Persaingan?!

Jingga's Pov

Aku masih menatap Tania dengan lekat menunggu jawabannya. Bukannya aku ingin mengintimidasi dirinya, hanya saja aku benar-benar penasaran ada hubungan apa antara Tania dan Retta.

Sudah satu bulan ini sikap Retta agak aneh. Dia jadi lebih sering diam dan tidak fokus kalau sedang mengobrol bersamaku.

"Eummm, eummm," Tania masih bergumam dan aku masih lekat menatapnya.

Tania menarik nafas dalam-dalam. "A-aku akan jawab pertanyaan Kak Jingga, a-asal Kak Jingga juga jawab pertanyaan aku."

Aku langsung mengerutkan dahi. "Maksud kamu?"

"Hemm, ada satu hal juga yang pengen banget aku tanyain ke Kakak."

"Apa?"

Tania tampak berpikir. "Hemmm, Kak Jingga sendiri gimana perasaannya ke Kak Retta?"

Ah, sudah kutebak pasti Tania akan bertanya hal itu.

"Aku akan jawab setelah kamu jawab pertanyaan aku."

Tania kembali berdiam diri untuk beberapa saat. "A-aku, a-aku sebenernya gak tau perasaan aku sesungguhnya gimana ke Kak Retta. Tapi setiap kali deket Kak Retta, jantung aku deg-degan, dan aku gak bisa kontrol itu."

Hatiku terasa sakit ketika mendengar pengakuan Tania barusan. Sebenarnya aku sudah mengira kalau Tania akan menjawab seperti itu, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

"Kalau Kak Jingga sendiri gimana?" Tanya Tania terdengar sangat berhati-hati.

Aku menarik nafas dalam-dalam. "Gue sahabatan sama Retta udah dari kita kecil. Saking lamanya gue udah tumbuh bersama dia, rasa gak mau kehilangan dia dari hidup gue semakin tinggi. Dan entah kenapa akhir-akhir ini perasaan gue semakin aneh ke Retta. Gue-gue suka dan jatuh cinta sama Retta."

Ekspresi Tania langsung berubah pucat seakan baru saja tersambar petir. Ia tak merespon apa-apa dan tatapannya pun kosong.

"Tan, are you okay?" Aku melambaikan tangan di depan kedua matanya.

"Hah? I-iya Kak?" Responnya sangat terlihat bingung.

"Lo gak apa-apa?"

Tania hanya menggelengkan kepala.

"Ma-maaf Kak."

"Maaf? Kenapa?"

"Maafin aku Kak, a-aku gak pernah tau kalo perasaan Kak Jingga sedalam itu ke Kak Retta. Maafin aku Kak," Tania terlihat sangat bersalah.

"Kenapa lo jadi minta maaf? It's okay, gue juga gak tau kalo lo ternyata punya perasaan juga ke Retta."

Tiba-tiba saja Tania menangis dan membuatku bingung harus berbuat apa.

"Tan? Tan lo kenapa nangis? Hey, hey," aku mengelus bahu Tania.

Tania menutup wajah dengan kedua tangannya. "Kak Jingga maafin aku Kak."

"Ssttt, iya iya lo gak salah kok. Duh, bentar-bentar gue minta bill dulu." Aku pun langsung meminta bill kepada waitress dan langsung membayarnya.

Aku membantu Tania berdiri dari tempat duduknya lalu menuntun sambil merangkul bahunya menuju ke mobil.

"Tan, lo kenapa nangis gini sih? Lo mau langsung gue anter pulang?" Tanyaku bingung.

Tania menggelengkan kepala sambil menahan tangisnya.

"Duh, terus lo mau ke mana? Lo mau ke rumah gue dulu?" Kali ini dia tidak merespon, oke I take it as a yes.

Tanpa berpikir panjang aku langsung menancapkan gas menuju ke rumahku. Selama di perjalanan, Tania sudah mulai berhenti menangis tapi sesekali masih sesenggukkan.

Kami pun sampai di halaman rumahku. Aku langsung mengajak Tania masuk ke dalam. Seisi rumah sedang sepi, hanya ada si mbak karena Papa sedang bekerja, sedangkan Mama lagi mengajak adik-adikku jalan-jalan ke mall.

"Ini kamar gue, lo duduk aja, mau rebahan atau tiduran juga terserah. Gue mau ke dapur dulu ambilin lo minum," ucapku ke Tania yang masih menatap ke sekeliling penjuru ruang kamarku.

"Ma-makasih Kak," sahutnya.

Tak lama kemudian aku kembali ke kamar membawakan Tania segelas orange juice yang dibuatkan Mbak Tini.

