5| REMEDY

"Abang, pulang jam berapa?"

"Dua. Kenapa?"

"Ada tugas matematika buat besok. Nanti Galuh ke tempat Abang, ya? Sama Yasa sama Irene juga."

"Iya. Tidur siang dulu tapi."

"Nggak mau! Nanti ketiduran sampai sore terus ditinggal main layang-layang kayak kemarin!"

"Tidur siang dulu, Galuh. Habis ngerjain PR, kita main layang-layang di lapangan."

"Bener, Bang? Banyak layang-layangnya?"

"Hmm. Ada teman-teman Abang juga. Jadi, nanti tidur siang dulu, ya?"

"Iyaa!"

Sebuah percakapan muncul dari ingatan yang sudah usang. Antara gadis kecil kelas lima SD, dengan bocah laki-laki kurus kelas dua SMP.

Galuh masih belum percaya sepenuhnya jika ini adalah Karim yang sama dengan Karim delapan belas tahun lalu.

"Beneran ini Bang Karim?" bisik Galuh sarat kebimbangan. "Masa?"

Karim mengangkat alis.

"Ini juga, beneran kamu?" Karim meletakkan kartu nama itu di atas meja. "Masa?"

Lalu, kecurigaan Galuh sirna. Ini memang Karim Mahaputera, Karim yang tidak segan mengeluarkan sarkasme tingkat tinggi jika sedang jengkel.

Galuh mendengus, setengah tertawa.

"Ya ampun, udah lama, ya? Kapan balik ke Jawa?" Galuh tertawa kecil.

"Udah lumayan lama," jawab Karim. "Apa kabar, Galuh? Sudah besar kamu sekarang."

Galuh tidak bisa berhenti tersenyum. Diantara semua tekanan yang selama ini mendera, bertemu dengan kawan masa kecil ternyata cukup menghibur.

"Baik, Abang gimana? Sekarang tinggal dimana?"

"Baik juga. Kawasan Centauri Farm, tahu kan?"

Galuh mengangguk singkat. Centauri Farm adalah sebuah perusahaan produsen susu sapi, yang mengolah susu sapi menjadi berbagai produk mulai dari susu segar hingga yoghurt.

"Terus, kerja di daerah sini?"

"Nggak, aku kerja di Centauri Farm juga," ujar Karim. "Pesanan ini juga, urusan kantor."

Galuh menepuk jidatnya. Astaga! Dia sampai lupa jika saat ini, Karim tetaplah kliennya. Galuh cepat-cepat meraih pulpennya kembali dan meneruskan nama Karim yang sempat terhenti di kata 'Maha-'.

"Maaf ya Bang, diterusin deh. Jadi buat Rabu tanggal dua belas. Pesan berapa? Perlu ada minum kemasan nggak?" tanya Galuh menunggu Karim menjawab.

"Lima ratusan. Nggak perlu. Itu kita sedia sendiri."

Galuh menyelesaikan catatannya dan mengetikkan hal yang sama pada laptop. Tak lama kemudian, suara printer terdengar.

"Ini jauh lho Bang. Hampir nyebrang kota. Memang di sana nggak ada katering yang lebih dekat? Pasti nanti agak susah ngambilnya."

"Kamu itu merendah atau gimana? Nama kateringmu sering terdengar, Luh. Ini aja, aku dikasih sama teman yang pernah pesan di sini. Dia bilang menunya nggak ngebosenin dan lumayan lengkap kalau mau pesan diet khusus," jawab Karim ringan. Ia mengedik pada Kartu Nama. "Pesanan kami cukup istimewa, dan aku penasaran apakah Galuh di sini sama dengan Galuh yang aku kenal. Nggak rugi, kan?"

Dari dulu, Karim selalu pintar menjelaskan. Itu mengapa Galuh dan yang lain sering meminta Karim mengajari mereka.

Mengejutkan, ketika Galuh menyadari jika dirinya masih punya kenangan masa kecil yang terasa innocent. Sementara kenangannya beberapa tahun terakhir terasa begitu...destruktif.

