Masa Lalu

Tania's Pov

"Ngomong apa dia?" nada bicara Kak Retta terdengar lebih serius dari sebelumnya.

"Umm katanyaaaa, Kak Retta sama Kak Jingga tuh... dulu pernah sampe berantem karena ngerebutin Kak Adrian..." ucapku berhati-hati.

Hening sejenak lalu tawa Kak Retta terdengar sangat keras dari balik telepon.

"Bhahahahak, aku berantem sama Jingga cuma karena Adrian? Hahahaha tuh orang halunya kebangetan, hahaha." – Retta

Aku sedikit bingung, sepolos itukah aku bisa langsung percaya sama omongan si playboy sekolahan itu?!

"Terus kamu percaya sama dia? Hahaha" – Retta

"Itu, ummm, ummm yaaa aku tadi sih agak percaya sama dia." – Tania

"Hahaha kamu nih ternyata polos banget ya anaknya. Aduh perut aku sampe sakit ketawa terus, hahaha. Aku gak mungkin lah berantem sama sahabat aku sendiri cuma karena cowok gak penting kayak dia Ketaaaan." – Retta

Sahabat?!

"Huh iyaa aku terlalu polos emang" – Tania

"Haha kamu tuh. Lagian tadi kamu kenapa sih mau banget nempel sama dia terus? Kan aku udah pernah bilang sama kamu untuk gak deket-deket dia." – Retta

"Yaaa, yaa abisnya aku cariin Kak Retta eh Kakak lagi sama Kak Jingga, kan aku gak enak ganggunya." – Tania

"Kamu jealous dek?" – Retta

Duh Tania, kenapa lo ngomong gitu sih.

"Emm, engga Kak. Kak Retta maaf ya, a-aku dipanggil Bunda dulu." – Tania

"Hehe iya, yaudah sampai ketemu besok di sekolah ya." – Retta

"Iya Kak, daaah." – Tania

Huuuuh, kalau saja aku tak beralasan dipanggil Bunda aku sudah tak tahu lagi gimana caranya mengontrol jantung ini yang suka deg-degan denger suara Kak Retta.

.

.

.

.

Keesokan Harinya

Sekolah masih berjalan sama seperti biasanya. Dikarenakan hari ini ialah Hari Jumat, jam pulang sekolah pun jadi lebih awal. Aku yang sejak tadi sedang duduk-duduk di depan kelas bersama Uben, Indira, Sassya, dan Dhea masih terkekeh mendengar cerita Uben yang digodain sama Om-om. Haha ekspresi Uben bener-bener bisa banget bikin ketawa.

"Ketan," tiba-tiba saja suara familiar itu terdengar dari belakangku.

Kami berlima langsung menengok ke sumber suara tersebut.

"Kak Jingga?"

"Boleh pinjem Ketan nya gak sebentar?" tanya Kak Jingga ke anak-anak lain, dan mereka langsung menganggukkan kepalanya.

"Ikut gue bentar yuk Tan?"

"I-iya Kak," aku mengikuti langkahnya menuju kantin. Minjem aku sebentar, emang aku barang?

Kami tengah duduk berdua di depan penjual jus. Kak Jingga memesan sesuatu lalu kembali duduk di depanku. Di kantin pada jam pulang sekolah seperti ini memang tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena sudah pada pulang, tapi juga kebanyakan makanan yang dijual di sini sudah pada habis.

Kami masih berdiam diri. Kak Jingga tengah memerhatikan ponselnya sejak tadi sampai akhirnya abang tukang jus mengantarkan dua gelas jus melon dan jus wortel.

"Makasih Bang," ujar Kak Jingga.

"Ya neng," sahut abangnya.

"Tuh lo minum jus melonnya, kesukaan lo kan?"

"Iya Kak, makasih."

Inget juga dia sama kesukaan aku?!

"Hemmm, lo kemaren ngapain aja sama Adrian?" tanya Kak Jingga lurus menatapku.

