Away
Retta's Pov
Kami bertiga sudah sampai di depan rumah Tania setelah hampir 30 menit berkendara. Hari ini Jingga memaksa untuk memakai mobilnya. Aku pun tak bisa menolak keinginannya karena semalam dia sudah bersedia menemaniku tidur.
"Makasih ya Kak Jingga udah mau anter aku pulang. Makasih juga ya Kak Retta," ucap Tania ke Jingga dan ke aku.
"Gak usah terima kasih sama aku dek. Cukup ke Jingga aja hehehe," sahutku.
"Yaa, makasih ya Kak Jingga," ucap Tania lagi terdengar masih enggan ke Jingga.
Dan seperti biasa deh Jingga datar sedatar-datarnya. "Iya sama-sama."
Tania pun membuka pintu mobil ini dan kembali pamit. "Hati-hati Kak nyetirnya, aku pulang dulu."
"Dee, turun gih," ucapku ke Jingga pas setelah Tania menutup pintu.
"Ngapain?"
"Ketemu sama Ibunya Tania bilang maaf karena Tania jadi telat pulang."
"Ih males ah. Kenapa harus gue?"
"Ya kalo gue bisa jalan juga bakal gue yang turun. Udah buruan sana," bujukku ke Jingga.
"Ngapain sih Ta? Nanti dikira SKSD lagi," Jingga masih menggerutu.
"Please demi gue," aku kembali memohon dengan tampang melas.
"Huh, yaudah tunggu." Jingga pun langsung keluar dari mobil untuk menghampiri Tania.
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang Jingga omongin ke Tania. Aku hanya melihat mereka dari balik kaca mobil. Bukannya aku tidak mau membuka kaca ini, hanya saja akan terkesan tidak sopan kalau aku tidak ikut turun untuk bertemu Ibunya Tania.
Tak lama setelah Jingga dan Tania masuk ke halaman rumah, Ibunda Tania keluar dan menyambut mereka berdua. Jingga pun menyalami tangan Beliau dengan sopan, lalu sepertinya Jingga langsung meminta izin untuk pamit.
Jingga kembali ke mobil. "Udah kan? Yaudah pulang ya sekarang," ucapnya.
"Iyaa, yuk. Pencet klakson dulu tapi gak usah buka jendela," sahutku.
"Duh iyaaa, iyaaa," Jingga pun menuruti kemauanku dan kami mulai keluar dari perumahan Tania.
Jingga kembali membuka suara. "Lo kenapa tadi gak buka kaca mobil aja sih Ta?"
"Engga ah, gak enak tau sama Ibunya Tania. Gak sopan kalo gue gak ikutan turun, makanya gue minta tolong lo."
Jingga menghela nafas. "Baik banget sih sama Tania."
"Haha jangan jealous gitu ah. Nanti lo main ke rumah gue dulu ya."
"Gak, males."
"Yeee ngambek kaaan."
"Males ah, gue mau langsung pulang aja mau urusin keperluan mading."
"Yaah nanti Mama sedih deh kalo lo gak maen."
"Lho emang kenapa?"
"Tadi Mama abis dari luar ketemu temen-temennya terus ngebeliin eskrim Matcha kesukaan lo, Mama minta gue untuk ngajak lo." Jawabanku sepertinya sukses membuat Jingga berpikir ulang. Dia selalu lemah sama eskrim matcha.
"Kalo Tante Vera yang minta sih dengan senang hati gue mau," sahutnya.
"Wooo, ngambek mulu sih lu. Sini-sini gue peluk dulu biar ngambeknya ilang," aku pun langsung merangkul manja sebelah lengannya.
"Ih Retta apaan sih, sana aaah. Gue lagi nyetir nih harus fokus, sana-sana," Jingga mencoba melepaskan rangkulanku tapi aku semakin erat merangkulnya.
"Udah lah nyetir mah nyetir aja. Biasanya juga lo yang giniin gue kalo lagi galau, sekarang gentian doooong."
Jingga hanya mendengus kesal tapi tetap membiarkanku merangkulnya. Haha sahabatku satu ini memang sangat lucu.
.
.
.
Sudah satu minggu berlalu dari acara sparring partner dengan SMA 34 di sekolah. Selama satu minggu ini pula aku masih disetirin sama Jingga walaupun kakiku sudah jauh lebih baikan. Gak jarang pula aku harus menunggunya di sekolah karena ia sedang sibuk mempersiapkan lomba menulis yang akan diikuti anak-anak ekskul mading.
