga.

Kak Jingga menatapku malas, "ya lo tlp aja coba, nyambung apa gak."

"Duh, salah lagi aja sih?!" batinku lagi.

"Ini neng jus alpukatnya udah jadi," si abang memberikan sebungkus gelas berisi jus alpukat.

Kak Jingga mengeluarkan uang 20ribuan, "ini Bang sekalian sama jus melonnya dia. Kembaliannya buat abang aja."

Tanpa basa-basi, Kak Jingga langsung pergi meninggalkanku sehingga aku tak sempat menolak pemberiannya.

Si abang pedagang jus menggelengkan kepala. "Neng Jingga dari kelas 1 gak pernah berubah."

"Gak pernah berubah gimana Bang?"

"Iya dari dulu selalu bayar jusnya kelebihan. Dan selalu bilang kembaliannya buat saya aja sampe saya kadang suka gak enak hati."

Aku menganggukan kepala, "hemmm baik juga ternyata Kak Jingga."

Setelah jus melonku jadi, aku kembali berkumpul ke mejanya anak-anak. Selagi aku mendengarkan cerita Uben yang katanya suka banget sama pelatih cheerleaders, hp di kantong rokku bergetar beberapa kali.

"Dek, kata Jingga kamu nanyain aku? Kenapa? Kangen ya?" – Kak Retta

Pesannya barusan sukses membuatku tersedak.

"Kenapa lo Tan?" tanya Dhea.

"Hehe gak apa-apa, lanjut-lanjut," jawabku.

Aku kembali menatap layar hp. Kok Kak Jingga bilang-bilang ke Kak Retta sih?!

"Hehe aku cuma pengen tanya, kaki Kakak gimana?" – Tania

"Oh kaki aku udah enakan kok, tapi kayaknya aku ga bisa ikut latihan dulu nih 2 minggu. Gak dibolehin sama tukang urutnya, huhu sedih." – Kak Retta

Yah latihan basket jadi gak semangat deh kalau gak ada Kak Retta.

"Yaudah Kak yang penting istirahat buat recovery biar bisa cepet main lagi." – Tania

"Hehehe iya nih, don't miss me ya. Thank you Ketan." – Kak Retta

Aku tak tau harus membalas apa lagi pesannya Kak Retta barusan. Aku pasti bakal kangen lihat kamu di lapangan Kak.

Bel masuk pun berbunyi dan kami buru-buru kembali ke kelas. Pelajaran terakhir pun terasa sedikit membosankan karena kami hanya disuruh mencatat saja.


Bel Pulang Sekolah

"Tan, lo langsung balik?" tanya Dhea.

"Iya ah males gue, mau bobo siang," jawabku.

"Yaah, lo gak mau nungguin gue? Gue ada rapat mading nih, bentaran kok paling setengah jam. Nanti gue anterin pulang deh, oke?" pintanya.

"Hemmm, yaudah deh gue tungguin." Dhea kan kemarin sudah berbaik hati menungguku sampai selesai pertandingan.

Kami berdua turun ke lantai 1. Anak-anak mading akan rapat di ruangan lab Kimia. Dhea meninggalkanku duduk sendirian di bangku depan lab. Semua anak mading kelas X sudah berkumpul di dalam. Lalu dari arah tangga sebelah kiri dekat koperasi, aku melihat Kak Jingga sedang memapah Kak Retta. Mereka berjalan ke arahku.

Oh iya Kak Jingga kan ketua ekskul Mading, pasti dia yang akan memimpin rapat siang ini. Aku pun pura-pura tidak melihat mereka dengan menyibukkan diri bermain hp yang sepi tidak ada notifikasi sama sekali. Sampai akhirnya Kak Retta duduk di sebelahku.

"Lo tunggu di sini aja Ta, gue rapat cuma bentar. Jangan ke mana-mana, gak usah bandel apalagi kabur terus jalan sendirian. Awas aja!" ucap Kak Jingga ke Kak Retta.