Ini kenapa Kak Jingga dan Kak Retta sama-sama nanyain aku dan Adrian sih?

"Eng, engga ngapa-ngapain Kak. Aku cuma bareng aja ke 34 trs dia juga anterin aku pulang."

Kak Jingga menghela nafas. "Lo tau, lo tuh udah bikin Retta khawatir dan kesel banget."

"Ma-maksudnya Kak?"

Ia menghela nafas lagi. "Walaupun Retta gak blak-blakan ngomong ke gue, tapi gue bisa lihat kalo dia marah banget ngeliat lo berdua. Lo peka dikit dong seharusnya."

Aku hanya menggarukkan tengkuk leherku tak harus harus merespon apa.

Kak Jingga memalingkan wajahnya dariku. "Gue juga gak suka ngelihat lo berdua sama si playboy itu."

Aku menyondondkan tubuhku sedikit ke depan untuk mencerna ucapannya barusan. "Hah?"

Kak Jingga mundur, "gak usah maju-maju gitu badannya."

Aku kembali membenarkan posisi. "sorry kak."

"Lo gak tau betapa playboy nya si Adrian itu. Mungkin Retta udah kasihtau lo sebelumnya untuk jangan deket-deket sama dia, dan gue pengen ingetin hal itu lagi ke lo."

Aku menundukkan kepala.

"Ngerti gak?"

"I-iya Kak, ngerti."

"Besok lo ada acara?"

Aku mendongakkan kepala menatap Kak Jingga.

"Hah?"

"Ditanya malah hah hoh hah hoh. Lo ada acara gak besok?"

"Emmm..."

"Yaudah kalo ada acara," sahut Kak Jingga dengan muka datarnya.

"Gak ada Kak."

Kak Jingga kembali tersenyum tipis sambil menahan tawa, tapi sejurus kemudian wajahnya balik lagi jutek seperti biasa.

"Besok temenin gue cari kado untuk Tante Vera."

"Hah?"

"Bisa gak sih lo gak nyebut kata 'hah'?"

Aku menundukkan kepala lagi. Kenapa sih tiap kali sama Kak Jingga selalu kayak gini rasanya, segan.

"I-iya Kak."

Kak Jingga sepertinya tahu aku sedang bingung. "Jadi Tante Vera itu nyokapnya Retta yang kebetulan akan ulangtahun di minggu depan. Seperti tahun-tahun sebelumnya gue biasa beliin Tante Vera sesuatu. Dan karena Retta kakinya lagi sakit, jadi gue gak mungkin ajak dia."

"Oooh," sahutku.

Kini giliran Kak Jingga yang mengerutkan dahi. "Oooh?"

"Eh, hehe i-iya maksud aku oh begitu."

Kak Jingga memutar bola matanya. "Besok gue ke rumah lo after lunch."

"Hah?"

"Huh Ketan, kurang-kurangin deh ngomong 'hah'."

Apa yang salah sih sama kata 'hah'?!

"Oh ya Kak."

"Minta no hape lo," Kak Jingga memegang kembali ponsel miliknya yang tadi ia taruh di atas meja.

"Emm, 0857743231xxx."

Ponselku di dalam saku rok pun bordering.

"Itu nomor gue," ucap Kak Jingga.

"Udah, gue mau balik ke ruang OSIS. Besok jangan lupa after lunch gue ke rumah lo. Lo gak usah bayar jusnya, udah gue bayar tadi," Kak Jingga pun melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk dengan kebingungan.

Itu senior jutek kenapa random banget sih jadi orang? Kadang ketus, kadang baik, kadang nyebelin, ih bikin gue bingung aja.

Aku kembali seorang diri ke lantai 3 untuk mengambil tas, tapi sebelum aku menaiki tangga tau-tau Dhea sudah berdiri di depan koperasi.

"Nih tas lo," ucapnya sembari menyodorkan tas totebag milikku.

Aku berlari menuju dirinya, "aahh makasih Dheaaaaa."