"Dan ternyata sama. Bisa gitu ya? Ini, Bang. Tanda tangan di sini," pinta Galuh. "Abang masih sering ketemu sama anak-anak lain? Yasa? Irene?"

Karim menggeleng dan menyerahkan kembali lembaran itu pada Galuh. "Mereka pasti udah kemana-mana, Luh. Udah punya kehidupan sendiri juga. Kayak kamu gini." Karim mengangkat alis. "Nggak kasih potongan harga?"

"Tiga kali pesan di sini dengan rata-rata pesanan 500 boks, bisa dapat potongan harga, kok." jawab Galuh pasti sembari memberikan nota pemesanan pada Karim. "Ini besok dibawa waktu ambil pesanan, ya."

Karim mendengus meskipun bibirnya tersenyum. Tentu saja dia tadi hanya bercanda. Tapi perempuan di depannya terlihat sangat serius. Waktu memang mampu merubah seseorang, ya? Tidak ada dalam bayangannya seorang bocah cilik dengan gaya rambut laki-laki (karena seingatnya, Galuh tidak suka menguncir rambut, jadi ibunya memutuskan untuk memotong pendek rambutnya) dan kelewat bersemangat bisa jadi perempuan dewasa yang seanggun ini.

Laki-laki itu mengamati Galuh yang tengah sibuk menulis sesuatu dengan serius. Dari semua anak, perempuan ini yang punya semangat belajar paling tinggi. Bahkan hingga sekarang, cara Galuh mengerutkan kening ketika sedang serius pun masih sama.

Bedanya, Galuh di depannya adalah wanita dewasa.

Lelaki itu menyudahi pengamatannya, kemudian memeriksa jam tangan.

"Buru-buru, Bang? Nggak ngobrol dulu?" tanya Galuh mendapati Karim menyipit pada jam tangannya.

"Kapan-kapan kalau ketemu lagi," ucap Karim tertawa. "Maaf, aku udah ditunggu."

Galuh mengangguk paham. Karim berdiri dan meraih jaketnya. Sebelum berbalik, ia menatap Galuh dan tersenyum.

"It's nice to meet you, Galuh. You are really growing up." kata Karim. "Duluan, ya."

"Hati-hati, Bang. Kalau ada apa-apa, bisa hubungi nomor itu," ucap Galuh mengacu pada nomor yang tertera pada kartu nama.

Karim mengangguk. Kemudian, punggung tegap itu hilang dari pandangannya.

Galuh menghela nafas dan bersandar di punggung kursi. Namun senyum itu tidak memudar.

Karim Mahaputera, adalah tetangga satu kompleks di rumahnya yang lama. Dia tiga tahun di atas Galuh. Karim kecil banyak disukai oleh anak-anak yang lain, karena dia ramah dan tidak segan membantu. Termasuk, ketika Galuh dan anak-anak lain yang lebih muda meminta Karim mengajari mereka pelajaran apapun. Terkadang, Karim dan teman-teman seumurannya akan berbaik hati membuatkan layang-layang untuk mereka yang lebih muda.

Hingga suatu hari ketika Galuh kelas lima SD, keluarga Karim pindah ke Sumatra karena ayahnya dipindah kerja di sana.

Kenangan tentang mereka hanya sebatas ingatan samar gadis kecil berusia sepuluh tahun. Sesuatu yang bahkan Galuh sendiri tidak sadar jika kenangan itu masih tertempel jauh di belakang kepalanya.

"Sudah jadi bapak-bapak dia." Galuh terkekeh. Wanita itu menyila rambutnya ke belakang telinga, kemudian kembali meneruskan pekerjaannya yang tadi tertunda.

***

"Gimana keadaannya?"

Hal pertama yang Galuh tanyakan ketika masuk ke bangsal anak esok harinya adalah keadaan Syaira.

"Ya masih begitu. Tapi kesadarannya sudah lebih baik daripada kemarin."

