(24)
"Lima puluh dolar?" ujar Kevin pada Ray. "Kau gila?"
Ray terkekeh seraya mengantongi bubuk putih dalam plastik kecil itu, seolah ingin melindungi barang itu karena tahu Kevin tak punya uang sebanyak itu. Yah, sebenarnya ia punya, tapi ia ragu mau menghabiskannya untuk entah bubuk apa itu. Lima puluh dolar untuk sejumput barang itu, yang benar saja.
"Kau tahu aku selalu menjual barang bagus," kata Ray.
"Aku tahu," gerutu Kevin. "Tapi lima puluh dolar!"
"Itu sepadan."
"Apa itu?"
"X."
"Sinting." Yah, Kevin pasti memang sudah gila karena bertanya-tanya bagaimana rasanya menggunakan barang-barang itu. Ray bilang ada barang yang lebih menyenangkan dari ganja. Ternyata ini, ekstasi. Kevin memang penasaran, tapi untunglah otaknya bekerja sekarang ini karena ia tak mau menghabiskan lima puluh dolar untuk barang sekecil itu. "Lupakan saja, Ray."
"Hei, Kev. Kau akan menyukainya. Aku jamin. Lagipula kau Beverly, uang bukan masalah untukmu."
"Sungguh? Kau pikir darimana uang-uang jajan ganjaku berasal? Aku tidak bekerja atau apa. Aku masih mengemis dari ayahku. Jadi kalau aku meminta lima puluh dolar tambahan untuk satu kali menghirup ekstasi bagusmu, aku pasti terbunuh." Kevin melirik Ray. "Lagipula itu bukan jaminan barangnya benar-benar bagus."
Ray menyeringai entah karena mabuk atau tidak. Ia akhirnya mengeluarkan barang itu lagi dari kantongnya. "Kau memang tahu cara bernegosiasi, bukan? Baiklah, bagaimana kalau aku berikan satu sampel yang tidak harus kau bayar sekarang. Tapi untuk selanjutnya, tidak ada uang, tidak ada barang. Kau memang temanku, tapi aku juga butuh uang-uang itu."
Kevin tergugah, meski ia masih ragu akan mencoba barang itu. Benaknya memikirkan bagaimana jika ayahnya, Max, dan Cara tahu. Kevin pasti akan mengecewakan mereka. Tetapi darahnya yang memanas tidak bisa menghentikan ketergantungan ini. Kevin membutuhkan barang-barang itu untuk membuatnya merasa lebih baik. Membuatnya lupa akan kehilangan saudara, kehilangan ibunya, dan yang lainnya.
"Bagaimana?"
"Aku membawa dua puluh dolar," kata Kevin. "Aku bisa membayar sisanya besok." Meski Kevin sebenarnya bisa membayar itu semua sekarang, tapi ia tidak mau terlihat seperti ia punya uang.
"Kau tahu, kita bisa menikmati ini bersama dan kau bisa membayar separuh harga."
"Ide bagus."
Ray mengeluarkan lagi bungkusan itu. Membukanya dengan hati-hati dan menumpahkan isinya ke tangan. "Lihat ini." Ia mendekatkan bubuk itu hidungnya dan menghirupnya dalam-dalam. Kevin mengamati perubahan ekspresi Ray dengan saksama. Pemuda itu terlihat puas dan begitu menikmatinya hingga Kevin tergoda untuk melakukan hal yang sama. "Ini benar-benar bagus." Ray mendesah puas dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Ia menyodorkan bungkusan itu pada Kevin. "Inilah yang disebut barang bagus. Tidak ada apa-apanya dengan rokok itu. Rasanya... seperti surga selamanya."
Kevin meragukan soal surga itu. Ibunya ada di surga. Kalau sampai ibunya di surga sedang dikunjungi putranya yang teler, jangan-jangan Kevin bisa ikut diseret ke surga. Dengan catatan ia memang bisa masuk surga.
"Ayo, cobalah."
Kevin ragu-ragu ketika mengeluarkan barang itu. Ia mengamati sekitarnya meski tidak orang pada pukul sembilan malam di belakang sebuah bengkel yang sudah tutup. Ia begitu jauh dari rumah dan sekarang ia akan mencoba ekstasi. Harusnya ia tak khawatir.
"Kau tidak kehilangan keberanian, bukan?" Ray mendengus geli dan Kevin berpikir Ray hampir terbahak karena efek narkoba dalam dirinya. Tetapi sepertinya Ray masih sadar mereka bisa saja ketahuan.
"Tentu saja tidak." Itu kebohongan besar. Kevin ingin mencoba tapi narkoba ini jelas berbeda dengan ganja. Harganya jauh lebih mahal dan Kevin sendiri tak menyangka Ray bisa mendapatkannya. Bisa jadi ketergantungan untuk yang satu ini tidak bisa lagi diatasi.
"Hirup saja, Sobat. Kau akan baik-baik saja. Malahan, sangat baik-baik saja."
Kevin baru sempat mengeluarkan barang itu ke tangannya dan akan meniru apa yang Ray lakukan ketika decit ban begitu nyaring melewati jalanan besar hingga perhatian Kevin teralihkan. Kemudian yang tidak Kevin duga adalah suara hantaman begitu keras terdengar olehnya.
