Random

Dhea's Pov

Gue berjalan santai menuju kelas pagi ini, gak ada tugas, gak ada ulangan, ah hidup gue terasa tenang. Earphone yang masih bertengger di telinga gue juga tetap memainkan playlist kesukaan gue, tapi ketentraman jiwa gue tiba-tiba saja terganggu oleh seseorang.

"Dheaaaaaa," tiba-tiba Ketan berlari ke arah gue.

"Duh, apaan sih Tan?" 

"Dhe, dhe, lo duh gimana ya, lo harus tau sesuatu," ucapnya tergesa-gesa.

Gue langsung menaikkan sebelah alis, "apaan nih?"

Ketan memelankan suaranya, "tapi ini rahasia, tentang Kak Jingga."

"Kak Jingga?" tanya gue dengan nada tinggi dan langsung dibungkam sama sebelah tangan Ketan.

"Lo tuh udah tau gue bilang rahasia malah kenceng-kenceng suaranya, sini ikut gue," dan Ketan menarik lengan gue.

"Ngapain sih ngajak gue ke taman belakang?" 

"Duh Dhe, gue sebenernya gak mau cerita tapi gue gak bisa simpen sendiri."

"Apaan sih emang?"

"Tapi lo janji gak boleh cerita ke siapa-siapa."

"Iya janji."

"Janji kelingking dulu," ucap Tania sambil melingkarkan kelingkingnya di jari kelingking gue dengan paksa.

"Iya Ketaaaan."

Ketan pun menarik nafas dalam-dalam, udah kayak mau yoga aja nih anak.

"Gue kemarin lihat Kak Jingga nangis sendirian di lantai 3."

"Hah serius? Jam berapa?" tanya gue kaget.

"Iya serius, 15-20 menitan setelah bel pulang kayaknya deh. Gue lagi lewatin lorong kelas X-6 dan X-7, terus denger suara cewek nangis, gue pikir setan, eh gak taunya Kak Jingga."

Gue memutar bola mata mendengar ucapan si Ketan barusan. "Yakali setan nangis siang-siang Ketaaaan. Terus-terus gimana?"

"Hehe ya siapa tau aja kan Dhe. Yaaaa terus gue intip tuh dari jendela, eh gue jatoh hehe terus ketauan Kak Jingga."

"Hemmm, lo gak bakat jadi mata-mata. Terus-terus?"

"Hehehe. Ya terus gue nanya Kak Jingga kenapa, dia gak cerita cuma bilangin ke gue jangan kasih tau ke siapa-siapa kalo gue lihat gue nangis."

"Terus?"

"Ah lo Dhe, udah kayak kang parkir aja terus-terus mulu. Yaudah terus gue kasih tissue dan gue balik."

"Hemmm gitu."

Ketan menatap gue dengan matanya yang memicing.

"Kenapa lihatin gue kayak gitu?" tanya gue.

"Gak seru cerita sama lo, datar. Udah ah gue mau ke kelas," Tania membenarkan tas ranselnya kemudian berjalan duluan ke kelas.

Gue masih duduk di taman sambil memikirkan cerita Ketan. Ada apa sama Kak Jingga ya? Apa Kak Jingga nangis karena Kak Retta lagi? Gue harus cari tahu sih.

Gue pun akhirnya meninggalkan taman belakang dan berjalan ke arah koperasi. Ketika gue ingin berbelok menaiki tangga, gue melihat Kak Jingga berjalan seorang diri. Wajahnya tampak murung, juteknya berkurang, tapi dia tetap cantik dan berwibawa.

Gue memperlambat langkah dengan sengaja, Kak Jingga melihat gue dan tiba-tiba ada Kak Luna menghampiri Kak Jingga. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang tidak bisa gue dengar dengan jelas.

Mereka berdua berjalan ke tempat gue berdiri. Ketika gue ingin menaiki anak tangga, Kak Luna memanggil gue.

"Dhea, Dhea sini bentar deh."

