Rahasia
Retta's Pov
Sudah satu bulan ini aku tidak pernah lagi bertegur sapa dengan Tania semenjak kejadian malam itu di rumahnya. Tania seakan enggan menyapaku, bahkan di saat kita latihan basket bersama. Hari sudah semakin dekat dengan UTS, aku pun juga harus mempersiapkan diri menghadapi UN nanti. Jadwal latihan yang biasa 3 minggu sekali, kini hanya boleh aku ikuti satu kali dalam seminggu. Sisanya aku harus mengikuti pendalaman materi dan sebagainya. Waktu untuk bertemu Tania pun jadi lebih jarang apalagi dia juga selalu bersama Bima ke mana-mana.
"Hey Ta," sapa Bima membuyarkan lamunanku.
"Hah? Oh, ya," sahutku.
"Di kelas bengong aja kesambet lo."
"Haha," tawaku terdengar renyah.
"Gue cuma mau kasih tahu aja, Sabtu ini dateng ke party ultah gue ya. Dresscode nya bebas tapi warnanya black and white. Dan lo bebas mau ajak siapa aja, Jingga juga gue undang kok. Jangan sampe gak dateng ya, acaranya jam 10 malam, bye," ucapnya sambil berlalu.
Aku menghela nafas, "males banget."
Dreettt... dreeettt... sebuah notifikasi muncul di layar ponselku.
"Ta, nanti balik sekolah temenin gue ke toko buku terus ke groceries ya. Gue mau beli novel dan belanja bahan masakan. Udah lama kan kita gak masak bareng. Nanti gue tunggu di depan kelas." - Adeeva Jingga
Sebuah senyuman pun mengembang di wajahku. Jingga selalu bisa membuatku tersenyum di saat semuanya terasa menyebalkan.
"Siyap, Tuan Putri Adeeva Jingga Myesha." Balasku.
Aku kembali mengantongi ponselku dan melihat ke arah Bima yang sedang sibuk mengajak anak sekelas untuk datang ke acaranya. Pasti Tania akan jadi tamu spesial Bima dan mereka bakal jadi pusat perhatian. Membayangkan muka pamernya Bima saja aku sudah muak, apalagi harus melihat dia berdekatan dengan Tania.
***
Jam pulang sekolah
Jingga sudah menungguku di depan kelasnya dengan wajah jutek yang menjadi ciri khasnya.
"Jutek banget sih Mbak, nanti yang deketin pada kabur lho," ucapku jahil.
Dia memutar bola matanya malas, "kan lo salah satunya. Udah ah buruan ke mobil."
Shit, kayaknya aku salah ngomong.
Dengan langkah cepat aku mengikuti Jingga ke parkiran.
"Dee tungguin dong, cepet banget sih jalannya."
"Lo yang kelamaan," ia tetap berjalan di depanku tanpa menoleh ke belakang.
Aku pun hanya mengikuti langkahnya. Cewek kalau udah cranky tanpa sebab emang bisa semenakutkan ini ya.
Aku mulai menancapkan gas dan langsung menuju ke toko buku favorit Jingga. Sedangkan dia masih dengan tampang juteknya tak mau membuka obrolan.
"Lo kenapa sih Dee? Kok tiba-tiba jadi jutek?"
"Gak, gak apa-apa."
"Cewek kalau udah bilang gak apa-apa tuh pasti ada apa-apa. Gue ada salah apa?" tanyaku memelas.
"Lo ngeselin."
"Ya Tuhan, ngeselin kenapa sih?"
"Gak tau ah Ta, lo mah emang gak pernah peka."
Aku menghela nafas, "ucapan gue yang tadi di depan kelas lo? Ya sorry, gue gak maksud kok."
"Yaudah-yaudah lupain, nanti gue makin bete."
"Iya-iya, yaudah. Tuan Putri Adeeva Jingga Myesha mau hamba belikan crepes ice cream with caramel and chocolate?"
Senyum sumringah tapi malu-malu pun berkembang di wajahnya.
Aku menyenggol dagunya dengan jahil, "ciye yang malu-malu ciyeeee."
Jingga menepis tanganku, "ih apaan sih Ta, nyetir yang bener ah."
