(10)

"Aku punya tiga sepupu. Starr―dengan dua r, lalu ada Keith dan Lean," oceh Ed. "Kau tahu, Lau? Keith dan Lean itu kembar. Wajah mereka terlihat sama, tapi tidak benar-benar sama. Tapi tetap saja, mereka kembar."

"Benarkah?" sahut Laurel sambil mengunyah serealnya.

"Mm-hm." Ed mengangguk, lalu menyuapkan serealnya lagi. "Dad, pfunya kembaran jugha, kau tahu?

"Edward," hardik Quinn. "Telan dulu makananmu. Jangan bicara sambil makan. Kau bisa menyemburkan makananmu."

Ed menunduk dan menunjukkan penyesalan, lalu ia menahan keinginannya bicara meski ia punya sejuta hal yang ingin ia ceritakan tentang keluarga barunya.

Quinn merasakan tatapan tajam Laurel, namun ia sebisa mungkin menghindar dan tak mau membalasnya. Sia-sia saja Quinn menghindari sepupunya karena rumor sudah menyebar dengan cepat di kota yang kecil seperti Westerly. Apalagi Laurel bekerja di pom bensin, tempat di mana sebagian besar orang di kota bertemu. Mustahil Laurel tidak mendengar apapun. Belum lagi ocehan Ed sejak semalam tentang betapa hebatnya keluarga Beverly pasti membuat Laurel semakin bertanya-tanya.

"Habiskan sarapanmu, Lau. Aku harus segera pergi bekerja," kata Quinn setelah mencuci gelas dan mangkuknya.

"Oke," balas Laurel singkat.

Quinn melirik Ed dengan wajah barunya yang penuh senyum dan berbinar-binar. Ia hanya pernah mendapati itu ketika hari ulang tahun Ed dan ketika hari pertama sekolah Ed dimulai. Sekarang Ed terlihat begitu bahagia karena akhirnya ia punya seorang ayah. Quinn tidak tahu apakah keinginannya menghindari Kevin sepadan dengan ini.

"Jika sudah selesai, minta tolong pada Laurel untuk mencuci piringmu, Ed," kata Quinn.

Ed cepat-cepat menghabiskan makanannya dan menyodorkan mangkuknya pada Laurel. "Tolong?"

Laurel menerima mangkuk bocah itu dan mengacak rambut Ed yang masih berantakan sehabis bangun tidur.

"Trims," balas Ed. Kemudian ia pergi ke lantai dua dengan langkah berlarinya.

"Mandi, Ed!" seru Quinn. "Jangan tidur lagi!"

"Ya, Mom!"

Quinn meraih mengikat rambutnya dan sekali lagi memastikan penampilannya sebelum berangkat bekerja. Beruntung semua bos tempatnya bekerja mengerti dengan kondisinya yang menjadi ibu tunggal dan ia harus mengurus anaknya lebih dulu sebelum pergi bekerja. Quinn tidak pernah mengharap timbal balik apapun dari Laurel, tetapi ia merasa bersyukur anak itu cukup membantunya untuk mengurus Ed sementara ia bekerja. Laurel bertugas mengantar sebelum ia berangkat sekolah dan menjemput Ed sepulangnya dari sekolah.

"Eh, Lau." Quinn merogoh kunci mobilnya dan menyerahkannya pada Laurel. "Mungkin kau butuh ini."

Laurel terdiam sesaat menatap Quinn. "Kau serius? Bukannya kau lebih membutuhkan mobil itu?"

Quinn tersenyum. "Mungkin sekali-kali kita harus bergantian memakai mobil itu."

"Lalu bagaimana caramu sampai ke tempat kerja?"

Quinn mengendik. "Dengan sepedamu, tentu saja."

Laurel menatap kunci itu dengan mata berbinar. Anak itu dulunya juga punya mobil peninggalan ayahnya, tetapi pengacaranya menyarankan untuk menjual seluruh properti milik ayahnya yang tersisa untuk biaya pendidikan Laurel. Terkadang Laurel menawarkan uang itu pada Quinn untuk modal usaha, namun Quinn tak mau mengambilnya. Laurel berhak atas uang itu. Quinn mendepositokan seluruhnya untuk biaya kuliah Laurel. Gadis itu berhak untuk kuliah supaya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Quinn. Jika Quinn tidak bisa menguliahkannya, setidaknya uang itu bisa.

"Trims," kata Laurel. Ia bangkit dan memeluk Quinn, membuat Quinn merasakan sengatan di hatinya, menyadari betapa dirinya menyayangi Laurel seperti adiknya sendiri. "Aku akan mengisi bensinnya."

"Wah, seharusnya aku yang berterima kasih."

Laurel terkekeh.

"Baiklah. Aku harus berangkat sekarang karena aku menggunakan metode lain hari ini."

"Quinn?"

"Hm?"

"Kau bisa menceritakan apapun padaku, kau tahu."

Quinn terdiam menyadari maksud Laurel, bahwa ini masih tentang Beverly yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Ia mengusap bahu Laurel dan berusaha tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kalau aku tidak merasa begitu, kau akan jadi orang pertama yang tahu, aku janji."