Yes, akhirnya dipanggil juga!

"Oh iya, kenapa Kak Luna?" Gue pun menghampiri mereka.

"Hemm, nanti balik sekolah lo ada acara?" tanya Kak Luna, dan Kak Jingga hanya terdiam dengan tatapannya yang ke sembarang arah.

"Gak ada sih Kak, kenapa?"

"Gue boleh minta tolong gak?"

"Emmm, boleh. Minta tolong apa?"

"Ya, gue udah ngomong juga sih sama Jingga. Jadi seharusnya gue sama Jingga hari ini mau cari peralatan untuk mading di toko buku, tapi tiba-tiba nyokap minta gue untuk jemput adek gue, jadi gue gak bisa. Nah, Jingga sama lo aja ya nanti ditemeninnya, bisa kan?" 

Tanpa gue sadari, gue menelan air liur gue mendengar permintaan Kak Luna.

"Iya bisa kok Kak Luna," sahut gue tetap sok tenang, padahal deg-degan.

Kak Luna tersenyum lebar, "okay! Ngga, lo sama Dhea ya nanti."

"Iya," sahut Kak Jingga singkat.

"Yaudah Kak, gue naik ke kelas dulu ya," ijin gue dan gue menaiki anak tangga, namun baru sampai tangga ke-empat, Kak Jingga manggil nama gue.

"Dhe, nomor handphone lo berapa? Biar nanti janjiannya gampang," ucap Kak Jingga.

Yes! Kak Jingga minta nomor gue!

Gue kembali turun tangga, "nomor Kak Jingga berapa? Sini biar gue missed call."

Dan Kak Jingga pun mengetikan nomornya di layar handphone gue. Dengan jarak sedekat ini, indera penciuman gue langsung bekerja dengan baik. Rambut Kak Jingga wangi sepertia aroma buah. Parfumnya harum dengan aroma wood  yang terasa lembut. Sumpah, gue suka banget sama harum parfumnya.

Dengan langkah senang dan penuh semangat, serasa baru aja disuntik energi positif, gue masuk ke kelas dengan sumringah.

"Eyyyy, ada yang baru dateng pake senyum-senyum kayak lagi jatuh cinta aja. Kenapa nih si Dheaaa?" ucap Uben dengan suara kencang yang kedengaran sama anak satu kelas.

"Haha apaan sih Ben?" ucap gue santai sambil menaruh tas di atas meja.

"Ah paling juga si Dhea abis malakin anak kelas X-4 lagi," sahut Ketan.

"Haha lo masih minta beliin jajanan sama si Peppoy Dhe?" tanya Sassya.

"Gak njir, si Ketan ngada-ngada aja. Gue abis dikasih jajan lebih sama kakak gue haha."

"Apaan? Tadi lo gak cerita apa-apaan pas di taman belakang," sahut Ketan lagi.

"Kan tadi gue dengerin lo cerita."

"Wuah-wuah, cerita apaan nih kalian berdua? Kok gak bagi-bagi?" tanya Uben.

Ketan dan gue saling bertatapan. "Haha engga Ben, si Ketan biasa ceritain aibnya."

"Haha aib apaan lagi?" sahut Indira.

"Iya kemaren dia balik naik angkot terus kentut di dalem angkot, hahaha," ucap gue dan membuat semuanya tertawa.

"Ngarang anjir nih si Dhea," sahut Ketan sebal, dan kami kembali tertawa melihat wajahnya yang polos itu.

"Eh btw, lo udah ngerjain PR bahasa belom Dhe?" tiba-tiba Sassya bertanya.

"Hah? PR? Emang ada? Yang mana?"

"Jangan bilang lo lupa?"

"Hah? Perasaan gak ada deh."

"Itu lho yang Bu Suci kasih tugas kita bikin puisi."

"Heh? Bukannya itu dikumpulinnya masih Kamis depan ya?"

"Haha engga gila, hari ini. Dih buruan kerjain, 5 menit lagi bel."

