6| REMEDY
"Makasih Mas, maaf bikin repot."
Galuh berkata dari luar mobil setelah Randi menurunkannya di depan gerbang perumahan. Satu tangannya membawa sekantung besar plastik berisi buah-buahan yang dibeli Randi untuk Gandhi.
"Nggak masalah," ucap Randi ramah.
Sejenak, Galuh bimbang. Namun demi sopan santun, akhirnya dia berkata.
"Nggak mampir dulu, Mas?" tanyanya pada Randi dan Dani.
Randi tersenyum dan menggeleng. "Nggak baik kalau main sekarang. Aku mainnya kapan-kapan aja, sekalian bawa mahar."
"Gass teroosss!!" seru Dani dari belakang. Sementara Galuh hanya tersenyum canggung.
"Salam buat Harun sama Pak Gandhi, ya. Aku lanjut," pamit Randi.
Galuh mengangguk. Wanita itu mengawasi hingga mobil hilang di tikungan, kemudian berbalik menuju rumahnya.
"Siapa, Luh?"
Galuh menoleh dan mendapati salah satu tetangganya tengah menyebrang jalan sambil membawa plastik bertuliskan nama minimarket tertentu. Namanya Yulia, ibu muda yang baru saja pindah satu tahun lalu tepat di samping rumah Galuh.
"Teman. Habis belanja?" balas Galuh menyamakan langkah dengannya.
Yulia mengangguk. Ia melirik Galuh dan tersenyum tipis. "Kamu...harus lebih hati-hati. Nggak baik janda main sembarangan sama laki-laki malam gini."
"Bukan cuma janda, Yul. Semua perempuan juga harusnya nggak gitu," timpal Galuh berusaha santai.
Yulia hanya mengangkat bahu. "Buat yang bersuami sih, pengecualian," kekehnya. "Ohiya, memang iya kemarin Mas Vino pesen di kateringmu?"
Vino adalah suami Yulia. Dan benar, kemarin Vino datang ke katering Galuh untuk pesan beberapa boks makanan. Namun Galuh yakin, Yulia tidak berhenti sampai di sini.
"Iya," jawab Galuh pendek.
Yulia berhenti. Wanita itu menghadap Galuh dan menanggalkan wajah pura-puranya.
"Kamu yang minta dia pesan di kamu?" tanyanya dingin.
"Kenapa harus gitu?"
"Soalnya ada banyak katering yang lebih dekat daripada tempatmu, Luh," desis Yulia. "Mas Vino juga, beberapa kali tanya tempat kerja kamu. Kalau sampai aku dengar yang nggak-nggak, aku nggak bakal lepasin kamu."
Galuh menatap Yulia beberapa saat, kemudian kembali melangkah.
"Kalau sampai kamu dengar yang nggak-nggak, anggap aja itu akun lambesiso," tukas Galuh. "Dia pesan menu khusus yang memang cuma ada di tempatku."
Yulia meliriknya tidak puas.
"Kapan kamu serius cari suami? Jangan cuma main-main aja."
"Belum minat." Galuh menjawab sekadarnya.
Yulia menghembuskan nafas kasar. "Kamu itu...janda kembang, Luh. Masih muda, masih seger. Kamu nggak ngerti gimana omongan laki-laki di lingkungan kita tentang kamu?"
"Beberapa bisa jaga mulutnya, beberapa dibiarin lepas kayak singa," Galuh mengedikkan bahu, sementara Yulia mendelik.
"Udah banyak kasus dimana janda jadi perusak rumah tangga orang lain," kata Yulia. "Aku jadi penasaran, laki-laki tadi suami orang, ya? Nganter kamu dengan alasan habis kerja?"
"Kalau gitu kamu mainnya kurang jauh, Yul. Darimana kamu ambil kesimpulan gitu? Sinetron?"
"Nutup mata aja terus. Nggak ingat kasus Bu Dandy? Atau Jedon?" Yulia melirik Galuh.
