(31)
Kevin terbangun dengan setengah tersentak. Ia mencari-cari ruang gelap yang menekan seluruh udaranya untuk bernapas, mengungkungnya dalam suhu dingin nan membekukan, dan arus yang tidak bisa ia lawan dengan kaki sekeras batu. Namun saat ia mengerjap, ia bersyukur tidak terbangun di tempat itu. Meski ia menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya, tetapi ia tetap beruntung tidak mengalami kejadian menakutkan itu lagi. Ia bisa menghirup udara sebanyak mungkin, sepenuhnya hangat berbalut selimut tebal, sementara seorang wanita yang begitu dicintainya berada dalam pelukannya.
Kevin menghela napas panjang dan mensyukuri tempatnya berada saat ini. Ia tidak mau berada di manapun lagi selain di sini, di rumah yang nyaman bersama wanitanya dan anaknya. Kevin begitu beruntung memiliki mereka berdua untuk melengkapi hidupnya. Itu sebabnya Kevin tidak berpikir dua kali untuk melamar Quinn.
Quinn menggeliat ketika Kevin menarik lengannya dari bawah kepala wanita itu. Quinn mengerjap dan matanya begitu sayu menatap Kevin. "Ada apa?"
Kevin tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa-apa. Tidurlah lagi. Ini mungkin masih pukul empat."
"Kau juga. Tidurlah lagi." Quinn menutup kuapnya, lalu mengecup bahu Kevin sebelum menutup matanya kembali.
Kevin mengecup puncak kepala Quinn selama beberapa detik lamanya. "Aku mencintaimu."
"Aku juga, Kev. Tidurlah. Kau butuh istirahat." Namun wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Napasnya berangsur teratur dan sejenak hanya ada keheningan.
Kevin turun dari ranjang, berniat mengambil minum. Mendadak tenggorokannya terasa begitu kering. Ia keluar dari kamar Quinn dan mendapati ruangan gelap dihiasi cahaya remang seadanya. Namun entah bagaimana tiba-tiba langkahnya membeku ketika menatap pintu depan Quinn yang memisahkan dunia kejam di luar sana dengan dunia Kevin yang sepenuhnya hangat dan sempurna.
Kevin tidak berpikir bagaimana kakinya mendekati pintu itu. Ia tidak tahu kenapa melakukan itu. Membuka gerendel, memutar kunci, dan membuka pintu. Kevin tak yakin siapa yang paling terkejut, namun ia mendapati Calvin yang berdiri di jalan masuk rumah Quinn. Sama-sama terlihat terkejut mendapati saudara kembarnya sendiri.
Calvin mengenakan mantel tebal. Kopiah rajut menghangatkan kepalanya. Ia mengikat rambut panjangnya. Memandang ragu pada Kevin. "Hai."
"Cal? Apa yang kau lakukan di sini? Kau mau masuk?"
Calvin terkekeh pelan. Ia menggeleng. "Aku tidak yakin akan diterima di sini. Ini rumah Quinn. Bisakah kita bicara sebentar?"
"Di luar dingin sekali."
"Hanya sebentar."
Kevin menatap ke dalam dan mendapati tidak ada tanda-tanda Quinn atau siapapun yang terbangun pukul empat pagi, apalagi setelah insiden tenggelamnya Ed yang mengguncang semua orang. Tentu saja ia terkejut mendapati Calvin di sini. Belum lagi instingnya yang mendadak ingin membuka pintu. Ternyata ini yang ingin takdir tunjukkan. Atau mungkin ikatan saudara kembar itu masih tetap ada.
Kevin meraih mantel di gantungan dekat pintu. Ia menutup pintu dan berdiri canggung di hadapan Calvin yang hanya diam. "Jadi―"
"Maafkan aku," potong Calvin.
"Apa?" Kevin kebingungan. "Untuk apa?"
Calvin membuang pandangan dari Kevin. "Untuk segalanya. Aku bersalah atas banyak hal."
"Aku tidak mengerti."
"Aku saudara yang buruk, kau tahu? Sekarang aku menyadarinya. Aku tahu alasanmu menolongku, bukan April. Dan rasanya sangat tidak benar menyalahkanmu atas kematiannya."
