(30)
Kevin harus menahan diri sebisa mungkin untuk tidak memeluk Quinn karena wanita itu belum sepenuhnya memaafkannya. Meskipun, yah, Quinn membalas ciumannya dan berkata dengan yakin bahwa ia mencintai Kevin. Tapi tetap saja, Kevin tidak yakin bahwa itu lampu hijau yang mengartikan bahwa hubungan mereka sudah kembali seperti sedia kala.
Quinn bersikap sopan padanya. Tidak bermanja-manja. Tidak terlihat ingin menelanjangi Kevin. Atau bahkan bersandar padanya. Quinn hanya duduk di sampingnya, menikmati makan malam, dan takjub dengan api unggun yang dikelilingi keluarga Beverly untuk mencari kehangatan.
Kevin mulai bertanya-tanya, memangnya berapa lama yang dibutuhkan seorang wanita untuk memaafkan pasangannya? Ini sudah berbulan-bulan, demi Tuhan. Kevin merasa nyeri di hatinya, di tubuhnya, sekaligus pada gairahnya karena tidak bisa menyentuh Quinn.
"Menurutmu, bayimu kali ini laki-laki atau perempuan, C?" tanya Jesse.
Berita kehamilan Cara memang mengejutkan. Starr baru berumur satu tahun minggu lalu dan sekarang ia sudah menjadi calon kakak. Kevin harusnya membayangkan jenis makan malam yang lebih besar dari ini. Dengan lebih banyak anak-anak, tentu saja.
"Entahlah," sahut Cara. "Usianya baru dua minggu. Aku mulai mencurigai tamu bulananku. Kemudian aku mengeceknya sendiri. Ketika hasilnya positif, aku ingin meyakinkan berita ini dengan pergi ke dokter kandungan."
"Dan aku bahkan tidak tahu kapan kau pergi ke dokter kandungan," gerutu Rick yang tengah memangku Starr dan menjaga bayi itu tetap hangat. Sepertinya ia agak terguncang karena bayinya masuk ke dalam kardus yang ditutup selama tiga menit, meski sebenarnya kardus itu tidak sepenuhnya tertutup. Cara membuat kardus itu seperti rumah yang punya jendela. Sungguh aneh Rick tidak menyadarinya. Tetapi Kevin bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajah kakak iparnya itu.
"Sudah ada tanda-tanda kau mengalami masalah kesehatan?" tanya Quinn hingga membuat Kevin terkejut karena wanita itu hampir selalu diam kecuali ditanya.
"Maksudmu mual mengerikan itu?" tukas Cara.
"Ya Ampun, jangan lagi," erang Jesse. "Kau tak tahu masa mual yang dialami Cara. Aku jadi harus membawa biskuit asin ke mana-mana karena Rick mengancamku."
"Apakah kita akan terus membicarakan soal kehamilan ini?" cetus Kevin. "Karena aku mulai mual kalian membicarakan mual-mual ini."
"Bagaimana dengan pertandinganmu, Max?" tanya Calvin.
"Kami masih harus mencetak skor supaya unggul di grup, Sobat," kata Max. "Kau harus menonton ESPN dari laptopmu kalau kau memang berada di luar Amerika. Musim ini akan seru. Segalanya soal balas dendam."
"Hati-hati dengan lenganmu," tegur Jesse. "Kau bisa bayangkan empat bulan tidak menggendong jagoan dan tuan putrimu."
Max meringis. "Aku tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh menyiksa. Kalian bisa bayangkan aku berhubungan seks dengan satu tangan? Satu tangan!"
"Astaga!" gerutu Cara diikuti protesan semua orang yang sedang mengitari api unggun itu.
"Itu menjijikkan, oke?" gerutu Kevin. "Aku tidak mau membayangkan kalian."
Jesse mengurut kening dan wajahnya sudah semerah kepiting rebus. "Kenapa aku menikahinya? Demi Tuhan, kenapa?"
