(5)
Kevin akhirnya mengajak kedua anak itu ke restoran hotel. Mereka duduk di meja bagian luar, memandang beberapa pengunjung yang berenang di kolam, seraya menikmati pemandangan dermaga pukul tiga. Kevin membayar tiga mangkuk es krim dengan berbagai varian rasa yang dipilih anak-anak itu sendiri, beserta toping. Rafe, kepala kokinya memperingatkan bahwa anak-anak tidak bisa makan terlalu banyak gula―bertentangan dengan permintaan Kevin yang ingin memberi anak-anak itu es krim sebanyak-banyaknya. Rafe mengusulkan es krim bebas gula yang lebih mahal, tapi persetan, Kevin bisa membayarnya.
"Kalian suka es krimnya?" tanya Kevin ragu. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengatasi anak-anak. Ia memang punya keponakan, tapi semuanya masih bayi dan itu tidak bisa disamakan dengan menghadapi anak berumur delapan.
Untungnya anak-anak itu cukup menikmati pemandangan kolam renang dengan seluncur. Minggu ini Kevin memutuskan memasang kembali papan seluncur itu karena mendekati musim liburan dan akan ada banyak pengunjung yang membawa serta anak-anak mereka. Arena bermain anak yang bisa dibongkar pasang menjadi poin tambah Beverly House, membuat pengunjung benar-benar merasa liburan di rumah, membuat hotel itu berbeda dengan hotel lain yang hanya menjadi tempat menginap.
Joe lebih banyak bicara daripada Ed. Joe tidak henti-hentinya mengagumi fasilitas Beverly House, membayangkan apa yang akan ia lakukan jika bisa menginap di sini meski rumahnya hanya dua ratus meter dari sini.
"Ini es krim terbaik yang pernah kumakan, Mr. Beverly," kata Joe. "Aku bahkan tidak merasa ingin muntah. Meski sudah makan lebih dari tiga sekop."
"Kokiku, Rafe yang membuatnya. Makanlah kentang gorengnya juga. Itu mungkin membantumu tidak mual." Setidaknya begitu kata Rafe, sesuatu yang gurih bisa membantu.
"Kau punya koki sendiri?" tanya Joe.
"Ya. Dia memasak untuk pengunjung."
"Keren!" kata Joe. "Kalau aku punya koki sendiri, aku pasti akan punya es krim sendiri."
Kevin melirik Ed yang diam-diam mencuri pandang padanya seolah mengamati. Kevin tak tahu apa yang Ed pikirkan tentangnya. Apakah Kevin adalah jenis ayah yang ia harapkan? Atau apakah Kevin mengecewakannya? Anak itu begitu diam seperti Calvin yang berusaha menjauhinya. "Eh, bagaimana denganmu, Ed? Kau suka es krimmu? Kulihat kau sangat suka yang vanila." Seperti Kevin. Ia selalu mengambil rasa vanila meski itu rasa es krim sejuta umat. Tidak ada taburan biskuit, kismis, almond, atau apapun. Hanya vanila. Tidak peduli jika orang-orang di luar sana lebih menyukai rasa yang unik.
"Ini es krim terbanyak yang pernah kumakan," kata Ed. Ia menyuapkan es krimnya lagi dan mengambil kentang. Ed punya badan yang kurus, persis seperti Kevin kecil dulu karena terlalu aktif dan sering membakar lemaknya. Tetapi Ed sepertinya bukan kurus untuk alasan itu mengingat ia begitu pendiam. "Aku tidak pernah makan lebih dari satu sekop."
"Kadang-kadang aku membeli sekotak besar es krim," kata Joe. "Aku mendapatkannya hanya saat aku melakukan hal baik."
"Aku mencoba jadi anak baik tapi sekotak besar es krim tetap saja mahal. Lagipula, kata Mom terlalu banyak es krim akan membuatmu muntah. Tapi tetap saja, aku harus berusaha jadi anak baik."
"Aku bisa membelikanmu sekotak es krim," tawar Kevin. Ia tak yakin sedang melakukan apa. Tetapi ia merasakan sesuatu ketika mendengar Ed mengatakan sekotak es krim itu mahal. Demi Tuhan. "Untuk kalian berdua, masing-masing satu kotak. Itu gratis."
