Penutupan MOS

Tania's Pov

"Yuk yuk yuk, coba gabung sama timnya yang tadi udah gue bagi. Hari ini kita latihan game aja buat persiapan besok pas penutupan MOS. Retta, lo atur tim cewek dan Adrian lo yang atur tim cowok ya," ucap coach Irfan dengan semangat sambil membunyikan periwitan yang ia kalungkan.

Kak Retta langsung maju ke depan dan menunjuk tim cewek untuk dibagi. "Ayunda, Dysha, Qio, Nabil, Lintang, kalian di tim sini. Sisanya baris di belakang Tania, kalian satu tim sama gue juga. Inget posisi masing-masing ya, intinya sore ini kita latihan kayak nge-game biasa aja, yang bisa drive bola kayak Ayunda, coba  liatin kemampuan lo, dan Tania, kamu hari ini pointer sama aku," Kak Retta menatapku dengan tegas.

"Yuk, tim cewek dulu yang main satu quarter," teriak coach Irfan dari samping lapangan. 

Lalu kami pun bermain seperti biasa. Harus aku akui, satu tim dengan Kak Retta rasanya bikin aku grogi karena dia ialah idola yang aku puja dari pertama kali aku masuk sekolah ini. Aku gak pernah nyangka kalau aku bisa sedekat itu dan sesayang itu ke Kak Retta. Walaupun sekarang hubungan kami merenggang karena egoisnya aku, tapi aku tetap menganggap Kak Retta sosok yang sama seperti pertama kali aku kenal dengannya.

Saat kami ingin memasuki lapangan, aku melihat sosok Kak Bima sedang berjalan ke arah coach. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu lalu Kak Bima pergi ke arah toilet.

Terdengar samar-samar suara Kak Dilla dari belakangku. "Ta, itu Bima si anak baru yang sekelas sama lo kan? Dia mau ikutan basket juga?" 

"Iya kali, gak tau gue," jawab Kak Retta.

"Siap di posisi masing-masing," teriak coach sambil membawa bola untuk dilemparkan.

Prriiiittt... dan permainan pun dimulai.

Aku mencuri-curi pandang ka pinggir lapangan basket dan sudah ada Kak Bima mengenakan kostum basket berwarna biru dengan nomor 5 di belakang punggungnya. Ia terlihat tengah pemanasan sambil mengobrol santai dengan Kak Adrian dan beberapa anak cowok lainnya.

Buukkk... tiba-tiba saja bola melesat mengenai wajahku.

"Tania yang fokus dong," ucap Kak Geby padaku.

"Sorry Kak," sahutku sambil mengambil bola yang keluar lapangan dan aku melihat Kak Retta menggelengkan kepalanya padaku.

Am I do something wrong?

.

.

.

Jingga's Pov

Akhirnya hari terakhir penutupan MOS pun tiba. Kalau tahun lalu aku menjadi panitia utama, kali ini aku hanya supervise mereka saja. 

Di hari yang sama satu tahun lalu, aku memandangi lapangan sekolah ini dengan perasaan yang campur aduk. Banyak kenangan yang terjadi di sini. Dan kenangan-kenangan itu juga tak pernah lepas dari Claretta. Entah nantinya kami akan satu universitas atau gak, yang pasti aku akan menyimpan rapi momen-momen bareng Retta dan teman-temanku di sekolah ini.

Aku masih memandangi gedung sekolah kami, melihat anak-anak futsal yang lagi bersiap-siap untuk tampil. Lalu tiba-tiba saja ada seseroang memanggilku. 

"Kak Jingga, sorry,"  sapa Ketan.

Aku menengok ke arahnya, "kenapa Tan? Mau nanya pot ditaruh di mana?"

Ketan nyengir memperlihatkan jajaran giginya, "hehehe berasa de javu ya kak?"

Aku memutar bola mataku, "hobi lo tuh ganggu gue lagi ngelamun ya sama kayak tahun lalu. Kenapa?"

