7| REMEDY

Denting piano mendera setiap sudut rumah sore itu. Karim yang baru saja pulang, membuka kulkas dan meraih satu buah apel sebelum menggigitnya dalam satu gigitan besar.

"C." Suara Tiya terdengar dari ruang sebelah setelah satu nada fals dan denting piano berhenti. "Akord C, Aksa. Iya, jari-jarimu harus dibiasakan."

Karim yang masih berdiri di depan kulkas, mengangguk kala mendengar nada antusias Tiya. Mamanya adalah mantan guru musik. Tiya mampu memainkan hampir semua jenis alat musik modern maupun tradisional. Kemampuan yang katanya, membuat mendiang sang Papa jatuh cinta pada Tiya. Dulu ketika kedua orang tuanya masih ada, tidak ada satu pagi yang terlewat tanpa Papa berdendang lagu lawas dan Mama yang memainkan piano atau sekedar memetik senar gitar.

Tiya keluar dari sekolah tempatnya mengajar dan memilih untuk rehat di rumah setelah stroke menderanya. Namun seorang Tiya tidak akan mampu jauh dari musik. Maka ia membuka kelas belajar musik di rumahnya. Membuat rumah Karim tidak pernah sepi dari suara anak-anak di ruang musik milik Tiya.

"Gimana Mama hari ini?" Karim bertanya pada Asih, asisten rumah tangga yang juga menjaga Tiya kala Karim sedang bekerja.

"Ibu sehat. Tadi ada temannya ke sini. Ngobrol lama banget dan baru pulang setelah Aksa ke sini." Asih, ibu dua anak itu menjawab dengan sopan.

"Teman kerja?"

Asih mengangguk lagi.

"Baguslah. Makasih, ya Bi," ucap Karim. "Nanti ada acara sama Pak Wiwid, nggak?"

Pak Wiwid, adalah suami Asih, yang juga bekerja sebagai supir pribadi keluarganya. Lebih tepatnya, supir pribadi Tiya setelah Tiya tidak lagi mampu mengemudikan mobil dengan baik.

"Nggak, Mas. Gimana? Mas Karim mau keluar?"

Karim mengangguk. "Acara kantor. Pulang malam. Bisa minta tolong temani Mama?"

Asih terkekeh. "Mas Karim itu kayak bicara sama siapa. Udah tenang aja, nanti si kembar biar ikut nemeni Ibu."

Si kembar, Anita dan Raina adalah putri Asih. Mereka kelas enam SD dan senang sekali bila bermain piano bersama Tiya. Jadi sepertinya, Karim tidak perlu khawatir. Asih bergumam tentang kebun belakang sebelum keluar ruangan, meninggalkan Karim sendiri di dapur yang bersebelahan dengan ruang musik.

Laki-laki itu menyingsingkan lengan kemeja hingga ke siku, melepas ikat pinggangnya dan membebaskan kemeja dari celana sebelum berjalan keluar rumah. Ia pergi ke garasi. Mengambil sebuah ember dan mengisinya dengan sabun khusus sebelum meraih segulung selang panjang dan membawanya keluar.

Karim melirik jam dinding di ruang tamu, yang menunjukkan pukul tiga sore. Masih dua jam lagi sebelum dia harus pergi mengambil katering dari tempat Galuh.

Dan, pikirannya kembali berulah.

Dia kenal Galuh. Jelas, Karim mengenalnya. Tapi yang ia kenal adalah Galuh si bocah cilik dengan potongan rambut model laki-laki, bukannya Galuh dewasa yang anggun dan mengundang seperti itu. Ada sesuatu yang lain darinya, yang membuat sosoknya begitu berkesan bagi Karim setelah pertemuan mereka yang kedua.

Seingatnya, dia bukan orang yang mudah tertarik pada perempuan. Dia saja lupa kapan terakhir kali dirinya tertarik dengan seorang wanita sampai sebegini mengganggunya. Karena setelah Papa tiada, hidup Karim hanya berputar di sekitar Tiya. Terlebih ketika Tiya terkena stroke yang sempat merenggut motorik tubuh bagian kanannya, seluruh waktu dan pikirannya hanya berisi Tiya.