Untungnya Keith dan Lean diungsikan ke dalam rumah oleh kakek neneknya, di mana kehangatan tetap terjaga di sana. Mereka tidak harus mendengarkan kegilaan orang tuanya. Kevin melirik Ed yang asyik bersama teman barunya Coco. Sepertinya ia satu-satunya orang yang berkeringat di tengah salju tipis ini.
Quinn mengamati arah pandang Kevin dan tersenyum. "Bagaimana ayahmu bisa tahu dia butuh teman? Meskipun dia pemalu, dia suka sekali punya teman. Dia suka bayi, dia suka hewan berbulu. Kalau dia merengek tengah malam untuk ke rumah kakeknya, aku tidak tahu harus melakukan apa."
"Kita bisa memindah Coco ke tempatku kalau kau keberatan berkunjung ke rumah ayahku," kata Kevin. Quinn belum pernah sekalipun ke rumahnya meski tempat Kevin tidak jauh dari rumahnya. Selalu saja ada alasan yang memungkinkan Quinn mengelak. Ed memang beberapa kali berkunjung, tapi Quinn selalu melarang anak itu menginap entah untuk alasan apa. Siapa yang tahu Coco bisa membalikkan semua teori itu? Kevin tidak tahu apakah Quinn akan setuju, tapi ia sedang mencoba peruntungannya. Mungkin ia harus berterima kasih pada ayahnya karena bisa membuat Quinn mengunjunginya.
Warna merah menjalari wajah Quinn. Kevin tidak tahu apakah Quinn sedang merona atau darahnya tengah bergelut dengan udara dingin. Bagaimanapun wanita itu begitu cantik dengan rona itu. "Kau akan kesulitan dengan anjing."
"Aku akan baik-baik saja. Aku hidup sendiri dan kadang-kadang butuh teman." Terkadang, Kevin juga memikirkan teman untuk berbagi hidup. Hal itu tidak pernah begitu sering ia pikirkan sebelum Quinn datang dalam hidupnya. Dan seperti ini, didampingi Quinn di tengah keluarganya yang mulai membangun kehidupan rumah tangga, Kevin berharap ia bisa membangun hal yang sama bersama Quinn. Kevin hanya harus menunggu sampai Quinn bersedia untuk itu. Bagaimanapun Kevin tahu hubungan mereka bukan jenis yang terjadi pada Cara dan Rick atau Jesse dan Max. Kebersamaan Kevin dan Quinn masih terbilang baru jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Belum lagi, Quinn bahkan belum memaafkannya.
Quinn mengerjap dan menyembunyikan senyumnya yang cantik. Kevin bertanya-tanya bagaimana mungkin wanita ini membuatnya jatuh cinta berkali-kali. "Teman. Apa itu berarti―"
Ucapan Quinn terpotong ketika mereka mendengar suara teriakan Ed. Baik Quinn dan Kevin bergegas bangkit ketika suara teriakan itu diikuti Laurel yang menjerit.
"Mom!" teriakan Ed bercampur tangis.
"Quinn! Quinn! Ed!" seru Laurel. "Dia tenggelam! Tolong! Ya Tuhan!"
Kevin berlari secepat kilat mendekati dermaga yang gelap. Laurel menangis begitu kencang, ia meracaukan kata maaf, berkata ia tidak bisa berenang. Kevin tidak mendengar sisanya. Ia hanya butuh sedetik untuk melepas sepatu dan mantelnya sebelum terjun ke sungai. "Edward!"
"Daddy―" Namun suara itu teredam dan Kevin semakin panik ketika matanya menembus kegelapan mencari gerakan di air.
"Ya Tuhan. Ya Tuhan. Tolong." Kevin tak pernah merasa setakut ini sejak ia menyelamatkan Calvin dari kecelakaan. Kevin terus berenang menembus air dan mengitari pinggiran. Pikirannya kacau memikirkan betapa dalamnya dermaga rumah Rick, betapa dingin airnya, dan betapa arusnya melaju begitu cepat.