"Nih minum dulu," ucapku ke Tania yang sedang duduk di ujung sofa bed dekat kasur.

Dia pun mengambil gelas dari tanganku lalu meminumnya perlahan.

"Udah nangisnya?"

Tania menganggukkan kepala.

Aku menarik nafas. "Lo kenapa sih bisa nangis sampe sesenggukkan gitu di depan umum? Bikin gue panik tau gak."

"Maaf Kak, abis aku langsung ngerasa bersalah sama Kak Jingga dan Kak Retta." Jawabnya tanpa mau melihatku.

"Ngerasa bersalah kenapa?"

Tania tampak seperti ingin menangis lagi"Aku, aku tiba-tiba dateng ke kehidupan Kak Jingga dan Kak Retta tanpa tau apa-apa tentang kalian berdua. Aku dengan lancangnya ngerebut Kak Retta dari Kak Jingga."

Dan dia benar-benar menangis lagi.

"Hey hey, jangan berfikiran kayak gitu Tan. Lo gak ngerebut Retta dari gue kok, itu udah haknya Retta mau berteman dengan siapa aja. Jadi lo jangan pernah menyalahkan diri lo sendiri."

Bukannya berhenti, tangis Tania semakin menjadi.

"Aduh Ketan, jangan bikin gue bingung dong," aku benar-benar tak tau harus berbuat apa.

Tania masih menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menangis. Aku pun akhirnya mendekatkan tubuhku lalu memeluk dirinya.

Awalnya Tania terlihat kaget, tapi beberapa detik kemudian ia malah justru memelukku lebih erat.

"Maafin aku Kak, maafin aku," ucapnya terus menerus dalam pelukanku.

Aku mengelus punggung dan kepalanya. "Iya Tania, iyaaa."

Ketika aku masih berpelukan dengan Tania, tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka.

"Jing-gaaa..." Retta berdiri dari balik pintu melihatku dan Tania dengan tatapan bingung.

Aku yang kaget langsung melepaskan pelukanku, begitu pun dengan Tania.

"Sorry ganggu," Retta kembali menutup pintu kamarku lalu pergi.

"Ta, tunggu," aku langsung mengejarnya.

.
.
.

Tania's Pov

Kak Jingga langsung mengejar Kak Retta yang tadi melihat kami sedang berpelukan. Aku yang masih mencoba mengatur tangis dan rasa kagetku pun akhirnya memberanikan diri mengikuti mereka berdua.

"Ta, kok lo langsung pergi gitu aja?" Terdengar suara Kak Jingga sambil menahan lengan Kak Retta.

"Ya terus gue harus apa Dee? Gue gak mau ganggu waktu kalian berdua," sahut Kak Retta dengan nada biasa.

"Gue sama Ketan gak ada apa-apa kok," Kak Jingga masih berusaha menjelaskan.

Kak Retta menatap bingung ke Kak Jingga. "Maksudnya? Gue gak berpikiran lo ada apa-apa sama Ketan, cuma gue gak tau aja kalo ternyata kalian udah sedeket ini. Anak satu sekolah gak ada yang pernah lo ajak masuk ke kamar lo kecuali gue dan Yura. Jadi wondering aja sih gue."

Kak Jingga mengubah posisinya jadi memunggungiku dan menutup sebagian wajah Kak Retta.

"Ini semua gak sama seperti yang lo pikirin Ta."

"Gak apa-apa Dee, gak apa-apa kalau kalian berdua deket. Gue gak mau ganggu kalian, makanya gue cabut lagi. Dan sekarang mending lo temenin Ketan, bukannya tadi dia lagi nangis?"

"I-iya," Kak Jingga melepas genggamannya dari lengan Kak Retta.

"Yaudah lo temenin Ketan, gue pulang." Kak Retta pun melangkah pergi ninggalin Kak Jingga yang masih berdiam diri.

Aku kembali memberanikan diri untuk menghampiri Kak Jingga. Namun, belum sempat aku sampai ke tempat Kak Jingga berdiri, Kak Jingga kembali memanggil Kak Retta sambil mengejarnya.

"Claretta, tunggu! Gue sayang dan cinta sama lo Ta," ucap Kak Jingga tanpa ragu sambil menarik tubuh Kak Retta lalu mencium bibirnya.

Otot kakiku langsung terasa lemas. Rasanya aku ingin berlari pergi dari sini tanpa harus melihat adegan ini. Hatiku sakit, jantungku berdebar, aku ingin menarik Kak Retta dari Kak Jingga tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

Tuhan, sebenarnya apa yang sedang terjadi padaku saat ini?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top