Tapi wanita itu bisa menyita perhatiannya dengan mudah dan...terlalu cepat. Dia cantik, Karim mengakui. Tampak mandiri dan manis dengan rambut panjang dan sandal berbulunya.

Karim mendengus sebal pada dirinya sendiri dan menggosok bodi motor dengan kelewat jengkel.

Maksudnya, akan sangat kurang ajar jika dia tertarik dengan istri orang, kan?

Demi pikirannya yang sedang kerasukan, mereka baru dua kali bertemu! Bahkan dulu pun, mereka tidak pernah sedekat itu.

"Rim, stop that foolishness of yours!" Karim melotot pada selang air ketika lagi-lagi menyadari pikirannya mulai tidak waras. Suami mana yang rela istrinya dibayangkan dengan sangat kurang ajar oleh orang lain?

Maka, wahai Karim Mahaputera, sepertinya pikiranmu perlu didisiplinkan!

Karim mengarahkan pancuran air ke kepalanya dengan kalap, berharap debu dan pikiran-pikiran beracun itu ikut terbasuh dan lenyap ditelan tanah.

"Woooi Pak Karim!"

Karim menghentikan kegiatan nekatnya, sedikit menyesal kala mengingat omelan Tiya tentang membuang-buang air bersih. Laki-laki itu menoleh ke arah gerbang, tempat seorang pemuda mengetuk jeruji pagar menggunakan ujung jari dengan tidak sabar.

"Pak Karim kenapa?" Catra bergumam, heran sendiri ketika melihat dosennya bermain-main air seperti anak kecil. Keramas pakai selang, pula! Lihat saja, sekarang rambut, wajah dan kemeja bagian depannya basah kuyup begitu.

Catra mengernyit. Apa ini benar Karim yang dikenalnya? Biasanya Pak Karim kan, berwibawa.

Karim segera mematikan keran dan membuka gerbang. Masih ada tetes air yang menggantung di ujung rambut Karim. Namun laki-laki itu segera mengangkat alis pada Catra.

"Catra, ada apa?"

Catra mengedip beberapa saat. Ia menunjuk Karim.

"Pak Karim ngapain? Nggak sopan mandi di halaman, Pak. Untung cuma aku yang lihat kemejanya jadi nerawang menggoda macam itu. Kalau tetangga sebelah, gimana?"

Karim menunduk, dan menarik kemejanya agar tidak lengket ke badan. Catra benar, penampilannya jadi memalukan.

"Saya baru nggak waras," ucapnya. " Kamu ngapain ke sini?"

Raut wajah Catra kini berbinar.

"Mau pinjam buku. Jurnal yang kemarin Bapak bawa ke kampus itu, kayaknya cocok jadi bahan referensi," ucap Catra. "Sekalian sih, kalau punya buku lain yang bisa bantu bikin bab dua."

Karim mengangguk sembari menyugar rambutnya. Ia mengedik ke arah rumah.

"Masuk saja. Saya perlu ganti baju."

"Halah Pak, nggak sekalian aku foto terus upload ke agen kaus sport? Kepalang tanggung," ledek Catra tertawa.

Karim mendengus, namun tidak menjawab. Ia membawa Catra di sisi lain rumah, pada ruangan yang penuh dengan rak-rak buku hingga menjulang tinggi. Sebagian sudah berdebu, sebagian lagi terlihat masih baru. Seluruh buku itu tertata rapi dengan punggung buku menghadap ke depan. Dilabeli dengan tanggal yang beberapa diantaranya sudah memudar dalam warna biru maupun hitam.

"Yang sini. Mungkin bisa kamu jadikan referensi," ucap Karim. "Saya tinggal dulu."

"Hmm..."