Sore ini giliran tim basket cowok yang akan bertandang ke SMA 34. Kami semua sudah berkumpul di depan ruang OSIS menunggu beberapa anak lain yang masih belum keluar kelas. Sebenarnya coach Irfan tidak mewajibkan tim cewek untuk ikutan ke sana, tapi hampir semua teman satu timku ingin ikut untuk menonton pertandingan tim cowok, termasuk Tania.
"Ta, Retta, dipanggil Jingga tuh," Ayunda menyenggol lenganku beberapa kali.
"Hah? Mana?" Aku mencari sosok Jingga.
"Itu tuh depan XII IPA 1," Ayunda menunjuk ke arah kanan kami.
Aku pun akhirnya menghampiri Jingga dengan berjalan sangat pelan.
"Masih sakit juga kakinya?" tanya Jingga melihat ke arah kaki kananku.
"Emmm dikit," jawabku.
"Lo sih sotoy, kan gue bilang jangan pake sepatu dulu. Rasain deh tuh," sahutnya sambil menyilangkan kedua tangan.
"Kena marah lagi aja. Ada apa manggil-manggil Dee?"
"Lo jadi mau ikutan ke 34?"
"Jadi. Kenapa?"
"Kaki lo kan masih kayak gitu. Bandel banget sih, udah deh langsung pulang aja sana."
"Gak enak ah gue sama anak-anak yang lain. Lagian juga tuh kalo sakit gak boleh dimanja tau."
"Ah terserah deh. Lo kan selalu batu kalo dikasihtau. Terus lo mau naik apa ke sana? Sama siapa aja?"
"Gue bareng sama Raya, dia lagi bawa mobil."
"Siapa aja yang ikut?"
"Hampir semua anak basket pada ikut."
"Terus nanti lo pulang ke rumah gimana dari sana? Rumah Raya kan gak searah sama rumah lo."
"Hemmm, gimana ya. Lihat nanti aja lah gampang."
"Yeee, jangan gampang-gampang aja. Lo nebeng siapa kek nanti atau naik taksi, tapi jangan sendirian harus ada temennya."
Aku tersenyum melihat tingkahnya Jingga yang khawatir tapi kadar kejutekannya tetap sama.
"Udah gak usah khawatir. Nanti gue kabarin lo gue akan pulang sama siapa dan naik apa. Lo juga jangan sampe sore-sore banget ya di sekolah. Kalo udah selesei rapat madingnya langsung pulang, oke?" ucapku.
"Hemm, iyaaa. Yaudah sana, hati-hati lo ya. Jangan pecicilan, yang anteng."
"Iyaa Adeeva Jinggaaaaa. Gue ke sana lagi ya, udah mau pada jalan tuh. Byeee."
Sesuai rencana tadi, aku ikut di dalam mobilnya Raya bersama Ayunda, Nindi, dan Shinta. Mobil Ayunda hanya cukup untuk lima orang saja. Aku mencari-cari Tania sejak tadi. Anak itu ke mana ya?
"Jalan nih yaaa," ucap Raya.
"Let's goooo," sahut anak-anak.
Aku duduk di belakang bersama Ayunda dan Nindi. "Yu, anak-anak kelas satu pada bareng siapa?"
"Oh itu tadi ada yang bareng Yudha, ada yang sama coach, ada yang boncengan naik motor," sahut Ayunda.
"Emmm, si Tania sama siapa?"
"Oh Tania? Tadi sih gue lihat dia bareng Adrian naik motor. Pas lo lagi ngobrol sama Jingga si Adrian mepet Tania mulu, terus mereka barengan deh."
"Adrian brengsek," batinku.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Tania. Gimana bisa sih dia kena ajakan si Adrian? Perasaan aku udah ingetin dia berkali-kali untuk gak boleh kegoda sama si playboy tengik itu.
"Woy, ngelamun aja lu. Udah nyampe nih, buka pintunya Ta," ucapan Ayunda membuyarkan lamunanku.
"Eh udah sampe? Cepet banget."
"Ah elu daritadi kita udah ngomongin apa lu dieeeem aja kek kesambet."
"Hahaa iyaa iyaaa sorry. Bentar gue buka dulu," secara perlahan aku membuka pintu mobil dan beberapa anak SMA 34 tengah menatap kami.
Suara suitan dari anak-anak cowok sekolah ini pun menemani kami yang tengah berjalan ke pinggir lapangan basketnya. Ketika aku melihat ke arah koridor kelas di mana tim cowok sudah berkumpul, ada Tania duduk di sebelah Adrian. Dan Tania tengah memegangi tas sekolah Adrian. Apa-apaan ini?!
