4| REMEDY

Para perawat yang ada di ruangan, mengerutkan kening ketika sang ayah pasien mengenal salah satu rekan kerja mereka.

"Ah!" Tiba-tiba salah satu perawat mengangguk paham. Ia menunjuk Galuh. "Dia---"

"Pak Galang, silahkan bertemu di ruangan saya," Danar memotong. Matanya terpancang pada Galang sebelum menoleh pada Galuh yang masih terdiam di sampingnya. "Galuh, silahkan kembali ke ruangan. Dipikir matang-matang apakah kasus ini tetap kamu ambil atau tidak."

Galuh, yang terlalu terkejut dengan kemunculan laki-laki itu perlahan menghembuskan nafas. Ia mengalihkan pandangan dari Galang ke arah Syaira.

"Dia tetap di bawah pengawasan saya," Galuh menjawab tanpa ragu, membuat Sena dan Danar tersenyum samar.

"Ya sudah." Danar menepuk pundak Galuh sembari menatap Galang, yang masih terlihat cemas. "Pak, penjelasan lengkap bisa menunggu. Saat ini, kita akan memasang NGT ke putri bapak. Ini diperlukan agar dia tetap mendapat asupan dan mempermudah pemberian obat mengingat kondisinya lemas seperti ini. Jangan khawatir, ini tidak lama. Perawat, informed consent-nya sudah siap?"

"Tapi, memangnya putri saya kenapa?" Galang berkata lagi. "Lemas bagaimana? Dia memang sedang lemas karena diare! Saya menyuruh Retno memeriksakan dia ke dokter anak, kenapa justru masuk bangsal?"

"Malnutrisi jangka panjang." Galuh menjawab tanpa menatap Galang. Tangannya sibuk menulis apa-apa saja yang perlu ia persiapkan di clipboard. "Anakmu kena Gizi Buruk."

Siapapun yang melihat Galang, akan mengira Galang sedang mendengar berita yang luar biasa mengerikan.

"Gi--Gizi Buruk?" sentak Galang melotot. "Jangan ngawur kamu! Syaira memang prematur sejak lahir, tapi bukan berarti dia kena Gizi Buruk!"

Galuh masih menulis di clipboard dengan tenang, mengabaikan sorotan nyalang Galang. Sementara Sena di seberang sana kentara sekali sudah siap meledak. Melihatnya, Danar buru-buru menyelamatkan situasi.

"Seperti apa yang sudah dijelaskan Galuh. Syaira butuh penanganan segera. Saat ini, kita harus memasang--"

"Gizi buruk apanya? Memangnya saya terlihat seperti orang miskin yang tidak mampu memberi makan anak saya?!"

"Lang, anakmu butuh penanganan segera." Akhirnya Galuh menurunkan clopboard-nya. Wanita itu menatap Galang dengan dingin. "Pak Danar sudah bilang dia akan kasih kamu penjelasan. Sekarang diam, lihat hasilnya lalu buktikan kalau omongan Pak Danar benar apa nggak. Kita berlomba dengan waktu. Jadi kalau kamu khawatir sama anak kamu, bantu pasang NGT, paham?"

Raut penyangkalan masih tercetak jelas di wajah Galang, namun sepertinya laki-laki itu tidak menemukan kalimat untuk membalas Galuh.

Galuh menoleh ke arah Danar, yang menatapnya dengan penuh peringatan. Tentu saja Galuh tahu apa artinya. Sebagai pelayan masyarakat, dia terikat dengan kode etik untuk tetap sopan pada pasien dan keluarganya.

Ha. Ha.

Mengangguk cepat, Galuh berkata,"Saya pesan dulu."

Danar mengedik dengan lega, membiarkan Galuh berbalik dan keluar dari ruangan itu.

Langkah penuh percaya dirinya melambat ketika pintu tertutup di belakangnya. Galuh bersandar pada pintu sembari memejamkan mata, juga berusaha meredam getar pelan pada lututnya.

"Hahh...kenapa sih?" gumam Galuh lirih.

Sesaat kemudian, tangisan terdengar dari dalam. Tanda jika mereka mulai memasukkan NGT. Galuh mengernyit. Dia tidak pernah tega melihat para perawat memasang NGT. Dimasuki selang sedemikian panjang melalui hidung hingga ke lambung, sepertinya bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Berhenti! Kalian menyakitinya!" geraman Galang mencapai telinga Galuh, mengundang dengusan di bibir wanita itu.