"Apa-apaan itu?" tukas Ray yang sepertinya tersadar akibat suara itu. Tetapi ia tak beranjak sedikit pun dari posisinya. Sepertinya ia bahkan tidak ingat cara menggerakkan kakinya.
Kevin melongo dari balik gedung untuk melihat apa yang terjadi. Ia melihat sebuah mobil yang rusak parah karena baru saja menabrak pohon hingga miring. Mobil itu berasap dan meninggalkan jejak kehitaman di aspal. Kevin memicing mengamati mobil itu dan menyadari bahwa itu mobil familiar yang sering datang ke rumahnya setiap pagi untuk menjemput Calvin.
"Tidak," kata Kevin. Ia tidak bisa berpikir lagi. Otaknya sepenuhnya mengambil alih untuk berlari ke arah mobil yang berasap itu. Sekarang ia bisa memastikan plat mobil itu benar nomor mobil April. "Tidak. Tidak. Brengsek. Tidak."
Ray berteriak memanggilnya di belakang, tetapi Kevin tidak menghentikan langkah berlarinya. Selain berasap, mobil tersebut ternyata sudah penyok parah di bagian depan. Seluruh kacanya tak bersisa hingga ia bisa tahu bahwa Calvin benar di dalam sana, di bagian depan penumpang dengan wajah berlumuran darah.
"Tidak. Tidak! Calvin!" jerit Kevin. Ia berusaha membuka pintunya yang terkunci. Kevin mengumpat keras dan berubah menjadi panik. "Cal!" Tetapi saudaranya itu tidak sadarkan diri. Kevin berusaha membuka pintunya dari luar dan nihil. Membuka pengunci dari bagian dalam pun sia-sia. "Ya Tuhan. Oh Tuhan. Jangan sekarang. Jangan sekarang."
Kevin mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar ia tak menyadari dirinya meneteskan air mata sampai ia terisak-isak ketika menelepon ayahnya. "Ayolah. Ayolah."
Untunglah Gerald mengangkat pada dering kedua. "Kev?"
"Calvin. Dad... Calvin terluka. Dia terjebak... di mobil," ujar Kevin susah payah.
Suara Gerald seketika panik seperti halnya Kevin. "Apa? Di mana?"
Kevin sebisa mungkin menjelaskan tempatnya berada sekarang. Ayahnya bilang akan segera ke sana. Ia juga menelepon polisi dan pemadam kebakaran, hal yang tidak terpikirkan oleh Kevin sebelumnya.
Tidak bisa berdiam diri dan melihat Calvin lebih menderita, Kevin mengulurkan tangannya ke dalam melalui jendela samping penumpang. Menyentak kursinya agar memberi ruang kepada Calvin untuk ditarik. Kevin menarik tubuh Calvin sekuat tenaga melalui jendela samping. Saat hanya kaki Calvin yang tersisa untuk ia tarik, Kevin mendapati kap mobil itu meledak dan mengobarkan api.
"Brengsek. Brengsek. Ayo, Cal." Kevin mengeluarkan Calvin dan menyeretnya menjauh mobil yang terbakar itu. Saat itu juga Kevin menyadari bensin sudah mengalir ke jalanan dan merambati sekitar mobil.
Mobil itu meledak sekali lagi dan saat itulah Kevin bisa melihat April yang terjepit di antara pohon dan kursinya. Wajahnya hancur, dipenuhi darah, dan tidak bisa lagi dikenali. Kemudian sosoknya mengabur, tak lagi terlihat oleh Kevin, karena api sudah melalap segalanya.
# # # #
Pemakaman April diadakan secepat mungkin, itulah yang Quinn dan semua orang sadari. Peti matinya tidak pernah dibuka. Desas-desus menyebutkan bahwa April tidak lagi bisa dikenali karena mobil yang ia tumpangi terbakar habis setelah kecelakaan itu. Orang tua April begitu terpukul kehilangan putri semata wayangnya. Mereka menutup diri dari orang-orang, mereka tak henti-hentinya menangis. Sementara Quinn sendiri tidak yakin apa yang ia rasakan sekarang ini.
Terakhir kali Quinn mengobrol dengan April, semuanya berakhir buruk. Itu bahkan bukan jenis obrolan. Quinn mengatakan hal buruk pada April meski Quinn hanya ingin April menghargai hidupnya yang beruntung. Quinn tak pernah mengira itu adalah kalimat terakhirnya untuk April dan ia tidak sempat meminta maaf karena menegur semacam itu. Rasa bersalah menjalari Quinn sejak ia mendengar berita kecelakaan itu, tetapi Quinn tidak yakin lagi apa yang bisa ia lakukan.
"Pulang?" tanya Sophie yang menemaninya datang ke sini. Meski ia sempat berselisih dengan April, tetapi Sophie lah yang justru mengajak Quinn ke pemakaman.