"Eh seriusan? Tan, lo kok gak kasih tahu gue sih tadi?"

"Ya abis lo gak nanya, gue pikir lo udah kerjain."

"Wuah Ketan bener-bener nih. Aduh duh gimana dong?" tanya gue panik.

"Hahaa yaudah kerjain buru!"

"Lo jangan pada ganggu gue. Mesti berapa kalimat puisinya Dir?" Tanya gue ke Dira.

"Minimal 2 alinea, buruan kerjain."

"Bebas kan temanya?"

"Iye bebas."

Dan gue langsung mengambil buku tulis dan menuliskan sebuah puisi. 

Ah, what a day!

.

.

.

Jam pulang sekolah

"Dhe, balik gak?" tanya Ketan.

"Balik tapi gak ke rumah," jawab gue sambil memasukkan buku ke dalam tas.

"Lah terus ke mana?"

"Ke mana-mana hatiku senang."

"Ih serius!" Ketan memukul bahu gue.

"Bisa gak sih gak pake pukul?"

"Ya lo juga, bisa gak sih gak bikin orang kesel?"

"Hehe iya, iya. Gue mau pergi mau cari peralatan untuk mading."

"Oh gitu, yaudah deh gue balik sendiri aja."

"Hehe sendirian dulu ya Ketan, besok bareng Dhea."

"Iyaaa, iyaaa. Yaudah gue balik duluan ya, lo hati-hati. Byee Dhe."

"Iyaa, byeee."

Di dalam kelas masih ada beberapa orang, gue pun kembali duduk di bangku sambil menunggu pesan dari Kak Jingga.

Gak lama kemudian, Kak Jingga menelpon gue.

"Halo Dhe, di mana?"

"Halo Kak Jingga, gue di kelas Kak."

"Udah selesei kan?"

"Udah kok."

"Yaudah ketemuan di depan mading sekarang ya."

"Oke kak."

Dengan senyuman mengembang dan hati yang senang, gue menuruni anak tangga dan berjalan menuju mading. Di sana udah ada Kak Jingga dengan Kak Retta sedang mengobrol berdua.

Entah kenapa, perasaan gue jadi sedikit down.

"Kak Jingga," panggil gue.

"Oh Dhea," sahutnya.

"Mau jalan sekarang Dee?" tanya Kak Retta ke Kak Jingga.

"Iya Ta."

"Naik apa?" tanyanya lagi.

"Oh iya, kan gue lagi gak bawa mobil. Naik apa ya Dhe?" tanya Kak Jingga ke gue.

"Gue bawa motor kok Kak, naik motor gue aja."

"Bawa helm dua?" sekarang giliran Kak Retta yang bertanya.

"Bawa kok Kak, biasanya buat si Ketan kalo mau nebeng pulang," jawab gue.

"Okaay."

"Yaudah Ta, gue jalan ya."

"Iya Dee, ini pake jaket gue aja. Lo kan hari ini lagi gak pake cardigan," ucap Kak Retta sambil melepaskan jaket jeans miliknya.

"Terus nanti lo balik gimana?" tanya Kak Jingga.

"Ah gampang gue mah, udah nih pake aja," ucap Kak Retta lagi dan memberikan jaketnya ke Kak Jingga.

"Hemm, yaudah. Makasih ya."

"Iyaaa. Dhea, bawa motornya jangan ngebut-ngebut ya, Jingga suka berisik kalo diajak ngebut," ucap Kak Retta.

"Iya Kak, tenang aja."

"Yaudah, titip jagain Jingga ya Dhe. Kalian hati-hati."

"Retta lebay," sahut Kak Jingga dan Kak Retta hanya tersenyum lebar.

Aku dan Kak Jingga berjalan ke parkiran motor. Beberapa senior cowok menyapa Kak Jingga, dan Kak Jingga merespon mereka dengan memberikan senyuman.

"Di toko buku mana Kak maunya?" tanya gue.