"Ta, mau ke mana sih buru-buru banget? Kaki lo sakit gak?" Ayunda setengah berteriak memanggilku yang sedang berjalan menghampiri Tania.
"Bentaaar," sahutku padanya.
Aku berusaha berjalan lebih cepat walaupun kakiku masih terasa nyut-nyutan. Tania yang tadi sedang mengobrol dengan Adrian langsung melihat ke arahku yang tengah berjalan ke tempatnya. Tania pun menaruh tas Adrian lalu dia menghampiriku.
"Kak Retta mau ke mana? Kakinya gak sakit?" raut wajah Tania terlihat sangat khawatir.
"Kamu ngapain sih sama Adrian?" tanyaku dengan intonasi yang aku coba untuk terdengar sebiasa mungkin.
"Hah? Gak ngapa-ngapain Kak," jawabnya polos.
"Kok kamu bisa bareng dia tadi ke sini? Terus itu ngapain pegang-pegangin tas sekolahnya juga?"
Tania diam sejenak. "Ummm, ya abis tadi aku bingung mau bareng siapa, mau tanya ke Kak Retta tapi Kakak lagi ngobrol sama Kak Jingga. Terus ada Kak Adrian nawarin diri, yaudah aku mau."
Aku menghela nafas, "terus nanti pulang bareng dia lagi?"
Tania terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu tiba-tiba saja Adrian datang menghampiri kami.
"Tan, aku nitip hp aku juga ya. Aku mau siap-siap untuk pemanasan dulu," ucap cowok rese itu ke Tania sambil memberikan ponsel miliknya, lalu ia melirik ke arahku dengan sebuah senyuman menjengkelkan.
"Look at me, Claretta," ucapnya lagi sambil menekankan namaku.
Aku pun hanya menatap dia tajam. Dasar playboy tengik!
"Kak, kakak gak apa-apa kakinya?" Tania kembali bertanya.
"Gak apa-apa," jawabku.
"Emmm, ya-yaudah Kak. Yuk duduk di situ aja sama anak-anak yang lain," Tania terlihat salah tingkah.
Kami berdua pun memutuskan untuk duduk di pinggir lapangan bersama tim cewek lainnya. Posisi kami sekarang sedang duduk samping-sampingan, dengan Tania masih memegang tas sekolahnya si Adrian.
Pluit tanda pertandingan quarter pertama pun dibunyikan. Pemain center kami, Yudha berhasil memberikan bola tersebut ke Putra. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Putra langsung berlari ke pertahanan lawan. Tim kami memakai posisi menyerang 1-3-1. Adrian berlari ke arah kanan lapangan di luar garis three point. Putra mengoper bola tersebut dan Adrian melesatkan three point dengan sempurna. Dia pun langsung melemparkan senyum ke penonton dan menunjuk ke arah Tania seakan mengisyaratkan three point tadi dia dedikasikan untuk Tania.
Anak-anak lain pun langsung menggoda Tania, dan yang digoda hanya senyum-senyum malu.
"Norak," ucapku pelan secara spontanitas membuat Tania langsung menoleh ke arahku.
Aku balas menatapnya sambil mencoba tetap tersenyum.
Pertandingan masih berjalan dengan kedua tim saling kejar-kejaran poin. Tim basket cowok SMA 34 ini lumayan bagus bermainnya. Apalagi playmaker dan point guard mereka, endurance dan speed-nya oke banget.
Quarter pertama berakhir dengan skor 27-25 untuk tim kami. Coach Irfan tengah memberikan arahan ke para pemain. Lalu pluit tanda quarter kedua pun dibunyikan. Dan Adrian diistirahatkan lalu ia berjalan ke sini. Ia menghampiri Tania yang duduk di sampingku.
"Tan, tolong ambilin handuk kecil aku dong di dalem tas," ucapnya seakan-akan Tania itu pacarnya. Ah jengah sekali aku melihat si Adrian ini.
"I-iya Kak," Tania terlihat salah tingkah karena disuit-suitin sama anak-anak lain.
Aku enggan melihat mereka berdua, jadi aku memilih untuk mengecek notifikasi di ponselku. Tak lama kemudian Adrian kembali ke tim cowok lagi setelah dia mengambil handuk dari Tania.
Aku merasakan kalau Tania ingin mengucapkan sesuatu padaku tapi ia tahan sejak tadi. Aku pun tak mau memancingnya, biar saja dia sendiri nanti yang berbicara padaku.