Dhea hanya memasang tampang sok cool.

"Ngapain aja tadi di kantin sama Kak Jingga?"

"Hah? Ih lo buntuti gue?"

"Haha engga, ngapain juga. Gue tadi mau makan bakso eh pas gue lihat udah beres-beres, terus gue ngeliat lo sama Kak Jingga dari kejauhan. Terus gue mencium sesuatu antara lo dan dia," ucap Dhea memicingkan matanya menatapku.

"Hahaha apaan sih lo? Lebay ih, gue gak ada apa-apaan. Kak Jingga cuma ngajak pergi besok."

"Whaaaat?! Whooaaaa Ketan ngedate sama Kak Jingga," ucapnya berteriak membuat beberapa orang di sekitar kami menengok.

Aku membungkam mulutnya dengan kedua tanganku. "Bacot lo ya Dheeee, gak usah teriak-teriak bisa gak sih? Kebiasaan!"

"Emmm, emmm, emmm," ia menganggukkan kepala.

Aku melepaskan tanganku dari wajahnya. "Ngedate apaan sih? Gak mungkin lah yang namanya cewek jalan sama cewek itu jadinya ngedate, ada-ada aja lo."

"Haha yaelah Tan, jaman sekarang mah udah biasa aja kali. Lo lihat tuh si Wina anak kelas X-5, dia kan pacaran sama Kak Lena anak kelas XII IPS 2."

Aku kaget, "hah? Serius lo? Kak Lena yang mantan ketua cheers itu sama Wina?"

"Hemm yang gini-gini nih, terlalu naïve."

"Ah lo mah ngarang cerita mulu Dhe," aku tidak percaya sama omongan anak satu ini.

"Dih yaudah kalo gak percaya mah. Nih ya, sore ini si Wina bakal ada ekskul marching band. Lo lihat aja nanti di depan lab kimia ada siapa."

"Bodo ah, ngarang lo mah."

"Ah yaudah kalo gak percaya. Udah ah gue mau ngumpul sama anak-anak mading."

"Yah Dhe, kok lo gak bilang sih ada kumpul mading lagi? Gue balik sama siapa?"

"Yeee ngapain juga gue bilang sama lo, pacar gue juga bukan hahaha. Bye Ketaaaaan," Dhea mencubit pipiku keras sebelum akhirnya dia lari karena takut aku kejar.

"Nyebelin," gerutuku sambil mengelus sebelah pipiku.

"Sakit ya pipinya?"

Aku langsung menengok ke belakang. "Kak Retta?"

Kak Retta tengah menuruni anak tangga, masih dengan cara berjalannnya yang belum kembali normal.

Aku langsung membantunya dengan memegang tangannya. "Masih sakit Kak?"

"Engga terlalu kok. Ini kayaknya karena daritadi aku bandel aja naik-turun tangga terus pas istirahat, makanya rada nyut-nyutan lagi."

"Yah Kak Retta juga sih gak bisa diem. Kakak mau ke mana? Sini biar aku anter."

Kak Retta tersenyum, "ke hati kamu boleh gak?"

Entah kenapa kok kalo Kak Retta yang gombal aku malah gak kesel ya. "Ih Kak Retta apaan sih?"

"Haha gak usah malu-malu gitu ah Tan. Aku mau duduk di depan TU aja sambil nungguin Jingga pulang."

"Oh Kak Retta bareng Kak Jingga lagi?" tanyaku sembari kami berjalan ke depan TU.

"Iya, dia bakal marah-marah kalo aku gak bareng pulangnya sama dia."

"Hemmm, kakak deket banget ya sama Kak Jingga?"

"Bisa dibilang gitu sih. Aku udah kenal dia dari kecil banget, jadi dia ya udah aku anggep kayak saudara sendiri," jawab Kak Retta santai.

Kami pun akhirnya sampai di depan TU. Kak Retta langsung duduk dan memintaku untuk menemaninya sebentar.