Karim pergi mengambil handuk sebelum kembali pada Catra. Anak itu masih menyusuri punggung buku dengan tangannya.

"Manajemen laba... ," gumam Catra menyipitkan mata.

Dengan satu tangan mengusapkan handuk ke rambutnya, satu tangan lain meraih proposal Catra yang dipenuhi coretan tidak manusiawi bertinta merah. Karim kenal sekali siapa rekan seniornya yang setega ini.

Manik matanya bergulir serius ketika membaca baris demi baris. Sesekali mengangguk setuju pada tulisan bertinta merah kala penulisan Catra memang kurang efektif.

"Pak, di Centauri nggak ada lowongan pegawai magang, ya?" Tiba-tiba Catra bertanya.

"Hmm...ada, tapi buat Analis Pangan semua."

"Oh..." Catra terdiam sejenak. "Kalau Pak Karim, itu di apa?"

"Akuntan," jawab Karim tanpa mengalihkan pandangan dari proposal skripsi. "Ini kamu dapat data darimana? Kenapa dicoret satu halaman penuh?"

Catra menoleh pada halaman ysng ditunjuk Karim, lalu mendengus kesal.

"Dari Bobi. Tapi ternyata nggak valid dan Pak Taufik tahu," sahutnya emosi. "Makanya, aku cari data sendiri aja."

"Kamu cari data di jurnal, coba."

"Iya, Pak Taufik juga bilang gitu," Catra mengangguk. "Pak Karim itu akuntan di Centauri? Tapi kenapa ada yang bilang orang Keuangan?"

"Memangnya kenapa?"

"Penasaran aja. Kan bisa jadi referensi kerjaan."

Karim mengangguk. "Dulunya orang Keuangan sebelum kerja di Centauri."

Catra mengucapkan 'oh' dengan panjang. Dia hanya mengenal Karim sebatas dosen tidak tetap di kampusnya. Jam mengajarnya sedikit, tapi Karim termasuk dosen favorit di fakultas karena cara mengajarnya yang mudah dipahami. Juga, dia tidak meragukan wawasan Karim yang luas tentang ilmu akuntansi. Maka tanpa ragu dia ke sini.

"Lho, ada tamu?"

Keduanya menoleh kala Tiya masuk ruangan dengan kursi roda. Karim meletakkan skripsi Catra dan bergegas mendekati Tiya.

"Kenapa pakai kursi roda?" tanya Karim cepat.

Tiya hanya terkekeh. "Tadi agak capek. Nggak papa. Kamu kenapa basah begini?"

Karim melirik dirinya sendiri dan menggeleng. Mamanya ini, belum bisa terlalu lama berjalan. Jika dia sudah memilih duduk di kursi roda, itu artinya dia benar-benar lelah.

"Halo Tante. Saya Catra, anak didiknya Pak Karim yang paling ganteng sefakultas."

Dengan percaya diri, pemuda jangkung berkacamata itu mendekati Tiya dan meraih tangannya.

"Tante cantik. Sering makan melati ya, Tante?"

Tiya tertawa sambil menepuk punggung Catra, sementara Karim sudah terbiasa dengan mulut manis mahasiswanya yang satu ini.

"Nggak disuguhin minum? Ya ampun Karim keterlaluan. Kamu mau minum apa, cah ganteng?" tanya Tiya ramah.

"Nggak perlu, Tante. Saya nggak lama, kok."

Karim meletakkan skripsi Catra ketika tubuhnya mulai terasa lembab dan tidak nyaman.

"Saya ganti baju dulu," ujarnya keluar ruangan.

"Oke Pak!" seru Catra nyengir lebar sebelum kembali berbicara pada Tiya. Dibiarkannya Tiya dan Catra bercengkrama sementara dirinya bergegas ke lantai dua.

Secepat itu dirinya menjauh dari percakapan, secepat itu pula Galuh kembali mengisi otaknya tanpa permisi.

Saat ini, dia percaya sepenuhnya jika rasa ingin tahu bisa membunuh seseorang. Karim mengusapkan handuk ke rambut dengan kasar.

