(20)


Quinn merasa cemas sepanjang sisa hari itu. Ia tidak bisa menikmati makan siangnya. Ia tidak ingin mendengar Ed menceritakan pengalaman baru bertemu kembaran ayahnya. Untungya, menurut Ed, tidak banyak yang terjadi. Kevin juga membenarkan hal itu. Kevin bilang Calvin sibuk hingga pergi lebih cepat. Tidak sempat menyapa Quinn atau bahkan mengobrol dengan Ed. Kevin meminta maaf soal itu meski seharusnya tidak perlu. Sejujurnya Quinn memang tidak ingin bicara dengan pria itu. Syukurlah Calvin pergi lebih cepat dan Quinn memang sudah agak menduganya.

Tapi tetap saja Quinn tidak bisa berkonsentrasi saat jam kerjanya karena kehadiran Calvin di kota saja sudah cukup membuatnya gelisah. Quinn belum sempat melihat pria itu selama sembilan tahun terakhir, namun rasanya seperti pria itu tengah mengintainya sekarang ini. Astaga, Quinn bersikap berlebihan dan paranoid.

"Quinn?!" panggil Randy hingga Quinn tersentak.

"Astaga! Kau mengagetkanku!"

"Aku memanggilmu berkali-kali."

Quinn mengusap wajahnya dan memejamkan mata untuk mengumpulkan ketenangan sebelum kembali pada bosnya. "Maaf. Ini malam yang berat."

"Ya. Memang. Bagaimana kalau kita tutup sekarang saja?"

Quinn melirik jam dinding. "Sekarang? Pukul sebelas? Ned sedang minum."

"Tolong minta dia untuk pulang. Aku cemas meninggalkan Sophie terlalu larut. Kau bisa istirahat lebih awal. Aku juga."

"Kau yakin?" tanya Quinn. Meski ia senang mendengar usulan itu. Kelahiran bayi Sophie dan Randy hanya tinggal beberapa minggu dari perkiraan. Randy mulai melarang istrinya ikut ke bar hingga beberapa minggu terakhir ini ia menutup bar lebih awal, meski tidak pernah seawal ini.

"Sangat yakin. Kau mungkin harus bicara pada Ned sebelum dia benar-benar mabuk dan tidak bisa menangkap maksud bahwa kita akan tutup."

Quinn keluar dari meja bar dan menghampiri meja di mana Ned sedang meminum bir langsung dari botol. Pria itu seumuran dengan Quinn, Randy, dan Sophie. Namun kecanduannya pada alkohol membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia aslinya. Ned menyadari kehadirannya sehingga Quinn menyimpulkan pria itu belum sepenuhnya mabuk. "Ned, maaf. Kami akan tutup."

Ned mengernyit seolah mencerna perkataan Quinn. "Apa? Sekarang?"

"Ya. Maaf sekali. Kami memang harus tutup lebih awal. Kau bisa kembali lagi besok."

Ned meminum lagi birnya, lalu berdiri. "Oke. Kau mau jalan-jalan bersamaku?"

Quinn terkejut mendapati usaha pria itu. Ia tidak ingin membandingkan Kevin dengan Ned. Itu konyol. Tetapi Quinn tidak bisa menghentikan diri. Mengingat ia sedang tergila-gila dengan Kevin, Quinn meyakini bahwa Kevin Beverly adalah segalanya. "Aku harus menidurkan putraku." Quinn sengaja menekankan kata itu untuk mengingatkan Ned kembali bahwa Quinn bukan wanita bebas. Ia punya seorang anak dan seharusnya Ned mendengar dari orang-orang tentang hubungan Quinn dengan Kevin.

Tetapi mengingat Ned nyaris tidak sadarkan diri sepanjang hari, Quinn ragu Ned keluar hanya untuk mendengar gosip.

"Yah... baiklah..." tukas Ned. Cara berjalannya goyah ketika menuju pintu keluar. Untungnya pria itu masih bisa berjalan, bahkan masih bisa memutuskan berbelok ke arah mana, yang Quinn ketahui sebagai arah jalan menuju tempat tinggalnya.

Pria malang, pikir Quinn. Ia tidak tahu apa yang membuat Ned begitu kacau.

