(8)


Keesokan harinya, Kevin datang ke rumah Quinn pukul lima. Mengingat pertemuan mereka kemarin di rumah Joe, Kevin perkirakan Quinn sedang berada di rumah dan tengah bersiap berangkat bekerja. Ed pasti juga berada di rumah.

Dini hari tadi, Quinn tidak bicara terlalu banyak. Wanita itu juga menolak menceritakan bagaimana awal mula hubungan mereka. Sekarang Kevin semakin yakin bahwa hubungannya dengan Quinn adalah sebuah kecelakaan yang tak pernah Kevin sadari. Kevin seratus persen yakin dirinya mabuk parah saat melakukan hubungan dengan Quinn. Namun pertanyaan besarnya adalah apakah Quinn semabuk Kevin saat kejadian itu terjadi? Ironis sekali Ed terbentuk dari kecelakaan sefatal itu.

Kevin harus bersabar supaya Quinn bisa mempercayainya dan terbuka padanya. Lebih lagi, supaya Quinn mengijinkan Kevin menjadi bagian dari hidup Ed. Mengingat gelagat Quinn, Kevin sangat yakin Quinn tidak menginginkan kehadirannya di hidup Quinn dan Ed. Tidak bisa. Meski Kevin tidak menyadari apa yang diperbuatnya dulu, ia sudah cukup menyayangi Ed hanya dalam sekali pertemuan. Kevin memikirkan anak itu sepanjang hari. Ia bahkan berniat ke bank secepatnya mengurus tabungan pendidikan untuk Ed.

Itu diperlukan, kan?

Tentu saja. Ed pasti juga membutuhkan hal lainnya. Kevin tak tahu, mungkin Ed membutuhkan tas sekolah yang lebih keren? Atau mainan terbaru yang belum ia miliki? Apakah Kevin harus membuatkan kolam renang untuk anak itu? Tunggu. Apa Ed bahkan bisa berenang?

Yah, kenapa tidak Kevin tanyakan sendiri pada anak itu? Tentu saja ia bisa melakukan itu kalau saja Quinn mengijinkannya menghabiskan banyak waktu bersama Ed. Semalam Quinn hanya setuju bagian Kevin ingin mengenal Ed, tetapi ketika Kevin bertanya apakah Ed bisa menghabiskan satu hari bersamanya, Quinn berkata ia akan lihat nanti. Kevin tak tahu apa yang Quinn harapkan dari Kevin supaya layak mendapatkan waktu bersama Ed.

Kevin mengetuk pintu rumah Quinn dengan hati-hati. Rumah Quinn bisa dibilang mungil, namun rumah itu sangat terawat. Quinn sepertinya tahu betul tanaman apa yang harus ditanamnya untuk beranda rumah batunya yang sempit. Quinn bahkan tidak punya garasi. Mobilnya terparkir di pinggir jalan.

Pintu terbuka dan Kevin tidak mendapati Quinn yang membuka pintu. Seorang gadis dengan kulit kecokelatan dan rambut karamel terkepang lah yang menyapanya. Gadis itu pasti berada di tahun senior. Ia terlihat dewasa namun juga polos. Ini pasti sepupu Quinn, Laurel.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.

Kevin berdeham. "Aku mencari Quinn dan Ed. Mereka ada, kan?"

Laurel mengamati penampilannya. "Kau siapa?"

"Kevin. Beverly. Aku..." Kevin tidak yakin apakah Laurel sudah mengetahui tentang dirinya. "Teman Quinn."

Laurel terdiam sesaat, Kevin tak yakin tatapan menilai apa yang diberikan Laurel dan apa yang dipikirkannya. Kevin sudah bersiap menghadapi bantingan pintu karena tidak diberi ijin bertemu Ed, tetapi suara keras Quinn dari dalam menyela mereka.

"Siapa, Lau?"

Laurel membuka pintu lebih lebar untuk menunjukkan Kevin pada Quinn. Wanita yang sudah bersiap dengan kaos berkerah dan cantik dengan riasan tipisnya itu berhenti ketika menyadari sosok Kevin. "Tamu untukmu," kata Laurel.