"Haha lo tuh kalau lagi malu-malu emang ngegemesin ya Dee."
"Bodo," sahutnya singkat dan aku hanya tertawa.
Sesampainya kami di toko buku, aku langsung mengajak Jingga terlebih dahulu ke tempat crepes favoritnya. Setelah memakan pesanan kami, kami langsung menuju ke lantai 3 tempat jajaran novel berada. Tanpa perlu waktu lama, Jingga langsung mencari lalu membeli novel yang ia suka.
"Boy Candra lagi yang dibeli?" tanyaku melihat dua buku di genggamannya.
"Yep, ini isinya bagus banget. Lo harus baca," jawabnya sambil menunjukkan salah satu buku di tangannya.
"Sebuah Usaha Untuk Melupakan?" tanyaku.
"Yes, it's really good."
"Lo mau lupain siapa emang Dee?"
Dan Jingga hanya mengangkat kedua bahunya.
Setelah dari toko buku, kami langsung menuju pusat groceries yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
"Lo mau masak apa?" tanyaku sambil mendorong trolly.
"Makanan kesukaan lo."
Aku mengerutkan dahi menatapnya.
"Gue mau bikin lasagna pake mozarella dan beef, spaghetti aglio olio, sama es buah," ucapnya lagi dan sukses membuatku tersenyum lebar.
"You are the best, really!" ucapku.
Kami pun mulai membeli bahan-bahan masakan yang akan dibuat Jingga nanti. Layaknya pasangan muda, aku dan Jingga selalu memperdebatkan masalah sepele. Mulai dari memilih merek lada sampai berebut memilih jajaran daging yang sudah terpotong dan telah dibungkus rapi.
"Yang ini aja Dee dagingnya," ucapku kekeuh sambil memegang bungkusan potongan daging.
"Engga, yang ini aja," sahut Jingga.
"Ini ajaaaa, lebih banyak isinya dan harganya gak jauh beda ih."
"Ini aja, ini lebih seger."
"Ih kenapa sih lo gak percaya sama gue, ini aja Dee tuh lihat tuh dagingnya tuh."
"Gue maunya yang ini," ucapnya tak mau kalah.
"Ini aja sih, ampun deh."
"Yang masak siapa?" tanya Jingga.
"Yaaa, lo," jawabku.
"Yaudah terserah gue," sahut Jingga sambil memasukan daging yang sejak tadi ia pegang ke dalam keranjang belanjaan. Lalu ia berjalan begitu saja meninggalkanku dengan trolly ini.
Dan perdebatan lainnya pun masih terjadi sampai kami sudah di kasir.
"Jumlah totalnya 275ribu dek," ucap Mbak-Mbak penjaga kasir sambil memberikan struk pembelanjaan.
Aku mengeluarkan dompet, "ini Mbak saya pakai kartu bayarnya."
Jingga langsung menepis tanganku. "Pakai kartu saya Mbak," dan ia memberikan kartunya.
"Apaan sih Dee? Gue aja yang bayar ah."
"Gue kan tadi juga belanja keperluan gue, jadi gue aja yang bayar," ucapnya.
"Engga-engga, gue aja."
"Gue," ucap Jingga kekeuh.
"Gue ajaaa," aku juga tak ingin kalah.
"Gue Taaa!" ucapnya lalu disela oleh si Mbak.
"Ehem, jadi pakai kartu yang mana dek? Itu sudah banyak yang antri di belakang," si Mbak kasir menyela perdebatan kami.
Aku mengambil kartu Jingga dari tangannya sambil menatapnya serius, dan biasanya Jingga kalau sudah aku tatap seperti itu tidak akan berani melawan.
"Ini Mbak, pakai kartu saya aja," dan akhirnya perdebatan bayar-membayar kami selesai.
Sambil mendorong trolly belanjaan kami, aku mengembalikan kartu atm miliknya. "Nih kartu lo, lain kali kita bisa gak sih gak debat kayak tadi?"
"Ya lo lagian ngapain coba pake bayarin segala?"
"Ya kan lo yang masak, ya gue yang bayar," jawabku.
Jingga menoleh ke arahku. "Lain kali jangan tatap gue kayak gitu, lo kan tahu gue gak suka sama tatapan lo kayak tadi."