"Kau pulanglah dulu," kata Randy yang sudah menaikkan kursi bar. "Aku bisa mengatasinya."

"Kau yakin?"

"Sungguh, Quinn. Setelah ini aku akan segera pulang. Aku sudah tidak tahan lagi menjauh dari Sophie. Aku harus menjaganya. Berlama-lama di sini hanya membuatku cemas."

"Semuanya akan baik-baik saja, kau tahu," ujar Quinn menyemangati suami sahabatnya itu. Bukan berarti ia tidak panik saat mendekati hari kelahiran Ed. Setelah segalanya, Quinn berhasil melewati semua itu sendiri.

"Ya. Trims," kata Randy. "Sekarang pulanglah."

"Baiklah kalau kau memaksa, bos." Quinn menuju ruang belakang dan mengambil tasnya. Layar ponselnya menunjukkan waktu pukul setengah dua belas dan Quinn ingin segera tiba di rumah. Ia melambaikan tangan pada Randy saat berpamitan. Randy membalas sekenanya. Quinn menuju tempat mobilnya terparkir ketika ia menyadari seseorang menduduki kap mobilnya.

Dengan siluet yang membentuk tubuh kekarnya. Rambutnya yang diikat ke belakang membentuk bayang tersendiri. Ketika pria itu menatapnya, Quinn merasa seperti baru saja diguyur air es.

Itu Calvin yang duduk di kap mobilnya. Pria itu turun dan mendekati Quinn hingga wanita itu reflek mengambil langkah mundur untuk menjaga jarak.

"Berhenti!" tukas Quinn. "Berhenti atau aku akan berteriak. Aku bersumpah demi Tuhan."

Quinn mendapati Calvin yang menatap tajam padanya sementara rahangnya menegang. Pria itu bukan lagi lelaki yang ia temui di hari pertama sekolah. Pria itu bahkan bukan Kevin. Pria itu tak tersentuh dan Quinn tidak mau berurusan dengannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Quinn. "Aku tidak punya urusan apapun denganmu."

Calvin mendengus sinis. "Apa yang aku lakukan di sini? Sungguh? Kau bertanya itu? Harusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan di sini?!"

"Aku tidak punya urusan apapun denganmu," kata Quinn lamat-lamat. Ia ingin berteriak untuk memanggil Randy tetapi Quinn ragu hal itu tidak menimbulkan pertanyaan. Tak seorangpun mengetahui masalahnya dengan Calvin kecuali sepupunya. Quinn sudah mencoba mengubur Calvin dalam-dalam dan tak ingin membawanya kembali ke permukaan.

"Kau jelas berurusan denganku, keparat! Kau menjebak Kevin! Kau sengaja masuk ke keluarga kami dengan mengandung putranya! Aku tak menyangka bertahun-tahun aku pergi dan kau masih saja egois."

"Tutup mulutmu, brengsek! Kau tak tahu apapun tentangku."

Calvin tertawa datar. "Aku jelas tahu segalanya tentangmu. Aku tahu semua permainanmu dan itulah dirimu. Kau hanya mempermainkan kami."

"Calvin―"

"Jangan sebut namaku! Aku tak sudi kau menyebut namaku! Aku bahkan lebih tak sudi mendengar namamu. Kalau bukan karena akal picikmu dengan kembali ke sini, aku tidak akan mungkin mendengar tentangmu. Jadi beritahu aku, kenapa kau mengganggu kehidupan kami? Kenapa bukan kau yang pergi?!"

"Berhenti!" Quinn menutup telinganya dan mundur. "Aku tidak melakukan apapun yang salah. Enyahlah! Tutup saja mulut keparatmu!"

"Kau dengar ini," kata Calvin tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu hadir dalam hidupku lagi. Tidak dengan cara apapun. Kau tidak bisa menyakitiku lagi. Kau tidak bisa menyakiti Kevin. Kau hanya wanita picik. Harusnya kau yang enyah."

"Hentikan," bisik Quinn berharap Calvin menuruti keinginannya.

Tetapi Calvin terus bicara. "Kau hanya wanita picik, kau dengar itu? Kevin tidak pantas untukmu. Dia pantas mendapat yang lebih baik." Kemudian pria itu berbalik pergi, namun Quinn masih mendengar gaung itu dalam benaknya.


