(15)
Quinn sedang berada di kamar April yang begitu modis dan didominasi dengan warna pink. April adalah gadis yang sempurna dengan kulit kecokelatan, rambut pirang bergelombang yang indah, dan senyum yang selalu dengan mudah ia berikan pada orang-orang. Ia bahkan tahu cara berdandan dan Quinn bisa melihat bahwa sepupunya itu adalah primadona.
Ibu April adalah sepupu ayah Quinn dari jalur neneknya. Ketika Quinn tiba di Westerly, kakeknya, Jacob memperkenalkan gadis seumurannya, yang mana adalah sepupunya.
Quinn tidak pernah tahu bagaimana caranya menghabiskan waktu bersama sepupu. Ia tidak pernah punya sepupu. Baik hubungan ayah dan ibunya dengan saudara-saudara mereka buruk. Bahkan hubungan ayahnya dengan sang kakek juga biasa-biasa saja. Setelah ayah dan ibunya bercerai, ibu Quinn tidak pernah lagi mengajaknya mengunjungi kakeknya di Westerly. Jadi bersikap ramah dengan sepupunya itu, tidak bisa Quinn lakukan dengan cepat. Untungnya, April sudah mengambil tugas itu, yang terlihat mudah ketika April yang melakukannya.
Hari ini April mengajaknya mampir ke rumahnya. Keluarga Marquis tidak bisa dibilang kaya, tetapi juga tidak miskin. Barang-barang April menunjukkan hal itu. Quinn jelas tidak mempunyai yang seperti ini sejak ibunya menjanda. Apalagi setelah tinggal dengan kakeknya yang tak pernah berencana tinggal dengan seorang gadis berumur empat belas, Quinn tidak punya begitu banyak barang.
"Kau mau coba ini?" tanya April yang mengeluarkan sebuah gaun oranye terang yang menyilaukan mata.
"Tidak, ah." Quinn kembali fokus pada ponselnya. Bermain ular titik yang mencari makanan titik. Meski ia tidak merasa nyaman terlibat obrolan dengan April, setidaknya kamar sepupunya itu sangat nyaman.
"Ayolah. Gaun ini akan bagus untukmu."
Quinn berusaha mati-matian tidak memutar matanya. Ia menghela napas dan melirik April yang memandangnya penuh harap. "Kalau kau belum tahu, aku tidak suka pakai gaun." Quinn dulu memang tomboy. Namun setelah kematian ibunya, Quinn ingin mengikuti gaya berpakaian ibunya yang selalu menggunakan terusan. Ia bahkan menyembunyikan kenyataan pada teman-temannya di Westerly bahwa ia adalag gadis tomboy.
"Serius?" sahut April. "Itu berita baru. Kau selalu berpenampilan anggun ke sekolah."
Quinn menggeleng. "Aku tidak anggun. Kau yang anggun."
"Aku bahkan selalu pakai ransel."
"Apa masalahnya?" Quinn bertanya-tanya apakah April juga berpikir pembicaraan ini membosankan. Jika benar, maka gadis itu sukses menutupinya. Quinn menduga April terpaksa melakukan ini supaya citra antar sepupu tetap terjalin baik.
April menjatuhkan diri di samping Quinn, berbaring, dan menatap langit-langit. "Jadi kau tidak suka gaun. Lalu apa yang kau sukai?"
Calvin Beverly. Itu jelas. Selama berminggu-minggu Quinn hanya bisa memikirkan cowok itu. Ia mengamati Calvin meski sebisa mungkin bersembunyi. Ia mencari tahu tentang Calvin tanpa terlihat ingin tahu. Cowok itu tampan, menyenangkan, dan baik. Sayang sekali Quinn tidak pernah mendapatkan kesempatan yang sama untuk kedua kalinya, ketika sepedanya bermasalah dan seseorang setampan Calvin yang datang menolongnya.
"Entahlah," jawab Quinn akhirnya. "Apa kau pernah punya pacar?"
"Belum. Kenapa?"
Quinn menggeleng tak acuh meski ia terkejut dengan jawaban sepupunya. Padahal ia sendiri bertanya-tanya pemuda mana yang beruntung mendapatkan April.
"Kau pernah punya pacar?"
"Seseorang pernah memintaku jadi pacarnya saat di Salem dulu."
Topik itu membuat April bersemangat hingga gadis itu mengambil posisi tengkurap dan menyangga kepala dengan tangan. "Oh, ya? Seperti apa orangnya?"
"Namanya Jac. Dia cukup oke ketika menyatakan perasaannya. Harus kuakui, dia cukup berani."
April terkikik. "Kau menerimanya?"
"Tentu saja tidak! Kami masih sebelas tahun. Itu menggelikan. Lagipula Jac pernah tertidur di kelas dan saat seorang guru membangunkannya, wajahnya dipenuhi liur. Dia masih dipanggil muka liur kadang-kadang."
