(12)
Kevin mengernyit mengamati saudarinya yang sedang bergandengan tangan dengan Liam Wester. Bertanya-tanya apakah ia seharusnya mengadukan ini pada ayahnya atau tidak. Cara masih empat belas tahun tetapi sudah tahu bermesraan semacam itu. Meskipun harus Kevin akui, Liam Wester itu keren dan populer. Pemuda itu sudah punya jaminan hidup meski tidak punya pekerjaan sekalipun. Keluarga Wester adalah salah satu keluarga terpandang kaya raya di kota. Mereka memiliki ruko-ruko yang disewakan di kota, serta masih banyak usaha lainnya di luar Rhode Island sendiri. Kebersamaan Liam dan Cara seperti suatu hal yang sudah diduga semua orang. Meski Kevin menyukai cowok itu, terkadang Liam memang bersikap brengsek dengan menyombongkan dirinya.
"Haruskah aku khawatir?" tanya Calvin yang sama-sama mengamati apa yang Kevin amati. "Kau harus tahu bagaimana Liam memamerkan kemampuan menyetir. Dia masih empat belas tahun. Ya Ampun. Masih ada dua tahun lagi sebelum mendapat SIM."
Kadang-kadang, Kevin bersyukur ia pernah berada di rahim yang sama dengan Calvin. Itu membuatnya menghemat waktu untuk bicara karena Calvin selalu tahu apa yang Kevin pikirkan. Kevin bertanya-tanya apakah ikatan saudara kembar itu memang benar adanya. Kenyataannya telah terpampang. Namun tetap saja, Kevin merasa pikirannya begitu terbuka untuk Calvin.
Kevin menelan pizanya yang bergumam, "Ayahnya akan mengurus segalanya." Bagi Liam Wester, uang selalu menang. Apapun masalahnya selesaikan dengan uang. Meski keluarga Beverly adalah orang berada, tetapi Gerald Beverly akan lepas tangan ketika anak-anaknya membuat onar secara sadar.
"Kudengar, dia beberapa kali keluar bersama Cara dengan mobil itu."
Brengsek. Rasanya Kevin ingin sekali meninju Liam. Tetapi Kevin tidak yakin itu akan bagus untuk reputasinya. Kevin baru tiga belas tahun, yang membuatnya bertanya-tanya mengapa tujuh belas tahun begitu lama. Belum lagi Liam adalah pusat dari kelompok populer. Jika Kevin mencari gara-gara, Liam pasti melakukan sesuatu. Atau yang lebih parah lagi, ayah Liam pasti melakukan sesuatu dan Kevin tidak mau membayangkan ayahnya yang bijaksana itu mengamuk.
"Jujur saja, bukan masalah tilang yang kukhawatirkan," kata Calvin.
Kevin menangkap pemikiran Calvin, membayangkan Cara mengalami kecelakaan atau sesuatu yang buruk membuatnya ngeri. "Kenapa dia harus berpacaran dengan Liam?" gerutunya.
"Entahlah. Karena orang populer selalu berakhir dengan orang populer? Seperti pemain futbol akan berpacaran dengan pemandu sorak. Kadang-kadang itu membuatku termotivasi untuk masuk tim futbol."
"Max tidak berpacaran dengan pemandu sorak manapun."
"Tapi pemandu sorak manapun ingin berpacaran dengannya."
Kevin mengangguk setuju. Ia menyukai beberapa gadis, tetapi sering kali tidak beruntung. Ia tidak tahu apa yang salah. Ia tidak sehebat itu untuk membuat semua gadis menyukainya. Tetapi ketika Max melintasi lapangan dan menjatuhkan lawan, sudah bisa dipastikan semua orang akan berteriak histeris, tidak peduli jika gadis-gadis itu tiga tahun lebih muda dari Max.
"Menurutmu kenapa Max tidak mau dekat-dekat pemandu sorak?" tanya Calvin. "Mereka seksi."
Kevin melirik kembarannya. Mereka bertatapan sekilas, mengirimkan bayangan Max yang tidak menyukai pemandu sorak, tetapi menyukai tipe lainnya. Kembar Beverly itu mengerang bersamaan. "Huek."
Calvin mendorong piring kertasnya. "Aku tidak mau makan piza lagi."
"Kita harus membatasi obrolan ini. Aku tidak mau punya kakak ipar laki-laki selain dari Cara."
"Ini menjijikkan. Kenapa kita membicarakan ini di kantin?"
"Jangan tanya padaku. Aku hanya memproyeksikan pikiranmu. Kalau kau tidak tahu, aku juga tidak."