Ketan menggaruk belakang lehernya, "hehe, Kak Jingga lihat Dhea gak? Tadi kata anak-anak mading suruh nanya ke Kak Jingga."

"Lo pikir gue emaknya Dhea, mana gue tau."

"Yaaah, yaudah deh Kak. Maaf ya ganggu," sebelum Tania berbalik arah, aku memanggilnya.

"Tan, mau ngapain sih emang?"

Tania kembali berjalan mendekat ke arahku, "aku mau titip hp ke Dhea, sebentar lagi anak basket yang tampil."

"Oh, yaudah sini hp lo gue pegangin aja, nih hp Retta juga di gue kok," aku memperlihatkan hpnya Retta.

"Ih aku nya gak enak sama Kakak, takut ngerepotin."

"Ngerepotin apa sih, timbang pegangin hp doang. Tapi kalo lo gak mau yaudah gak apa-apa sih."

Ketan terlihat sedang berpikir lalu ada Ayunda yang memanggilnya untuk segera berkumpul bersama anak-anak basket.

"Emmm, yaudah deh Kak. Aku titip sebentar ya, makasih Kak Jingga," Ketan pun langsung terburu-buru menghampiri anak basket lainnya.

Aku memandangi Ketan yang sedang berlari. Anak ini kayaknya semakin tinggi, ia tampak oke mengenakan kostum basket sekolah kami dengan nomor 6. Dan dia masih menggunakan handband pemberianku tahun lalu. Taniaaa, Taniaaaa.

"Jingga, ayo nontonin Retta dari situ," panggil Tira mengajakku untuk duduk di pinggir lapangan. Aku pun mengikutinya dan ikut duduk bersama yang lain.

"Kalau nonton dari depan kelas gue mah pada berisik. Heboh sama Retta, Adrian, dan si anak baru tuh, Bima, pusing gue. Mending di sini deh sama anak-anak IPA," dumel Tira.

"Haha anak-anak kelas lo pasti heboh lah, ada Bima ikutan main," sahutku.

"Iya sih dan kayaknya pamor si Adrian bakal kalah deh sama Bima. Kalau Adrian kan gayanya kayak yang paling asik sedunia, beda sama Bima yang biasa aja tapi justru karismatik."

Aku langsung menoleh melihat Tira, "jangan-jangan lo suka Bima ya?"

"Ih apaan sih lo Ngga, gak laaaah," wajah Tira langsung merah padam.

"Hahaa iya-iyaaaa, lo kan sukanya cuma sama Bang Fendy doang."

"Oh itu pasti, Bang Fendy selalu di hati walau udah lulus dari tahun lalu."

"Haha cinta gak kesampean."

"Ssstttt..."

Ekskul futsal sudah memperlihatkan aksi mereka, kali ini giliran anak basket yang masuk ke lapangan satu persatu.

Ketika tim cowok masuk ke lapangan, cewek-cewek satu sekolah ini langsung meneriakkan nama Adrian dan Bima. Entah deh banyakan mana suaranya, aku gak peduli. 

Aku pun melihat ke pinggir lapangan di mana tim cewek sudah bersiap-siap. Ketika Retta memasuki lapangan, terdengar seruan keras meneriaki namanya dari depan kelas Retta.

"Claretta, Claretta, Clarettaaaaaa..." teriak mereka heboh.

"Haha tuhkan, ih pada heboh cewek-cewek sekelas tuh," ucap Tira.

Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil.

Retta melambaikan tangan ke teman-teman sekelasnya sekilas, lalu mata ia menangkap mataku. Ia tersenyum manis seperti biasa, dan aku membalas senyumannya. Mau seberapa heboh satu sekolah ini meneriaki namanya, Retta hanya akan menatapku dengan tatapannya itu.

Mata kami masih bertemu lalu Retta mengedipkan sebelah matanya sambil memberikan tanda 'ok'. 