April kini tertawa lepas hingga Quinn tidak bisa menahan tawanya juga membayangkan teman satu sekolahnya dulu. Jika tidak pernah ada tragedi muka liur itu, Jac pasti akan jadi cowok yang keren di masa dewasanya.
"Bagaimana denganmu? Apa seseorang pernah menyatakan perasaan padamu?"
April bergumam selama beberapa saat sebelum menjawab. "Entahlah. Bukan perasaan seperti itu, menurutku. Tidak secara langsung. Atau... astaga, aku benar-benar tidak tahu. Kadang-kadang ada beberapa cowok yang mengajakku pergi atau memberiku hadiah meski tidak ada hari spesial atau apa."
"Aku lebih suka seseorang memberiku sesuatu daripada menyatakan perasaan tiba-tiba. Lihat sisi baiknya, aku mungkin bisa dapat cokelat gratis."
"Mungkin kau benar." April tersenyum entah untuk apa. "Tapi sejujurnya bukan mereka yang kuinginkan."
"Kau menyukai seseorang?"
"Memangnya siapa yang tidak?" tukas April. "Kau juga pasti punya seseorang, bukan? Jangan bilang tidak. Kau sudah dua bulan lebih di sini."
"Yah... mungkin." Meski hanya ada nama Calvin yang terlintas di kepalanya saat pertanyaan itu ditanyakan. "Siapa cowok itu?"
"Siapa?"
"Cowok yang kausukai itu."
"Apa?" April menjauhi Quinn dan meraih bantal untuk menutupi wajahnya. "Aku tidak mau mengatakannya. Tidak akan."
Quinn menarik bantal dari wajah April dan mendesak. "Ayolah. Tidak apa-apa. Aku tidak akan mengatakannya pada siapapun. Memangnya aku bisa mengatakannya pada siapa?"
"Tentu saja pada Cara. Kau 'kan satu kelas dengannya."
"Memangnya ada apa dengan―tunggu, apa kau menyukai adik Cara?"
April menutup mulut cepat-cepat dan memejamkan mata. Meski gadis ini bisa dengan mudah ramah pada semua orang, tetapi sepertinya ia tidak pintar berbohong. "Aku akan menyesali ini, bukan?"
"Jadi benar? Kau menyukai kembar Beverly?"
April mengangguk pelan, sementara pipinya merona.
"Yang mana?" Jangan Calvin. Jangan Calvin.
Tetapi tentu saja April menjawab, "Cal." Hingga hati Quinn hancur berkeping-keping. "Apa aku bodoh karena menyukainya?"
Tentu saja kau bodoh, karena aku lebih dulu menyukainya. Bukan kau yang pertama kali berbunga-bunga saat menceritakannya. Tetapi Quinn memendam pikiran itu dan hanya menjawab pelan, "Tidak. Tentu saja, tidak. Dia... baik. Kau tahu, karena sudah menolongku."
"Benar. Dia juga sangat lembut."
"Kembar Beverly adalah pembuat onar."
"Itu juga benar. Tapi menurutku, Cal lebih kalem daripada Kevin. Aku baru menyadarinya." Quinn juga menyadari itu tapi tidak mengutarakannya. "Kevin kadang-kadang bertindak ceroboh dan itu sama sekali bukan tipeku."
Kenapa Calvin? Quinn ingin menuntut begitu, namun diurungkannya. Ia memang tidak pernah punya sepupu dan tidak tahu cara menghabiskan waktu dengan sepupunya. Tetapi ia tidak perlu diberi tahu bahwa memperebutkan pemuda yang sama dengan yang disukai sepupunya adalah tindakan yang salah. Jadi Quinn tetap diam dan tidak ingin membahas Calvin. Jika Calvin memang harus memilih salah satu di antara mereka, Quinn bahkan tahu ke mana jatuhnya pilihan Calvin.
# # # #
Quinn mengembuskan napas perlahan ketika lamunannya mulai berkeliaran dan kenangan itulah yang tiba-tiba memasuki pikirannya. Ia tidak menyukai memori itu. Ia sudah sebisa mungkin melupakannya selama bertahun-tahun tetapi tetap saja tidak berhasil.
Quinn telah menduga kepindahannya akan seberat ini. Bukan hanya menanggung Ed dan pertemuannya dengan Kevin, tetapi juga memorinya saat remaja yang berusaha ia lupakan. Sampai sekarang Quinn masih merasa bersalah pada April karena pernah mempunyai perasaan pada Calvin. Sekarang rasa bersalahnya juga terkadang muncul ketika ia bersama Kevin. Tidak peduli betapa keras Quinn meyakinkan diri bahwa ia pantas mendapatkan seseorang yang mau menjalani hubungan bersamanya, namun Quinn bertanya-tanya apakah orang itu harus Kevin―saudara kembar Calvin.
