Orchestra

Tania's Pov

Aku baru saja menutup telepon dari Kak Bima. Memang hanya 10 menit sih, tapi terasa sangat cepat karena obrolan di antara kita cukup seru dan nggak ngebosenin. Banyak hal yang bisa dijadikan topik, aku tak menyangka kalau Kak Bima bisa seasik ini. Nggak kayak Kak Adrian yang selalu talkative seakan tak ada koma dan titik di obrolannya. Cowok bisa ya secerewet itu?

Aku pun merebahkan tubuh di atas tempat tidur sambil membaca majalah. Ya, walaupun sudah banyak online media tapi aku masih menyukai sesuatu yang konvensional. Aku lebih suka membaca buku, novel, atau majalah secara langsung dari pada melihatnya dari layar ponselku. Terasa ada yang kurang. Baru saja aku membuka lembar pertama, telepon genggamku kembali bergetar dan tertera nama Kak Retta.

"Ha-halo Kak?" - Tania

"Halo Tan, lagi apa?" - Kak Retta

"Hemmm, baca majalah. Kakak?" - Tania

"Lagi telepon dan dengerin suara kamu." - Kak Retta

Untuk sepersekian detik aku senyam-senyum sendiri.

"Hehe Kak Retta bisa aja." - Tania

"Ya bisa dong. Emmm Tan, besok aku jadi ya jemput kamu." - Kak Retta

Astaga, aku lupa kalau aku sudah meng-iya-kan ajakan Kak Bima. Duh, gimana ini?!

"Hah? Emmm, emmm..." - Tania

"... Kenapa Tan?" - Kak Retta

"Emmm, duh aku lupa Kak." - Tania

"Lupa apa?" - Kak Retta

"A-aku dijemput Dhea. Di-dia bilang dia mau nyontek tugas dulu di rumah aku, jadi dia mau jemput sekalian." - Tania

Shit, kenapa aku malah bohong gini sih?!

"Oh gitu. Beneran kamu bareng Dhea kan bukan sama Bima?" - Kak Retta

"Iya beneran kok Kak." - Tania

"Well, yaudah gak apa-apa kalau gitu. Kamu istirahat gih, udah jam 10 kan ini." - Kak Retta

"I-iya Kak, Kak Retta juga ya." - Tania

"Iya Taniaaa. Yaudah, selamat beristirahat ya. Good night and sleep tight." - Kak Retta

"Night Kaaak..." - Tania

Dan Kak Retta pun menutup panggilannya. Aduh, Tania mati deh lo kalau besok Kak Retta sampe ngeliat lo bareng Kak Bima. Gimana ya? Aku harus cari cara, aku harus datang lebih awal sebelum Kak Retta sampai duluan ke sekolah.

Dengan cepat, aku langsung mengetik pesan ke Kak Bima.

"Kak, besok datang lebih awal ya. Aku lupa kalau besok jadwal aku piket hehe maaf ngerepotin Kak." - Tania

Tidak sampai satu menit, Kak Bima langsung membalas.

"Okay, sampai ketemu besok pagi." - Kak Bima

Aku menghela nafas lega, semoga besok pagi aku datang lebih dulu dari Kak Retta.

.

.

.

Keesokan paginya

Sebuah mobil sedan hitam keluaran perusahaan ternama asal Jerman, BMW berhenti di depan rumahku. Tidak hanya aku yang terkesima dengan gagahnya mobil Kak bima. Bunda yang tengah berdiri di sampingku pun ikut menatap ke arah mobil tersebut.

"Temen kamu itu Kak?" tanya Bunda

"Iya Bun, senior aku di sekolah," jawabku.

Kak Bima kemudian keluar dari dalam mobil bagian bangku belakang. Lalu seorang bertubuh tegap memakai seragam layaknya bodyguard juga keluar dari mobil bagian pintu depan. Orang tersebut berdiri di samping mobil sambil melihat ke berbagai arah. Kak Bima seperti mengucapkan sesuatu ke bodyguard-nya itu lalu ia berjalan memasuki rumahku sambil melempar senyuman ramah.