"Sini dulu dek bentar, temenin aku," ucapnya.

Aku pun duduk di sampingnya. "Iya Kak."

Kami berdua tengah menatap ke tengah lapangan basket. Sudah ada beberapa anak marching band yang ingin latihan. Ketika aku melihat ke arah lab kimia, benar kata Dhea di sana ada Wina dan Kak Lena sedang berduaan.

"Kamu lagi liatin Lena dan Wina?" Tanya Kak Retta.

"Eh, hehehe iya Kak," jawabku.

"Mereka tuh baru pacaran," sahut Kak Retta membuatku langsung menatapnya.

"Hah? Serius Kak?"

Ini kenapa omongan si Dhea bener lagi deh?!

Kak Retta membalas tatapanku. "Iya serius, Lena itu temen les aku dulu. Dia sering cerita ke aku kalo dia mau deketin Wina, eh ternyata mereka jadian."

Aku mengerutkan dahi, "kok bisa?"

"Haha kenapa? Aneh ya lihat cewek sama cewek pacaran?"

"Emmm..."

"Gini lho dek, setiap orang itu kan pasti punya perasaan. Dan kita gak akan pernah tau atau bisa mengontrol apa kata hati kita, ya kan? Nah contohnya Lena dan Wina. Lena gak pernah bisa milih untuk punya perasaan ke siapa, dan ternyata hatinya dia memilih Wina. Kalo menurutku sih selama seseorang itu bahagia dengan keputusaannya untuk menjalin hubungan ke sesama gendernya atau bukan, it's fine. Yang penting apa? Bahagia," ucap Kak Retta.

Aku menganggukkan kepala. "Hemm iya juga sih, yang penting itu bahagia."

Kak Retta tersenyum lalu mengacak rambutku, "nah tuh kamu pinter."

"Kamu mau pulang sama siapa dek?"

"Aku gak tau sih Kak, abis Dhea juga lagi kumpul sama anak mading kan. Aku naik ojek aja palingan."

"Duh maaf ya aku belum bisa anter kamu. Nanti kalo kaki aku udah gak sakit lagi, aku bawa motor ke sekolah."

"Hehe iya Kak gak apa-apa, santai aja. Yaudah Kak, aku pamit pulang duluan ya." Belum sempat aku melangkah pergi, tiba-tiba saja Adrian berlari ke arah kami.

"Hey, kamu pulang Tania? Aku anterin yuk," Adrian menawarkan diri, lalu aku langsung menengok ke Kak Retta.

Sebelah tangan Kak Retta memegang tanganku dan menariknya agar aku duduk lagi di sampingnya. Aku pun mengikuti pergerakkan Kak Retta.

"Tania pulang bareng gue. Udah sana lo ajak cewek lain aja, gak usah gangguin Tania," ucap Kak Retta ketus ke Adrian.

"Haha gimana bisa sih lo anterin Tania? Kaki lo aja masih pincang gitu jalannya," sahut Kak Adrian sambil melihat ke arah kakinya Kak Retta.

Kak Retta semakin menggenggam tanganku erat. Aku tahu pasti Kak Retta emosi, aku aja emosi mendengarnya.

"Lo ngapain lagi sih Yan?" suara Kak Jingga terdengar dari arah samping kami.

Kak Jingga pun berjalan menuju ke sini dengan wajah super juteknya.

"Tania sama Retta balik bareng gue. Lo gak usah deh ajak-ajak Tania bareng lo. Dan jaga mulut lo ke Retta!"

"Uuhh wow, okay ladies. I'll go. Menang banyak lo ya Ta," Adrian menatap Kak Retta.

Kak Retta membalas tatapannya itu dengan geram. Lalu Adrian pun pergi meninggalkan kami.

"Ketan, lo balik bareng gue lagi. Retta, tunggu di sini ya," ucap Kak Jingga dan Kak Retta hanya menganggukkan kepala.

