Rumit

Retta's Pov

Kemarin sepulang sekolah aku mengajak Jingga ke sebuah kafe gelato yang ada di daerah Menteng. Senyuman sumringah pun tak lepas dari wajahnya ketika aku membawanya ke sana. Jingga memang sangat menyukai gelato, apalagi kafe tersebut memang menawarkan nuansa yang sangat nyaman.

Kini kami berdua tengah berjalan ke kantin untuk mencari sarapan. Tadi aku menjemputnya lebih awal karena memang ada sesuatu yang harus diurus Jingga bersama beberapa anggota OSIS. 

"Mau makan apa Ta?" tanya Jingga.

"Emmm, bubur ayam aja sih paling. Lo mau apa?" aku balik bertanya.

"Gue mau beli pisang goreng aja kayaknya. Lo tempatin tuh, gue yang pesen," Jingga menunjuk ke bangku yang berada di tengah.

Aku pun menempati tempat duduk itu yang di mana di belakangku ada beberapa teman satu kelasnya Tania. 

"Hai Kak Rettaaaa, sendirian aja?" suara cempreng Uben menyapaku.

"Hai juga Uben, Dhea, dan kamu emmm Maya ya?" sahutku sambil mengingat nama salah satu teman mereka.

Orang yang ku panggil Maya pun tersenyum, "hehe iya Kak, aku Maya."

Aku membalas senyumannya. Lalu Uben kembali bertanya. "Kakak sendirian? Sini aja Kak gabung, kita lagi gosipin si Ketan yang baru aja jadian kemarin, hihihi."

Aku langsung mengerutkan dahi, "Ketan jadian? Sama??"

"Kak Retta belum tahu? Sama ituuuu, Kak Bimaaaaa," jawab Uben sumringah dan Dhea menyikut lengannya.

Tiba-tiba saja suara Jingga menyambar, "apa? Ketan jadian sama Bima?"

Aku menoleh ke Jingga yang duduk di depanku. 

Uben terlihat kaget dan langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Dhea langsung menyubit kecil perut si Uben dan membuatnya meringis.

"Hehehe kita duluan ke atas ya Kak Retta dan Kak Jingga. Ayo Ben, May," ucap Dhea terkesan terburu-buru lalu mereka bertiga pamit dari kami.

Aku membenarkan posisi dudukku menghadap ke Jingga. "Tania jadian?"

Jingga hanya mengangkat kedua bahunya.

"How come?!"

"I have no idea, Ta."  Dan aku hanya bisa menghela nafas.

***

Seisi kelas pada heboh berbisik satu sama lain membicarakan tentang hubungan Bima dan Tania. Sampai di jam istirahat seperti ini pun, masih saja ada beberapa anak cowok yang menghampirinya dan memberikan selamat padanya. Ekspresi senang juga sangat terlihat dari wajahnya itu.

"Kan, keambil deh tuh si Tania," celetuk Tira sambil menaruh pantatnya di bangku sebelahku.

Aku langsung menengok, "jadi beneran si Bima jadian sama Tania?"

"Yaaa menurut rumor yang beredar sih gitu, tuh lo liat aja anak-anak cowok pada kasih dia selamat."

Aku menarik nafas, "gue masih bingung."

"Bingung kenapa?"

"Kok Tania bisa secepat itu sih nerima si Bima? Dan gue masih, duh gimana ya jelasinnya. Gue tuh masih ngerasa ada sesuatu yang disembunyiin Bima, entah itu apa."

"Kenapa lo bisa ngerasa gitu?"

"I don't know, I just feel it."

Tira ikutan menghela nafas. "Kalau lo punya gak enak feeling, lo ngomong lah sana sama Tania. Ngobrol berdua, heart to heart, eyes to eyes."

"Ya gimana gue mau ngomong kalau si Bima terus-terusan ada di samping Tania. Ke sekolah bareng, istirahat pertama mereka berdua ke kantin, ini sekarang lagi istirahat kedua, si Bima abis dari kelasnya Tania. Dan pasti nanti pulang juga mereka bakal barengan. Terus gimana gue bisa ngobrol berdua sama si Ketan coba?" Tanyaku frustasi.

"Lo tuh ya Ta, lo kan tahu rumahnya si Ketan, ya datengin aja rumahnya nanti malem. Masa iya sih si Bima 24 jam sama Tania terus. Think smart doooong, jangan kepanikan kayak gitu." Jawaban Tira ada benarnya juga.

"Hemmm, iya deh nanti malem gue ke sana."