Kak Bima langsung menyalami tangan Bunda. "Assalamu'alaikum Tante, perkenalkan saya Bima, teman satu sekolahnya Tania. Hari ini saya mau minta izin buat jemput Tania boleh kan Tante?" 

"Oh iya nak Bima, tante izinin kok. Emmm tante baru pertama lihat kamu ke sini," sahut Bunda.

"Iya Tante, saya baru pindah sekolah terus ikut basket dan kenal sama Tania," jawab Kak Bima.

"Terus itu siapa kamu? Kok seram tampangnya?" tanya Bunda lagi.

"Oh iya maaf tante, itu anak buahnya Papa yang emang tugasnya jagain saya."

Bunda terlihat bingung lalu berbisik padaku. "Temen kamu ini apa Kak?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bunda, Kak Bima langsung berbicara.

"Tenang tante, saya bukan anak mafia kok. Papa saya kebetulan berprofesi sebagai menteri, jadi memang udah kebijakan negara untuk menjaga kami sekeluarga dari berbagai ancaman. Maaf ya tante kalau udah bikin tante jadi risih," jelas Kak Bima.

Aku menyenggol lengan Bunda. "Bunda nih, nanya nya nanti aja sama aku."

"Hehe tante gak risih kok, cuma agak bingung aja tadi. Tapi sekarang tante udah ngerti. Nak Bima mau masuk dulu yuk sarapan?"

Aku kembali menyenggol lengan Bunda. "Nanti bisa telat Buuun," bisikku.

Kak Bima tersenyum lebar menatapku dan Bunda.

"Oh iya Bunda lupa, yaudah gih kalian berangkat dan hati-hati ya di jalan."

"Lain kali ya tante, terima kasih atas tawarannya. Saya pamit izin berangkat ke sekolah dulu sama Tania," Kak Bima pun dengan sopan menyalimi tangan Bunda lagi.

"Iya Bunda, aku berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum," pamitku.

Ketika kami berjalan ke arah mobil, dengan cepat Kak Bima membukakan pintu bagian belakang dan mempersilahkan aku untuk masuk terlebih dahulu. Lalu Kak Bima berjalan ke arah pintu satunya lagi dan duduk di sampingku.

Bodyguard yang sejak tadi berdiri di luar pun ikut masuk dan kami pun pergi ke sekolah.

"Santai aja ya Tan, gak usah tegang. Ini namanya Pak Guntur, udah jadi supir aku dari aku kelas 5 SD. Nah kalau itu Bang Tody, udah jadi bodyguard aku dari SMP," ucap Kak Bima memperkenalkan kedua penjaganya. 

Aku pun hanya tersenyum melihat Pak Guntur dan Bang Tody. 

"Emmm, kamu kenapa pilih ekskul basket Tan?" Kak Bima mulai membuka obrolan.

"Aku suka basket dari kecil sih karena dulu pas SD pernah diajak nonton pertandingan basket gitu, terus aku suka."

"Selain basket, kamu suka apa lagi?"

"Apa yaaa..."

"Hemmm kalau musik, kamu suka musik jenis apa?"

"Aku sih biasa dengerin RnB atau pop Kak, tapi kadang aku juga dengerin Jazz cuma ya biasa aja bukan yang suka-suka banget."

"Kalau musik orkestra gitu kamu suka?"

Aku langsung menengok ke arah wajah Kak Bima. "Aku belum pernah nonton secara langsung dan aku pengen banget sih."

Kak Bima tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Kenapa Kak?"

"Aku dapat undangan gala konser orchestra and ensemble Sabtu ini, aku boleh ajak kamu?"

Seakan baru saja mendapat jackpot, aku langsung tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar sambil menganggukkan kepala.

Kak Bima kembali tertawa, "haha lucu banget ekspresi kamu Tan. Iya-iya, aku ajak kamu ya."