Joe tersenyum begitu lebar, sementara Ed tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Mr. Beverly," ujar Joe.
"Aku tidak mau merepotkanmu," kata Ed.
"Tidak," sahut Kevin. "Itu hadiah dariku. Kalian sudah mampir dan aku selalu senang menerima pengunjung."
Ed menatapnya serius. Kali ini ia terlihat memberanikan diri bertanya, setelah hanya diam dan Kevin yang memulai pembicaraan. "Kau juga memberi es krim gratis pada pengunjungmu?"
"Tentu saja." Bukan es krim tepatnya, tetapi kadang-kadang memang ada paket yang punya paket gratis―meski yah, itu memang tidak sepenuhnya gratis.
"Kau terlihat baik," kata Ed.
Hati Kevin merebak mendengar itu. "Terima kasih kalau begitu?"
Ed merona lagi, lalu memakan es krimnya dengan hati-hati. Tidak seperti Joe yang begitu ceroboh hingga es krimnya tercoreng tidak hanya di sekitar bibir, tapi sampai hidung, kedua tangan, dan kerah kausnya. Joe selesai makan lebih dulu, anak itu memang agak sedikit gempal. Ia melirik Ed yang sepertinya masih lama makan. Anak itu meminta ijin membersihkan tangannya.
"Di sana ada tempat cuci tangan," kata Kevin. "Kau mau kubantu?"
"Tidak, Mr. Beverly. Terima kasih." Kemudian anak tersebut menuju ke pancuran, meninggalkan Ed yang gelisah.
Kevin berusaha lebih keras. "Jadi, Ed, kenapa tidak kau ceritakan tentang dirimu?"
"Seperti apa?"
"Seperti... makanan kesukaanmu. Atau tempat terbaik yang pernah kau datangi. Sesuatu semacam itu?"
"Aku hampir makan semua yang ibuku bawakan. Tidak baik pilih-pilih makanan, bukan? Tapi aku selalu suka makaroni keju. Mom selalu membuatkannya untukku sebagai imbalan aku sudah menang melawan sakit."
Makaroni keju. Mungkin Kevin harus mencatatnya.
"Dan aku suka kota ini. Tidak sebesar tempat tinggalku sebelumnya, tapi aku mendapatkan teman-teman baik dengan cepat di sini. Joe itu sahabatku. Ibunya juga baik mau menerimaku bermain lebih lama bersama Joe setelah pulang sekolah sampai Mom selesai kerja."
"Bukankah ibumu bekerja saat malam? Di Danny's? Aku bertemu dengannya di sana."
Ed mengangguk. Tidak penasaran bagaimana Kevin bisa tahu, sepertinya berita semalam memang sudah tersebar di kota kecil ini. "Mom punya beberapa pekerjaan. Dulu dia membuat kue untuk pesanan, sepertinya dia akan melakukan itu lagi. Tapi entahlah, sekarang Mom bekerja pada Mrs. Amanda, lalu bekerja lagi pada Mr. Randy. Mom bilang, itu bukan masalah. Aku tidak perlu memikirkannya."
"Dia punya dua pekerjaan?" Kevin terkejut mengetahui betapa kerasnya Quinn mencari uang. "Lalu siapa yang mengantarmu sekolah?"
"Sepupu Mom yang ikut kami. Bibiku namanya Laurel. Dia mengantar dan menjemputku, kemudian dia harus bekerja di pom bensin sampai jam kerja malam Mom."
Jadi Quinn bahkan harus meninggalkan Ed bekerja, demi mendapatkan penghasilan, menghidupi mereka berdua. Pantas jika Sophie meninjunya, Kevin mungkin memang pantas mendapatkannya meski di sisi lain ia adalah korban juga.
"Ed, aku mau bermain di taman. Kau ikut?" tanya Joe yang sudah selesai mencuci tangan.
Ed melirik Kevin. "Menurutku, kita harus ijin pada Mr. Beverly lebih dulu."
Harusnya Kevin tidak mengijinkan pengunjung yang tidak menginap untuk menggunakan fasilitas hotel, tetapi memangnya Kevin akan melarang anak―yang sudah dipisahkan darinya selama delapan tahun―untuk bermain? Ia pasti akan jadi ayah yang sangat buruk.