Sebelah tangan Tira menyenggolku, "ciyeee Jinggaaaaa."

"Ih apaan sih Tir?"

"Hahaa, dari kita kelas satu sampe detik ini selalu cuma lo yang dilihat sama Retta kalau dia mau tanding basket. Kalian kenapa gak jadian aja sih?"

"Uhuk, uhuk," aku langsung batuk mendengar ucapannya barusan.

"Lo gila ya??" lanjutku lagi.

"Hahaha santai-santai, sampe batuk gitu," Tira malah mengejekku.

"Ya lagian lo kalo ngomong ngasal banget."

"Tapi lo mau kaaaaan?"

"Apaan siiiih? Bodo ah, udah tuh fokus ke lapangan aja," aku membuang muka tak mau membalas tatapan jahilnya si Tira. 

.

.

.

Retta's Pov

Kami tengah bersiap-siap di tengah lapangan. Berbeda dari tahun lalu, di penutupan mos ini tim cewek dan cowok dipisah. Jadi kami main masing-masing satu quarter.

Pluit sudah dibunyikan, Ayunda berhasil menangkap bola dan langsung men-dribble nya hingga ke ring, ia melakukan lay up, dan bolanya pun masuk tanpa halangan. Geby mengambil bola lalu mengoper ke Chika, aku lari mencari posisi di daerah keyhole. 

Chika mengoper bola tersebut ke Tania, Tania berusaha men-drive bola itu untuk masuk ke dalam tapi dihadang sama Qio. Aku berlari keluar garis three point, lalu Tania melihatku dan langsung memberikan bolanya padaku. Aku langsung melesatkan bola tersebut, dan tim kami mendapat 3 poin.

Aku mendengar suara riuhan teman-temanku dari depan kelas. Aku hanya tersenyum sambil tertawa ke arah mereka. Mereka selalu heboh dari dulu. Lalu mataku secara spontan langsung menangkap tatapan Jingga yang mengarah padaku lagi. Seperti yang aku lakukan tadi, aku memberikannya kedipan. Dan aku yakin pasti Tira sebentar lagi akan menggodanya, haha.

Permainan kembali berlangsung. Bola masih di tim Ayunda tapi mereka gagal melakukan shoot dua angka. Dilla pun merebut bola dan langsung men-drive nya ke ring lawan. Aku berlari untuk mengimbanginya, tapi Tania sudah ada di depan duluan. 

Tanpa ragu, Dilla mengoper bola tersebut. Tania melakukan under ring tapi dihadang oleh Lintang dengan sikutnya yang mengenai dahi Tania tanpa sengaja. Tania melepaskan bola yang ada di tangannya dan langsung memegang pelipis matanya sambil tertunduk. Wasit menghentikan permainan, aku pun langsung berlari menuju Tania.

"Tan sorry gue gak sengaja," ucap Lintang sambil mengecek keadaan Tania.

"Gak apa-apa," sahut Tania.

Aku menundukan kepalaku mencoba melihat pelipis Tania yang masih ia pegangi.

"Lepas tangan kamu, aku mau lihat," ucapku.

"Gak apa-apa Kak," balas Tania dengan ekspresi menahan nyeri.

Aku memegang tangan kanannya yang sejak tadi menutupi lukanya. Benar dugaanku, pelipis bagian kiri Tania berdarah karena tersikut oleh Lintang. 

Aku memberikan tanda ganti pemain ke wasit dan aku menuntun Tania ke base pemain. 

"Kamu langsung diobatin ke UKS ya Tan." Tania menganggukan kepalanya.

"Coach, Tania harus dibawa ke UKS," aku masih merangkul bahunya.

"Biar Tania dianter sama Bima, lo masuk lagi ke lapangan Ta. Bim, tolong bawa Tania ke UKS."

Entah kenapa aku langsung kesal melihat Bima menuntun Tania. That should be me, not him.