"Masih pakai NGT?" tanya Galuh lagi sementara dirinya mencatat perkembangan terakhir Syaira yang tertera di Rekam Medis. Perawat itu mengangguk.

"Masih lemas dan ngrengek terus dari tadi malam. Nggak mau makan jadi masih dipasang," ujarnya. "Tadi malam ada kerabat yang datang jenguk dia. Tapi kayaknya langsung pulang lagi."

Galuh mengangguk cepat. Matanya masih terfokus pada tulisan tangan dokter di depannya.

"Makasih ya. Aku muter dulu."

Galuh sengaja menyambangi kamar Syaira terakhir. Karena dia punya perasaan akan banyak hal yang perlu dia amati di sana. Terutama Retno, sang babysitter.

Galuh membuka pintu kamar rawat Syaira, dan mendapati balita itu tengah terjaga.

Galuh menenangkan dirinya, kemudian melangkah masuk. Ia tersenyum kecil.

"Halo, Syaira," sapa Galuh merasa lidahnya sedikit kelu ketika menyebut namanya. Ada rasa jahat yang tiba-tiba datang, namun segera ia kerdilkan.

Balita itu masih berbaring memeluk boneka kelinci sebesar dirinya. Bibir balita itu terbuka dan Galuh bisa mendengar hembusan nafas keras dari sana. Selang masih tertempel di hidungnya, direkatkan dengan rapi di bawah lubang hidung. Syaira menatap Galuh dengan manik mata yang...sangat mirip seperti milik Galang.

Sekali lagi, Galuh berusaha menenangkan diri meskipun saat ini, hatinya teremas tanpa ampun.

Samar-samar, ia mendengar suara kikikan dari balkon yang tertutup oleh gorden berwarna hijau limau.

"Ih Mas, besok aja ketemunya. Retno masih harus nunggu Syaira..."

Galuh mengernyit mendengar suara centil Retno. Dari pertemuan singkatnya dengan babysitter itu, Galuh menebak jika usia Retno lebih muda darinya.

Galuh kembali menatap Syaira, lalu ia duduk di samping ranjangnya.

"Tante pegang, ya? Mau lihat Syaira masih demam apa nggak." Galuh berkata selembut mungkin dan meletakkan telapak tangannya di dahi Syaira. Balita itu hanya mengerjap. Manik matanya mengikuti tangan Galuh, terlihat sedikit cemas.

"Perutnya sakit, Syaira?" tanya Galuh lagi hanya agar Syaira tetap memperhatikannya sementara dirinya menyibak pakaian balita itu. Rusuknya memang belum begitu kentara, namun kulit di sela tulang rusuknya mulai menyusut. Sementara bagian perutnya justru terasa kencang.

"Sakit," ucap balita itu lirih. Ia tidak bergerak sama sekali, hanya mengikuti gerakan Galuh dengan kedua manik matanya. "Papa Saila mana?"

Galuh berusaha, sungguh. Namun kenyataan jika Syaira adalah anak Galang sungguh mengganggunya. Anak ini, adalah janin yang tumbuh di rahim perempuan lain ketika dirinya sedang mengandung anak dari laki-laki yang sama.

Seketika, rasa sakit yang menyergapnya menjadi tiga kali lipat lebih berat. Galuh meremas clipboard-nya dan mengatur nafas untuk kesekian kali.

Aneh sekali ketika tiba-tiba dia merasa jahat atas apa yang tengah ia pikirkan. Sementara di depannya, anak itu terlihat sangat menderita.

"Ah, dokter! Maaf--"

Suara Retno membuat Galuh menoleh. Gadis itu sudah tidak lagi memakai seragam kerjanya. Kini ia memakai pakaian santai yang--cukup ketat hingga...sudahlah. Galuh harus mengalihkan pandangan dari belahan dada yang sedikit mengintip di balik leher kaus hitam bertuliskan 'EAT ME' itu.

Jika kemarin rambutnya digelung sopan, kini Retno membiarkan rambut lurusnya tergerai sebatas bahu.