Calvin bangkit dari bangkunya. "Kita butuh penetralisir seperti sari buah apel."
"Benar. Ambilkan aku satu."
"Aku mau berpura-pura jadi kau, Kev. Kita lihat kali ini Mrs. Rodges mengenaliku atau tidak."
Kevin tertawa dan memperhatikan kembarannya yang mengambil antrean untuk memesan. Ia dan Calvin bisa melakukan permainan bertukar tempat ini kapanpun. Dulu semua orang bisa mereka kelabui kecuali ibu mereka. Tetapi sejak Calvin mengalami pubertas lebih dulu, mereka jadi lebih mudah dikenali. Suara Calvin lebih berat dan Calvin lebih dulu punya jakun. Setidaknya ayah mereka, Max, dan Cara mulai bisa membedakan. Sementara orang lain jarang memperhatikan.
"Hai."
Kevin teralihkan ketika seorang gadis duduk di hadapannya. Gadis dengan mata hijau cerah, rambut pirang terkepang ke belakang, bintik-bintik samar yang menarik di sepanjang tulang hidung, dan kulit kecokelatan yang terawat. Ia selalu memakai tas ransel ketika banyak gadis mulai memakai tas selempang. Ia tidak pernah memakai sepatu bertali dan ia punya jari kaki mungil yang indah. Ia selalu datang setengah jam lebih awal dari waktu bel dan menghabiskan waktu itu untuk menyapa orang-orang. Ia begitu ramah, cerdas, dan jelita. Ia adalah April Marquis.
Dan sekarang gadis itu duduk di hadapannya.
Kevin sudah tertarik dengan gadis itu sepanjang semester lalu. Ia berusaha mendekati April tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu menyadari sikapnya. April memang ramah pada semua orang, tetapi Kevin ingin April memperlakukannya dengan cara yang lebih spesial. Kenyataannya, April hanya sekedar ramah padanya seperti semua orang. Tak peduli perhatian jenis apapun yang Kevin berikan. Kevin tahu ia bukan Max yang bisa membuat semua gadis menjeritkan namanya.
"Hai..." balas Kevin. Berharap ia tidak bersikap tolol karena tersenyum terlalu lebar. "A-apa kabar?"
April tersenyum dengan begitu manisnya. Membuat Kevin ingin memandangi gadis itu tersenyum setiap saat. "Baik. Jadi... kau hari ini Kevin atau Calvin?"
Kevin tertawa dan ia mendapati April yang merona malu. Wah, mungkin Kevin harus mengingat ini―betapa April begitu cantik saat tersipu. "Tebak saja."
"Eh... Calvin?"
Kevin menahan senyum. "Hmm."
"Jadi kau Calvin?" tuntut April.
"Menurutmu begitu?"
"Oh! Kau Kevin?" Ketika Kevin tertawa, bibir April mencebik lucu. "Serius. Aku merasa tolol karena belum bisa membedakan kalian padahal aku sudah satu semester bersama kalian."
"Kau tidak tolol," kata Kevin. "Dan, ya. Aku Kevin."
"Kau bukan Calvin?"
Kevin mengernyit. "Kau mencari Calvin?"
Belum sempat April menjawab, suara Calvin menyela mereka. "Hei, ini minumanmu, Bung. Oh, hai, halo. Tunggu. Aku ingat kau. April Marks?"
"Marquis, sebenarnya," koreksi Kevin.
April tersenyum begitu lebar melihat Calvin. Kevin berusaha menilai keadaannya dengan berdiam dan mendengarkan. "Eh... maaf aku mengganggu waktu kalian―"
"Tidak apa-apa. Aku menghabiskan waktu bersamanya selama hampir empat belas tahun. Kau sama sekali tidak mengganggu."
Memotong pembicaraan April? Yang benar saja! Kevin tak tahu kalau kembarannya begitu idiot. Kalau April bicara padanya, tentu Kevin akan memperhatikan setiap detailnya. Wajahnya, ekspresinya, caranya bicara. Kevin tak akan pernah berpikir untuk menyela.
"Jadi... aku ingin berterima kasih padamu." April menggigit bibirnya dan menatap Calvin dengan hati-hati. Ada senyum yang ia sembunyikan dan Kevin tak suka senyum itu tidak tertuju padanya.
"Berterima kasih karena apa?" tanya Kevin waspada. Memangnya apa hubungan Calvin dengan April? Calvin bahkan tidak bisa mengingat nama belakangnya.
April tidak memandang Kevin yang memberi pertanyaan. "Karena kau sudah menolong sepupuku, Quinn. Ini minggu yang berat untuknya."