"Dad!" seruan itu mengalihkannya. Kemudian ada suara gonggongan anjing. Kevin melihat kecipak air yang begitu jauh, hampir berada di tengah sungai. Tangan Ed melambai, berpegangan pada si anak anjing. "Aku tidak bisa―"
Itu dia. Itu putranya. "Ed! Aku datang!" Kevin berenang mengikuti arus. Ed sudah begitu jauh dari dermaga. Beruntung anjing kecil itu masih terus menggonggong, memungkinkan Kevin mengetahui keberadaan putranya. "Ed!"
Tidak ada lagi suara Ed. Anjingnya menggonggong makin keras dan tidak ada tangan yang melambai. Tidak, jangan. Kevin tidak mau memikirkan putranya yang tenggelam di dasar air sungai yang begitu dingin. Namun Kevin tetap menyelam, berusaha menembus air mengandalkan sinar bulan. Percuma saja, hanya ada kegelapan.
Kevin melihat kecipak kaki kecil. Anjing itu berusaha melawan arus, namun ia bergerak tak tentu arah. Kevin menyelam lebih dalam tepat di bawah anjing itu. Di sanalah putranya yang berusaha bergerak dalam air namun gagal membuat dirinya mengambang. Kevin bergegas meraih tubuh putranya dan mengangkatnya ke permukaan.
Ed terbatuk-batuk, begitupun Kevin, berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya. "Coco! Dia tenggelam!"
"Dia tidak tenggelam, Anak bandel," gerutu Kevin, meski ia begitu lega putranya tidak terbawa arus sampai ke muara, atau membeku di dasar sungai. Kevin tidak mau memikirkan hal buruk lainnya. "Dia bisa berenang. Kau tidak."
Ed menggigil begitu cepat. Ia mengeratkan pelukannya pada Kevin. "Dingin sekali airnya."
"Ayo. Kita harus ke tepian. Aku tidak bisa membawamu sambil melawan arus. Kau harus bergerak. Seperti waktu kita berenang di hotel, kau ingat? Kalau kau bergerak itu mengurangi dinginnya." Kevin benar-benar tidak tahu apakah itu membantu tetapi jari kakinya mulai membeku. "Ayo, sekarang. Aku tepat di belakangmu. Tendang airnya. Coco! Terus berenang, Sobat. Benar begitu."
Ed berpegangan pada Kevin namun terus menendang air. Anjing kecil itu mengikuti tepat di sampingnya. Kevin berusaha berenang ke tepian, mengabaikan betapa dinginnya air sungai. Kakinya membeku, jinsnya terasa begitu berat. Sebentar lagi, pikir Kevin. Ia menuju cahaya rumah Rick. Mendengar teriakan keluarganya di tepian. Kemudian kakinya terasa begitu berat dan menyakitkan untuk bergerak.
"Ed, kau harus melepaskanku. Aku tidak bisa bergerak dengan kakiku, tapi kau bisa. Coco bersamamu."
"Kenapa?"
"Kakiku kram. Aku tidak bisa membawamu bersamaku. Terus bergerak. Aku di belakangmu."
Ed melepaskan lengannya dari Kevin. Ia dengan patuh menuju ke tepian. Kevin sebisa mungkin bergerak menendang air, atau ia berpikir ia memang melakukannya. Tetapi mendadak kakinya mati rasa. Kevin merasakan dasar sungai, harusnya sebentar lagi tepian. Tetapi kakiya tidak bisa mengikuti perintahnya. Tiba-tiba tubuhnya terbawa arus tenang dan Kevin tidak bisa melawannya.
# # # #
"Aku tadi menelepon. Kemudian dia hilang dan tiba-tiba berada di tengah sungai," kata Laurel seraya terisak. "Maafkan aku. Maafkan aku."
"Bukan salahmu," kata Quinn cemas. Ia sudah bersiap terjun ke air, tetapi Kevin sudah mendahuluinya. Kemudian Gerald datang, mencegah Quinn berlari ke air. Ia menunggu di tepian dengan perasaan kalut. Sudah berapa lama putranya di sana? Apakah Kevin berhasil?