"Cemas banget." Galuh bergumam lagi, kemudian mengerjap dan menepuk pipinya sendiri. "Bikin ReSoMal, Galuh! ReSoMal!"

**

"Tuhan emang nggak pernah tidur, ya?"

Suara senang itu jelas terdengar dari mulut Kanya. Galuh meliriknya sekilas sementara Kanya menyeruput cappucino dengan ujung bibir sedikit terangkat.

"Dia memang nggak pernah tidur." Galuh menyetujui dan meneruskan makan siangnya. Siang ini, Kanya mengajaknya makan siang di kafe depan Rumah Sakit.

"Tapi agak kasihan, yaa...maksudnya, yang salah siapa, yang menderita siapa." Kanya meringis. "Bukan berarti gue bilang kalau Tuhan itu nggak adil, tapi kalau ini emang karma karena kelakuan bajingannya dia, cuma...kasihan Syaira aja."

"Gue nggak pernah menganggap kasus Syaira sebagai karma," tukas Galuh. "Walau gimanapun, dia balita dan kena gizi buruk, itu bukan hal yang remeh. Di mata gue, itu cuma sebab akibat. Pasti ada yang salah sampai Syaira malnutrisi sebegitu parahnya."

Kanya mendengus. "Kenapa nggak Galang aja yang kena gizi buruk, ya? Kena Kwasiorkor atau Marasmus, gitu. Dirawat kesini terus kita bully sama-sama. Misal, kita kasih snack super pedes atau makanannya dia makanan sisa kemarin, atau kasih aja kubis satu mangkuk biar kembung seharian. Dia kan, musuh abadi Instalasi Gizi."

Galuh terkekeh kecil. Rasanya menyenangkan, mempunyai teman-teman seperti mereka.

"Lo kuat, Luh? Kalau lo mau tukeran sama gue, gue nggak masalah. Gue yakin Sena sama Pak Danar juga nggak keberatan."

"Lo ngomong apa sih, Nya?" Galuh berkata, sedikit tersenyum. "Nggak perlu khawatir. Gue baik-baik aja."

"Luh, jangan memaksakan diri. Kita-kita paham, kok," gumam Kanya prihatin.

Galuh berdecak pelan. "Kalau lo paham, tolong bantu gue ngadepin masa lalu gue. Bukannya justru nyuruh gue menghindar. Itu nggak ada gunanya."

Tentu saja, Kanya ternganga. Melihat temannya sebegitu kehabisan kata, Galuh tertawa.

"Udah ah! Apa yang lo khawatirin? Gue nangis-nangis di depan dia?" kekeh Galuh, kemudian wanita itu mengaduk minumannya dengan senyum tipis. "Kalau gue bilang gue nggak sakit, itu bohong, Nya. Tapi bukan berarti gue nggak kuat ngadepinnya. Emangnya lo pikir selama tiga tahun ini gue nggak berusaha berdamai sama masa lalu gue? Udah, gak perlu mikirin gue. Gue baik-baik aja."

Sesaat, hanya ada denting lembut sendok yang menabrak tepi gelas ketika Galuh mengaduk minuman miliknya, hingga Galuh mengangkat wajah dan mendapati Kanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Lo tuh--" Kanya segera menghapus matanya, kemudian menjulurkan tangan dan meninju bahu Galuh.

"Aduh!"

"Awas lo kalau nangis-nangis setelah omongan keren lo tadi!" ancam Kanya, sementara Galuh menggerutu sembari mengusap bahunya. "Masih lama, Luh? Gue mau laporan sama BigBoss ini."

"Duluan aja," jawab Galuh yang masih harus menghabiskan makan siangnya. Kanya bergumam tentang laporan dan sebagainya sebelum ia tergesa keluar, meninggalkan Galuh sendirian di kafe yang tengah ramai pengunjung.

"Coba jelaskan, berani sekali atasanmu bilang kalau anakku menderita Gizi Buruk? Memalukan!"

Galuh mendongak dan mendapati Galang duduk di kursi Kanya. Laki-laki itu menatap Galuh dengan marah.

Sejenak, Galuh menatapnya. Kemudian dia menunduk dan meneruskan makan siangnya.

"Galuh, aku tanya sama kamu!" Galang menggeram kala Galuh mengabaikannya.