"Iya sorry, abis itu satu-satunya cara biar bikin lo diem."
"Pokoknya jangan kayak gitu lagi ya Ta."
"Iya Dee, maafin gue ya," dan dia hanya meng-iya-kan.
Kemudian kami langsung menuju rumah Jingga. Aku membantunya membawa belanjaan kami dan mulai menatanya di dapur.
"Eh ada Claretta, tumben nih pada belanja. Mau masak apa?" tanya Mamanya Jingga yang tiba-tiba muncul dari halaman belakang rumahnya.
"Oh sore Tante, hehe gak tau nih Jingga tiba-tiba mau masak katanya," jawabku sambil menyalami tangan Tante Rina.
"Aku mau masak lasagna sama spaghetti Ma. Si adek juga pasti pulang les pada laper kan nanti," ucap Jingga yang tengah sibuk menguncir asal rambut panjangnya dan mulai mengeluarkan bahan-bahan masakan.
Tante Rina menghampiri Jingga, "anak Mama emang paling pengertian deh. Yaudah kalian berdua baik-baik ya di rumah, kalau perlu bantuan minta tolong aja sama si Mbak. Mama mau jemput si kecil dulu. Have fun girls."
"Iya hati-hati ya Ma."
"Iya Tante." Ucap kami bersamaan.
Jingga kemudian mulai mempersiapkan bahan-bahan dan alat masaknya. Aku mendekatinya sambil melihat apa yang sedang ia kerjakan.
"Ada yang bisa gue bantu gak Dee?"
"Gak ada, udah lo duduk aja sana sambil nonton atau apa kek."
"Yah kok gak mau gue bantuin? Sini gue motongin apa kek atau cuci apa kek gitu."
"Mending gue minta tolong sama si Mbak. Terakhir kali lo bantuin gue masak, 3 telor pecah gitu aja, goreng bawang merah sampe hangus. Daripada lo ngerusak masakan gue, jadi mending lo duduk manis aja sana," ucap Jingga menyuruhku menjauh dari dapurnya.
"Huft, yaudah. Gue mainin xbox lo ya Dee."
"Iyaaa..."
Selagi aku tengah seru-serunya memainkan Mario Cart, harum masakan Jingga mulai tercium.
"My God Dee, masakan lo wangi bangeeeeettttt," teriakku tak sabar ingin mencicipinya.
"Lasagna nya baru mateng nih," sahutnya.
"Gue makan sekarang yaaa?"
"Engga boleh, tunggu mateng semua. Sana lo maen aja."
"Uuh peliiiiit."
Aku pun kembali bermain tapi fokusku sudah tertuju pada masakan Jingga. Dia memang suka memasak sejak kami masuk SMA, apalagi memasak western food. Awal-awal dulu ia belajar, ia selalu memintaku untuk jadi orang pertama yang mencoba hasil masakannya. Dulu pernah ia bereksperimen membuat pizza toping cokelat. Rasanya pahit sekali, tapi aku tetap memakannya .
Setelah menunggu beberapa lama, Jingga pun memanggilku ke ruang makan. Tante Rina dan kedua adik perempuannya juga sudah sampai lagi di rumah. Sedangkan Papanya Jingga sudah 3 hari ini dinas ke luar kota. Kami pun makan bersama di rumahnya dengan selipan obrolan santai.
"Retta kamu udah bilang Mama belum kamu di sini?" tanya Tante Rina.
"Udah Tante, tadi pas lagi parkir mobil kebetulan Mama lagi ke depan nyiremin tanemannya. Jadi aku bilang mau main di sini."
"Yaudah kamu sekalian aja ya nginep temenin Jingga."
Aku langsung menoleh ke Jingga. "Gimana Dee?"
"Ya terserah lo. Tapi lo mandi dulu sana baru boleh ke kamar gue nanti."
"Iya bawel," sahutku membuat Tante Rina hanya tertawa melihat tingkah kami berdua.
Setelah selasai makan masakan Jingga yang semakin lama jadi semakin enak, aku pun pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Mama yang seakan sudah mengerti maksudku hanya meng-iya-kan tanpa banyak bertanya.