Quinn terdiam sesaat, namun cepat-cepat mengerjap dan mendorong Laurel ke belakang. "Biar aku saja. Bisakah kau... eh... memasak sesuatu untuk makan malam Ed?"

"Ini baru pukul lima," kata Laurel.

Quinn melirik Kevin sesaat. "Dia... eh... pasti akan suka camilan atau sesuatu."

"Boleh aku membuat pop corn?"

"Sempurna!" sahut Quinn. Wanita itu keluar, memaksa Kevin mundur. Kemudian menutup pintu dan tidak membiarkan Kevin masuk. "Ada apa?"

"Hai."

Quinn sepertinya tidak sabar. "Ada apa?"

"Eh... aku ingin bertemu Ed."

"Ini pukul lima. Sebentar lagi akan gelap. Aku harus berangkat bekerja."

"Aku tahu. Tapi aku ingin mengajak Ed pergi jalan-jalan sebentar, boleh?"

Quinn membisu menatapnya. Ada ketidakrelaan yang Kevin sadari di matanya dan Kevin telah menduganya. Quinn menggeleng pelan. "Ini terlalu cepat, Kev."

"Kita tidak akan pernah terbiasa jika tidak berusaha memulainya."

Quinn menggeleng lagi, kali ini lebih kuat. "Aku tidak bisa mendampinginya. Sudah kubilang, aku harus bekerja."

Kevin mencoba lebih keras. "Biarkan aku mengurusnya."

"Kau bahkan tak tahu bagaimana caranya," desisnya.

"Aku akan cari tahu!" tukas Kevin. "Lagipula aku pasti tahu caranya kalau kau membiarkanku hadir di hidupnya selama ini."

Dan Kevin menang. Quinn bungkam seketika menyadari pilihan apa yang diambilnya, yang membuat Kevin terlihat sangat bersalah. Bukan salah Kevin ia tidak tahu cara menghadapi Ed, bukan salahnya pula ia tidak hadir dalam kehidupan Ed.

Quinn menghela napas dan membuang pandangan dari Kevin. "Kau benar-benar akan menggunakan alasan itu seterusnya, bukan?"

Ya. Kevin memang berniat begitu. "Aku berhak mengenalnya. Dia berhak tahu aku ayahnya. Kutanya padamu, apakah kau bahkan memberitahunya siapa aku?"

Quinn hanya diam, seperti yang Kevin duga pula.

"Aku tidak akan menjawab pertanyaan, Quinn. Bukan aku yang berutang itu padanya. Kau berutang pada kami. Kau yang mengambil pilihan dengan memisahkan kami."

Quinn memandang ke arah lain, bukan pada Kevin. "Kau tak tahu apa yang kuhadapi."

"Kau juga tak tahu apa yang kuhadapi saat ini. Aku merasa menjadi ayah paling buruk di dunia karena tidak tahu apapun tentang putraku. Jadi biarkan aku membawanya malam ini, aku janji akan mengantarnya pulang padamu. Aku tidak akan pergi terlalu larut. Hanya jalan-jalan di kota dan makan malam sesuatu yang ia sukai. Itu saja. Aku hanya ingin mengenalnya."

Quinn menatap kakinya. "Lalu aku harus menjelaskan apa padanya?"

"Beritahu dia. Berikan dia jawaban. Ia sudah tahu kemungkinan aku adalah ayahnya." Benar, seseorang harus menjawab pertanyaan Ed yang satu itu. Tetapi orang itu bukan Kevin.

Dan kalimat itu berhasil mengejutkan Quinn hingga memaksanya menatap Kevin. "Kau bercanda."

Kevin mengendik. "Bukan tanpa alasan aku tiba-tiba menemukannya di depan Beverly House. Dia datang bersama Joe karena rumor Sophie meninjuku di bar akibat menghamili seseorang tersebar semudah itu. Ed bukan bayi. Dia tahu apa yang orang dewasa bicarakan. Mungkin nama belakangku mengingatkan Joe akan hotel sehingga bocah itu mengantar Ed ke Beverly House hanya supaya Ed bisa melihat seperti apa ayahnya."