"Duh iya Adeevaaaaa. Udah sana gih masuk, gue di sini sama Tania." Aku langsung salah tingkah mendengar namaku disebut.

Kak Jingga menghela nafas lalu ia memanggilku, "Ketan."

Aku pun langsung mendongakkan kepala untuk melihatnya, masih aja manggil Ketan.

"Iya Kak?"

"Gue titip Retta jangan sampe dia kabur, dia suka bandel anaknya. Kalo dia mau jalan-jalan sendirian lo jitak aja kepalanya gak apa-apa," ucap Kak Jingga padaku dan aku yakin orang di sebelahku ini pasti lagi sebal.

"Iya Kak," sahutku dan Kak Jingga pun masuk ke dalam ruangan lab Kimia.

Aku melihat kaki kanan Kak Retta yang masih dibalut perban. "Sakit Kak?"

"Emmm?"

"Itu, kakinya sakit?" aku menunjuk ke perbannya.

"Oh ini, haha udah engga kok."

"Terus kok Kak Jingga tadi ngelarang Kakak untuk gak jalan-jalan sendiri?"

"Ah dia mah suka lebay, diemin aja udah." Dan aku hanya terkekeh mendengarkan Kak Retta.

"Dek, menurut kamu Jingga tuh gimana orangnya?"

"Hah?" aku langsung menoleh.

Kak Retta tertawa kecil lalu mengacak poni rambutku. "Kamu tuh ditanya malah hah-hah. Jingga gimana menurut kamu?"

Aku menundukkan kepala.

"Haha udah gak apa-apa bilang aja ke aku. Aku gak bakal kasihtau Jingga kok, tenang."

Aku diam sejenak. "Ummm, Kak Jingga tuh... jutek."

"Haha terus?"

"Galak."

"Teruuus?"

"Serem."

"Hahaa, terus?"

"Nakutin."

"Hahahaa," tawa Kak Retta semakin kencang.

"Terus dek terus?"

"Ih Kak Retta, terus terus aja."

"Haha gak apa-apa, lanjutin aja."

"Emm terus yaa gimana ya, kadang aku lihat Kak Jingga baik sih."

Kak Retta menghentikan tawanya dan merubahnya dengan senyuman. "Baik gimana?"

"Umm ya misalnya tadi pas istirahat Kak Jingga bayarin jus aku di kantin."

"Hemmm, I see," sahut Kak Retta.

"Kenapa emang Kak?" aku bertanya balik.

"Gak apa-apa sih. Kalian berdua lucu aja hehehe."

"Lucu gimana?"

"Yaaa lucu, kayak pada malu-malu tapi mau."

"Hemmm? Maksudnya?"

Kak Retta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Hahaha udah bukan apa-apa."

"Ish Kak Retta," gerutuku dan Kak Retta kembali mengacak poniku lagi.

"By the way, kamu kemarin pas sparring partner keren deh mainnya."

"Biasa aja deh Kak perasaan."

"Serius, kamu mainnya oke banget. Pasti kalo nanti ada tanding lagi, aku yakin deh kamu bakal jadi pemain line up."

"Hemmm entahlah, masih ada Jeihan yang jago banget nge-drive bola."

"Yaaa Jeihan emang bagus sih, tapi kamu kalo dipasangin sama Jeihan juga pasti makin oke deh."

"Emang?"

"Eh engga deh, jangan dipasangin sama Jeihan."

"Hemmm?"

"Kamu harus dipasanginnnya sama aku, gak boleh sama orang lain," jawab Kak Retta sambil menatapku tersenyum.

Ah Kak Retta selalu bisa bikin aku mood swing banget deh.

"Haha apa deh Kak Retta, gombal ih," sahutku malu-malu.

Kak Retta pun kembali tertawa, "hahaha tuh kan sama persis lagi."

"Sama persis apaan Kak maksudnya?"

"Hahaa engga-engga. Aku tuh wondering deh, kayaknya kamu kalau debat sama Jingga pasti lucu deh, hahaha."