Aku masih berdiri sambil melihat punggung mereka berdua yang semakin menjauhi lapangan.

"Retta, sana masuk ke lapangan lagi," suruh coach Irfan.

"Iya coach," sahutku dengan nada malas.

Sepanjang sisa permainan, aku sudah tidak fokus sama sekali karena daritadi aku memikirkan Tania. Aku selalu melihat ke arah tim cowok berkumpul, dan Bima masih juga belum kembali.

Hingga pluit tanda pertandingan berakhir, tim cowok langsung bersiap dan memasuki lapangan. Bima sudah berkumpul dengan mereka, aku pun langsung meminta izin ke coach untuk segera ke ruang UKS.

Ketika aku membuka pintu ruangan yang ada di pojok koridor itu, aku melihat Jingga sedang membenarkan plester yang menutupi kapas di bagian pelipis  Tania yang luka.Jingga dan Tania kemudian melihatku secara bersamaan.

Aku menghampiri mereka, "gimana lukanya Tania? Kok bisa lo ada di sini sih Dee?"

"Gue baru aja kok ke sini, belum ada 5 menit dari lo dateng. Dan pelipisnya si Ketan udah gak apa-apa, lo lihat aja," Jingga pun berdiri dari bangkunya dan memberikan ruang padaku untuk mengecek keadaan Tania.

Aku memegang wajah Tania sambil memerhatikan plester yang menutupi lukanya. "Goresannya dalem gak?"

"Engga kok Kak, cuma gitu doang katanya paling 5-7 hari udah bakal kering," jawab Tania.

Tanganku lalu bergerak mengelus puncuk kepala Tania. "Kepala kamu pusing gak?"

Tania langsung tertunduk malu-malu sambil menggelengkan kepala.

"Retta, gue beliin minum dulu ya buat lo dan Ketan. Lo pasti belum minum kan?" Tiba-tiba saja Jingga bertanya padaku. Untuk sepersekian detik aku lupa kalau ada Jingga juga di sini.

"Oh iya Dee, thanks yaaa," sahutku lalu Jingga keluar dari ruangan ini.

"A-aku udah gak apa-apa deh Kak kayaknya. Aku mau balik ke lapangan aja," ucap Tania terlihat kaku.

Aku menahan lengannya dan memintanya untuk duduk kembali. Di ruangan ini hanya ada kami berdua. Penjaga UKS nya sedang duduk di depan melihat tim basket cowok sedang main.

"Tania," panggilku.

"I-iya Kak," sahutnya masih tidak mau membalas tatapanku.

"Maafin aku ya."

"Untuk?"

Aku menghela nafas, "aku tau kamu masih marah atau kesel sama aku. Sikap kamu berubah ke aku, aku bingung harus gimana. Aku minta maaf ya."

"Emmm, aku juga minta maaf Kak."

"Hemmm?"

"Iya aku minta maaf, aku tau aku gak bisa paksain perasaan seseorang. Aku jauhin Kak Retta biar bisa kurangin perasaan aku ke Kakak. Dan aku masih berusaha untuk itu, sampai detik ini." Barusan ialah kalimat terpanjang Tania ke aku sejak sore itu.

"Makasih ya udah sayang sama aku Tan."

"Iya Kak," sahut Tania sambil tersenyum dan membalas tatapan mataku.

"Jangan jutekin aku lagi ya."

"Emang aku jutekin Kakak ya?"

"Secara gak langsung sih iya."

"Maaf ya Kak."

"Haha kita udah kayak lebaran aja ya maaf-maafan. Terus, kamu sama Bima kok keliatan akrab ya?"

Tania mengerutkan dahinya, "maksudnya Kak?"

"Aku lihat kamu waktu dia iketin tali sepatu kamu dua hari lalu. Tadi pun pas dia nuntun kamu ke UKS, kalian keliatan udah deket," jawabku.

"Hah? Engga kok, aku aja baru kenal dia masa udah deket."