"Aku akan menelepon ambulan," kata Cara.
Calvin berada di tepian terdepan. Ia memandang air, matanya menelusuri. "Ayo, Kev," gumamnya.
"Bagaimana jika Ed―" Kata-kata Laurel tersendat. "Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya lebih dulu."
"Kau tidak bisa," kata Max. "Airnya dingin dan sungai begitu dalam. Kalau kau di sana, kami mungkin tidak lebih beruntung dari sekarang. Kita harus menunggu Kevin. Dia pasti berhasil."
"Rick, tolong telepon Dennis," kata Gerald. "Aku ingin berjaga-jaga kalau kita butuh tim pencari dan lainnya."
Quinn dan semua orang mendengar gonggongan anjing yang mendekat. Ia melihat gerakan di air. Detik itu juga Quinn tidak berpikir dan melompat ke air menuju arah gerakan itu. Sial, air begitu dingin menusuk hingga ke tulangnya. Pikiran itu membuat Quinn ngeri membayangkan Ed berada di luar sana. Air sudah setinggi pinggangnya ketika ia melihat Ed yang berjalan dengan air setinggi lehernya dan terus menyusut. Anjing kecil itu mengikuti di sampingnya.
"Mommy!"
"Ed! Edward!"
Ed berlari dan menerjangnya. Tangisan Quinn tak lagi tertahankan. Anjing kecil menggong-gong begitu keras. "Aku sangat takut, Mom."
Quinn juga takut, tetapi melihat Ed masih utuh membuatnya lebih baik. Kemudian ia teringat satu hal. "Di mana ayahmu?"
Ed menengok ke belakang dan mencari-cari. "Dia tadi di belakangku."
Oh, tidak. Jangan dia juga. Quinn mencari-cari ke air namun sungai itu begitu tenang. "Kevin!" teriaknya. "Oh Tuhan. Astaga. Kevin!"
Kemudian Quinn mengenali seseorang yang melesat melaluinya. Calvin telah melepas celana panjang dan mantelnya, lalu menembus air dingin. Quinn bisa saja menyusul Calvin untuk mencari Kevin, namun Ed menggigil dalam pelukannya, kulitnya sepucat mayat. "Ayo kita naik. Kau kedinginan."
Cara dan Jesse sudah menyiapkan selimut tebal dan air panas. Ed melepas bajunya yang basah kuyup dan didorong Cara menuju ke dalam rumah. Coco begitu nyaman dalam pelukan Ed setelah mendampinginya di tengah air.
Quinn menolak untuk masuk namun ia mensyukuri selimut tebal yang membungkusnya. Max dan Gerald secemas dirinya sambil memandang air. Quinn menggigil namun tidak merasakan apapun sebelum mendapati Kevin baik-baik saja.
"Aku harus mencari mereka," kata Max.
"Jangan," cegah Gerald. "Kita tidak tahu seperti apa di sana. Aku tidak mau kehilangan kau juga."
"Mereka akan segera datang," kata Rick yang baru saja menelepon bantuan. "Di mana Cal?"
"Kevin tidak terlihat," jelas Quinn.
Rick mengusap wajah. "Astaga. Tuhan, tolong kami."
"Ayo, Nak," gumam Gerald. Kerutan di wajahnya semakin banyak, membuatnya terlihat begitu tua.
Quinn melihat gerakan di air. Kepala Calvin terlihat. Ia terlihat bergerak dengan susah payah, melawan arus seraya membawa tubuh saudaranya. "Itu mereka!"
Max dan Rick berlari menuju air untuk membawa Kevin. Calvin terengah-engah dan tergeletak di tepian sambil mengambil udara. Kevin tidak sadarkan diri. Wajahnya begitu pucat, nyaris membiru. Max membawa tubuh Kevin telentang dan memeriksa udara di hidung Kevin.