Sepertinya dia butuh menenggelamkan diri di bak mandi.

***

"Lho, Pak Karim ngapain di sini?"

"Kamu kenapa di sini, Catra?"

Dosen dan mahasiswanya berdiri saling berhadapan di lobi mungil bangunan itu. Karim mengerutkan kening kala melihat Catra memakai celemek berwarna merah muda, penutup rambut dan masker yang kini tergantung di leher. Ia sedang membawa setumpuk kardus berlabel katering ini.

"Aku kerja di sini," ucap Catra meletakkan kardus itu di dekat tumpukan kardus yang lain. Sepertinya ini sebuah pesanan.

"Saya pesan di sini," jawab Karim tersenyum geli kala kebetulan kecil seperti ini sungguh terjadi.

"Oh, mau ambil pesanan? Ketemu Bu Bos dulu aja," kata Catra menunjuk ke dalam.

Karim mengangguk dan mengikuti Catra memasuki sebuah ruangan luas yang lebih panas daripada lobi. Jelas sekali ruangan itu adalah sebuah dapur. Aroma berbagai macam masakan menyapa hidungnya. Suara pisau beradu dengan talenan, kucuran air dan gelegak kuah mendidih terdengar di telinga. Selain Catra, ada tiga anak muda seusia Catra yang juga sibuk di sana.

Namun Karim segera menemukan sosok Galuh dengan mudah. Perempuan itu berdiri menghadap salah satu kompor, memunggunginya. Tali celemek berwarna coklat terikat di pinggangnya. Lengan kausnya dilipat hingga ke siku. Ia juga seperti yang lain, memakai pelindung rambut dan masker. Wanita itu tengah mengaduk masakan di dalam wajan raksasa yang mengepulkan uap tipis ke udara.

Satu alasan mengapa Karim begitu berhati-hati dengan Galuh adalah, dia takut menumbuhkan rasa pada orang yang salah. Dan dia tahu langkahnya untuk menahan diri sudah benar ketika hanya melihat Galuh dari belakang saja, sesuatu meluap dalam dirinya hingga nyaris tidak terbendung.

"Bu Bos, ada tamu mau ambil pesanan!" Catra berseru, membuat Galuh terkejut dan berbalik.

Wajah wanita itu berkeringat. Namun ketika mata mereka bertemu, pipi yang tidak tertutupi masker itu membulat tanda tersenyum.

Karim menghela nafas. Sepertinya, semua harus selesai sampai di sini. Mungkin akan dia sesali, atau justru ia syukuri. Yang dia tahu adalah, dia tidak mau terus menumbuhkan rasa jika memang wanita ini sudah ada yang punya.

***

Galuh merasakan ujung bibirnya tertarik ke atas kala melihat Karim. Laki-laki itu sudah rapi dengan kemeja kasual berlengan pendek lengkap dengan jam tangan melingkar di lengannya.

"Bang Karim, mau ambil?" sapa Galuh. Ia segera melepas masker dan mendekati laki-laki itu, meskipun agak menjaga jarak karena Galuh sadar sekali aroma berbagai masakan menempel di bajunya yang juga kena keringat.

"Bu Bos kenal Pak Karim?" Catra mengangkat alis. Pertanyaannya otomatis membuat tiga kepala lain menoleh bersamaan ke arahnya.

"Teman lama," ucap Galuh ringan. Ia melepas celemek dan penutup rambutnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ayo ke atas. Dan, agak jauh-jauh, nanti Bang Karim kena bau masakan. Duduk sini, Bang. Aku cuci muka dulu."

Galuh mempersilahkan Karim duduk sementara dirinya melesat keluar dengan cepat.

Tidak butuh waktu lama bagi Galuh untuk berganti baju dan memperbaiki penampilannya. Ketika ia kembali ke ruangan, ia menemukan Karim yang sibuk dengan ponselnya.

"Sendiri ini ambilnya?"