Wajahku pun langsung terasa panas dan pasti saat ini muka aku udah kayak kepiting rebus. Maluuuuuu.

Aku menundukan kepala, "hehe makasih ya Kak."

"Iya Tan, emang niatnya aku mau ajak kamu sih karena aku dapat dua tiket."

Terima kasih Tuhan karena telah mengabulkan salah satu keinginanku.

"Tapi kamu harus pakai dress dan dandan ya Tan, soalnya konser ini agak formal dan tamu undangannya juga banyak orang penting," Kak Bima kembali berbicara.

"Oh, okay Kak," aku langsung berpikir keras untuk meminta bantuan Kak Gista.

Tak lama kemudian kami sampai di parkiran sekolah. Dengan cepat, Kak Bima keluar mobil terlebih dahulu dan membukakan pintu untukku. Ketika aku menuruni mobilnya, semua pasang mata di sekolah ini seakan menatapku dengan kerutan dahi di wajah mereka. Okay, aku jadi bahan tontonan satu sekolah.

"Aku antar sampai kelas kamu ya?" tanya Kak Bima.

"Ngga usah Kak, terima kasih. Aku udah janjian sama Dhea mau ke perpus dulu, a-aku duluan ya Kak Bima, makasih," ucapku sambil melangkah cepat menjauh darinya. 

Maafin gue Dhe, lagi-lagi nama lo gue pake buat bohong.

Aku berjalan cepat menuju kelasku di lantai 2 dan aku tahu kalau aku masih menjadi bahan liatan orang-orang. Aku tak ingin menatap mata mereka, lebih baik aku memandang lurus ke depan dan sepertinya Kak Retta belum sampai sekolah karena aku tidak melihat mobilnya atau mobil Kak Jingga. Selamaaaaat...

***

Di hari Sabtu, di rumah Claretta

Jingga's Pov

"Taaaa," aku terus memanggil namanya sambil menggoyangkan tubuhnya agar bangun.

"Emmm," gumamnya masih memeluk guling.

"Retta bangun iihhh, udah jam 7 pagi nih."

"Ini masih pagi Jinggaaaa, gue mau bangun siang aaah," Retta menutup telinganya dengan bantal.

Aku kembali menarik lengannya, "Retta jangan bangun siang dooong. Temenin gue ke butiknya Tante Vida. Rettaaaaa."

Retta menggerakkan tubuhnya dengan kesal lalu ia melepas bantal yang menutupi wajahnya. Ia bangun lalu duduk bersila di depanku dengan tatapan mata yang masih sayu bercampur kesal.

Aku menahan tawa geli melihat tampangnya itu, sungguh menggemaskan.

"Mau jam berapa sih ke butiknya?" tanya Retta.

Aku tersenyum lebar, "jam 11 sih, hehe."

Retta memicingkan matanya, "dan kenapa lo udah masuk ke kamar gue dan bangunin gue sepagi ini?"

"Mau ngajakin lo sarapan bareng, abis Mama lagi gak masak apa-apa," jawabku tanpa merasa bersalah.

Retta semakin memicingkan matanya kesal, "di bawah ada Mama, lo sarapan aja sana sama nyokap gue dan gak usah bangunin gue sepagi ini Adeeva JInggaaaaaaaa!"

Aku tertawa melihatnya kesal seperti ini, hahahaha.

"Sana ah turun, gue mau tidur pleaseeeee.." Retta menggeserkan tubuhku dan kembali mengambil posisi tidur.

"Emang bisa tidur lagi?" tanyaku.

Terdengar helaan nafas kesal darinya. "Engga! Udah ayo turun sarapan!"

Gotcha! Haha Retta nggak akan pernah bisa kembali tidur kalau dia sudah diganggui. Aku jadi merasa bersalah tapi juga merasa senang mengganggunya seperti ini.

Retta menggosok giginya di wastafel dekat dapur, lalu tanpa berkata apa-apa ia mengambil roti yang sedang dilapisi selai oleh Mamanya kemudian duduk di sofa sambil menghidupak televisi.