"Haha nyesel lo ya? Lo sih gak mau coba padahal udah jelas-jelas si Tania suka sama lo."

"Ya lo kan tahu sendiri alasan gue apa. Susah Tir, susah banget buat gue juga."

"Iya sih, bingung juga kalau ada di posisi lo. Andai ya Tania tahu, pasti tuh anak kaget sih. Terus lo sama Jingga gimana? Kenapa lo gak sama dia aja deh?"

"Jingga... hemmm gimana yaaaa. Gak tahu lah, pusing kepala gue kalau mikirin ini terus."

Tira menggelengkan kepalanya. "Bingung sih gue Ta sama lo. Dari kita kelas 1 banyak banget yang deketin lo. Kak Tommy, Kak Leo, terus belum lagi si Harsya, sama siapa deh satu cewek yang pernah nembak lo? Dulu dia di atas kita 2 tingkat, lupa gue namanya."

"Kak Tika?"

"Oh iya, Kak Kartika anak dance yang tahu-tahu nembak lo sebelum dia lulus. Tuh, fans lo tuh banyak banget tapi lo masih aja gak cari-cari pacar."

"Yaelah Tir, si 3 cowok itu kan nembak gue cuma karena penampilan gue, gak pernah ada yang bener-bener tulus. Kalau Kak Tika, yaaa gimana, gue kaget aja tiba-tiba dia bilang suka sama gue. Dan gue kan at that time lagi gila banget sama basket gak mikirin pacar-pacaran."

"Lo mah emang gila terus sama basket. Pacaran aja lo sana sama bola," ucap Tira sambil membuang muka.

"Haha kalau tuh bola bisa hidup udah gue pacarin dari dulu juga," aku mencoba bercanda tapi tidak direspon Tira. Nyebelin nih anak.

Aku kembali melihat ke arah Bima yang sedang memandangi layar ponselnya sambil senyam-senyum sendiri. Tania, why must him Tan?!


***

Pukul 7.30 malam di depan rumah Tania

Aku masih berdiam diri di balik kemudi. Aku menatap halaman rumah Tania yang kosong. Sesuai saran Tira tadi, akhirnya aku beranikan diri ke sini untuk berbicara empat mata dengannya. Aku pun turun dari mobil dan ketika aku berjalan masuk ke pintu gerbang rumahnya, terdengar suara mesin sebuah mobil berhenti di belakang kendaraanku.

Ketika aku ingin mengeceknya, pintu rumah Tania terbuka lalu terlihat Bima dan Tania keluar dari dalam. Samar-samar aku mendengar percakapan mereka.

"Aku pulang dulu ya. Besok pagi aku jemput ke sini, thanks for the dinner. Aku seneng banget bisa makan malem bareng keluarga kamu." - Bima

"Iya sama-sama Kak. Kamu hati-hati ya pulangnya." - Tania dengan suara yang terdengar masih malu-malu.

Lalu sebelah tangan Bima mengusap ujung kepala Tania.

"Haha kamu nih masih aja malu-malu. Panggil aku Bima aja atau sayang, kan lebih romantis." - Bima

"Hehehe," sahut Tania dengan menundukan kepalanya.

Ada sebuah rasa di hatiku yang tidak bisa aku gambarkan. Aku pun mengurungkan niatku untuk menemui Tania malam ini. Namun ketika aku melangkah mundur dari gerbang rumahnya, Bima melihat lalu memanggilku.

"Hey Claretta, mau ke mana? Sini masuk," ucapnya dengan nada sangat menyebalkan dan berasa dia yang punya rumah.

"Shit!" ucapku pelan.

Dengan berusaha gentle, aku kembali melangkah masuk ke dalam halaman rumah Tania. Tania tampak kaget melihatku.

"Sendirian aja lo Ta?" tanya Bima.

"Iya," jawabku singkat.

"Yah kenapa lo gak dari tadi ke sininya, kan bisa ikutan dinner bareng sama keluarganya Tania. Enak banget lho masakan Bundanya cewek gue," ucapnya pamer membuatku enek ingin muntah mendengarnya.

Aku hanya memutar bola mataku, "gue udah pernah."

"Oh udah pernah? Wuah, one step behind dong gue," sahutnya dengan intonasi yang bermakna sesuatu.

"Haha yeah," sahutku malas dan Tania masih saja diam tak bergeming.

Bima menganggukan kepalanya beberapa kali. "Well, gue udah dijemput harus segera pulang jadi kalian silahkan girls time ya. Dan tolong jagain PACAR gue ya Ta," ucapnya sambil menekankan kata 'pacar'. Sungguh menyebalkan.