Karim mengangkat wajah kala hidungnya mencium aroma manis buah-buahan. Galuh duduk di depannya dengan pakaian yang berbeda. Wajahnya tampak lebih cerah dengan lipstik merah di bibir, dan rambut yang kini tersisir rapi.

Karim mengangguk, sementara Galuh sibuk mencari sesuatu di mejanya.

"Abang kenal Catra?" Galuh bertanya kala wanita itu ingat respons Catra.

" Hm...dia salah satu mahasiswaku."

"Eh, Abang jadi dosen?" tanya Galuh menatap Karim dengan kening berkerut. "Bukannya katanya kerja di Centauri Farm?"

Laki-laki itu tersenyum.

"Dosen nggak tetap. Kebetulan aja saat itu ada lowongan dan kualifikasinya bisa dipenuhi. Kerja tetap di Centauri."

Galuh mengangkat alis, lalu terkekeh.

"Abang itu, nggak bisa jauh-jauh dari ngajar ya," ucapnya. "Atas nama Karim Mahaputera, diambil tanggal dua belas. Bisa lihat form yang kemarin?"

Karim menyerahkan form pemesanan yang diminta Galuh. Wanita itu sibuk menulis sesuatu di notesnya tanpa menyadari jika tatapan Karim tidak pernah lepas darinya sejak tadi.

"Kamu jam segini masih ngurus katering, nggak dicari orang rumah?"

Galuh tertawa pelan. "Papa udah biasa aku tinggal. Harun juga, sibuk sama skripsinya."

"Hmm...suami?"

Mendengarnya, Galuh tersenyum kecil, namun tidak segera menjawab. Ia menyelesaikan nota pembayaran lebih dulu sebelum menyerahkannya pada Karim. Wanita itu menatap Karim, yang menerima nota dengan masih memandanginya.

"Tanya begitu sama perempuan 28 tahun, itu nggak sopan lho, Bang," ucap Galuh dengan nada bercanda.

Iya, Karim juga tahu pertanyaannya terlalu personal. Tapi Karim tidak bertanya seperti itu pada setiap wanita berusia 28 tahun yang ia temui. Dia hanya menanyakan hal itu pada Galuh.

"Maaf," ucap Karim sungguh-sungguh. "Tolong, jangan dimasukkan ke hati."

Galuh tertawa kala laki-laki di depannya terlihat sangat bersalah.

"Bercanda, Bang Karim. Jangan dibawa serius. Abang, gimana? Anak udah berapa?"

Galuh bertopang dagu di tepi meja, tertarik mendengar jawabannya. Dia sedikit penasaran, seperti apa perempuan yang dipilih laki-laki itu untuk jadi pendamping hidup?

Namun Karim justru tertawa kecil.

"Anehnya, kamu tanya begitu sama laki-laki berusia 31 tahun dan rasanya nggak masalah," ucap Karim. "Belum ada juga. Dua-duanya."

Galuh mengerjap.

"Ah, nggak percaya. Masa?" tukas Galuh menyipit. "In relationship?"

"Nggak juga," kekeh Karim. "Kenapa nggak percaya?"

Galuh menegakkan diri kala Karim menarik satu ujung bibirnya ke atas.

"Y-ya habisnya Abang kelihatan...kayak...bapak---lupain." Galuh berkata dengan terbata. Wajahnya memanas dengan tiba-tiba. Astaga, selama ini dia berpikir Karim bahkan sudah jadi seorang ayah. Karena, pembawaan laki-laki itu begitu tenang, begitu dewasa, begitu...kebapakan.

Galuh menggigit bibirnya lagi, mengawasi Karim yang tengah tertawa.

"Kelihatan kayak bapak-bapak, ya?" Karim bertanya di sela tawa. "Setua itu aku di mata kamu."

"Bukan tua, Bang...tapi kebapakan. Beda." tepis Galuh jengkel.

Karim tertawa, lagi. Raut wajah perempuan itu manis sekali.