Aku yang sudah selesai mandi dan wangi kembali menuju ke rumah Jingga. Aku juga membawa buku tugas mata pelajaran Geografi yang akan dikumpulkan besok pagi. Ketika aku masuk ke kamarnya, Jingga sedang duduk di meja belajar sambil menulis.
"Lo lagi ngerjain pr apaan Dee?"
"Kimia nih, pusing gue," jawabnya sambil menggaruk kepalanya.
"Haha lagian sih masuk IPA," sahutku.
"Udah gak usah berisik. Lo juga itu bawa buku mau ngapain?"
"Ini gue ada tugas Geografi, susah banget lagi tugasnya."
"Lagian sih masuk IPS," jawab Jingga mengembalikan kata-kataku tadi.
"Nyebelin," sahutku kemudian duduk di bean bag miliknya.
Suasana pun hening, kami sama-sama fokus dengan tugas masing-masing. Entah sudah berapa lama, mataku pun mulai mengantuk.
"Hoaaam," aku langsung menengok ke Jingga, begitupun dengan dia.
"Haha bisa samaan gitu nguapnya. Tidur yuk ah," ucapku.
"Yuk, udah selesei juga sih tugas gue," sahut Jingga yang kemudian merebahkan tubuh di tempat tidur.
Aku mengikutinya dan kami berdua tengah terlentang sambil menatap langit kamar Jingga.
"Gak berasa ya Dee kita udah mau lulus SMA."
"Iya Ta, time flies so fast banget. Dulu kita satu TK bareng, SD bareng, dan lo masih inget gak waktu hari pertama kita masuk SMP yang gue kekeuh banget mau sekelas sama lo?"
"Oh ya inget lah, haha lo sampe marahin ketua OSIS gara-gara lo disuruh pindah kelas."
"Haha iya tuh si Kak Oland gue marahin. Kenapa gue keras kepala banget ya dulu?"
"Gak cuma dulu kali, sampe sekarang juga," sahutku dan aku langsung menerima cubitan dari Jingga.
"Ih sakit ih," gerutuku.
"Lo lagian ngeselin," gumamnya.
"Hahaha lo dari dulu emang gak pernah berubah ya Dee."
Jingga hanya memanyunkan bibirnya.
"Emmm, gue jadi inget Ta dulu pas kita study tour kelas 3 SMP yang gue digodain sama anak-anak STM di sana. Lo tiba-tiba dateng terus nimpukin mereka pake batu. Kita kabur, lo narik tangan gue terus lari-larian gara-gara dikejar sama mereka. Gue yang gak bisa ngimbangin lo lari karena kecapean akhirnya ngebuat kita ketangkep. Asli sih itu gue takut banget, tapi lo tetep berani ngelawan mereka. Lo pegangin tangan gue erat banget sampe akhirnya salah satu dari mereka ngedeketin kita terus lo tendang kemaluannya. Untung aja Pak Gito waktu itu ngelihat kita, selamat deh," ucap Jingga mengenang masa lalu kami.
Aku tersenyum mendengarnya. "Hehe iya yaaa."
"Sumpah itu kalau aja Pak Gito gak dateng, gue udah gak tahu deh bakal gimana," sahutnya.
Aku diam sejenak. "Hemmm actually gue ada satu rahasia yang gak pernah gue kasih tahu ke lo Dee."
Jingga langsung menoleh menatapku, "rahasia apa? Kenapa lo gak pernah bilang?"
"Ini masih berhubungan sama 3 anak STM itu," jawabku.
Jingga kemudian mengerutkan dahi, "maksudnya?"
Aku menghela nafas panjang. Ini satu rahasia yang sebenarnya tak pernah ingin aku beritahukan ke Jingga. Tapi sepertinya ngga adil buat dia kalau aku terus-terusan menyembunyikannya.
"Lo tahu kan alasan kenapa gue gak bisa gabung sama club basket junior profesional?" tanyaku.
"Iya tahu, karena emang lo gak bener-bener mau jadi atlit profesional kan?" ia balik bertanya.
"Iya itu alasan klise gue. Sebenernya bukan itu alasan utamanya, I can't join the club because of one thing."
"What is that?"
"Maafin gue sebelumnya kalau gue gak pernah cerita ini ke lo."