"Di mall xxx aja Dhe," jawabnya.

"Oke Kak."

Gue mulai menancap gas dan perlahan keluar dari sekolah. Ini kali pertama gue jalan berdua dengan Kak Jingga, ah bahagianya.

Gue melihat dari spion kedua tangan Kak Jingga memegang samping motor.

"Kenapa Kak?" tanya gue sedikit mengencangkan volume suara.

"Kenapa apa?" jawabnya.

"Itu tangan Kakak pegangan besi jok?"

"Oh iya, gue agak takut kalau naik motor."

"Oh kalo gitu pegang gue aja gak apa-apa daripada pegangan sama besi jok."

"Serius gak apa-apa?"

"Iya gpp, pegangan aja senyamannya Kakak."

Dan dengan perlahan, kedua tangan Kak Jingga memegang kedua sisi pinggang gue. 

Shit, jantung gue deg-degan.

Tidak ada obrolan di antara kami sampai akhirnya sampai di parkiran mall. Kami masuk ke dalam mall dan langsung ke toko buku.

Kak Jingga mulai memilih barang-barang yang ingin dibeli sesuai dengan catatan di hpnya.

Sedangkan gue malah melipir ke bagian komik hehe.

Entah udah berapa lama gue baca komik sambil memerhatikan setiap gambar manganya, tetiba gue menyenggol seseorang di sebelah gue.

"Eh Kak Jingga, udah Kak?" tanya gue sambil menyengir.

Kak Jingga menghela nafas, "gue udah di samping lo dari 5 menit lalu Dhe."

"Eh iya? Hehe maaf Kak. Udah semua Kak?" tanya gue lagi.

"Udah Dhea, lo tuh bukannya ngebantuin malah baca komik gratisan."

"Hehe maaf Kak maaf."

"Yaudah, ayo bayar," ajak Kak Jingga.

Setelah selesai membayar, gue langsung menawarkan diri untuk membawakan barang-barang yang sudah Kak Jingga beli.

Kami pun masih berjalan-jalan di dalam mall. Gue memerhatikan raut wajah Kak Jingga yang terlihat sedih dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Hemm, Kak," gue mencoba memecahkan keheningan.

"Ya?"

"Emmm, gak buru-buru kan?"

"Engga, kenapa?"

"Temenin gue dulu yuk Kak."

"Ke mana?"

Gue tersenyum, "yuk ikut aja, masih di sini kok."

"Oke."

Gue mengajak Kak Jingga ke music store. Kak Jingga sempat mengerutkan dahinya sambil menatap gue bingung ketika gue masuk ke toko musik ini.

"Masuk sini Kak," ajak gue dan gue menghampiri seorang pria yang sedang mencatat di buku besarnya.

"Halo Om," gue menyalami tangannya. Ya, kebetulan music store ini punya Om gue.

"Eh Dhea, sama siapa kamu?" tanya Om Galih.

"Sama temen sekolah Dhea Om," jawab gue dan Kak Jingga menghampiri kami lalu menyalami tangan Om Galih.

"Jingga Om," ucapnya sangat sopan.

"Oh Jingga, nama yang cantik kayak orangnya. Kamu nih temen sekolah Dhea?"

Kak Jingga tersenyum, "iya Om, kebetulan aku seniornya Dhea."

"Oh senior toh, hemmm. Kamu nih teman pertama yang Dhea ajak ke store saya lho. Dari dulu dia nih ke sini kalo gak sama abangnya, ya sama mamanya."

Kak Jingga melirik ke gue, "oh hehe kebetulan tadi kami abis ke toko buku di atas."

"Oalaah iya, iyaaa. Yaudah kalian silakan lihat-lihat. Om mau cek sesuatu dulu ya Dhe," ucap Om Galih.

"Oh iya Om, siap."

Kak Jingga melihat-lihat ke arah piano, ia mulai menekan beberapa tuts-nya. Gue pun menghampiri Kak Jingga.