# # # #


Kevin sedang mencari-cari makanan di kulkas Quinn ketika mendapati pintu depan terbuka dan ia langsung tahu Quinn baru saja pulang. Kevin melihat arlojinya dan mendapati Quinn pulang lebih awal. "Hei, Sayang?"

Quinn mendongak dan Kevin melihat raut kelelahan di wajahnya. Wanita itu menjatuhkan tasnya dan mengambil tempat di sofa tanpa berusaha mengganti saluran olahraga yang tadinya Kevin tonton. Ia mengurut pelipisnya dan menghela napas berkali-kali.

Kevin mengambil segelas air dingin dan memberikannya pada Quinn. Wanita itu tersenyum sekilas sebelum akhirnya pudar. Kevin mengambil tempat di samping Quinn. Membawa kepala Quinn bersandar padanya. Wanita itu menghela napas panjang seraya menyurukkan wajah ke lehernya. "Jadi... halo? Bagaimana malammu?"

"Melelahkan," bisik Quinn.

Kevin memundurkan wajah Quinn sebelum menarik dagunya untuk memberi ciuman hangat. Bibir Quinn menyenangkan dan Kevin mungkin tak akan pernah puas. Wanita itu mengerang dan menjalankannya jemarinya ke dada Kevin hingga tubuh Kevin bergelenyar. "Kalau kau kelelahan, jangan menggodaku. Aku mungkin akan membuatmu sangat kelelahan setelahnya."

Quinn tersenyum sekilas. "Siapa yang keberatan?"

Kevin menyusupkan tangannya ke ruang di antara paha Quinn. Menekan jemarinya pada sela yang tertutup celana jins itu hingga Quinn mendesah. "Ternyata kau memang tidak keberatan." Kevin tersenyum dan mencium Quinn lagi. "Kamar?"

"Kalau begitu bawa aku ke sana."

Kevin dengan sigap mengangkat tubuh Quinn dan membawanya ke kamar. Ia mengunci pintu, mengingat di rumah ini bukan hanya ada mereka. Kevin menatap tubuh Quinn yang pasrah di atas ranjang. Quinn membuka pengait jinsnya dan membiarkan Kevin menarik celananya ke bawah. Quinn mengenakan celana dalam berenda yang cantik. Kevin mencium paha Quinn hingga membuat wanita itu mendesahkan suara surgawi.

"Kev!"

"Aku bisa mencium aromamu dari sini, Sayang. Kau benar-benar bergairah."

"Kumohon."

Kevin mengangkat wajah dan menyeringai. "Apa kau memang tidak sabaran?" Kevin melepas kemejanya, celana jins, dan boxernya. Ia sepenuhnya telanjang untuk Quinn, tapi ia juga ingin mendapatkan Quinn. Ia melucuti kain yang tersisa di tubuh Quinn. Mengagumi ketika tubuh polos itu terekspos untuknya hingga Kevin tak tahan untuk menelusuri dengan jemarinya.

"Oh, Tuhan!" desah Quinn. "Sekarang, Kev. Kumohon. Harus sekarang."

Gairah Kevin memuncak melihat Quinn yang tersiksa oleh gairahnya sendiri. Kevin menstimulasi diri supaya siap untuk Quinn. Wanita itu begitu merah, menggiurkan, dan menginginkannya. Ketika Kevin menyatukan diri, ia tidak ingin berada di manapun lagi. Ia hanya ingin di sini, di dalam Quinn, mencari kenikmatan dan bercinta. Kevin ingin ini tak akan berakhir.

Quinn menggerakkan pinggulnya seirama dengan Kevin. Wanita itu mendesahkan namanya, tak ada yang lain. Kevin menghirup aroma Quinn, memberi tanda di ceruk lehernya. "Oh, Tuhan. Aku mencintaimu, Quinn. Aku. Sangat. Mencintai. Mu."

"Ya, Kev. Aku mencintaimu. Oh, Tuhan. Jangan berhenti."

"Tak akan pernah." Kevin memompa diri kian dalam. Memberi tumbukan kenikmatan pada wanitanya. "Kau milikku."

"Ya. Ya. Oh, Tuhan!"