"Heemmm," gumamku.

Tak terasa sudah 30 menit kami mengobrol bersama di depan lab kimia. Kak Jingga, Dhea, dan anak-anak mading lainnya pun satu persatu keluar dari ruangan. Dhea berjalan berdampingan dengan Kak Jingga sambil berbincang.

Ketika Dhea melihatku, dia langsung mempercepat langkahnya. "Tan Ketan, sorry banget asli sorry banget."

"Apaan sih Dhe?"

"Sorryyyyy banget, kayaknya gue gak bisa anterin lo pulang deh."

"Hah? Kenapa? Kan gue udah nungguin lo daritadi."

"Kakak gue tadi wa, dia minta dijemput di shelter Transjakarta. Gue bisa gak dikasih jajan deh sama kakak gue kalo gak mau ngejemput dia. Sorry ya Tan, sorry banget. Gue buru-buru nih, dah Taniaaaa," Dhea pun berlari ke parkiran meninggalnku di sini. Ah, dasar Dhea super nyebelin!

Ketika aku membalikkan tubuh, Kak Retta dan Kak Jingga tengah menatapku. Aku pun langsung jadi salah tingkah, lalu mengambil tas di dekat Kak Retta.

"Hemm, a-aku duluan ya Kak," pamitku ke mereka.

Kak Retta tampak ingin mengucapkan sesuatu tapi langsung dipotong sama Kak Jingga. "Lo bareng kita aja Tan," ucapnya membuatku sedikit tak percaya.

"Hah?"

Kak Retta terlihat sedang mengulum senyum.

"Lo bareng aja sama gue dan Retta. Gue anterin lo balik ke rumah," ucap Kak Jingga lagi.

"Emmm, gak-gak usah repot-repot Kak Jingga. Rumah aku deket kok dari sini."

"Buruan ambil tas lo, ayo kita ke parkiran," Kak Jingga langsung membantu Kak Retta berdiri lalu berjalan.

Aku pun mengikuti langkah mereka dari belakang.

Kak Jingga menghentikan langkahnya lalu meminta Kak Retta melepaskan tas sekolah miliknya. "Ketan, nih tolong bawain tasnya Retta."

Tanpa bisa menolak, aku pun mengambil tas Kak Retta dari tangan Kak Jingga. Dan mereka kembali melanjutkan langkahnya.

"Haha sabar ya dek," sahut Kak Retta menoleh melihatku, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala.

Kami bertiga pun akhirnya sampai ke parkiran mobil. Kak Jingga dengan telaten membukakan pintu dan membantu Kak Retta masuk. Aku diminta Kak Jingga untuk duduk di belakang Kak Retta.

Kak Jingga mulai menyalakan mesin mobil, dan Kak Retta mengutak-atik layar audio.

"Retta," panggil Kak Jingga.

"Emmm?" sahut Kak Retta masih sibuk memencet layar.

"Pake seatbelt-nya."

"Pakein dong, kan gue lagi sibuk nih milih lagu."

"Ck, manja. Mundurin badan lo," lalu Kak Jingga pun memakaikan sabuk pengamannya Kak Retta.

Huh, seharusnya aku gak usah ikut ke mobil ini. Semua gara-gara si Dhea.

Lagu Adrenaline nya Lauv pun mulai terdengar di dalam mobil. Wuah ternyata Kak Jingga juga suka lagu-lagu band Indie.

"Dek, mau makan di luar dulu gak?" tanya Kak Retta.

"Engga usah Kak Retta, Bunda udah masak buat makan siang."

"Hemmm gitu. Lain kali aku main ke rumah kamu terus nyobain masakan Bunda kamu boleh ya?"

"Boleh kok Kak."

Kemudian suasana kembali hening. Perjalanan yang biasanya hanya sebentar kenapa ini jadi terasa lama banget ya?!

"Ketan," kali ini Kak Jingga yang memanggilku.

"Iya Kak?"

"Taneman lo masih sering disiremin gak?"