"Mainin aja Kak pianonya, boleh kok," ucap gue.

Kak Jingga kembali mengerutkan dahi, "kok lo tau gue bisa main piano?"

Gue tersenyum, "gue juga tau Kak Jingga suka musik orkestra."

Ia kembali bingung, "how do you know that?"

"Gue tau dari Kak Shella."

"Hemm, ember dasar dia. Tapi ini boleh gue mainin?"

"Iya boleh kok. Boleh kan ya Mas Gan?" tanya gue ke Mas Gana, salah satu penjaga store yang udah gue kenal dari gue SMP.

"Monggoooo," sahutnya.

Kak Jingga mulai memainkan jemarinya di atas tuts piano, dan ia mulai memainkan sebuah lagu yang sangat familiar di telinga gue. Dan gue pun mengambil gitar akustik yang diletakkan gak jauh dari piano.

Kak Jingga memainkan instrumen lagu All I Want dari Kodaline, gue juga mencoba mengsinkronasikan petikan gitar gue agar senada dengan permainan piano Kak Jingga. 

Kak Jingga sempat menatap gue, dan gue hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.

https://youtu.be/n6BwAWiHcSg

Kami pun memainkan lagu tersebut bersamaan. Gue menatap wajah Kak Jingga yang sangat menghayati lagu All I Want. Sepertinya lagu ini sedang mewakili isi hatinya saat ini.

Di akhir lagu, beberapa penjaga store bertepuk tangan menonton "pertunjukkan" dadakan kami. Wajah Kak Jingga berubah merah padam, sepertinya ia malu.

"Wuah wuah wuah, ponakan Om satu ini emang jago banget deh main musiknya. Jingga juga, cocok kalian kalo bermusik bareng," tiba-tiba saja Om Galih menghampiri kami sambil bertepuk tangan.

"Ah Om bisa aja, Kak Jingga yang hebat Om main pianonya. Dhea mah cuma ngelengkapin aja, hehe," sahut gue.

"Ya memang harus saling melengkapi toh?"

"Haha apa sih Om," ucap gue dan Kak Jingga hanya tertawa kecil.

"Mau main lagi gak Kak?"

"Emmm?"

"Iya, masih mau main piano lagi gak di sini?" tanya gue.

Kak Jingga tersenyum, "engga Dhe."

"Oh yaudah, kita ke tempat selanjutnya."

"Hemmm?" Kak Jingga bingung.

Gue hanya tersenyum lebar kemudian pamit ke Om Galih.

Kak Jingga masih bertanya aku mau mengajaknya ke mana.

Akhirnya kami pun sampai di salah satu game center.

"Mau ngapain Dhe?"

"Main yuk Kak," ajak gue.

"Main apa?"

"Tuh banyak permainannya. Saldo kartu gue masih lumayan bekas kemarin main sama si Uben, hehe."

Entah keberanian dari mana, gue memegang tangan Kak Jingga dan mengajaknya masuk. Awalnya ia tampak canggung, tapi lama kelamaan suasana mencair dan Kak Jingga mulai memperlihatkan tawanya lagi.

Permainan pertama balapan mobil, Kak Jingga kalah sama gue haha padahal gue gak bisa nyetir mobil. Kemudian kami main pukul-pukulan buaya yang muncul, di permainan ini Kak Jingga terlihat mengeluarkan emosinya. Lalu kami main basket, lanjut ke ke tembak-tembakkan, dan lainnya.

"Huh capek," ucapnya.

"Hehe, yaudah yuk cari makan Kak."

"Yaudah ayok."

Kami pun memutuskan untuk makan di area food court. Kak Jingga memesan makanannya, begitu pun dengan gue. Sambil menunggu makanan kami datang, gue membelikan Kak Jingga 2 scoop gelato.

"Nih buat Kakak," ucap gue menyodorkan sebuah cup berisi gelato.

Kak Jingga terlihat bingung.