"Iya," sahutku.

Lalu Bima kembali menatap Tania, "sayang aku pulang dulu ya. Kamu tidurnya jangan terlalu malem, nanti kalau aku udah sampai rumah aku telepon kamu. Dadah." Dan ia kembali mengelus puncuk kepala Tania.

Tania terlihat terpaksa tersenyum membalas ucapan si Bima tadi. Lalu Bima pun pergi dari rumah ini.

Keadaan berubah jadi hening dan awkward. 

"Seharusnya gue gak ikutin saran si Tira nih ah, sial!" batinku.

"Emmm, ma-masuk yuk Kak," ajak Tania.

"Gak usah deh Tan, aku gak akan lama-lama. Kita ngobrol di sini aja," ucapku.

Tania pun mengikuti kemauanku lalu kami duduk bersampingan di bangku yang ada di halaman rumahnya.

"Jadi bener kamu udah jadian sama Bima?" tanyaku to the point.

"I-iya Kak," jawabnya tak berani membalas tatapanku.

Aku menghela nafas, "are you happy with him?"

Tania diam tak bergeming.

Aku mencoba membaca raut wajahnya. "Terus kenapa kamu terima dia Tan?"

Tania masih menundukan kepala dan tiba-tiba saja setetes air mata jatuh di punggung tangannya.

"Kamu kenapa nangis?" tanyaku sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup oleh helaian rambut panjangnya.

Tania semakin tersedu. "Kenapa sih Kak? Kenapa Kak Retta bikin aku kayak gini?"

Aku semakin bingung. "Kenapa Tan?"

Tania mengusap paksa air matanya lalu ia menatapku masih dengan wajah yang sendu. "Aku terima Kak Bima karena aku ingin lepas dari Kak Retta. Aku gak bisa terus-terusan mikirin Kakak yang gak akan pernah bisa bales perasaan aku. Aku gak bisa Kak!"

"A-aku..." belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Tania sudah memotongnya.

"Mending Kakak sekarang pulang. Aku butuh waktu untuk sendiri, dan please jangan tanya aku lagi kenapa aku terima ajakannya Kak Bima," ucapnya dengan emosi lalu Tania langsung masuk ke dalam rumahnya meninggalkanku yang masih diam terpaku.

Kemudian terdengar suara Bunda dari dalam, "Kakak kamu kenapa nangis?"

Aku mengintip ke dalam rumahnya Tania lalu Bunda melihatku. Bunda pun keluar menghampiriku.

"Oh ada Retta toh. Itu Tania kenapa Ta? Kok tiba-tiba nangis dan langsung masuk kamar gitu aja?" tanya Bunda.

"Emmm, ini salah Retta Bun. Maafin Retta ya Bun udah bikin Tania nangis, tapi Retta janji akan minta maaf ke Tania," jawabku merasa tak enak hati ke Bunda.

Bunda menghela nafas lalu tersenyum mengerti sambil mengelus lenganku. "Iya Bunda paham kok di umur-umur kalian ini pasti ada berantem di antara pertemanan. Semoga nggak lama-lama ya kalian berantemnya. Nak Retta masuk dulu, yuk?"

"Oh makasih Bunda, a-aku pamit ijin pulang aja. Gak enak juga sama Tania, biar Tania tenang dulu sekarang."

"Oh begitu, yasudah kalau gitu. Kamu naik apa ke sini?"

"Aku lagi bawa kendaraan. Aku pamit pulang ya Bunda, assalamu'alaikum," aku menyalimi tangan Bunda lalu pergi dari rumahnya Tania.

Selama di perjalanan aku terus-terusan mengutuk diriku sendiri. Aku benci dengan keadaan ini. Aku gak bisa melakukan apa-apa. Maafin aku Tania, maafin aku yang udah bikin kamu meneteskan air mata berkali-kali karena aku. 

Andai saja janji itu tak pernah ada, mungkin aku sudah bisa bersama Tania sekarang.




*Note

Hai semuanyaaaa, apa kabar? Semoga kalian baik-baik saja ya.

Saya baru sempat lanjutin cerita ini sekarang karena selain urusan pekerjaan yang lumayan hectic, saya juga baru pulang habis berlibur hehe.

Enjoy the story and don't forget to read You Are My Caffeine. I will update it soon.


Oh iya, ada yang mau dibuatin puisi untuk side project saya, Unspoken Feeling? Hehehe *fingercross


Salam,

Mo




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top