"Oke."

Quinn mengangguk dan menyambar tasnya. "Kalau begitu titip Ed. Hati-hati menyetir. Kau mungkin lupa caranya."

"Aku akan baik-baik saja."

"Oke," Quinn berusaha menenangkan diri. Kemudian ia melambaikan tangan pada Laurel, keluar dari pintu belakang untuk mengambil sepeda Laurel yang Quinn belikan beberapa minggu yang lalu. Quinn berharap masih mengingat caranya mengendarai sepeda karena terakhir kali ia melakukan ini adalah saat tahun juniornya di SMA sebelum ia punya SIM.

Quinn hampir berhasil memacu sepedanya menyusuri jalan utama, namun Quinn menarik rem kuat-kuat ketika mendapati seseorang berdiri di depan rumahnya. Itu Kevin yang menggunakan celana training pendek, sepatu lari, dan kaus tanpa lengan yang menunjukkan bisepnya yang berisi.

Astaga, pria ini terlihat jantan.

"Hai," sapa Kevin.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Quinn defensif. Belum cukup Ed yang membuatnya terguncang pagi ini, seharusnya Kevin tidak melakukan ini padanya. Dan... ya ampun! Apakah Kevin sengaja tidak bercukur pagi ini dan meninggalkan cambang tipis berumur sehari di sana?

"Aku... eh... sedang lari pagi."

"Masa?"

"Ya. Aku... eh... ini pilihan olahraga yang paling mungkin untukku."

Quinn memang belum genap tiga minggu pindah ke sini, tetapi Quinn tahu betul siapa-siapa saja yang sering melewati rumahnya saat pagi hari, mengingat ia bekerja di restoran khusus menu sarapan dan ia mulai pukul enam. "Aku tidak pernah melihatmu lewat sini, Kev."

Kevin mengerjap dan menggaruk tengkuknya. "Yah... aku... mengambil rute baru."

"Rute baru, ya?" Bertanya-tanya mengapa Kevin memutuskan untuk memilih rute ini dari sekian banyak jalanan di Westerly.

"Ya. Eh, kau mau ke mana?" Quinn sangat menyadari pengalihan pembicaraan ini.

"Pergi bekerja."

"Dengan sepeda itu?"

"Yap. Kau ingin bertemu Ed?"

"Eh, tidak. Untuk saat ini. Aku hanya kebetulan lewat dan bagus sekali aku bisa bertemu denganmu. Apa yang terjadi pada mobilmu?"

"Kalau kau tidak punya urusan lainnya, aku harus pergi sebelum aku terlambat." Quinn memutar sepedanya melewati Kevin, namun pria itu mengejarnya seraya berlari.

"Tunggu, Quinn! Aku... mungkin ingin bicara padamu." Hebat sekali pria itu bahkan tidak terengah meski bicara sambil berlari. Apa Quinn kurang cepat memacu sepedanya?

"Tidak, sekarang, Kev. Aku benar-benar harus pergi."

"Mungkin aku bisa mengantarmu? Kau tidak mungkin membiarkanku mengikutimu dengan kakiku, bukan?"

"Aku bahkan tidak menyuruhmu mengikutiku."

"Yah, aku yang ingin mengikutimu dan aku ingin mengantarmu."

Quinn menghentikan sepedanya dan menatap pria yang menyeka peluh dengan kaosnya. Bulir-bulir keringat itu justru membuat Kevin terlihat maskulin, sangat berbeda dengan Kevin yang Quinn ingat saat SMA. "Kau tahu aku tidak bisa mengantarmu kembali."

"Bukan masalah. Kau bekerja dengan Amanda, bukan? Rumahku berada di ujung blok yang sama dengan restoran Amanda."

Benarkah? Berarti selama ini Quinn sedekat itu dengan Kevin, meski ia menghindari Beverly House? "Kebetulan yang mengesankan."

"Biarkan aku yang mengayuh sepedanya untukmu. Aku akan sangat berterima kasih karena kau secara tidak langsung sudah mengantarku pulang."

Quinn menatap tubuh Kevin yang menggiurkan, membuat dada Quinn berdesir. Ya Ampun, ini pasti akibat Quinn tidak menjalin hubungan apapun sejak hamil Ed. Secara teknis, Kevin memang pria terakhir yang bersamanya dan pria ini baru saja menyodorkan diri dengan penampilan yang lebih panas dari sembilan tahun lalu.

"Eh... apa kau keberatan karena aku berkeringat? Mungkin setelah kita melaju beberapa saat, keringatku sudah tidak ada."

Dia bercanda, ya? Justru keringat itulah yang membuat Quinn ingin menelusuri tubuh pria itu. "Tidak," cicit Quinn. Ia menelan ludah dan berdeham. "Maksudku, tidak apa-apa. Bisakah kita jalan sekarang sebelum kita terlambat?"

Kevin tersenyum lebar dan mengambil alih kemudi hingga tangannya bersentuhan dengan Quinn. Secara reflek Quinn menarik tangannya karena kulit Kevin begitu menyengat di kulitnya, mengirimkan percikan statis yang tidak Quinn duga. Tatapan Kevin terpaku pada Quinn, apakah ini hanya perasaan Quinn atau Kevin juga merasakan sengatan itu?