"Pak Danar udah jelasin semuanya. Mana bagian yang lo nggak ngerti?" tanya Galuh setelah suapan terakhir berhasil ditelan. Wanita itu menarik minumannya, mengaduknya pelan sembari mengawasi Galang yang sepertinya tidak terima dengan kalimat Galuh.

"Sopan santunmu sudah hilang, ya?" tanyanya dingin.

Galuh mengedikkan bahu, namun tidak menjawab. Membuat Galang makin geram saja. Dirinya sudah dibuat pusing dengan Syaira, dan respon Galuh yang sangat tidak menghargainya membuat dirinya semakin emosi.

"Dari mana sih kalian memutuskan anak gue kena Gizi Buruk? Hm?" Galang bertanya lagi.

"Kita punya standar."

"Memang kenapa kalau dia kurus? Dari dulu dia kurus begitu! Semua juga tahu jika Syaira lahir dengan kondisi prematur!"

Galuh berhenti mengaduk gelas. Wanita itu menatap Galang dengan serius.

"Lo beneran nggak ngerti apa artinya Gizi Buruk?" tanya Galuh dingin. "Dia nggak cuma sekedar kurus, Lang. Dia kurang nutrisi! Dia nggak sehat! Lo kira kenapa bisa dia diare selama 3 minggu? Lo kira kenapa bisa dia jadi anak yang pasif begitu? Itu karena dia sakit! Kalau saja Syaira nggak ketahuan sekarang, lo mau nunggu dia tinggal kulit sama tulang?"

Galang terdiam meskipun mulutnya terbuka. Sungguh, tidak pernah ada bayangannya seorang Galuh bisa menjadi sedingin ini.

"Tapi kenapa?" akhirnya Galang berkata. "Nggak mungkin karena kekurangan makanan, kan? Sebodoh apa lo sampai mengira gue nggak bisa kasih anak gue makan yang cukup?!"

Galuh menghembuskan nafas panjang. Sekali lagi, Galang dan egonya.

"Pak Danar bilang apa aja sama lo?"

"Dia cuma bilang kalau Syaira perlu perawatan intensif. Dia cuma bilang kalau saat ini dia sedang diobservasi."

Galuh mengangguk. "Iya. Siapa tahu dia ada penyakit yang kita nggak ngerti. Seperti gangguan pencernaan, misalnya. Itu akan menjelaskan kenapa dia bisa malnutrisi sementara katanya, lo sudah mencukupi kebutuhan gizinya."

Galang mendengus keras.

"Memalukan! Gue...anak gue kena Gizi Buruk? Apa jangan-jangan Rumah Sakit ini yang nggak becus dan seenaknya aja melabeli anak gue--"

"Lo pikir orang berkecukupan nggak bisa kena Gizi Buruk?" Galuh memotong racauan Galang. "Kamu punya duit, nggak menjamin anak kamu mendapatkan nutrisi yang benar, Galang. Sekarang gue tanya, lo ada nggak waktu anak lo sarapan? Lo tahu nggak, apa menu dia setiap pagi, siang, malam? Lo tahu nggak dia suka jajan apa kalau di luar?"

Meneguk ludah, Galang menggeleng.

"Lo tanya nggak sama...sama istri lo apa Syaira udah makan apa belum?" tanya Galuh berusaha mengontrol suaranya.

Galang terdiam sejenak, kemudian menggeleng lagi.

"Sarah udah nggak sama gue sejak setahun lalu," ucap Galang. "Setiap harinya, Syaira cuma sama Retno."

Tentu saja, Galuh terkejut. Galang menghirup nafas dalam dan mengusap kasar wajahnya. Kentara sekali sebuah beban berat tengah bergelayut di pundaknya.

"Sarah berhasil masuk PNS di Kemenkeu, di Dirjen Pajak sama kayak gue. Dan lo tahu kan apa yang paling ditakuti sama Pegawai Pajak?"

Sesaat, Galuh kehilangan kata-katanya.

"Mutasi?" bisik Galuh setengah tidak percaya.

Galang tersenyum sedih dan mengangguk.

"Iya. Dia lulusan luar negeri. Karir dia cepat meningkat. Dan setahun yang lalu, dia dipindah kerja di Pangkalan BUN, Kalimantan." lanjut Galang. "Gue juga dipindah kerja, tapi di Kantor Wilayah. Jadi gue masih bisa pulang."

Galuh terdiam. Berusaha mencerna informasi ini dengan baik sementara sesuatu mulai menggeliut di perutnya.

"Kenapa Syaira nggak ikut Sarah aja?" tanya Galuh lambat-lambat.