"Ya abis aku lihat Bima seneng banget kalau lagi di deket kamu."

"Yaa aku gak tau Kak. Emm, dia satu kelas sama Kakak ya?"

"Iya, kenapa?"

Tania menggelengkan kepalanya, "gak apa-apa kok Kak."

Suasana pun menjadi hening. Lalu tak lama kemudian, Jingga kembali ke ruangan ini sambil membawakan kami 2 botol air mineral.

"Nih buat kalian, dan ini hp kalian berdua," ucap Jingga.

"Tania nitip ke lo juga Dee?"

"Iyaaa," sahut Jingga.

"Haha next time lo jadi jastip aja gih, lumayan kan," ucapku.

"Jastip? Apaan tuh?" tanya Jingga bingung.

"Jasa titip, hahaa," jawabku.

"Garing," ucap Jingga dan Tania bersamaan.

Mereka pun langsung menatap satu sama lain, dan aku menatap mereka secara bergantian.

"Hahaha kalian udah segitu deketnya ya sampe barengan gitu?"

"Hah?" - Tania

"Engga." - Jingga

Ucap Tania dan Jingga berbarengan.

"Hahaha lucu deh lihat kalian berdua. Yang satu jutek, yang satu salah tingkah terus."

"Apa sih Kak?" - Tania

"Apaan sih Ta?" - Jingga

Ucap mereka lagi berbarengan.

"Tuh kaaaan, hahaha."

"Tau ah, gue mau ke anak-anak mading lagi. Bye," Jingga pun pergi meninggalkan kami berdua lagi.

Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Udah enakan? Mau balik lagi ke anak-anak sekarang?" tanyaku ke Tania.

"Yuk," sahutnya.

Kami pun kembali ke base pemain sambil melihat game tim cowok yang beberapa menit lagi akan berakhir. Setelah semua tim sudah berkumpul, coach Irfan mengucapkan terima kasih karena sudah bermain baik hari ini. Lalu kami pun diperbolehkan untuk mengganti baju.

Aku hanya melepas kostum atasku dan memilih memakai hoodie. Ketika aku sedang duduk di depan lab kimia menunggu Jingga, Tania lewat di depanku seorang diri.

Baru saja ketika aku ingin memanggilnya, Bima dengan cepat memanggil nama Tania dan langsung menghampiri.

"Tan, pulang bareng yuk?" ajak Bima.

Aku berdiri menghampiri mereka. "Tania balik bareng gue," ucapku.

Tania terlihat bingung menatapku lalu menatap Bima.

Bima mengerutkan dahinya melihatku, lalu kembali melihat Tania. "Kamu mau pulang sama Retta?"

"Emmm..." belum sempat Tania menjawab, aku langsung memotongnya.

"Iya dia pulang bareng gue," ucapku lagi.

Tania semakin bingung dan Bima pun menganggukan kepalanya.

"Yaudah kalau gitu, besok pagi aja ya kita ke sekolah bareng. Nanti malem aku telepon kamu ya Tan. Bye," Bima tersenyum lalu berjalan santai meninggalkanku dan Tania.

"Kamu tukeran nomor hp sama dia?" aku langsung bertanya ke Tania.

"I-iya Kak," jawabnya.

Rasa kesal pun kembali menjalar di tubuhku. Cepat juga pergerakan Bima untuk mendekati Tania. Sial!

"Besok pagi aku jemput kamu di rumah," ucapku lagi ke Tania.

"Hah? Oh i-iya Kak," sahut Tania masih terlihat bingung.

Bimasakti Wijayakusuma, gue gak bakal kalah dari lo!









*Note

Hai hai semuanya para pembaca Reminisce, apa kabar? Semoga selalu bahagia ya kalian.

So, saya baru aja buat tulisan lagi yang judulnya 'You are My Caffeine'. Kalau ada waktu luang, monggo dibaca.

Thanks guys!!

Salam,

Mo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top