"Kebetulan aja mereka janda. Nyatanya, yang bukan janda juga banyak yang jadi perusak rumah tangga orang," tukas Galuh. "Aku nggak ngerti kenapa kamu memandang janda sebegitu negatifnya."
Yulia berdecak tidak terima.
"Dulu kenapa kamu cerai? Pasti ada alasan kenapa suamimu nyeraiin kamu. Apa kalian...nikah di usia muda?"
"Penasaran banget," celetuk Galuh pelan, namun Yulia tersenyum mengejek.
"Besok kalau nikah lagi, harus lebih perhatian sama suami. Harus bisa lebih ngurus suami. Biar mereka seneng dan nggak bosen sama kita. Kita itu perempuan, Luh. Sebagai istri, sudah tempatnya untuk sabar dan mengalah," Yulia berhenti kala mereka melewati depan rumahnya. Ia menatap Galuh lagi, dengan pandangan mengancam. "Kalau sampai aku dengar Mas Vino tanya tentang kamu lagi, aku nggak akan tinggal diam, Luh."
"Hmm..."
Galuh memandangi gerbang coklat itu beberapa saat, kemudian mulai melangkah menuju rumahnya.
"Yang tanya siapa, yang diancam siapa," gumam Galuh pelan. "Aneh."
Yulia, bukan satu-satunya orang yang berpikiran demikian. Sejak terdengar bahwa Galuh bercerai padahal usia pernikahannya baru seumur jagung, banyak cibiran negatif mengarah padanya.
Galuh tidak lagi terkejut. Pandangan masyarakat tentang kondisinya akan selalu berwarna. Beberapa mampu melihatnya dengan sudut pandang yang dewasa, sebagian yang lain akan memberi cap buruk padanya. Dalam setiap lapis masyarakat yang dia tempati, di tempat kerja, di lingkungan alumnusnya, di lingkungan tempat tinggalnya, Galuh selalu menemukannya.
Sialnya, mereka juga sudah pasti memandang rendah Gandhi. Mempunyai anak yang gagal dalam pernikahannya, masih dianggap aib bagi sebagian orang. Hal itu, akan muncul dalam obrolan ringan di lingkungannya. Tentang keluarga Gandhi Caturangga yang serba berkecukupan tapi tidak bisa membimbing anak gadisnya hingga gagal dalam pernikahan.
Mereka sama sekali tidak pernah tahu, apa alasan dibalik perceraiannya. Mereka dan imajinasi mereka yang kelewat liar itu, memang sangat mengerikan.
Namun langkahnya bergetar kala setetes air mata lolos dari pelupuknya.
Galuh juga tidak pernah membayangkan dirinya akan bercerai. Tidak ada wanita yang menginginkan perceraian dalam pernikahan mereka. Tapi, apa yang harus dia lakukan ketika Galang tidak lagi mau menjadi sauhnya? Apa yang harus dia lakukan ketika Galang nyata-nyata menginginkan perpisahan dan memilih perempuan lain?
Apakah mereka berhak menghakiminya dengan stigma negatif yang simpang siur dan tanpa dasar seperti itu?
Galuh berhenti di depan gerbang rumahnya. Ia menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Dia harus terlihat baik-baik saja agar Gandhi tidak kepikiran apa-apa.
Maka, wanita itu memaksa kedua ujung bibirnya untuk membentuk senyuman, lalu masuk ke dalam rumah dengan ekspresi ceria.
***
Hampir seminggu Syaira berada di rumah sakit. Kondisinya jauh lebih baik. Paling tidak, selang NGT sudah dilepas dan luka di rongga mulutnya sudah terobati, sehingga kini balita itu mulai mampu mengkonsumsi bubur. Pembengkakan di perut dan punggung kaki juga sudah berkurang. Satu-satunya masalah adalah berat badan yang belum kunjung selamat dari area merah.