"Tidak mungkin."

Kevin menghela napas. "Kau tidak bisa menyembunyikannya selamanya, oke? Jadi... kau memberiku ijin, bukan?"

Quinn tidak menjawabnya, alih-alih ia masuk ke rumah dan membiarkan pintu terbuka, membuat Kevin bertanya-tanya pertanda apa itu.


# # # #


"Edward!" seru Quinn seraya menaiki tangga menuju kamar Ed. Ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin Ed menyembunyikan suatu hal darinya? Ed tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hal ini membuat Quinn khawatir apakah ini akibat dari kurangnya waktu Quinn bersama putranya.

Saat Quinn membuka pintu kamar Ed, bocah itu tengah sibuk membuka-buka buku dongeng bekas yang Quinn belikan. Ia mendongak dengan tatapan polos ketika mendapati ibunya mengunjungi kamarnya.

"Kupikir aturan mengetuk pintu sebelum masuk masih berlaku?" sahut Ed dengan polosnya.

Quinn menghela napas untuk mengendalikan emosinya. Ia masuk ke kamar bocah itu dan menutup pintu, takut kalau-kalau Laurel mendengar pembicaraan mereka. Quinn belum siap siapapun mengetahui hal ini. Meski nyatanya sebagian orang sudah mengetahuinya, tinggal menunggu waktu kapan semua orang akan tahu. Putranya saja tahu dari orang lain.

Quinn duduk di ranjang kecil Ed dan berusaha mengatur kalimatnya. "Aku ingin bertanya padamu, boleh? Tapi kau berjanji harus menjawab jujur."

Ed menutup bukunya, menyibak poninya yang mulai memanjang, dan menatap ibunya. "Ya."

"Apakah benar kau datang ke Beverly House? Maksudku, bukan Mr. Beverly yang menawarimu masuk lebih dulu, tapi kau yang mengunjunginya, yang ingin bertemu dengannya?"

Ed mendelik ketika mendapati ibunya tahu. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan.

"Edward?"

"Jangan marah padaku, Mom," bisik Ed.

"Jadi itu benar?"

Ed tidak mengangguk, namun mencicit, "Ya."

Oh Tuhan. Jadi selama ini Ed sudah tahu. "Kenapa?"

Ed hanya diam.

"Edward!"

Ed bergerak memeluk kaki Quinn dan menyandarkan kepalanya di paha ibunya. Membuat hati Quinn luluh seketika dan melupakan alasannya marah. Ed tidak menangis. Meski anak itu pendiam, ia jarang menangis. Ia tangguh dan bisa melawan ketika ia berbuat benar. Dan itulah yang Ed rasakan saat ini. Quinn tahu itu. Ed merasa tindakannya datang ke Beverly House itu benar. Quinn saja tidak bisa membayangkan dirinya datang ke Beverly House dan meminta pengakuan Kevin, namun Ed bertekad kuat bisa menghadapi bagian itu.

"Maaf," kata Ed pelan. "Aku tahu aku salah." Ia tidak bilang bahwa ia tidak akan mengulanginya. Perkiraan Quinn benar, Ed memang tidak merasa bersalah.

"Beritahu aku kenapa? Itu..." Quinn berusaha menemukan kata yang tepat. "Itu tidak sopan. Kau bisa saja menggurui Mr. Beverly."

"Aku hanya ingin tahu. Ibu Joe membicarakannya ibu Claire dan Joe bilang ayahku punya hotel bagus."