"Duh anak Mama satu ini udah nggak kasih Mama morning kiss, bibirnya manyun, langsung duduk gitu aja di sofa nonton film kartun, kenapa sih pagi-pagi udah cemberut aja?" tanya Tante Vera ke anak bontotnya itu.

"Tanya aja tuh sama Jingga," sahut Retta masih terdengar kesal. Retta akan memanggilku Jingga kalau ia sedang marah kayak gini, hihi lucu.

Tante Vera langsung menatapku dengan ekspresi bingung.

"Iya Tante, ada yang kesel gitu dibangunin jam segini kan anak gadis gak boleh bangun siang-siang ya Tanteee," ucapku sengaja mengencangkan volume suaraku agar didengar Retta.

Tante Vera menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Ya ampun Claretta anak kesayangan Mama, gitu aja kok cemberut udah kayak ikan koi sih. Kamu tuh harus bangun pagi biar rejekinya gak dipatok ayam."

"Emmm," gumamnya masih kesal, hahaa.

Aku pun membantu Tante Vera menyiapkan roti dan susu milo kesukaan Retta. Aku membawakannya segelas susu hangat dan beberapa potong roti.

Aku mendekat dan duduk di sampingnya, "jangan ngambek lagi doooong."

"Sana aaah," Retta mendorong pelan lenganku.

Aku memanyunkan bibir lalu duduk berjarak beberap senti darinya. Retta masih asik mengunyah roti di tangannya lalu meminum susu cokelat buatanku. Tidak ada obrolan di antara kami sampai Tante Vera bilang mau ke pasar sama Om Indra pun Retta masih tak bergeming.

Aku pun bersandar di sofa panjang ini sambil menatap ke langit-langit ruang tengah rumah Retta yang tinggi. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja kepala Retta sudah tertidur di pahaku dan aku baru sadar kalau ia telah mematikan televisinya.

"Lo..." belum sempat aku menuntaskan kalimatku, Retta langsung memotongnya.

"Gak usah nanya, gue mau tidur di atas paha lo 30 menit. Gak boleh komplen dan gak boleh berisik," ucapnya lalu ia memejamkan mata.

Aku hanya bisa terdiam sambil menatap wajahnya dengan seksama. Sebelah tanganku pun entah mengapa secara otomatis langsung mengusap lembut wajah Retta. Aku merapikan helaian rambut yang menutupi dahinya. Senyuman pun langsung terbentuk di wajahku melihat betapa cantiknya Retta yang sedang tertidur di atas pahaku.

Aku tak tahu keberanian dari mana lagi yang mampir di diriku pagi ini. Aku mencium kening Retta dengan lembut berharap tidak sampai membangunkannya. Aku kecup puncuk kepalanya, lalu aku bersandar pada sofa dan ikut memejamkan mata. Kami akhirnya sama-sama tertidur sampai Papa dan Mamanya Retta pulang.

***

Retta's Pov

Hari ini aku cukup kesal dengan Jingga karena telah membangunkanku sepagi itu. Belum lagi aku harus menemaninya ke butik milik Tantenya untuk mengambil dress yang akan ia pakai malam ini. Dan satu hal lagi, aku juga harus pergi bersamanya ke sebuah konser orkestra yang tidak aku mengerti.

Setelah per-drama-an dress dan outfit yang ingin aku pakai, Jingga akhirnya mengalah karena aku tidak ingin menggunakan heels seperti dirinya. Aku mengikuti kemauan Jingga dengan menggunakan dress yang cukup formal tapi aku tetap memilih sneakers kesukaanku untuk aku gunakan malam ini.

"Gak lama kan acaranya?" tanyaku di balik kemudi sebelum kami turun dari mobil.

"Engga, cuma 2 jam kok," jawabnya sambil bercermin memeriksa kembali makeup di wajahnya.

"Hari ini lo udah bener-bener bikin gue kesel tau gak," gerutuku.