Selama itu pula, Galuh belum bertemu Sarah dan Galang. Kata Retno, Sarah belum bisa pulang dan Galang harus mengikuti pelatihan di Makassar dan baru akan balik hari ini.
Retno menjadi perhatiannya saat ini. Galuh akan datang sewaktu tiba jam makan pasiennya, kemudian menghabiskan waktu di bangsal Syaira. Retno akan menyuapi Syaira dengan telaten sembari mengobrol dengan Galuh.
Galang dan batang hidungnya yang tidak kunjung tampak membuat Galuh belum bisa berdiskusi tentang Retno. Namun kesempatan itu datang kala dirinya sedang makan siang di kedai mi ayam di samping rumah sakit.
Dengan tergesa, lelaki itu duduk di hadapan Galuh. Masih lengkap dengan jaket dan parfum pendingin ruangan yang bercampur dengan keringat. Wajahnya jauh lebih kusut dari terakhir mereka bertemu. Beberapa komedo berkepala hitam kentara sekali menghiasi hidung dan pipinya, tanda jika dia tidak sempat mencuci wajah beberapa jam belakangan. Rambutnya bahkan kini gondrong dengan jambang dan jenggot yang tidak terurus. Sorot matanya lelah dengan bayangan hitam di pelupuk bawah.
"Gimana Syaira?" tanya Galang sambil melahap mi seperti orang yang tidak makan sepuluh abad. Saking tergesanya, beberapa minyak dan kuah terciprat di sana sini.
Galuh menyodorkan tisu miliknya, yang langsung disambar Galang dengan penuh terima kasih.
Galuh tidak mengindahkannya. Ia mengamati Galang beberapa saat dan menyadari jika tubuh laki-laki itu kini sedikit lebih berisi. Terbukti dari gundukan lemak yang kentara di bagian perutnya.
"Maklum, udah bapak-bapak," tukas Galang mengikuti arah pandang Galuh.
Galuh mendengus. "Nggak juga. Sakti juga udah bapak-bapak, tapi dia nggak punya perut bulat macam itu. Padahal, dia lebih tua ketimbang lo."
"Dia punya Sena, sedangkan gue sendirian," tepisnya tidak terima, yang hampir saja membuat Galuh melepas tawa.
Sendirian, katanya?
"Perkembangan Syaira membaik. Dia baru aja habis makan," jawab Galuh akhirnya.
Galang mengangguk. "Belum ketemu Syaira. Gue laper."
Galuh tidak menjawab. Wanita itu meneruskan makanannya. Sejenak, keheningan berkuasa di antara dua orang itu.
"Sarah...dia masih sibuk di sana," Galang bergumam pelan sembari mendorong mangkuknya yang sudah bersih.
Sementara Galuh meneruskan makan. Sama sekali tidak mengerti mengapa Galang mengatakan itu padanya.
Maksudnya, memang Galuh perlu tahu?
"Keluarga gue berantakan," ucap Galang lagi. "Rasanya, gue kayak nggak punya keluarga. Nggak pernah ngerasain istri gue di rumah. Nggak pernah ngerasain main sama Syaira. Dan sekarang waktu Syaira sakit aja, mamanya lebih mentingin kerjaan."
"Lang," akhirnya mengangkat wajah dengan jengkel. "Itu bukan urusan gue, oke? Urusan gue cuma kesehatan Syaira."
Galang terdiam beberapa saat, kemudian tertawa pelan.
"Nggak ngerti kenapa, tapi gue kangen curhat sama lo. Lo selalu jadi pendengar yang baik, Galuh."
Galuh mendengus.
"Kenapa belum nikah?" tanya Galang mengawasi Galuh. "Jangan bilang, lo...trauma...maaf."
"Stop apologizing," Galuh menggertakkan gigi. Ia menjauhkan makan siangnya yang belum selesai karena selera makannya menguap entah kemana. "Dan kenapa mendadak lo jadi kalem gini? Mana Galang yang ngebentak gue karena anaknya sakit?"