Ya Tuhan, Quinn tidak bisa menghadapi ini. Inilah yang ia takuti selama ini, Ed akan memandang tinggi keluarga Beverly dan membandingkan dengan kehidupan yang Quinn berikan. Quinn jarang membelikan baju baru kecuali saat ia punya uang sisa lebih setelah seluruh tagihan dan kebutuhan bisa diatasinya. Quinn hanya bisa membelikan barang-barang bekas, mengusahakan barang-barang itu masih sangat bagus untuk ia, Ed, dan Laurel gunakan. Quinn tidak pernah memanjakan Ed dengan barang-barang baru yang bukan kebutuhan pokok. Quinn berada jauh dari Beverly yang terpandang dan punya kehidupan lebih baik.

Quinn takut hal ini membuatnya kehilangan Ed.

"Mom, apa benar Mr. Beverly ayahku?"

Quinn menelan gumpalan yang memberatkan tenggorokannya. Ia selalu berusaha tidak menangis di hadapan Ed. "Bagaimana dia menurutmu?"

"Dia baik," kata Ed tanpa keraguan. "Aku mungkin akan senang punya ayah sepertinya."

"Bagaimana jika dia... bukan ayahmu?"

Ed mengangkat kepalanya dan menatap Quinn dengan kerut di dahinya yang beberapa menit lalu Quinn saksikan di wajah Kevin. Demi Tuhan, setiap inci anak ini adalah Kevin. Rasa bersalah dan ketakutannya beriringan membuat Quinn bimbang. "Tidak apa-apa. Kalau aku tidak punya ayah, aku tidak apa-apa."

Quinn tidak bisa memberikan Ed kalimat andalannya, lagipula kau punya Mom, bukan?

Tidak. Ed memang memilikinya, tetapi Quinn tahu keterbatasannya dari segi finansial. Ia tidak bisa memberikan itu pada Ed. Itu bukan jenis jaminan untuk Ed. Quinn bahkan tak yakin bisa membayar Ed pergi kuliah ketika dirinya sendiri tidak bisa mencicipi bangku universitas. Quinn selama ini bekerja begitu keras demi Ed. Tetapi sekeras apapun yang Quinn lakukan, ia tidak bisa mengganti sosok ayah yang dibutuhkan Ed.

Ed menyandarkan lagi kepalanya di paha Quinn dan memeluk lebih erat. "Aku mencintaimu, Mom."

Quinn mengacak rambut lebat putranya dan menghirup wangi samponya. Oh Tuhan, keinginannya untuk menghindari Kevin tidak akan sebanding dengan keinginan Ed yang mungkin bahagia mendapati sosok ayah yang selama ini diimpikannya. Meski Quinn takut kehilangan Ed, tetapi Quinn memang berutang begitu besar pada Kevin karena telah menyembunyikan kehamilannya.

Quinn menghela napas dan mengusap wajah putranya. "Ya, Ed. Dia ayahmu."

Ed mengangkat wajahnya dan Quinn bisa melihat binar di mata biru indah yang selalu berhasil membuatnya luluh. "Benarkah?"

Quinn mengangguk dan berusaha menampakkan senyum. "Dia... ingin mengenalmu. Apakah kau juga menginginkannya? Jika kau tidak mau, kau bisa bilang. Tak perlu takut."

Ed menggeleng tegas dan sedikit membusungkan dada. "Tidak. Aku tidak takut. Aku... juga ingin mengenalnya. Kalau Mom mengijinkan."

Bagus sekali Ed masih memikirkannya dan tidak bertindak egois sejauh ini. Quinn berharap Ed akan menjadi putra kecilnya yang selalu ia banggakan. Jika Quinn harus membuka kehidupannya untuk Kevin, setidaknya ia harus punya jaminan Kevin tidak akan membawa Ed pergi darinya.

Quinn mengangguk dan mengacak rambut Ed, berusaha keras menyingkirkan rasa janggal di hatinya. "Tentu. Jadi... Mr. Beverly ada di bawah dan berniat mengajakmu keluar sebentar. Kalau boleh pergi jika memang menginginkannya."

"Tidak mungkin," kata Ed dengan senyuman lebar, kemudian anak itu berlari menuruni tangga, meninggalkan Quinn di kamar kosong seraya memegangi dadanya yang mendadak sesak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top