Quarter dua berlangsung dengan tempo permainan yang sangat cepat. Tim kami beberapa kali melakukan turnover dan itu menguntungkan lawan untuk mencuri bola. Quarter kedua pun berakhir dengan tim kami yang kalah 2 bola.
Adrian kembali dimainkan di quarter ketiga. Dengan masuknya si playboy itu lumayan membantu tim untuk mengejar ketertinggalan. Sampai akhir quarter empat coach Irfan tidak menggantikan posisi Adrian. Akhirnya pertandingan sore ini pun selesai dengan skor 55-53 dengan kemenangan untuk tim lawan.
Kami pun berdiri dari posisi ini untuk menghampiri tim cowok. Ketika aku ingin mengajak Tania bareng ke sana, dirinya dipanggil sama seorang cewek murid SMA ini.
"Bukannya dia tim basket cewek sini ya yang minggu lalu ikutan main? Kok dia bisa kenal sama Tania sih?" batinku.
Mereka berdua mengobrol seperti teman biasa. Ah mungkin saja cewek itu teman satu SMP-nya Ketan kali.
Setelah mendapat brief dari coach Irfan, kami pun memutuskan untuk pulang. Ayunda dan Shinta masih ikut dengan Raya karena rumah mereka searah. Sedangkan Nindi bareng pacarnya yang kebetulan memang bersekolah di sini. Aku pun berjalan ke parkiran mencoba untuk mencari seseorang yang sekiranya bisa bareng pulang denganku.
Ketika aku melihat ke parkiran motor, Adrian sedang memberikan Tania helm. Ah, jadi mereka benar-benar balik berduaan?
Aku masih menggerutu sendirian lalu tiba-tiba saja sebuah mobil Jazz hitam terparkir tepat di depanku. Don't tell me?!
Jingga keluar dari mobil tersebut lalu menghampiriku. "Ayo pulang."
Aku tersenyum lebar padanya. "Wow, lo tuh emang malaikat gue Dee."
Jingga mengulum senyuman yang sangat tipis. "Udah ayo pulang."
Aku pun berjalan ke samping kiri mobilnya dan ketika aku ingin masuk ke dalam, Adrian dan Tania berhenti di samping mobil Jingga.
"Eh ada Jingga ke sini? Jemput Retta? Ya bagus deh, kasian tuh dia gak ada temen pulang," ucap Adrian bernada mengejek padaku.
Tania yang diboncengi oleh Adrian dengan motor gedenya itu memilih untuk diam dengan tidak mau menatap wajahku.
"Udah deh sana lo pulang gak usah gangguin orang!" sahut Jingga jutek padanya.
"Haha yaudah deh, bye girls," lalu ia menggeberkan mesin motornya beberapa kali.
"Norak," ucapku dan Jingga bersamaan.
Kami saling menatap lalu tertawa, "hahahaha dasar playboy."
.
.
.
Sesampainya di rumah aku meminta Bibi untuk membuatkan air hangat. Aku rasa kakiku butuh direndam biar terasa enakan.
Sambil menunggu air hangat, aku menaruh tas di meja belajar lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Aku mengambil hp dari saku rok sekolahku. Aku mencari nama Ketan di phonebook lalu meneleponnya.
"Halo, Tania?"
"Halo, iya Kak?"
"Kamu udah sampe rumah?"
"Udah kok Kak."
"Dianter sampe depan rumah sama Adrian?"
"I-iya Kak."
"Hemm Adrian gak mampir kan?"
"Eng-engga kok. Gak aku tawarin mampir."
Bagus Ketan!
"Emm terus kamu udah mandi?"
"Baru mau mandi Kak."
"Udah makan?"
"Belum, nanti tunggu jam 7. Habit di sini harus makan malem bareng di meja makan setiap jam 7."
"Hemm gitu. Lain kali aku ikut dinner di rumah kamu boleh ya?"
"Boleh kok Kak. Umm, Kak Retta tadi bareng Kak Jingga?"
"Oh iya, tadi Jingga tiba-tiba aja jemput haha suka random dia."
"Umm, syukurlah." Nada bicara Tania terdengar sedih.
"Kamu kenapa emm?"
"Eh? Gak apa-apa kok Kak."
"Serius?"
"I-iya serius."
"Kalau ada apa-apa cerita sama aku dek."
"Emmm, tadi..."
"Tadi apa?"
Tania kembali terdiam untuk beberapa saat. "Tadi Adrian kasihtau aku sesuatu."
"Tentang?"
"Umm, tentang Kak Retta dan Kak Jingga?"
"Ngomong apa dia?"
"Umm katanyaaaa, Kak Retta sama Kak Jingga tuh..."
TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top