"Kau kenal Quinn?" tanya Calvin.
Kevin memandang kedua orang itu bolak-balik.
"Ya," balas April. "Seperti kataku, dia sepupuku. Dari nenekku. Karena dia sudah tiada dan kami belum sempat berkenalan, hubungan kami tidak sedekat itu. Yah... pokoknya aku baru tahu kalau Quinn sepupuku dan aku berterima kasih karena kau mau membantu Quinn di hari pertama sekolahnya. Harusnya aku yang membantunya untuk hari pertamanya, tapi aku senang dia bertemu denganmu kemarin."
Calvin mengerjap dan tersenyum lembut. "Ya. Eh... aku hanya... berada di tempat yang tepat."
"Trims," kata April. "Kau... baik sekali, Cal."
Kenapa April bahkan memanggil nama pendeknya tetapi tidak dengan nama pendek Kevin? Ia bahkan tidak bisa membedakannya dengan Calvin. Ia juga tidak berkata bahwa Kevin 'baik sekali' meski Kevin meminjamkan catatan yang ia buat susah payah saat April tidak masuk.
"Aku harus pergi." April bangkit dan melambai singkat. Pada Cal, tentu saja. "Sampai nanti."
Kevin mengernyit tak suka, namun sebisa mungkin menyembunyikannya dengan wajah datar. "Siapa itu Quinn?"
Calvin mengendik. "Bukan siapa-siapa." Ia bahkan tidak menatap Kevin saat menjawab. Ia terus menatap ke arah kepergian April. Masih mengamati April yang berbincang dengan teman-temannya. "Apa itu―"
"Apa?" tuntut Kevin.
"Apa itu hanya perasaanku atau gadis itu memang terlihat sangat imut?"
Kevin tidak menjawab. Ia juga tidak mengajak Calvin bicara selama sisa hari itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup Kevin, ia ingin pikirannya tertutup sehingga Calvin tak akan pernah bisa membacanya.
# # # #
Kevin terbangun ketika tubuhnya diguncang perlahan. Akibatnya kesadaran tertambat dengan setengah tersentak. Kepalanya agak berdenyut dan ia perlu memproses tempatnya berada. Mimpinya tadi sama sekali tidak menyenangkan. Kevin tidak tahu apakah skenario itu benar-benar ada atau itu hanya mimpi yang dirancang alam bawah sadarnya. Apakah ia hampir melupakan detail itu, bahwa April yang dulu ia sukai adalah sepupu Quinn?
Pasti itu sebabnya nama Quinn begitu familiar. Bukan karena ia satu angkatan dengan Cara, atau bahkan karena Quinn pernah bersama Liam untuk sesaat. Tetapi mimpinya tadi terlalu fiktif dan Kevin tak tahu mana yang bisa ia percayai.
"Kev?"
Kevin mengucek mata dan mendapati Quinn yang masih mengenakan kemeja berkerah putih menjulang di atasnya. Rambut pirangnya tergerai begitu cantik, membuat kesakitan akibat mimpi tadi terempas begitu saja.
"Kenapa kau di sini?" tanya Quinn.
Kevin melirik lengannya yang terasa kaku, ternyata Ed menggunakannya sebagai bantal. Sekarang Kevin ingat bahwa ia tadinya mengantar Ed pulang, lalu memutuskan untuk mampir ketika Ed mengajaknya membaca buku cerita sementara Laurel belajar. Kevin dan Ed pasti tertidur setelah seharian bermain di tempat Cara.
"Biar kubantu," ujar Quinn. Ia mengangkat kepala Ed, meletakkannya di bantal dan mengatur posisi bantal lainnya untuk menambah kenyamanan Ed. Ia menarik selimut dan mencium kepala bocah itu. Entah bagaimana pemandangan itu membuat Kevin terhenyak hingga ia tidak sanggup mengalihkan perhatian.
Quinn menatapnya. Masih ada kecanggungan di sana hingga ia memalingkan wajah. Kevin mengambil posisi duduk dan menatap Quinn yang tak mau menatapnya. Kedekatan mereka yang intim, hanya saat mereka berbocengan ke tempat Amanda untuk mengantar Quinn bekerja. Selebihnya, mereka bersikap sopan, bahkan terkesan menjauhi.
"Maaf aku tertidur," kata Kevin.
"Mungkin kau kelelahan. Sudah kubilang, lebih baik kau memulangkannya lebih awal. Ed tidak akan masalah. Dia bukan anak yang mudah rewel."
"Aku tahu. Tapi aku ingin bersamanya. Aku menikmati waktuku bersamanya."