Kak Jingga pun pergi meninggalkan kami dan tangan Kak Retta yang sejak tadi menggenggam tanganku mulai dilepasnya secara perlahan.

"Kak Retta?"

"Iya?"

"Kakak kenapa gak pernah ngebales Adrian kalo dia lagi usil kayak tadi gitu ke Kakak?"

Kak Retta menghela nafas. "Aku takut gak bisa kontrol emosiku dek."

"Hemmm?"

"Aku kalo udah marah bisa parah banget. Aku bad temper orangnya kalo ada seseorang yang udah ngusik aku berlebihan."

"Kak Retta pernah berantem sama Adrian?"

"Gak pernah sih, abis terakhir kali aku berantem sampe bikin anak orang dapet 5 jahitan di mukanya."

"Hah?"

"Haha iya. Dulu waktu SMP tuh sekolah aku dan Jingga deketan sama sekolah lain. Nah anak-anak di sekolah itu sering banget godain Jingga. Sampe sewaktu ketika Jingga lagi pengen fotocopy gitu pas istirahat, harus keluar sekolah. Jingga sendirian karena buru-buru, terus pas dia lewatin sekolah itu, beberapa anak cowok ada yang godain dia. Terus salah satu temen sekelas aku kasihtau kalo tadi dia sempet lihat Jingga lagi digodain, aku langsung samperin. Pas aku lihat, satu dari 3 anak cowok itu mau narik rok sekolahnya Jingga. Aku langsung lari terus aku dorong tuh anak sampe hampir masuk selokan. Eh temennya narik badan aku sampe aku jatoh, nih kamu lihat dagu aku, ada bekas luka jahitan kan?" Kak Retta mendongakkan wajahnya sehingga aku bisa melihat bekas luka di bagian bawah dagunya.

"Itu lumayan panjang juga Kak lukanya," sahutku.

"Hehe iya, tapi luka aku ini gak seberapa sama anak itu. Jadi pas aku didorong, dagu aku kena aspal jalan dan langsung berdarah. Jingga panik kan waktu itu, aku yang berdarah malah dia yang nangis. Terus aku gak terima, aku udah kesulut emosi banget sampe akhirnya aku ambil tutup tempat sampah terus aku lempar ke muka tuh anak, eh ternyata kena dahinya terus berdarah hahaha. Udah gitu satpam sekolah aku ngelihat terus ngelerai kami deh, aku langsung dibawa ke UKS. Sejak saat itu, Jingga minta sama aku untuk coba kontrol emosi aku, makanya kalo aku udah emosi aku bisa banget bikin mukanya si Adrian jadi kayak panci gosong, dan at the end aku gak akan peduli mau dihukum apaan kek, yang penting aku puas nyalurin emosi aku. Gitu dek," jelas Kak Retta.

Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama. Ternyata Kak Retta sama Kak Jingga memang sedekat itu dari dulu.

"Kamu gak takut sama aku kan dek? Haha tenang, aku sama sekali gak pernah main tangan kalau sama perempuan. Sekesel-keselnya aku sama temenku yang cewek, aku gak akan pernah mukul dia atau apapun itu. Gak boleh, harom hukumnya pukul cewek tuh hahaha," Kak Retta masih terlihat sangat ramah.

"Hehe engga kok Kak. Kak Retta kan baik banget sama aku selama ini," sahutku.

Kak Retta tersenyum lebar. "Inget ya, kalo ada yang jahilin kamu di sekolah ini kamu harus bilang sama?"

Aku ikut tersenyum. "Sama Kak Claretta."

"Adik pintaaaar," Kak Retta mengacak rambutku lagi.

Kami berdua pun kembali menatap ke tengah lapangan di mana anak-anak marching band sudah membentuk posisi mereka. Sepenggal cerita masa lalu antara Kak Retta dan Kak Jingga sudah aku tahu, akan ada apa lagi ya nantinya? Yang pasti besok aku harus mempersiapkan diri untuk jalan bareng Kak Jingga, duh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top