Astaga, apa baru kali ini dia berani membiarkan hatinya memuji Galuh secara terang-terangan?

"Kamu sendiri gimana? In relationship? Udah ada calon?" tanya Karim menyudahi tawanya.

Galuh menggeleng. Wanita itu menurunkan pandangan dan bergumam, "Nggak...semudah itu."

"Hm?" Karim mengangkat alis kala suara Galuh terlalu lirih untuknya.

Galuh kembali menatap Karim dan menggeleng.

"Nggak papa," ujarnya tersenyum. Ia meminta nota yang sudah ditandatangai Karim dan memeriksanya.

"Sejak kapan kamu buka katering? Ini kamu kelola sendiri?" Karim bertanya.

"Umm...sekitar dua tahun lalu," jawab Galuh. "Iya, makanya mohon maklum kalau lihat aku berantakan kayak tadi. Masih kekurangan orang."

Karim mengawasi Galuh yang tertawa kecil. Tidak, dia tidak keberatan. Dia justru mengagumi antuasiasme wanita itu.

"Kamu semangat sekali," ucap Karim tulus, membuat Galuh mengembangkan senyum.

Respon laki-laki itu berbeda dengan kebanyakan orang yang tahu jika Galuh juga punya usaha katering. Beberapa dari mereka akan mengatakannya kurang bersyukur. Beberapa yang lain akan mengatakan dirinya gila kerja.

"Pantas saja ditinggal suami. Kamunya gila kerja gini!"

"Kamu itu wanita. Seharian cari uang kapan belajar ngurus keluarga?"

"Kamu nggak keteteran habis kerja terus langsung ngurus usahamu?"

"Bukannya enak udah kerja kantoran? Ngapain menyulitkan diri ngurusi katering segala? Mending kamu cepetan cari suami."

Galuh menghela nafas dalam. Iya, beberapa orang memang mempunyai rahang yang begitu ringan. Maka, dia benar-benar berterima kasih karena Karim bisa menghargainya.

"Makasih, Bang," ucap Galuh hangat. "Abang di Centauri pegang apa? Abang yang urusi produksi susu gitu, ya?"

"Hm? Bukan. Aku di bagian keuangan."

"Oh, macam Akuntan?" tebak Galuh.

Karim mengangguk.

"Pantas Catra jadi mahasiswamu, Bang. Dia kan, di jurusan Akuntansi," kekeh Galuh.

Karim tertawa kecil. Sebagian dari dirinya mulai tidak rela jika harus meninggalkan percakapan hangat ini.

"Om Gandhi sama Tante Mayang gimana kabarnya? Juga...Harun, iya?" tanya Karim mencoba mengingat karena waktu itu Harun masih sangat kecil.

Galuh tersenyum. Ia menatap Karim dengan hangat.

"Papa baik, Mama udah berpulang lima tahun lalu. Harun udah besar, udah jadi mahasiswa."

Karim diam sejenak.

"Maaf," ucapnya sungguh-sungguh untuk kedua kali. "Maaf, Galuh."

Galuh menggeleng. "Nggak papa, Bang. Wajar, kan udah lama nggak ketemu juga. Om sama Tante juga sehat, kan? Mbak Diana? Udah nikah nih."

Galuh tertawa kala mengingat Diana. Kakak perempuan Karim yang tomboi luar biasa.

Kali ini, giliran Karim yang tersenyum maklum.

"Papa sama Mbak Di juga udah nggak ada," jawab Karim. "Mama sehat."

Tawa Galuh terhenti. Wanita itu menatap Karim beberapa saat dan menekap mulutnya.

"Ya ampun, Bang. Maaf," bisik Galuh.

"Sudah nggak papa. Seperti katamu, udah lama nggak ketemu. Wajar kan." Karim menenangkan kala mata wanita itu berkaca.

"T-tapi...Om sama Mbak Di--kenapa?" Galuh sedikit terguncang.