"Aku hanya tak mau menghalangimu. Kau mungkin punya pekerjaan, kehidupan, dan sebagainya."
Kevin ingin berkata bahwa Ed sekarang adalah hidupnya, tetapi ia mengurungkan niat itu. "Jam berapa sekarang?"
"Setengah dua pagi."
"Kau melakukan ini setiap hari? Pulang setengah dua pagi. Berangkat bekerja lagi pukul lima pagi. Pulang pukul satu siang dan mengurus Ed. Lalu bekerja lagi pukul enam."
Quinn terdiam sesaat sebelum menjawab, "Ya," dengan suara lirih.
Kevin menghela napas keras dan menatap rumah kecil Quinn. Randy bilang inilah satu-satunya pilihan Quinn bahwa warisan kecil ini lebih dari yang Quinn bisa harapkan. Kevin tak bisa membayangkan bagaimana jika Quinn tidak mendapatkan warisan ini, apa yang akan ia lakukan bersama Ed. Menyewa tempat kecil di sana-sini. Berpindah-pindah ketika tidak bisa lagi membayar tagihan.
"Aku mungkin bukan ibu terbaik tapi percayalah, aku berusaha," kata Quinn tiba-tiba, seolah membaca pikiran Kevin. "Satu pekerjaan hanya bisa menutup kebutuhan dan tagihan-tagihan yang berusaha kutekan. Aku membutuhkan yang lainnya supaya bisa menabung dan dan menyimpan uang untuk berjaga-jaga. Kau mungkin berpikir ini hanya alasan, tapi aku memang melakukan ini untuk Ed. Aku ingin dia punya kehidupan lebih baik."
"Aku tahu." Kevin menatap Quinn yang ragu-ragu menatapnya. "Percayalah, aku tahu. Kau... melakukannya dengan sangat baik. Ed anak hebat dan itu bukan tanpa alasan."
Quinn mengangguk pelan. "Trims."
Kevin mengusap kepala Ed yang tertidur pulas. Ia mencium kening bocah itu beberapa detik lamanya. Tidak bisa lagi menggambarkan betapa ia menyayangi anak ini. Kevin rela melakukan apapun demi Ed dan itu tidak diragukan lagi.
"Kev... tentang malam itu―"
Kevin menatap Quinn yang meremas ujung kaosnya dan berusaha sebisa mungkin menatapnya. Kevin tidak perlu bertanya malam yang mana, karena hanya ada satu pertanyaan Kevin yang belum Quinn jawab.
"Aku..."
Kevin bangkit dan mendekati Quinn. Melirik sekilas Ed yang tertidur, ia tidak mau mengusik itu. Jadi Kevin menarik pelan tubuh Quinn keluar dari kamar Ed, membuat mereka terjebak di lorong temaram nan sunyi.
"Malam itu... aku..." Quinn memejamkan mata selama beberapa saat sebelum mendongak menatap Kevin. "Aku minta maaf. Harusnya aku lebih bisa mengendalikan diriku karena kau jelas tidak bisa."
Kevin jelas tidak bisa. Berarti betul apa yang Kevin pikirkan, ia memang mabuk dan tidak sadarkan diri saat kejadian itu. "Apa aku menyakitimu?"
Quinn mengerjap. "Apa?"
"Apa aku bersikap brengsek padamu? Apa aku memaksamu atau sesuatu?"
Quinn terdiam sejenak. "Entahlah. Kupikir... tidak."
"Jadi... itu memang aku? Bukan Calvin atau seseorang lainnya yang mirip denganku?"
Mata Quinn kelabu dan berbinar dalam keremangan, meski kernyitan di dahinya makin dalam. "Jujur saja, aku lebih berharap orang itu adalah Calvin atau orang lainnya. Dengan begitu pasti lebih mudah untuk kembali ke sini, bukan? Sayang sekali aku selalu bisa mengenalimu di manapun, Kev."
Aku selalu bisa mengenalimu di manapun, Kev. Kalimat itu seperti pelampung penyelamat setelah ia tenggelam dalam pusaran mimpinya beberapa saat yang lalu. Kevin tak lagi bisa menahan diri bertahan dalam air dan terus tenggelam. Ia tak tahan lagi untuk mengulurkan tangannya dan menggapai. Ia meraih satu-satunya penyelamat yang tersedia untuknya.
Ia meraih wajah Quinn. Menurunkan wajahnya untuk menghapus jarak. Ketika bibir mereka bersentuhan, Kevin tahu dirinya sudah berada di permukaan dan ia telah menemukan tempat yang terasa begitu aman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top