"Saya bukan dokter," ucap Galuh sopan. "Mbak Retno, kan? Babysitter Syaira? Bisa kita bicara?"

Ada raut ketakutan di wajah Retno. "Kenapa--kenapa saya? Saya nggak ngapa-ngapain Syaira!"

"Kita cuma mau ngobrol, lho," ucap Galuh menenangkan. "Di sini saja. Silahkan duduk."

Retno duduk di hadapan Galuh. Gadis itu meremasi jemarinya sembari menatap Galuh dengan cemas.

"Cuma kamu yang nunggu?" tanya Galuh basa-basi.

Retno mengangguk. "Bapak kerja, berangkat tadi pagi. Ibu belum pulang dan kerabat Syaira yang lain nggak ada waktu. Itu...kasihan Syaira, maksudnya."

Galuh mengerutkan kening, sementara Retno meringis.

"Ng...saya baru kerja setahun ini, semenjak Ibu pindah tugas. Tapi, kerabat yang lain seperti kakek nenek Syaira, paman, bibinya, jarang sekali main ke rumah Bapak."

Retno mencondongkan tubuhnya ke arah Galuh dan berbisik,"kayaknya sih, pada nggak suka sama Ibu. Tapi karena apa saya nggak tahu. Kalau ada acara keluarga di keluarganya Bapak juga, Syaira kayak nggak dianggap." Retno melirik Syaira yang masih mengamati mereka. "Kasihan. Mungkin karena itu Syaira jadi pendiam dan sakit-sakitan."

Galuh tahu sekali. Tentu Galuh tahu alasan mengapa hubungan antara Galang dan kerabatnya menjadi renggang. Karena kelakuan Galang dulu, dianggap sebagai aib yang sangat mencoreng nama keluarga Galang. Ayah Ibu Galang pernah mendatanginya dan memohon untuk menolak perceraian mereka. Bahkan beberapa saudara Galang pernah membujuknya untuk memperjuangkan pernikahan mereka.

Berjuang sendiri sementara yang satu berjuang untuk orang lain? Galuh tidak sekuat itu.

Wahai memori masa lalu, berhentilah mengganggu!

Galuh menghembuskan nafas kasar kala menyadari pikirannya sudah berkelana terlalu jauh.

"Jadi, setiap hari Syaira sama Mbak, ya?" lanjut Galuh.

Retno mengangguk. "Ibu jarang pulang dan Bapak pulangnya malam terus."

"Bagaimana pola makan Syaira?" tanya Galuh dengan tangan sibuk mencatat. "Teratur, nggak?"

Sekali lagi, Retno meringis dan menggeleng. "Syaira itu...susah makan, Bu. Paling cuma satu dua suap."

"Hmm...terus kalau nggak makan gitu, dia minta apa? Mungkin ngemil roti?" pancing Galuh. Sekali lagi Retno menggeleng.

"Kalau Syaira lapar, dia minta mi instan. Kalau nggak dituruti, dia ngamuk. Lempar barang-barang dan justru ngambek nggak mau makan. Kadsng ngebanting guci sama vas bunga punya Ibu. Terus yang disalahin saya," jawab Retno cemberut. "Kadang kasihan, daripada kelaparan ya sudah saya turuti aja. Habis itu, dia minum susu terus tidur. Udah. Paling sehari makan nasi cuma enam tujuh sendok."

Galuh terdiam dan melirik Syaira. Mendengar penuturan Retno, dia jadi merinding sendiri.

"Sejak kapan Syaira suka mi instan?" tanya Galuh lambat-lambat.

"Ummm...saya ngikutin Ibu, sih. Ibu pulang kan paling cuma dua hari di rumah. Itu kalau Syaira nggak mau makan, dibuatin mi instan sama ibu, katanya biar nggak rewel terus. Soalnya Syaira suka banget makan mi."

"Kalau bapak, tahu Syaira sering makan mi instan?"