"Kecelakaan mobil waktu pulang kerja, dijemput Papa," jelas Karim sedikit cemas. "Galuh, nggak papa. Ini...kamu kenapa nangis?"

Laki-laki itu mengepalkan tangan, menahannya agar tetap bergeming di atas meja kala dilihatnya mata Galuh semakin basah. Apa dia mengatakan sesuatu yang salah?

Galuh mengusap pipinya dan menggeleng. Ia berdehem dan tertawa suram.

"Kita memang nggak pernah tahu kapan kita kehilangan, ya?" kekehnya. Mungkin hanya perasaan Karim saja, namun ia melihat seleret duka di wajah yang sedang tertawa itu.

Karim memandangi wajah manis itu beberapa lama. Benar jika dia harus berhati-hati pada Galuh, karena potensi untuk jatuh hati ternyata sebesar ini.

Boleh tidak kalau Karim meminta izin tidak ikut acara malam ini?

Namun pesan di ponselnya mengingatkan Karim jika lelaki itu punya tanggung jawab pada keberlangsungan acara di Panti. Maka ia menyudahi pikiran konyolnya dan menatap Galuh lagi.

"Sudah harus ke sana," kata Karim, menimbang-nimbang. "Kamu...mau ikut ke sana?"

Galuh menatap Karim beberapa saat, kemudian menggeleng sambil tersenyum.

"Masih banyak kerjaan, Bang."

Karim mengangguk paham. "Memang nanti pulang jam berapa?"

Galuh menatap jam dindingnya. "Paling jam delapan udah pulang. Biasanya dijemput Harun."

Karim mengangguk, merasa sedikit kecewa ketika menyadari acara kantor tidak mungkin selesai sebelum pukul delapan malam.

"Ya sudah. See you soon," pamit Karim.

"Mau pesan lagi ya, Bang?" ucap Galuh tertawa. "Ayo, biar dibantu anak-anak naikin ke mobilnya."

Karim hanya tersenyum dan mengangguk kala Galuh berjalan di sampingnya. Wanita itu cukup tinggi. Namun berjalan beriringan seperti ini, membuat Karim tahu jika Galuh hanya setinggi dagunya.

Wanita itu meminta tolong pada dua pegawai laki-lakinya. Catra dan satu orang lagi bernama Iyas, yang sepertinya seumuran dengan Catra. Galuh ikut memasukkan kardus-kardus ke dalam mobil, sesekali bercengkrama ringan dengannya.

"Makasih, ya." Karim berkata ketika kardus terakhir sudah masuk ke dalam mobil.

"Aku yang harusnya makasih, Bang," kata Galuh tersenyum sopan. "Terima kasih sudah percaya pada katering kami."

"Pak, kalau ada acara kampus, pesan sini aja, ya. Lebih enak daripada katering langganannya Pak Dekan!" celoteh Catra. "Masa kemarin sayurnya basi--aduh!!"

Galuh berdecak setelah mencubit ringan pipi Catra agar anak itu diam.

Namun Karim tertawa.

"Kamu sadar juga, ternyata," komentar Karim. "Boleh. Kapan-kapan bisa jadi rekomendasi."

"Ah...nggak perlu..." gumam Galuh malu sendiri. "Nggak boleh menurunkan harga pasar saingan dengan cara yang nggak bagus, Bang. Sudah, nggak perlu dengerin Catra."

"Bukan menurunkan harga pasar saingan, Galuh. Sebagai konsumen, kita punya hak memilih produsen yang paling baik," kata Karim.

"Iya, Bu Bos. Dengerin Pak dosen baru ngasih materi kuliah, itu," gumam Catra mengusap pipinya meskipun Galuh yakin sekali anak itu hanya mendramatisir.

Karim hanya tertawa. Laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan membunyikan klakson sekali untuk berpamitan. Senyum masih terulas di bibir Karim. Mengiringi sebentuk doa yang terapal di dalam hati.

Bolehkah?

*TBC*

Selamat malam, semoga selalu berbahagia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top