"Apa sih Ta? Jangan bikin gue takut," ucap Jingga masih menatapku dengan lekat.
Aku kembali menarik nafas, "jadi malam itu pas kita masih study tour di sana, gue sempet pergi ke luar hotel sendirian karena gue BM banget mau beli gorengan. Pas gue lagi di jalan, tiba-tiba aja ada si 3 anak STM itu. Mereka ngenalin muka gue, terus gue berusaha balik dong tapi gak keburu. Mereka 'ngajak' gue ke satu tempat, mereka ngancem kalau gue teriak mereka bakal nyari lo. Jadi ya gue ikutin mereka sampe ke satu gang yang lumayan sepi. Orang yang gue tendang kemaluannya itu coba untuk deketin gue tapi gue dorong badannya sampe dia jatuh. Dia marah gak terima, dia minta temennya untuk pegangin gue tapi gue ngeberontak. Sampai akhirnya gue didorong dari belakang dan dengkul kiri gue ngehantam batu lumayan keras. It was really hurt, gue sampe susah berdiri waktu itu. Dan suddenly ada cewek dateng nolongin gue. Si cewek itu teriak manggil temennya dan 3 anak STM brengsek itu pada kabur."
Jingga diam tak bergeming.
"Ya singkat cerita, gue nahan sakit di dengkul gue sampai kita pulang ke Jakarta. Gue bilang ke nyokap kalau gue jatuh terus nyokap bawa gue ke dokter. Ternyata dengkul gue retak, that's why gue gak pernah bisa ikut latihan yang terlalu keras. Dan gue mohon banget ke nyokap untuk gak kasih tahu lo," ucapku lagi menjelaskan.
Jingga tiba-tiba duduk sambil menatapku. Aku pun juga ikut membangunkan tubuhku.
"Maafin guuu..." belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Jingga tiba-tiba saja memeluk tubuhku dengan erat.
"Kenapa sih? Kenapa lo gak pernah cerita ke gue selama ini?" tanya Jingga dengan suara menahan tangis.
Aku membalas pelukannya, "iya maafin gue Dee. Gue gak mau lo khawatir atau merasa bersalah. Jadi gue simpen ini dari lo, maafin gue."
Jingga kemudian melepaskan tubuhnya dari pelukanku. "Terus dengkul lo sekarang gimana?" tanya dia dengan air mata yang mengembang di wajahnya.
Aku tersenyum, "udah gak apa-apa kok cuma ya itu, gue pokoknya gak boleh latihan yang terlalu keras."
"Terus ada lagi yang lo sembunyiin dari gue?"
Aku menganggukkan kepala, "iya, ada."
"Apa?"
"Ini tentang si cewek yang nolongin gue malam itu."
"Dia siapa? Lo masih keep in touch sama dia?"
"Masih."
"Then dia tuh siapa?"
Aku memejamkan mata sejenak. "Dia orang yang ngebuat gue berjanji untuk terus jagain Tania."
Jingga mengerutkan dahinya menatapku bingung. "Ma-maksudnya? Tania Ketan?"
"Iya Tania Ketan."
"Gue gak ngerti maksud omongan lo."
Aku lagi-lagi menghela nafas. "Gue gak akan pernah bisa balas perasaan Tania karena gue udah janji sama si cewek itu. She loves Tania that much and she save my life. Sampai kapan pun gue gak akan bisa khianatin dia."
"Wait Ta, dari mana lo tahu kalau dia kenal sama Ketan? Ini semua terlalu gak masuk akal buat gue."
"Tania masuk sekolah kita bukan karena kebetulan semata, tapi emang udah diarahin sama si cewek itu. Tania ikut ekskul basket juga karena dia. Dan gue awalnya deketin Tania juga atas dasar permintaan dia yang minta gue untuk jagain Tania. Everything I did to Tania is just to protect her."
Jingga masih memasang raut wajah tak percaya. "Then, who is she?"
"Hemmm... She is ..."
*Tadaaaaaa~
Ciyeeee digantungin, hahaha.
Ini kayaknya part terpanjang di cerita Reminisce.
Well, segala pertanyaan di benak kalian akan segera terungkap.
Jadi bersabar ya untuk chapter selanjutnya.
Good night,
Mo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top