"Hehe ini permintaan maaf gue karena tadi gak bantuin Kak Jingga di toko buku."

Kak Jingga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Haha ada-ada aja."

"Hehe nih Kak dimakan."

"Iyaa."

Kak Jingga menikmati gelato yang gue kasih, dan gue hanya bisa menatapnya.

"Dhe, thanks ya," tiba-tiba Kak Jingga mengucapkan terima kasih.

Kali ini giliran gue yang merengutkan dahi. "Untuk apa Kak?"

"Thanks untuk ke-random-an lo hari ini. Gue merasa cukup terhibur."

"Hahaa, iya Kak sama-sama, jangan bosen-bosen ya sama ke-random-an gue selanjutnya."

"Selanjutnya?"

"Iyaaa."

"Lho emang siapa yang mau jalan lagi sama lo?"

"Dih emang ga mau?"

"Haha becanda, iya mau kok."

"Kak Jingga seru juga ya orangnya."

"Lho emang?"

"Yaaa di sekolah kan Kak Jingga dikenal sama anak-anak kelas X senior yang jutek, apalagi si Ketan tuh hahaha."

"Emmm, udah biasa dibilang jutek sama banyak orang."

"Ya padahal mah aslinya cute."

"Sorry?" Tanya Kak Jingga terkejut.

"Eh, kecut maksudnya."

"Hemmm?"

"Haha engga Kak engga, eh tuh makanan kakak dateng." 

Kak Jingga hanya menggelengak kepalanya.

Kami berdua menikmati makan sore ini sambil mengobrol santai. Mulai dari ekskul mading, sampe Kak Jingga cerita gimana kegombalan Adrian waktu deketin dia. Playboy satu itu emang juara deh bikin cewek baper. Si Ketan juga awas aja nih kalau sampe baper sama si Adrian.

Setelah kami menghabiskan makanan, kami langsung bergegas ke parkiran motor untuk pulang. Awalnya Kak Jingga menolak waktu gue menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi akhirnya ia mau gue antar sampai depan rumah.

Selama di perjalanan kami menikmati hempasan angin dan bunyi-bunyi klakson kendaraan dengan terbawa pada pikiran masing-masing. Akhirnya aku pun sampai di depan rumah Kak Jingga.

"Nih helmnya, makasih ya Dhe."

"Iya Kak sama-sama. Kak Jingg.." belum sempat gue melanjutkan kalimat, tiba-tiba Kak Retta datang dari arah seberang rumah Kak Jingga.

"Adeeva baru sampe? Kok lama sih?" tanya Kak Retta.

"Iya tadi main dulu di mall."

"Main apa?"

Kak Jingga melirik gue, "rahasia."

Deg, Kak Jingga anggep jalan-jalan tadi jadi rahasia gue dan dia.

"Oh mulai rahasia-rahasiaan ya dari gue?" tanya Kak Retta.

Kak Jingga tidak merespon Kak Retta, lalu ia menatap gue lagi.

"Dhe, thanks ya. Hati-hati di jalan pulangnya, jangan ngebut-ngebut," ucap Kak Jingga.

"Iya Kak," sahut gue.

"Hemm perhatian sekali Adeeva," celetuk Kak Retta dan lagi-lagi tidak ditanggapi sama Kak Jingga.

"Hehe, yaudah gue balik duluan ya Kak Jingga dan Kak Retta, daaah," salam gue dan gue mulai melajukan motor menjauh dari rumah Kak Jingga.

Mata gue gak bisa lepas dari kaca spion yang memperlihatkan Kak Retta tengah mengelus puncuk kepala Kak Jingga, dan mereka tampak sedang bercanda.

Kak Jingga, walaupun gue gak bisa bikin Kakak tersenyum dan tertawa seperti yang dilakuin sama Kak Retta, tapi gue akan selalu coba untuk ngehibur Kak Jingga sebisa gue dan semampu gue. Gue udah cukup bahagia dengan itu Kak...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top