"Ng...nggak," Retno menggeleng dengan ragu. "Itu, maksudnya...Bapak kan jarang di rumah. Kalau di rumah pun, seringnya ngajak Syaira makan di luar."

Galuh memijit keningnya. Untung saja bukan Sena yang mendengar ini. Bisa meledak dia.

"Posyandu?" tanya Galuh lagi.

"Nggak," jawab Retno. "Bapak pernah marahi saya karena maksa Syaira datang ke Posyandu. Syaira kan, rewelnya minta ampun kalau diajak ke Posyandu. Bapak sih bilang Posyandu nggak ada gunanya. Mending ke dokter kalau Syaira sakit. Saya kan cuma ngedengerin penyuluhan dari Bidan kalau Posyandu itu penting. Tapi ya gitu...tugas saya kan, harus manut sama Bapak Ibu. Nggak berani lagi saya paksa Syaira."

"Ada jadwal ke bidan atau dokter setiap bulan?"

"Hm? Nggak. Untuk apa? Kan Syaira nggak sakit." Retno menoleh pada Syaira. "Ini aja saya nggak ngerti kenapa dia harus masuk rumah sakit. Dia nggak batuk, nggak pilek, nggak luka juga."

Retno ganti menatap Galuh dengan penasaran. "Memang kalau kurus itu, sakit ya?"

Galuh menghirup nafas dalam untuk menambah kesabarannya. Ia mengedik pada Syaira.

"Menurut kamu, dia kelihatan sakit nggak?"

Retno mematuhi Galuh. Ia mengamati Syaira beberapa saat. "Ng...iya sih. Agak lemes, gitu. Tapi kan dia emang pasif anaknya. Pendiam."

Galuh mencatat semua informasi yang dia dapat. Ini akan jadi bahan konseling yang panjang. Saat itu, ponselnya berbunyi. Galuh memberi tanda pada Retno dan keluar ruangan.

"Iya, Pak Danar?"

"Dimana?"

"Di tempat Syaira. Masih wawancara sama babysitter-nya."

"Oh, lalu hasilnya?"

"Umm...banyak sih," Galuh menatap catatannya dengan prihatin.

"Ya sudah, diteruskan dulu saja. Sekalian bilang sama perawat, kalau siang nanti orang atas mau datang."

Galuh mengangguk singkat. "Siap."

Sambungan terputus. Wanita itu menatap ponselnya. Well, kunjungan dari Departemen Kesehatan memang tidak terelakkan lagi.

Galuh kembali masuk ke dalam, namun dia berhenti ketika sesuatu yang menarik masuk dalam pandangannya.

Retno, gadis itu tengah duduk di samping Syaira. Kedua matanya asik menatap ponsel di tangan, sementara jemarinya lihai mengetik. Gadis itu sedikit terkikik entah karena apa. Dan Syaira, berusaha meraih lengan Retno.

"Bubu, minum," ucap Syaira menunjuk gelas di atas nakas. "Bubu!"

"Syaira, berisik!" Retno mengedikkan bahunya seperti mengusir lalat tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari layar ponsel.

"Bubu...Bubu, minum..." rengek Syaira lagi. Namun Retno tidak mengindahkannya.

Galuh hanya berdiri mengawasi dua orang itu. Sepertinya, Galang harus segera mengganti babysitter Syaira.

***

Jarum jam di tangannya sudah menunjuk pukul sembilan malam. Seperti biasa, Galuh akan menghabiskan beberapa jam di Dapur sebelum dirinya pulang ke rumah. Tapi sekarang dia di sini, di pinggir jalan yang sialnya, sedang sepi.

Wanita itu berjongkok sembari menatap cemas pada ban belakang motor matic-nya. Sebuah paku besar tertancap di sana, membuat ban iu benar-benar kempes.

Galuh menoleh ke sekitarnya. Lengang. Hanya ada lampu jalan yang berpendar redup di sela rimbun dedaunan. Galuh tahu bengkel terdekat masih beberapa puluh meter lagi di depannya. Itupun jika masih buka.