"Tentu. Tapi jangan terlalu lama. Sebentar lagi hampir sore, seseorang pasti mencari kalian."
Ed cepat-cepat menghabiskan es krimnya. Ia juga mengantongi kentang lalu berlari menyusul Joe yang sudah lebih dulu tiba di rumah balon. Ed terlihat begitu bahagia, begitu senang setelah mendapat es krim dan kentang goreng, sekarang ia bisa bermain di taman yang luas. Gerald bilang Quinn tinggal di rumah Jacob Weiner yang diwariskan padanya. Kevin hanya samar-samar mengingat rumah keluarga Weiner, tapi yang pasti itu bukan rumah besar dengan halaman dan taman bermain.
Kevin merogoh ponselnya dan menelepon ayahnya. Pada dering kedua, ayahnya menjawab. "Hai, Dad. Kau sedang apa?"
"Di rumah sakit. Menengok Jesse. Besok dia sudah boleh pulang. Kau tahu, Max memutuskan untuk pindah ke rumah lagi. Beberapa bulan lagi musim pertandingan dan dia tak mau Jesse kesepian. Janice juga ingin lebih dekat dengan cucu-cucunya."
"Itu bagus. Jadi Jesse yang pindah ke rumahmu, atau Max yang pindah ke rumah Jesse?"
"Memangnya apa bedanya? Mereka hanya tinggal menyeberangi semak."
"Benar." Kevin terkekeh dan memandangi Ed yang sedang bermain. "Eh, Dad. Sebenarnya aku meneleponmu untuk sesuatu hal."
"Ada apa?"
"Ed datang ke hotel dan mencariku."
Ada suara gemerisik di sana, kemudian jeda yang panjang. Kevin pikir panggilan itu terputus namun penanda waktunya masih terus berjalan. Beberapa saat kemudian suara Gerald terdengar lagi. "Jadi dia menemuimu?"
"Ya. Dia bertanya apa aku ayahnya."
"Ya Tuhan," desah Gerald. "Kau jawab apa?"
"Aku belum menjawabnya. Sally membantuku mengalihkan perhatian mereka dengan camilan restoran."
"Kenapa kau tidak memberitahunya?"
"Itu bukan hakku. Harusnya Quinn yang melakukan itu. Kupikir dia akan kebingungan. Aku juga kebingungan. Aku tidak punya bukti apapun. Bagaimana jika Quinn membual dan yang sebenarnya itu anak Calvin? Kita tidak tahu itu."
Jeda panjang lagi hingga helaan napas Gerald terdengar. "Kau benar."
"Tapi aku ingin mengenalnya." Entah mengapa Kevin sudah mulai menyayangi bocah itu. Terlepas dari apakah Ed anaknya atau Calvin, Kevin akan tetap menyayanginya. "Aku ingin menguatkan bukti-bukti. Aku akan melakukan uji paternitas."
"Tapi kau harus memikirkan Quinn. Dia adalah wali yang sah. Ibu yang melahirkannya dan membesarkannya dengan baik sejauh ini. Menurutku kau harus bicara dengan Quinn."
"Itu sesuatu yang pasti, Dad. Aku memang harus bicara dengannya lagi."
# # # #
Tiga jam dari waktu yang seharusnya. Quinn mulai cemas begitupun Dylan yang menunggu Joe dan Ed pulang. Seharusnya Quinn menjemput Ed tepat waktu, tetapi musim turis membuat tempatnya bekerja tutup setengah jam lebih lambat hingga ia juga pulang terlambat. Dylan berkata kedua bocah itu terakhir bermain sepeda mengelilingi rumah, lalu kemudian pergi entah ke mana. Quinn dan Dylan sudah menyusuri jalanan sekitar perumahan, tetapi tidak menemukan mereka. Sepeda mereka pun tidak ada di rumah teman-temannya. Quinn takut Ed bersepeda sampai ke jalan utama atau jalan menuju pantai yang lalu lintasnya sedang padat.
Dylan menghela napas saat menutup telepon untuk ke sekian kali. Ia menggeleng pada Quinn. "Aku sudah menelepon seluruh rumah teman mereka yang di sekitar sini, tapi mereka tidak tahu di mana kedua anak itu."
"Aku takut sesuatu terjadi pada mereka, Dyl."