"Kau masih memikirkan itu?"
"Setiap harinya." Calvin mengakui. "Aku selalu membayangkan bagaimana jika aku yang menyetir saja waktu itu, mungkin kecelakaan itu tak akan pernah terjadi. Atau bagaimana jika kau menyelamatkannya, bukan aku. Aku hidup setiap detiknya dalam rasa bersalah pada April, pada orang tuanya, pada kota ini, pada semua orang. Aku hanya ingin menyalahkan seseorang atas semua itu, maka aku menyalahkanmu kalau bukan diriku."
"Itu bukan salahmu, Cal. Itu kecelakaan."
Kevin tak pernah mengira saudaranya punya beban begitu besar. Ia sempat berpikir bahwa Calvin tidak bisa menerima kematian April. Beberapa hari pertama saat kepergian April, Calvin begitu diam dan tak tersentuh. Ketika Kevin mulai mengkhawatirkan saudaranya, Calvin mulai terlihat pulih dan bisa menjalani kehidupannya lagi. Kevin tak pernah tahu bahwa Calvin menyembunyikannya.
"Aku selalu berpikir takdir yang jahat padaku. Aku mengulang kecelakaan itu berkali-kali dalam ingatanku dan aku masih tetap saja hancur."
"Kau seharusnya memberitahuku. Aku saudaramu."
Calvin tersenyum segaris. "Aku tahu. Sekarang aku mengerti alasan mengapa kau menyelamatkanku, bukan dia padahal kau bilang kau pernah mencintainya juga―"
"Itu dulu," potong Kevin. "Aku tidak mungkin mengkhianati saudaraku."
"Aku juga mencintai putramu, kau tahu. Dia mengingatkanku padamu. Aku tidak berlari pada detik pertama mendengar teriakannya meski aku mencintainya, tapi aku berlari di detik pertama Quinn meneriakkan namamu dengan begitu kalut. Aku―" Calvin tersendat. "Aku tidak mau kehilanganmu."
"Kalau bukan karenamu, ini pasti malam pemakamanku."
Calvin menggeleng. "Sudah cukup aku kehilangan April. Aku tidak mau menyesali hidupku sendiri karena tidak sempat menyelamatkanmu."
Kevin tersenyum. "Jangan khawatir. Aku masih di sini."
"Aku juga minta maaf untuk Quinn. Aku... hanya ingin mencari orang lainnya untuk kusalahkan. Aku tahu apa yang kulakukan padanya tidak termaafkan, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku menyesal. Bisakah kau menyampaikannya?"
Kevin mengernyit mendengar Calvin membicarakan Quinn seolah terdapat rahasia di antara mereka. "Kenapa tidak kausampaikan saja sendiri?"
"Dia sangat membenciku, oke? Dan aku pantas mendapatkannya."
Kevin menendang kerikil di kakinya hingga kerikil itu berhenti di depan Calvin. "Apakah kau mencintainya?"
Calvin mengangkat wajah dan terkekeh. "Aku harap aku bisa melakukannya, kau tahu?"
Kevin tersentak.
Namun Calvin tertawa. "Aku berharap aku bisa mencintai orang lain lagi. Tapi tidak, hanya April. Aku iri padamu karena bisa mendapatkan Quinn. Kalian sempurna bersama."
"Jadi tidak ada perasaan pada Quinn?"
Calvin mengendik. "Kau bisa melangkah dengan bebas untuk menikahinya."
Kevin merasa wajahnya panas di depan saudaranya sendiri. "O-oke... Kau mau mampir dan meminum cokelat panas, mungkin?"
Calvin menggeleng dan mengambil langkah mundur. "Aku akan pergi ke pulau tropis."
"Apa? Sekarang? Di hari Natal? Kau tidak harus pergi."
Calvin tersenyum dan mengendik. "Tidak, Kev. Aku harus. Aku hanya datang ke sini untuk mengatakan itu dan... yah, berpamitan."
Kevin tidak mengerti mengapa Calvin masih perlu berpergian setelah menjelaskan segalanya. Tetapi Kevin menarik Calvin mendekat dan memberi pelukan antar saudara yang sudah lama tidak mereka lakukan. Mungkin umur mereka adalah tujuh tahun saat melakukan hal itu. "Hati-hati, Sobat."