"Brengsek!" Kevin datang dengan begitu keras. Menyatukan diri sedalam-dalamnya ketika kenikmatan itu menerjang bersamaan dengan kesadarannya. Ia segera mengeluarkan diri dan mendapati dirinya telah mencapai puncak dan berhubungan seks dengan Quinn tanpa pengaman. Kevin menatap takut pada Quinn, yang sepertinya mengerti dengan apa yang tengah terjadi. "Quinn, aku―"

Namun Quinn tidak mengijinkannya berbicara. Ia hanya menarik wajah Kevin untuk memberi ciuman yang panjang dan menggairahkan hingga memicu miliknya kembali menegang. "Tidak apa-apa. Aku menginginkannya. Aku minum pil kalau kau khawatir soal menjadi ayah lagi dalam waktu dekat. Dan aku bersih, kalau kau ingin tahu. Aku tidak berhubungan dengan pria manapun setelah malam itu."

Malam itu. Kevin tahu maksud Quinn adalah malam yang tidak Kevin sadari hingga menghasilkan Ed. Ia tak menyangka Quinn membahasnya dan mengakui bahwa dirinya selibat selama sembilan tahun.

"Aku tidak mengkhawatirkan apapun," ujar Kevin terus terang. Malahan, ia senang mendapatkan seks hebat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku juga bersih. Aku rutin mengeceknya."

Quinn menyusup mendekati tubuhnya dan memeluk. Pelukan ini begitu erat hingga Kevin secara reflek memastikan apa yang terjadi pada Quinn. Namun wanita itu hanya menyembunyikan wajah di rusuk Kevin. "Aku mencintaimu."

"Aku juga, Quinn. Ini mungkin aneh, tapi aku tak pernah merasa seperti ini pada wanita manapun." Kevin tidak bisa mendeskripsikan kegilaannya selama berhari-hari memikirkan Quinn. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Quinn sebagai orang tua Ed, ia selalu membayangkan kehidupan sempurna yang akan ia jalani bersama wanita itu.

"Aku tidak pernah menyesali malam itu, Kev. Tidak pernah. Aku bukan bermaksud memanfaatkanmu."

"Tentu saja tidak," tukas Kevin. Cara pernah berpikir demikian dan menyuruh Kevin berhati-hati, tetapi Kevin bahkan tak bisa membayangkan Quinn melakukan itu. "Andai aku bisa mengingat malam itu, pasti jawabannya juga sama." Ia memeluk Quinn lebih erat. "Kau ingat malam itu?"

Quinn mengangguk pelan.

"Apa aku memuaskanmu malam itu?"

"Ya."

Bagus. Setidaknya Kevin membuat prinsipnya masih terus bertahan. "Kau ingat di mana kita melakukannya?"

"Ya." Quinn terdiam sesaat seraya memainkan rambut halus di dada Kevin. "Di balik semak. Di bawah bintang-bintang. Saat pesta perpisahan senior."

"Ya Tuhan!" gumam Kevin. Ia juga mengingat malam yang kacau itu. Ia ingat Cara menolak menghadiri pesta yang diadakan di salah satu rumah teman seangkatan Cara itu. Calvin tidak pernah lagi bisa diajak berpesta, jadi Kevin datang sendiri meski ia bukan siswa senior. Apa masalahnya? Ia Beverly dan semua orang mengenalnya. Umurnya tujuh belas tahun, hampir legal disebut dewasa. Tetapi seharusnya Kevin tidak menyetubuhi Quinn di balik semak. "Apa aku bersikap brengsek?"

"Sama sekali tidak. Aku menikmatinya."

"Aku tak tahu apakah itu bisa menghiburku."

Quinn tersenyum. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak menyesali malam itu. Aku bertemu denganmu, memiliki Ed, dan sekarang bersamamu. Aku tidak pernah bermimpi kau ada di kehidupanku, Kev. Tetapi aku bersyukur kau di sini."

Harusnya itu Kevin yang bersyukur. Sejak Quinn dan Ed datang dalam kehidupannya, ia memiliki visi untuk masa depan. Sebelumnya ia hanya menjalani hidup, terkadang keluar batas hanya untuk melupakan masalah. Tetapi sekarang hidupnya sempurna. Sekarang ia punya cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top