"Aku juga. Tapi aku yakin menghubungi polisi sekarang juga akan sia-sia. Lebih baik kita menunggu suamiku pulang dan mencarinya di sekitar blok sebelum mencari di sekeliling kota."
Quinn beranjak dari sofa lagi, lalu keluar dan kembali mondar-mandir. Ia tidak bisa tenang menunggu Ed pulang. Ed belum pernah menghilang sebelumnya dan Quinn sangat cemas. Ed bukan tipe anak yang hiperaktif hingga nekat melakukan hal-hal aneh. Ed itu pemalu dan selalu menurut apa yang Quinn katakan.
Dylan keluar dan meneliti jalanan lagi. Sekarang sudah pukul lima lebih, hampir setengah enam, seharusnya Quinn bersiap ke Danny's untuk sifnya pukul enam. "Aku mungkin harus berkeliling," cetus Quinn. "Kau mau ikut?"
"Aku takut tidak ada yang menjaga rumah ketika mereka pulang."
Quinn mengangguk dan bersiap mencari kunci mobilnya. Ia mungkin harus menelepon Sophie kalau dia akan datang terlambat. Meski itu sangat tidak bertanggung jawab. Sophie mengandalkannya dan tidak ada pelayan lainnya di Danny's. Quinn sengaja diperkerjakan karena Sophie yang hamil tua. Tetapi Quinn tidak bisa tenang sebelum menemukan putranya.
Quinn baru saja turun dari beranda rumah Dylan Dale, ketika sebuah mobil SUV berhenti di tepi jalan. Ed dan Joe keluar dengan senyum lebar, sama sekali bertolak belakang dengan kedua orang tua yang mencemaskan mereka.
"Ed!"
"Mom!" Ed berlari ke arahnya dan memeluk. Quinn merasakan kelegaan melihat putranya tidak berkurang sedikitpun.
"Kau ke mana saja, anak bandel?"
"Mr. Beverly membelikanku es krim."
Quinn menegang ketika menyadari bahwa pengemudi SUV gelap itu adalah Kevin. Pria itu turun dari bagian kemudi dan menuju pintu belakang untuk menurunkan sepeda anak-anak itu. Joe dan Ed kembali pada pria itu, mengatakan sesuatu yang membuat pria itu terkekeh, lalu mengambil alih sepeda mereka bersama dengan plastik besar yang diberikan oleh pria itu.
Kevin Beverly saat hari lebih terang jelas berbeda dengan yang dilihatnya semalam. Quinn tak tahu apakah itu efek kurangnya cahaya atau karena Quinn yang begitu berusaha menghindari Kevin, tetapi hari ini Kevin terlihat segar dan tampan. Rambut cokelat terangnya rapi. Ia berpenampilan lebih rapi daripada semalam. Jelas-jelas menunjukkan betapa mapan dirinya.
Kevin menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan, namun memutuskan kontaknya ketika menyadari bukan hanya mereka yang ada di sini. "Mrs. Dale," sapanya. "Sepertinya sudah lama kita tidak bertemu meski Beverly House ada di dekat sini. Apa kabar Ronny?"
Dylan melirik Quinn sesaat. Quinn tak tahu apa artinya. Tetapi wanita itu merona. Memangnya siapa yang tidak merona diajak mengobrol oleh Kevin Beverly? Tidak peduli meski Dylan empat tahun lebih tua dari Kevin. "Baik. Dia belum pulang. Jadi bagaimana putraku bisa bersamamu?"
"Mereka bermain di dekat hotel. Aku menawarkan es krim di musim panas yang terik. Anak-anak pasti lupa waktu jika sudah diberi es krim. Maaf membuatmu cemas."
"Bisakah kita masuk dan memasukkan es krimnya ke kulkas, Mom?" tanya Joe.
Dylan tersenyum pada putranya dan mengangguk. Sekali lagi menatap Quinn dengan tatapan aneh, tapi kali ini ia juga menatap Kevin bergantian. Quinn tidak tahu apa yang terjadi. "Eh, Quinn, kau mungkin mau mampir untuk makan malam? Bagaimana denganmu, Kevin?"
Dylan tahu Quinn harus bekerja sebentar lagi. Itu jelas hanya basa-basi. Quinn jelas menolak, waktunya terbatas. "Tidak. Terima kasih. Aku harus segera bekerja."