Harun sedang lembur di kampus dan membuat Gandhi panik sama sekali tidak bijaksana. Maka dia tidak punya pilihan lain selain menuntun sepeda motornya. Wanita itu menaruh helm ke dalam bagasi dan mencepol rambutnya. Lalu mulai menuntun secepat yang ia bisa.

Jalur pintas ini mampu memangkas waktunya cukup banyak. Namun jalur ini sepi. Hanya truk-truk menuju kota seberang dan beberapa kendaraan yang melaju. Daripada hantu, dia lebih takut pada manusia jahat bernama begal.

Galuh mempercepat langkahnya.

Sorot cahaya muncul dari belakang Galuh, membuat Galuh sedikit menepi.

Namun kegelisahannya bertambah ketika Galuh menyadari mobil tadi tidak kunjung menyalipnya. Galuh semakin merepet ke pinggir jalan. Lalu, suara klakson justru terdengar.

Ya Tuhan...Ya Tuhan Ya Tuhan!!

Galuh berdoa dalam hati. Otaknya dengan lancang memutar berbagai modus pembegalan di jalan sepi. Mulai dari dijambret hingga dipaksa masuk ke dalam mobil lalu dibawa ke mesin ATM lalu dia akan dipaksa menarik seluruh uangnya lalu--

"Galuh?"

Racauan di dalam kepala Galuh berhenti. Ia menoleh dan matanya membulat saat mendapati Randi di dalam sebuah mobil pick up.

"Kenapa motornya?" tanyanya membuka pintu, sementara temannya yang berada di balik kemudi menatap mereka dengan heran.

"Ini...kena paku," jelas Galuh. "Mas Randi darimana? Kenapa lewat sini?"

"Oh, kita habis dari TKP." Ia mengedik ke belakang. "Dani, ngangkut ini sekalian, masih cukup kan?

Orang di belakang kemudi tadi mengacungkan jempol dan segera keluar dari mobil.

"Eh Mas...nggak perlu. Saya mau ke bengkel depan..."

"Memang masih buka?" tanya Randi mengangkat alis. "Daripada gambling, mending ikut kita aja. Kita carikan bengkel yang masih buka sekalian antar kamu ke rumah. Bahaya perempuan sendirian di jalan sepi gini."

"Iya. Bahaya, neng. Apalagi si eneng cantik. Ehehe...canda. Bantu angkat, bro!"

Maka, Galuh hanya terdiam sembari menggigit bibir kala dua laki-laki itu menurunkan sebuah papan kayu dan Randi menuntunnya hingga motor Galuh berada di atas pick up.

"Dan, lo di belakang. Galuh, ayo masuk," ucap Randi begitu selesai.

"Eh, dingin lah. Gue mau ikut di dalam--"

"Dan, ck!"

Dani nyengir dan mengangkat kedua tangannya.

"Galuh, ayo masuk." Randi membukakan pintu dari dalam, sementara dirinya sudah bersiap di balik kemudi.

Galuh terdiam sesaat, kemudian ia mematuhi Randi.

"Maaf Mas. Maaf, Mas Dani," ucap Galuh merasa bersalah.

"Nggak papa," Randi mulai menjalankan mobil. Galuh hendak berkata lagi ketika ia merasakan sebuah usapan di punggungnya.

Refleks, Galuh menepi sampai dirinya menempel pada pintu mobil. Randi melihatnya, kemudian menarik tangannya dan tersenyum canggung.

"Maaf, tadi kamu kelihatan khawatir."

Galuh menelan ludah, kemudian mengangguk. Merasa sangat jahat sudah berburuk sangka pada orang yang menolongnya.

Namun perempuan itu tetap melepas cepolnya hingga rambutnya tergerai menutupi punggung. Galuh bergerak tak nyaman. Dalam hati berdoa agar mereka segera menemukan bengkel sehingga dia bisa cepat pulang.

*TBC*

Selamat malam, semoga berbahagia 😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top