Galang mengaduk minumannya. "Gue udah terima kenyataan kalau Syaira sakit, dan itu memang salah gue. Salah kita sebagai orangtua. Setelah ini, gue harus paksa Sarah buat di rumah saja."
"Lo juga...kayaknya perlu ngawasi Retno." Galuh berkata tidak nyaman. "Dia agak kurang perhatian sama Syaira."
Tanpa diduga, Galang mengangguk.
"Gue tahu itu, Luh. Cuma, Retno babysitter yang cukup available buat sekarang. Lagipula, Retno juga masih muda dan dia bukan Mama Syaira. Gue nggak bisa paksa dia ngasih perhatian sebagaimana yang seharusnya dikasih mamanya."
"Oh, baguslah kalau udah tau," ucap Galuh sebelum meminum minumannya.
"Jadi, kenapa belum nikah? Jangan bilang, belum bisa move on."
Galuh menatap Galang, yang menyeringai.
"Sori, tapi move on dari orang jahat itu gampang," celetuk Galuh menghapus cengiran Galang. "Lo nggak seberharga itu buat ada di pikiran gue terlalu lama. Gue cuma...lebih berhati-hati aja."
"Nggak seberharga itu..." gumam Galang pelan. Dipandanginya wanita yang tengah mengangguk itu. Sementara dirinya menjadi sebegini tidak terurus, mantan istrinya masih cantik saja.
"Gue duluan," ujar Galuh beranjak dari tempat duduknya.
"Galuh, gue mau minta tolong."
Galuh berhenti. Ia menatap Galang, menunggu. Sementara laki-laki itu menghirup nafas panjang.
"Mama dan Papa juga keluarga besar gue, belum bisa nerima Syaira sama Sarah." Galang berhenti sejenak. "Gue...paham kalau mereka nggak bisa nerima Sarah. Tapi, ini semua nggak adil buat Syaira. Kamu mau kasih pengertian buat mereka?"
Sebuah bara, meletup dari rasa sakit yang berusaha Galuh tepikan. Bagaimana bisa mulut Galang mengucapkan permohonan dengan sebegitu gampang?
"You really are...something, Galang," kekeh Galuh meskipun tangannya mulai gemetar. "Kamu minta aku datang ke rumah orang tua kamu, terus bilang kalau mereka nggak berhak membenci Syaira?"
Galang mengangguk, meskipun dirinya mulai waspada kala mata Galuh berkaca dan kedua tangannya terkepal erat.
"How could you..." Galuh menahan kata-katanya saat sesak melanda. "Memangnya kita masih punya hubungan apa? Hm?"
Mendengarnya, Galang menatap Galuh tidak terima.
"Luh, ini demi Syaira!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Memangnya dia siapa gue?"
"Galuh!" kini, tampaknya Galang mulai marah. Namun Galuh tetap berdiri di hadapan Galang.
"You've lost me. You've lost my kindness, you've lost my simpathy, you've lost my everything," hujam Galuh tegas. "Kamu hanya wali dari pasienku."
"Galuh, lo nggak bisa lepas tangan..."
"Dan kenapa aku nggak bisa?" tanya Galuh sakit hati. "Ada batas-batas yang aku pasang antara kita agar aku nggak lagi menderita, Galang. Ada luka yang belum bisa aku abaikan meskipun mungkin buat kamu itu nggak berharga. Dan selain di sini, aku menolak membantu kamu lebih jauh."
Galang hendak berkata lagi, namun Galuh menepisnya.
"Permintaanmu, itu bukan solusi," ucap Galuh pelan. "Obrolan kami akan terlalu intim untuk aku yang bahkan nggak ada lagi di lingkaran keluargamu. Bayangin aja, aku tiba-tiba datang dan orasi tentang benci dan batasnya, gitu?"