Quinn menatap kedua orang tua April yang masih tersedu-sedu. Kakek Quinn sudah putus asa menyokong keponakannya itu akibat terlalu berduka. Akhirnya kakek Quinn pulang lebih dulu bersama dengan pelayat yang lain. Quinn tidak yakin apakah ia harus mengatakan sesuatu pada orang tua April, tetapi ia ragu kata-kata itu berguna bagi pasangan Marquis.
"Quinn?" tegur Sophie pelan.
Quinn hanya mengangguk dan memutar kakinya kemudian. Ia memutuskan untuk tidak mengatakan apapun pada paman dan bibi jauhnya. Hubungan mereka tidak sedekat itu. Saat Quinn berjalan keluar pemakaman, ia mendapati kembar Beverly yang baru saja terlihat. Quinn bisa mengenali Calvin meski ia mengenakan perban, penyangga leher, dan duduk di kursi roda. Pemuda di belakang Calvin adalah Kevin yang hanya tertegun menatap makam April dari kejauhan.
Semua orang tahu bahwa Calvin juga menjadi korban dalam kecelakaan itu. Quinn mendengar dari beberapa orang bahwa Kevin, entah bagaimana, juga berada di sana dan hanya berhasil menyelamatkan saudaranya. Calvin jelas-jelas terlihat terpukul, bahkan tidak berani mendekati makam April. Quinn ingin memeluk Calvin jika bisa, menjadi seseorang yang ada untuk Calvin, tetapi Quinn tak yakin Calvin bahkan mengenalinya.
"Quinn?" panggil Sophie untuk ke sekian kalinya.
"Tunggu sebentar," kata Quinn. Ia akhirnya memberanikan diri mendekati Calvin dan Kevin. Sophie sepertinya menyadari apa yang akan Quinn lakukan.
"Ini pasti pasti berat untuk Cal."
Benar. Tetapi Quinn tak sempat menjawab karena ia telah tiba di dekat kembar Beverly itu. Calvin tidak mengalihkan perhatiannya dari makam April, ia tak sedikitpun melirik Quinn. Tidak yakin bahwa penyangga leher lah yang membuatnya begitu.
"Hai," kata Quinn pada Calvin, tetapi pemuda itu tidak menanggapinya sama sekali. Alih-alih, Kevin lah yang tersenyum ragu padanya. "Eh, aku ikut berduka atas kepergian April. Itu pasti berat untukmu."
Tidak ada jawaban dari Calvin dan Quinn merasakan tangannya berkeringat dingin. Sophie tahu itu setelah meraih tangannya, sepertinya sikap dingin Calvin menjalari semua orang. Kevin menatap saudaranya dan sepertinya memikirkan sesuatu, atau berharap Calvin menjawab―sama seperti yang Quinn harapkan.
"April... dia... gadis yang hebat," imbuh Quinn kemudian.
"Ya," dukung Sophie. "Dia sudah di tempat yang lebih baik."
Calvin menengok meski dengan susah payah. Matanya memerah tetapi tidak ada air mata, dengan rahangnya menegang, Quinn tahu itulah emosinya. "Dia tidak di sini. Seharusnya dia di sini. Itulah tempat yang terbaik untuknya."
"Oh," desahan Sophie tercekat dan genggamannya pada Quinn menguat. "Aku minta maaf."
"Eh, terima kasih," kata Kevin kemudian. "Sophie. Benar kau Sophie pacar Randy Danny 'kan?"
"Ya," jawab Sophie.
"Dan..." Kevin menatap Quinn hati-hati.
"Quinn." Ia membantu Kevin menyebutkan namanya dan saat itulah Calvin menatapnya berapi-api. Quinn bahkan menyadari tangan Calvin yang mengepal.
Kevin tersenyum sekilas. "Yah, trims, Quinn. Tapi bisakah kalian meninggalkan kami?"
Quinn mengangguk, sementara Sophie tak ragu lagi untuk meninggalkan kembar Beverly. Ia menengok lagi untuk melihat Calvin dan ia mendapati lirikan tajam Calvin padanya. Namun entah mengapa Quinn yakin itu bukan pertanda bagus.
"Aku tadinya bertanya-tanya apa yang Calvin lihat dari April itu, mengingat ia Beverly yang baik, berprestasi, dan tampan. Tapi sekarang aku tahu mengapa mereka berdua cocok," gerutu Sophie saat mendekati tempat parkir.
"Soph, kita bahkan baru saja meninggalkan makam April," tegur Quinn. "Itu sama sekali tidak pantas."
Sophie membuka pintu mobil dan masuk. Quinn mengikuti temannya itu dan menunggu temannya bersusah payah menghidupkan mesin. "Kau tahu, bukan April yang sedang kubicarakan. Sebab aku ingin segera keluar dari sana, karena aku tak tahan lagi menghadapi mereka yang merana setelah ditinggal April. Oh April, serius, istirahatlah dengan tenang. Jangan bebani siapapun yang kautinggalkan."
Tetapi tentu saja itu tidak benar. Bukan hanya yang tertinggal di pemakaman yang terbebani, tetapi Quinn masih merasakan beban itu karena tidak sempat mengatakan betapa ia menyesal mengatakan hal buruk pada sepupunya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top