"Yaudah sih Taaa, udah deh gak usah bawel. Yuk turun," ajaknya.

Kami pun keluar dari mobil dan berjalan ke dalam hall concert yang luas ini sambil bergandengan tangan. Beberapa wajah selebriti pun ikut hadir di acara ini. Aku yang tidak mengerti sama sekali tentang musik orkestra hanya bisa pasrah mengikuti kemauan seorang Adeeva Jingga Myesha. Setelah kami menunjukkan undangan kepada penjaganya, kami pun masuk dan mencari tempat duduk. Pasti acara musik ini akan sangat membosankan.

Tak lama kemudian, seorang pembawa cerita perempuan mulai membuka gala konser malam ini. Adik dari Papanya Jingga ialah seorang musisi Jazz yang cukup dikenal namanya, dan beliau memberikan Jingga 2 invitation untuk acara malam ini. Dan sudah pasti, Jingga akan mengajakku apapun yang terjadi.

Aku yang awalnya menganggap orkestra ialah hal yang membosankan malah takjub dan seakan tak ingin mengedipkan mata ketika melihat dua orang musisi bermain piano serta biola dengan indahnya di atas panggung. Mereka membawakan karya dari Bethoven yang berjudul Moonligt Sonata secara syahdu. Mataku seakan terhipnotis dengan penampilan mereka yang luar biasa. Hingga pada akhir acara, aku tak berhenti berdecak kagum menonton konser orkestra ini.

"Bilangnya ngebosenin, tapi kayaknya malah lo yang nganga dari tadi," ucap Jingga.

"Keren banget Dee, asli deh. Pantesan aja lo suka Jazz dan musik-musik klasik, asik juga sih," sahutku.

"told yaaaaUdah ah yuk keluar," ajak Jingga.

Lalu kami pun keluar dari hall dan ingin kembali ke parkiran. Namun ketika Jingga sedang bertemu dengan Om nya, aku melihat-lihat ke sekeliling lalu tatapanku berhenti pada dua orang yang sangat aku kenal.

Salah seorang dari mereka melihat tatapanku dan langsung tertunduk. Sedangkan orang di sebelahnya yang sejak tadi menggenggam tangan orang tersebut ikut melihatku. Lalu mereka berdua berjalan ke arah kami.

Sebelah tanganku langsung menggenggam tangan Jingga dan membuatnya kaget lalu bertanya padaku. "Apaan sih Ta?"

"Itu ada Tania dan Bima lagi jalan ke arah kita," jawabku sambil tetap menatap lurus.

Jingga kaget lalu ia berusaha bersikap biasa aja ketika Bima menyapa kami.

"Hey, kalian berdua dateng ke acara ini juga? Kebetulan banget ya," ucap Bima.

"Haha iya, kebetulan banget," sahutku sambil melihat Tania yang sejak tadi hanya tertunduk.

"Lo cuma sama Jingga doang Ta? eh bener kan namanya Jingga?" Tanya Bima lagi.

"Iya gue Jingga dan emang gue cuma berduaan aja sih sama Retta. Lo sendiri cuma sama Ketan?" Jingga balik bertanya.

"Iya gue juga berduaan aja sama Tania. Kalian mau pada ke mana? Dinner bareng yuk?" ajak Bima.

"No, thanks. Gue sama Jingga udah ada acara lain lagi, jadi kita berdua jalan duluan ya," sahutku dengan nada super datar.

"Oh gitu, oke have fun ya," ucap Bima.

Aku tidak menggubris ucapan Bima dan langsung memanggil Tania. "Oh iya, Tania.."

"I-iya Kak?" suara Tania terdengar seperti orang bersalah.

"Gak apa-apa kok kalau kamu udah gak mau dijemput lagi ke sekolah sama aku. Aku pergi dulu ya, have fun," lalu tanpa melihat wajah Tania aku menarik tangan Jingga dan berjalan menjauh darinya.





*Note

Jangan lupa juga baca 'You Are My Caffeine' yaaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top