Quinn beralih ke dudukan penumpang dan membiarkan Kevin berada di depan. Tubuh Kevin menjulang di depannya. Begitu kukuh dan tegap. Meski Kevin berkeringat, tetapi aroma pria itu benar-benar menggiurkan. Kalau bisa, Quinn ingin memeluk Kevin dan membiarkan kepalanya terkulai di punggung pria itu seraya menghirup aromanya dalam-dalam.

"Siap?" tanya Kevin.

Sialnya, Quinn mengeluarkan suara serak yang tidak diduganya. "Ya."

"Kau mungkin... harus berpegangan pada sesuatu."

Sesuatu seperti apa? Tempatnya sempit, bokong seksi Kevin menguasai tempat di depan. Satu-satunya pilihan hanya pria besar seksi di hadapannya ini. Quinn mengulurkan tangannya dengan ragu memegangi kaos Kevin dan berkata, "Sudah."

Kevin memacu sepedanya dengan kecepatan terukur, tidak terlalu lambat, namun tidak terlalu cepat. Tapi tetap saja, ini lebih cepat daripada yang Quinn bisa lakukan. Angin mengaburkan anak rambut Quinn yang tidak terikat. Aroma embun, pesisir, dan Kevin melebur menjadi satu. Quinn bisa saja memejamkan mata dan merasa damai saat ini kalau saja jantungnya tidak berdetak lebih cepat, membuatnya khawatir.

"Terima kasih kau mengijinkanku membawa Ed semalam," ujar Kevin memulai.

Quinn harus menjulurkan kepalanya lebih dekat untuk bicara. "Kau tidak bilang akan membawa Ed pada keluargamu."

"Kami makan malam. Itu bukan kebohongan. Aku hanya ingin mengenalkannya. Itu saja."

Quinn bertanya-tanya bagaimana tanggapan keluarga Beverly ketika mengetahui Ed adalah bagian dari Kevin, ketika mengetahui sebagian dari Ed juga adalah Quinn.

"Bolehkah aku menjemputnya sepulang sekolah?"

Quinn mendengar pertanyaan itu, tetapi terlalu terkejut dengan permintaan Kevin hinga ia menjawab, "Apa?"

Kevin mengeraskan suaranya. "Bolehkah aku menjemput Ed sepulang sekolah? Aku bisa menjaganya sebentar sebelum kau pulang kerja. Ed tidak perlu ke tempat Joe dan merepotkan ibunya."

"Laurel yang menjemput Ed dan Dylan tidak merasa repot."

"Kau tahu betul maksudku." Dan Quinn juga setuju dengan pemikiran itu. Kadang-kadang ia merasa sungkan pada Dylan Dale meski Ed dan Joe bersahabat. "Kau juga tahu bahwa itu ide bagus. Sesekali kau bisa menitipkan Ed padaku. Laurel mungkin butuh sesuatu seperti tugas sekolah yang membuatnya tidak bisa menjemput Ed. Kau tidak bisa selamanya bergantung pada keluarga Dale, tetapi kau bisa mengandalkanku karena aku juga ayah Ed."

Quinn sangat menyadari usaha Kevin yang ingin membawa Ed memasuki hidupnya. Bertanya-tanya apakah ini terlalu cepat bagi Ed, bagi Kevin, dan baginya. "Aku tidak mau merepotkanmu. Kau juga punya pekerjaan."

"Aku bisa mengatur pekerjaanku. Jadwalku lebih fleksibel. Dan aku ingin kita berkompromi satu sama lain sebagai orang tua Ed. Kau tak perlu merasa sungkan. Apapun yang Ed butuhkan, aku akan sebisa mungkin mengusahakannya."

"Entahlah, Kev―"

"Kumohon," potong Kevin. "Beri aku kesempatan. Kau berutang itu padaku."

Quinn menatap jalanan yang semakin ramai karena mereka sebentar lagi memasuki kota. Cengkeramannya di kaos Kevin mengencang tanpa ia sadari. "Kau memang akan menggunakan alasan itu untuk seterusnya, bukan?"

"Ya," jawab Kevin tanpa ragu. Pria itu terkekeh pelan. "Mungkin sampai alasan itu tidak bisa mengubah pikiranmu lagi."

"Baiklah," kata Quinn akhirnya. "Tapi jika Ed keberatan kau menjemputnya, aku ingin kau berhenti saat itu juga. Ada beberapa hal yang mungkin menjadi pengecualian untuk posisimu di hidup Ed."

Tanpa Quinn duga, satu tangan Kevin sudah meraih-raih ke belakang, mencari tangannya yang menggenggam kaos Kevin. Pria itu membawa tangan Quinn ke depan dan meletakkannya di perut keras nan sempurna miliknya. Kevin bahkan mengusap pelan tangannya. "Terima kasih. Ini sangat berarti untukku."

Kemudian Quinn bertanya-tanya bagaimana mungkin jantungnya berdegup cepat dan napasnya terengah padahal bukan ia yang mengayuh sepedanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top