Quinn mengusap wajah dan mengusir pikiran itu. Ia tidak ingin memikirkan masa lalu. Sekarang ia punya Ed, yang membuat hidupnya lebih baik. Ia juga memiliki Kevin yang manis. Sama sekali tidak ceroboh seperti yang April pikirkan. Kevin pria yang baik, ayah yang bertanggung jawab, dan Quinn menyukai pria itu. Harusnya Quinn cukup dengan itu.
Ketika Quinn menghentikan mobilnya di jalan masuk rumahnya, ia mendapati mobil Kevin berada di sana. Selama beberapa minggu ini, setiap hari Kevin yang selalu menjemput Ed. Terkadang ia hanya menjemput dan membiarkan Ed bermain dengan Joe. Terkadang Kevin mengantar tepat setelah Quinn selesai bekerja. Terkadang Kevin bersedia mampir dan pulang saat waktu tidur Ed―itu yang Quinn dengar dari Laurel. Namun sekarang ini pukul satu malam dan Kevin masih di sini. Quinn berpikir Kevin pasti tertidur dan Laurel tak pernah berani membangunkan pria itu.
Quinn turun dari mobilnya dan bersiap dengan kunci rumahnya. Ia membuka pintu dan mendapati ruangan temaram yang menandakan semua orang sudah tidur. Tempat pertama yang Quinn tuju adalah kamar Ed. Benar saja, Kevin tertidur sambil memeluk Ed. Sebuah pemandangan menenangkan yang membuat Quinn melupakan pikiran tak menyenangkan yang menderanya beberapa saat lalu.
Bagaimanapun Kevin harus pulang sebelum orang lain melihat mobilnya. Quinn tidak mau membuat gosip lain di kota. Ia sudah cukup menanggapi pertanyaan apakah Ed adalah anak Kevin. Karena tidak bisa lagi mengelak, Quinn menjawab sekenanya, menanggapi ala kadarnya, lalu melarikan diri.
Quinn menggoyang pelan tubuh Kevin dan memanggil nama pria itu. Kevin mengernyit sesaat, lalu mengerjap, dan memandang sekitar.
"Quinn?"
"Kau tertidur lagi."
Kevin melirik Ed yang tertidur di lengannya dan menarik lengannya dengan perlahan. "Kau baru pulang?"
Quinn mengangguk. "Maaf merepotkanmu."
"Maaf merepotkanmu. Karena aku yang ketiduran, kau jadi harus membangunkanku." Ia mengucek mata dan mnyugar rambutnya yang berantakan namun seksi. "Jam berapa sekarang?"
"Pukul satu."
"Kau pulang lebih cepat?"
"Ya. Semua orang lelah."
Kevin tersenyum dan bangkit. Quinn mengambil langkah mundur dan menjaga jarak dari pria itu. "Jadi itu sinyal supaya aku pulang dan kau bisa beristirahat?"
Quinn menahan tawanya dan berjalan keluar dari kamar Ed. Ia merasa Kevin mengikutinya dan menutup pelan pintu kamar Ed. Quinn membalikkan badan dan mendapati Kevin yang menatapnya. Quinn menggigit bibir, tak yakin harus berkata apa. Tetapi tangan Kevin lah yang mengambil inisiatif untuk menarik tengkuknya dan memberikan kecupan singkat.
Itu tidak cukup bagi Quinn. Ia menjalankan tangannya menyusuri punggung Kevin hingga pria itu menggeram dan memperdalam ciuman. Quinn menyukai betapa Kevin begitu lembut memperlakukannya, betapa bibir Kevin terasa begitu nikmat.
"Kev," desis Quinn saat ciuman Kevin tidak hanya jatuh pada wajahnya, namun merambat hingga lehernya. Quinn merasakan tubuhnya yang panas dan merindukan sentuhan. "Astaga. Kev."
Kevin menarik wajahnya. Menangkup wajah Quinn dengan kedua tangan. "Kau begitu manis. Aku suka kau menyebut namaku begitu."
Quinn tidak berpikir lagi. Ia menumbukkan bibirnya ke bibir Kevin. Pria itu menggeram dari tenggorokannya ketika lengan Quinn melingkari lehernya. Tangan besar Kevin menelusuri tubuhnya. Punggungnya, pinggulnya, pahanya. Kevin mengangkat tubuh Quinn, membuat wanita itu secara naluri melingkarkan tungkainya ke pinggul Kevin. Gairahnya membara, begitupula gairah Kevin yang menyentuh dirinya di balik celana Kevin.
Kevin melepas ciumannya dan menatap Quinn. "Quinn, jika kita tidak berhenti―"
"Jangan berhenti," potong Quinn.
Kevin tersenyum sementara matanya mulai sayu. "Kau benar, aku juga tak mau berhenti." Kemudian ia mencium Quinn lagi dan kali ini tak berhenti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top