Galang terdiam, lama. Lalu ia berkata pelan.
"Lo...selalu diterima di keluarga gue. Selalu."
Galuh menggigit bibirnya sesaat, kemudian menggeleng.
"Aku yang nggak mau dekat-dekat kehidupanmu lagi, Lang. Yakinkan keluarga kamu kalau Sarah memang yang terbaik buat kamu. Nggak harus aku, kamu bisa kasih pengertian sama keluarga kamu kalau Syaira nggak berhak mereka benci hanya karena Sarah."
"Tapi tolong bantu--"
Galuh menggeleng. "Aku akan memastikan Syaira keluar dari status gizi buruk. Setelah itu, pastikan dia selalu terpantau setiap bulan. Bagaimana caranya, kamu sudah dapat itu lewat konseling."
Galuh berbalik dan melangkah menjauhi Galang yang berdiri mematung.
Wanita itu berusaha tegar meskipun saat ini, yang ingin ia lakukan adalah menangis sejadi-jadinya. Dia merasa jahat pada Syaira, tapi dia juga tidak yakin jika dirinya akan selamat jika menerima permintaan Galang.
Galuh bukan malaikat yang punya kebaikan tanpa batas. Dia hanya manusia, yang berusaha pulih dari luka tak terkira.
Galuh meraih ponselnya dengan malas kala benda kecil di saku bajunya itu berdenting lembut.
"Luh, jadi maksi di mi samping RS kan? Pesen jus dong. Buah naga dua mangga satu. Oke cyin? Thankz."
Galuh setuju dengan Farida. Sepertinya, kepalanya memang butuh disiram es batu. Maka dengan cepat, ia berjalan menuju kedai jus langganannya.
"Kamu beli jus? Saya nitip mangga satu sama sirsak buat Jenny, ya? Nanti saya ganti."
Galuh mengangkat alis kala pesan dari Kepala Instalasinya muncul di layar.
"Jangan lupa laporan perkembangan Syaira. Langsung ke ruangan saya."
Galuh mendengus dan mengetikkan pesan balasan. Ia duduk di salah satu meja, bertopang kepala dengan salah satu tangan sementara tangan yang lain mengetuk meja dengan tidak sabar. Dia hanya malas jika harus bertemu Galang lagi.
"Galuh?"
Galuh menoleh dan mendapati seseorang mendekatinya.
"Bang?" Sapa Galuh sedikit terkejut kala Karim muncul dengan pakaian serba hitam. Tolong, dia masih saja belum terbiasa dengan Karim Mahaputera yang ini. "Dari mana?"
"Habis melayat," jawab Karim duduk di hadapannya, menghantarkan aroma parfum yang menyegarkan di sekitar Galuh. "Kamu kerja di sekitar sini?"
Karim pasti tidak melewatkan seragam kerjanya. Maka Galuh mengangguk.
"Itu," Galuh mengedik pada bangunan rumah sakit yang menjulang tinggi. "Di situ. Abang melayat di daerah sini?"
Karim mengangguk.
"Lumayan jauh, kan?" Karim tertawa kecil, menampakkan geliginya yang rapi. "Niatnya mampir sebentar buat ngilangin haus sambil nunggu rombongan. Ternyata kamu di sini."
Galuh terkekeh kecil. Kedai jus memang menggoda ketika terik seperti siang ini. Saat itu, Danar menelfonnya.
"Iya, Pak?"
"Masih di luar? Saya butuh laporan kamu, ini."
"Iya, sebentar lagi. Kan tadi Bapak nambahin pesanan," omel Galuh tidak terima.
"Jangan alasan, Hanggita Galuh. Cepat kesini!"
Galuh mengerucutkan bibir dan menatap Karim, yang sedari tadi memperhatikannya dengan dagu berpangku di satu tangan.
"Mbak, ini pesanannya," ujar si penjual menyerahkan pesanan Galuh.