"Baiklah," kata Dylan. "Kau, Kev?"
Kevin menggeleng. "Ayahku menungguku."
"Mom!" desak Joe yang sudah tidak sabar.
"Baik. Baik," kata Dylan. "Kalau begitu, aku mungkin harus masuk dan memandikan Joe. Sampai jumpa!" Kemudian ia masuk ke dalam rumah meninggalkan Quinn yang terpekur karena diamati Kevin.
"Bisakah aku segera menyimpan es krimku dalam kulkas?" tanya Ed pada Quinn mengikuti Joe. "Aku takut ini akan mencair."
Kevin melangkah mendekati Ed hingga membuat Quinn secara reflek memegang putranya dengan defensif. Kevin menatap Quinn dengan alis terangkat, namun tidak berkata apapun. Ia hanya berlutut untuk menyejajarkan diri dengan Ed. "Tempat es krimnya dirancang supaya es krimnya tahan lama. Jangan khawatir. Kokiku tahu betul apa yang dilakukannya."
"Benarkah?" tanya Ed, lalu mendongak pada Quinn, entah untuk apa. Akhirnya anak itu mengangguk. "Oke."
Kevin bangkit kali ini menatap Quinn dengan serius. "Kita harus bicara."
Quinn memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberanian menatap Kevin. "Aku terburu-buru. Aku harus bekerja."
"Aku punya banyak waktu. Aku bisa mengikuti waktumu. Kapan kau bisa meluangkan waktu untuk membicarakan ini? Haruskah aku datang ke Danny's?"
"Tidak," sahut Quinn cepat. Sudah cukup berita semalam mengubah dunianya dari tanpa Kevin menjadi ada Kevin. Ia tak yakin apa yang akan terjadi jika orang-orang melihat mereka bersama. Tetapi memangnya kapan Quinn punya waktu? Ia nyaris tidak punya waktu luang atau hari libur.
"Lalu?" tuntut Kevin. "Ini sangat penting. Aku tidak mau kau melarikan diri. Kau mencuri sesuatu dariku."
Sial. Kevin seharusnya tidak perlu menekankan itu. Quinn tahu dirinya bersalah tetapi ia tidak punya pilihan.
"Mom, aku bau keringat," keluh Ed yang menggoyangkan tangannya, memecah gelembung pikirannya.
"Oke," kata Quinn entah untuk siapa. Mungkin ayah dan anak yang sama-sama mendesaknya. "Oke. Oke. Temui aku saat Danny's akan tutup. Kau bisa?"
"Pukul satu pagi?"
Quinn mengangguk.
"Well, aku kadang memang jalan-jalan pukul satu pagi. Pemilihan waktu yang fantastis."
Quinn menatap bingung pada Kevin, tidak yakin apakah pria itu bercanda atau tidak. "Jadi?"
"Tentu aku akan datang." Kevin mundur darinya dan menuju mobilnya. "Dah, Ed. Sampai jumpa!"
"Terima kasih, Mr. River―Beverly!"
Pria itu masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar. Quinn juga mendorong putranya ke mobil dan menunggu mobil Kevin melaju sebelum menyalakan mesin. Sebenarnya Quinn butuh bernapas sejenak setelah obrolannya dengan Kevin. Pertanyaan-pertanyaan menggumpal di kepalanya. Bagaimana Ed bisa mengenal Kevin? Bagaimana Ed bisa akrab dengan pria itu padahal anak itu pemalu? Apa yang diinginkan Kevin?
"Mom, apa kita tidak jalan?"
"Oke. Sebentar." Quinn butuh mengambil napas dan membuangnya beberapa kali sebelum menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya. Ia akan menanyai Ed nanti, atau entah kapan, yang jelas bukan sekarang saat Quinn sedang terguncang.
"Kau bilang mencuri itu tidak baik, bukan?" tanya Ed tiba-tiba.
"Ya. Kenapa?"
"Apa yang kau curi dari Mr. Riverly, Mom? Dan kenapa?"
Quinn merasa guncangan itu tidak mungkin berhenti sampai di sini saja. Rasanya seperti dunia yang telah ia bangun, berputar ke arah yang tak ia duga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top