"Minggir," kata Max. "Dia tidak bernapas." Max memberi napas buatan dan menekan dada saudaranya. Ia menghitung sesuai dengan intruksi pertolongan pertama. "Ayo, Kev."
"Bernapas, Nak," kata Gerald. "Datanglah pada kami."
Quinn menjatuhkan tubuhnya dan memegang tangan Kevin. "Kembalilah. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu."
Max menghitung lagi seraya menekan dada saudaranya. Kecemasan terlihat di wajahnya. Ketika Kevin masih belum kembali, ia pun menjatuhkan diri dan menangis. "Ya Tuhan!"
"Ada apa?" tanya Calvin. Melihat wajah saudaranya yang pucat dan Max yang menggeleng muram. Ia pun terguncang. "Tidak. Tidak mungkin."
Benar. Itu tidak mungkin. Quinn tidak mau kehilangan Kevin. Ia mengguncang tubuh Kevin yang begitu dingin dan menangis keras-keras. "Kevin..."
"Demi Tuhan, di mana ambulannya?" gertak Gerald yang mulai kalut.
Quinn menjatuhkan kepalanya di dada Kevin. Ia berusaha mencari detak jantung lemah yang menandakan pria itu masih bersamanya, namun yang ia dapati adalah suara terbatuk begitu keras. Kevin mengeluarkan air melalui mulutnya. "Kev?"
Kevin mengerang dan matanya tertutup. Max dan Gerald tersenyum begitu lebar seraya mengusap air mata mereka. "Astaga, aku kedinginan," kata Kevin dengan suara lirih.
"Syukurlah," erang semua orang yang menyaksikan Kevin tersadar.
"Oh Tuhan!" erang Quinn. "Terima kasih, Tuhan. Aku mencintaimu, Kev. Jangan pergi."
Kevin mengusap kepala Quinn di dadanya dan menghela napas seraya mengganti ruang kosong di dadanya dengan udara. "Tidak mungkin aku meninggalkanmu."
"Kau membuatku takut," kata Quinn seraya terisak. "Kau tidak bernapas."
"Oh, ya?" Kevin tersenyum segaris. "Aku tidak ingat. Kau secemas itu, ya?"
Quinn tertawa dan mengusap air matanya. "Aku tidak mau kehilanganmu."
"Aku juga, Sayang." Kevin mengernyit dan menatap Quinn. "Apakah ini artinya kau memaafkanku?"
Astaga. Masih soal itu? "Ya." Apa lagi yang bisa Quinn katakan? Ia lebih takut jika Kevin pergi darinya.
Tangan Kevin mencari-cari di kantong jinsnya. Kevin mengambil posisi duduk ketika mengeluarkan kotak kecil itu. Kevin mendesah ketika mendapati benda di tangannya. "Untung saja tidak hilang."
"Apa?" tanya Quinn.
Kevin membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah cincin kecil yang begitu cantik. Ia menyodorkannya pada Quinn. "Hadiah Natalmu. Kalau kau mau menikah denganku."
Quinn kehilangan seluruh kata-katanya sejak mendengar teriakan Ed. Sekarang ia begitu tercekat ketika mendapati Kevin melamarnya setelah kekalutannya sirna perlahan. Satu hal yang Quinn sadari adalah ia tak bisa kehilangan Kevin. Ia tidak bisa hidup tanpa Kevin. Ia sangat mencintai pria ini. "Oh, Kev. Kau tak perlu tenggelam untuk melakukan ini."
"Yah, setidaknya improvisasi ini membantu. Tapi aku tidak mau kau hanya merasa kasihan padaku―"
Quinn menghentikan Kevin dengan mencium pria itu. Kevin membalasnya dan Quinn merasa dinginnya udara berganti menjadi sentuhan hangat yang begitu ia dambakan. Ketika Quinn melepas ciumannya, ia pun memastikan jawabannya. "Ya, Kev. Ya. Aku mau menikah denganmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top