"Itu udah jadi, kan? Cepat ke sini. Kita diskusi dengan orang Dinkes dan dewan rumah sakit."
"Ha?"
"Run, Galuh. Now!"
Dan kepala instalasinya memutuskan sambungan dengan sangat tidak sopan.
"What...!!" Galuh berdiri tergesa, melotot pada layar ponselnya.
"Kenapa?" tanya Karim ikut waspada.
"Nggak papa. Ini...dicari atasan," tukas Galuh. Jika dia harus bertemu para petinggi, penampilannya harus lebih rapi.
Wanita itu segera merapikan penampilannya. Ia melepas rambut ekor kuda dan menyibaknya dengan kedua punggung tangan agar mengembang dan tidak lengket kena keringat. Ia menunduk dan berdecak. Memakai sandal jepit dalam suasana formal sepertinya tidak sopan, meskipun sandal jepit itu mempunyai hiasan berupa bulu-bulu yang halus dan menggemaskan.
"Kayaknya memang harus ganti sepatu. Bang Karim, duluan ya!"
Tersenyum seraya melambai ringan pada Karim, wanita itu segera berlari keluar kedai.
Karim mengawasi punggung ramping itu menyeberang jalan. Rambutnya yang sedikit berombak terayun ringan mengikuti langkah kakinya. Sementara wajahnya tampak cemas dan tergesa kala menoleh ke kiri dan ke kanan.
Karim mengalihkan pandangan ketika menyadari pikirannya jadi sedikit tidak waras.
***
Detik jarum jam menemani malam yang semakin larut. Karim duduk bersila di atas sofa sembari memangku laptop yang menampilkan tabel rumit serta diagram dengan berbagai bentuk.
Namun pikirannya berkelana, untuk kesekian kali.
TAK!
Suara nyaring benda jatuh menghentikan lamunannya. Bergegas, Karim menyingkirkan laptopnya dengan asal dan menuju dapur. Dilihatnya sang Mama baru saja bangkit. Wanita itu melihat Karim dan mengangkat sendok di tangannya.
"Jatuh," ucapnya menenangkan. Lalu dengan tertatih, ia berjalan ke arah wastafel dan meraih sendok baru sebelum kembali duduk di kursi makan. "Sini duduk, temani Mama."
"Udah malam, Ma. Nggak istirahat?" Karim mematuhi Tiya, nama sang Mama. Laki-laki itu duduk di hadapan Tiya, mengawasi bagaimana sang Mama melahap pudingnya.
Tiya melirik pada satu-satunya putra yang dia miliki. Melihat Karim tumbuh dewasa dan gagah seperti ini, membuatnya tersenyum bangga. Karim mempunyai wajah mirip mendiang ayahnya. Dengan manik mata hitam legam dan tulang wajah yang tegas. Bahkan, bentuk rambut mereka pun sama.
"Kamu juga belum tidur, Rim. Mau tengah malam, lho. Jangan dibiasain. Nanti kamu punya mata panda permanen."
Karim mendengus geli. Mamanya ini ada-ada saja. Mengusap rambutnya, laki-laki yang mengenakan kaus abu polos berlengan pendek itu menghela nafas dalam. Astaga, pikirannya memang sedang tidak waras.
Hal itu tidak luput dari pengamatan Tiya. Meskipun usia sudah melewati setengah abad dan sedang menjalani terapi pasca stroke, pikiran Tiya masih setajam anak muda.
"Kepikiran kerjaan? Atau anak-anak bimbingan?" tanya Tiya mengangkat alis.
Karim hanya bertopang dagu, menggeleng.
Mana berani dia berkata jika saat ini pikirannya tengah sibuk akan sosok seorang wanita yang mungkin saja sudah bersuami.
Sekali lagi, Karim mengusap rambutnya dengan frustasi.
Dia ini kenapa, sih?
*TBC*
Selamat sore, semoga berbahagia ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top