"Heee? Kok Kak Jingga random banget sih nanyain taneman gue?" batinku.

"Masih kok Kak," jawabku.

Diam sejenak. "Hemmm by the way, kata Retta si Adrian suka godain lo?" tanya Kak Jingga lagi sambil melihatku dari kaca.

Aku menatap Kak Retta dan Kak Retta hanya membuat tanda V dengan dua jarinya.

"Yaaa, ya gitu deh Kak."

"Ck tuh anak, gak junior gak senior semuanya dimodusin."

"Kan lo juga salah satunya Dee," sahut Kak Retta.

"Udah deh gak usah ngeselin. Tan, ini belok kanan apa kiri?"

Belum sempat aku menjawab, Kak Retta sudah memberitahukan arahnya. "Belok kanan Dee."

Kak Jingga sempat menoleh ke Kak Retta sambil mengerutkan dahi. "Lo pernah ke sini?"

"Pernah doooong," jawab Kak Retta santai dan aku hanya terkekeh melihat tingkahnya.

Tak lama kemudian kami pun sampai di depan rumahku.

"Makasih ya Kak Jingga udah mau anter aku pulang. Makasih juga ya Kak Retta," ucapku sebelum turun dari mobil.

"Gak usah terima kasih sama aku dek. Cukup ke Jingga aja hehehe," sahut Kak Retta.

"Yaa, makasih ya Kak Jingga."

"Iya sama-sama," sahut Kak Jingga singkat seperti biasa.

Aku pun membuka pintu mobil dan pamit lagi. "Hati-hati Kak nyetirnya, aku pulang dulu."

Ketika aku ingin membuka pagar, Kak Jingga turun dari mobil lalu ia menghampiriku.

"Ketan tunggu."

"Eh i-iya Kak, kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanyaku bingung.

"Emmm gak ada, gue cuma pengen ketemu nyokap lo aja."

"Hah?"

"Udah buruan masuk."

Aku masih mengerutkan dahi tak mengerti apa maksudnya Kak Jingga ingin bertemu dengan Bunda.

Aku pun mengetuk pintu dan tak lama kemudian Bunda membukakannya bersama Tyo dan Dyo.

"Eh anak Bunda paling cantik udah pulang. Kamu sama siapa Nak?" tanya Bunda setelah aku menyalami tangannya.

Kak Jingga pun ikut menyalami tangan Bunda. "Aku Jingga Tante, kakak kelasnya Tania," ia memperkenalkan diri dengan sangat ramah.

"Oh Jingga, indah sekali nama kamu sama seperti orangnya. Ayo Nak Jingga masuk dulu ke dalam?" sahut Bunda.

"Oh terima kasih Tante, maaf bukannya aku gak mau tapi aku lagi mau buru-buru pulang juga hehe. Aku anterin Tania dan ketemu Tante mau minta maaf karena Tania jadi telat pulangnya. Soalnya tadi Tania nungguin aku rapat mading," ucap Kak Jingga sangat ramah sekali ke Bunda, membuatku tak percaya melihatnya. Ternyata ini maksud Kak Jingga kenapa ingin bertemu Bunda.

"Oh iya gak apa-apa Nak, Tante justru terima kasih sama kamu karena udah mau anterin Tania pulang. Makasih ya Nak Jingga."

"Iya sama-sama Tante. Kalau gitu aku pamit pulang dulu ya Tan, assalamu'alaikum," lalu Kak Jingga menyalami tangan Bunda lagi dan pamit.

Aku yang sejak tadi hanya berdiam diri akhirnya memanggilnya. "Kak Jingga."

"Iya?"

"Makasih ya Kak udah mau anterin aku pulang."

Kak Jingga mengulas senyum, senyuman yang belum pernah aku lihat. Ternyata dia memang cantik dan manis kalau sedang tersenyum.

"Iya sama-sama. Pulang dulu ya, bye."

Dan Kak Jingga pun kembali masuk ke dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan rumahku.

Kak Jingga, hemmm penuh teka-teki.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top