"Berbahagialah, Kev. Kau pantas mendapatkannya."
Kevin tersenyum cerah. "Kau juga, Bro. Dan tolong, jangan jadi orang asing."
# # # #
Pagi itu Kevin dan Ed terserang demam parah. Quinn merawat keduanya dengan sabar. Menu makanan mereka sehari itu adalah sup ayam lezat buatan Quinn. Kevin bersyukur Quinn masih mau merawatnya, mengijinkannya menginap di rumahnya, terutama ia bersyukur karena Quinn menerima lamarannya.
Laurel masih terguncang dan merasa bersalah atas yang terjadi pada Ed. Tetapi Ed dengan bijaknya berkata bahwa itu bukan salah Laurel tetapi salah Coco yang tiba-tiba menceburkan diri ke air. Lalu anjing tersebut menyalak untuk membalas.
"Lihat sisi baiknya. Quinn menerima lamaranku," kata Kevin pada Laurel. Mereka sedang duduk ruang santai, berbalut selimut-selimut tebal, dan menikmati pagi Natal yang indah. "Aku jadi tahu kalau Quinn begitu sedih dan menderita melihatku hampir mati."
Quinn yang berada dalam pelukannya, mengerucutkan bibirnya dengan lucu. "Kau benar-benar tidak bernapas, tahu? Aku bersumpah."
Ed yang sedang sibuk dengan lautan legonya―hadiah Natal dari Kevin―mengalihkan pandangan dari rumah mininya ke ayahnya. "Aku tidak suka kau tidak bernapas, Dad."
Kevin tersenyum pada putranya. "Aku di sini, Sobat. Dan aku bernapas meski harus terserang flu mengerikan ini." Tapi bagaimanapun, ia menjadi pria paling beruntung di dunia karena memiliki anak yang hebat dan pemberani seperti Ed, juga wanita tangguh nan cantik seperti Quinn. Tetapi Kevin hanya memikirkannya dan mensyukurinya dalam hati.
"Jadi... apa arti kata melamar?" tanya Ed tiba-tiba.
Quinn terhenyak hingga menatap Kevin, sementara Kevin memberi persetujuan dengan mengangguk pelan. "Eh... dari mana kau mendengar kata itu?"
"Laurel," kata Ed polos. Laurel hanya mengalihkan pandangan seraya mengusap kepala Coco yang tengah tertidur. "Dia bicara padamu pagi ini, kan?"
"Menguping itu sungguh tidak sopan, Edward," kata Quinn.
Kevin memutar mata. "Singkat kata, kami akan menikah, Ed. Kami akan resmi menjadi suami istri."
Ed tersenyum begitu lebar. "Maksudnya Dad akan tinggal di sini selamanya?"
Kevin mengangguk. "Atau kalian yang akan tinggal denganku selamanya." Kevin sudah membicarakan ini bersama Quinn, meski begitu Quinn masih saja menghindar. Kevin hanya menganggap itu sebagai persetujuan karena ia tidak menerima penolakan. Quinn bilang terlalu awal untuk memutuskan urusan pindah rumah ini, tetapi Kevin tidak bisa menahan diri untuk memikirkannya.
Ed beranjak dari tempatnya dan berlari memeluk kedua orang tuanya. Hati Kevin merebak dipenuhi kehangatan karena melihat betapa bahagianya Ed mendengar orang tuanya akan segera bersama. "Aku menyayangi kalian, Mom, Dad."
"Mana pelukan untukku?" ujar Laurel. Ed tertawa dan berlari memeluk bibinya itu.
Kevin mengecup puncak kepala Quinn, sementara wanita itu menyusup lebih dalam ke pelukannya. Inilah bayangan kehidupan sempurna yang tidak Kevin duga. Kevin mungkin bukan seorang yang sempurna di masa lalunya, tetapi ia bersiap menghadapi masa depannya bersama wanita yang dicintainya.
"Aku mencintaimu," bisik Quinn.
"Aku mencintaimu juga, Sayang."
T . A . M . A . T
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top