Galang mengangkat alis, kemudian menggeleng. "Di sana Sarah sendirian, indekos. Lagipula, saudara kami banyak di Jawa. Jadinya Sarah yang mengalah. Dia pulang ke sini setiap dua minggu sekali. Datang Jumat malam, balik sana Minggu sore."

Galuh hanya menatap Galang tanpa kata. Laki-laki yang sedari tadi sangat keras kepala itu, kini terlihat sangat menyedihkan. Ia menutupi wajahnya dengan satu tangan, menunduk hingga dahi nyaris menyentuh tepi meja. Kemejanya lusuh dan rambutnya yang mulai gondrong kini terlihat berantakan.

Pagi tadi, dia tidak terlalu memperhatikan Galang karena dirinya yang terlalu terkejut. Tapi sekarang, dia baru menyadari jika penampilan Galang sedikit tidak terurus. Ada kantung hitam di bawah kedua matanya, dan wajahnya tidak secerah dulu.

Ketika ia mengangkat wajah kembali untuk menatap Galuh, matanya menyiratkan kepedihan luar biasa.

"Sarah...gue udah minta Sarah keluar tapi, dia nggak mau," ucapnya pelan. "Dia sibuk mengejar karir. Ini saja...sudah hampir tiga bulan dia nggak pulang."

Galang menghirup nafas dalam sebelum melanjutkan. "Mungkin Syaira merasa kesepian. Apalagi dengan gue yang dua minggu terakhir ada pelatihan di luar kota. Konsekuensi kerjaan kami itu berat. Gue maunya Sarah di rumah aja ngurus Syaira, tapi...dia nggak mau."

Salahkan manusia yang diberi rasa simpati oleh Tuhan. Karena pada detik ini, rasa sakit hati Galuh berkurang drastis kala melihat Galang yang begitu menyedihkan.

"Dan lo tanya sama babysitter lo nggak Syaira udah makan apa belum?Apa makanannya sisa? Dalam sehari, lo tanya nggak tentang Syaira?" Galuh berusaha kembali pada topik awal mereka agar dirinya tidak perlu terbawa dalam konflik internal keluarga Galang.

Memangnya dia perlu tahu?!

Galang tergugu, kemudian menggeleng lagi untuk ketiga kalinya.

"Gue berangkat waktu dia baru bangun dan dia tidur waktu gue pulang. Gue...kerjaan gue nggak bakal bisa di-handle kalau di rumah. Seringnya gue pulang jam sembilanan. Itu kenapa gue percayakan semua sama Retno."

"Gitu dan lo masih belum paham?" tanya Galuh. "Lo tuh--anak seumuran Syaira, itu banyak yang sulit makan, Lang. Dia masuk ke fase pilih-pilih."

"Retno nggak bilang apa-apa sama gue!" sentak Galang tidak mau kalah.

"Dan lo lepas tangan gitu aja?" ucap Galuh syok. "Dia anak lo, Galang. Bukan anak babysitter!"

Kali ini, kemarahan kembali di wajah Galang. Ia menatap Galuh dengan keras.

"Mana gue ngerti! Harusnya itu tugas Sarah! Gue udah cukup sibuk tanpa perlu nyisihin waktu tanya-tanya tentang makanannya Syaira!"

"Lang, tapi Syaira juga anak lo," Galuh mulai gemetar. "Dan saat ini, posisi lo lebih dekat sama Syaira."

"Itu bukan urusan kamu, Galuh," balas Galang dengan dingin.

Galuh terhenyak, kemudian wanita itu bangkit dan berbalik.

"Galuh, kita belum selesai!" geram Galang.

"Percuma kita diskusi," bisik Galuh meraih tasnya. "Gue duluan."

***

"Bego!" gumam Galuh menekan cap kuat-kuat pada lembaran di depannya. "Dasar cowok bego! Kalau bukan karena Syaira, gue nggak bakal mau peduli!"

Galuh menggeram kala mengingat percakapannya dengan Galang siang tadi.

Topik parenting merupakan topik yang kompleks. Memangnya semua masalah langsung selesai hanya karena keluarga itu berkecukupan? Waaah, ada apa dengan dunia?

Ia melirik pada telfon yang berbunyi sebelum mengangkatnya.

"Mbak, ada klien. Aku minta ke atas sekarang?" suara Aria bergema di seberang sambungan.

"Hm. Suruh langsung ke atas aja," ucap Galuh sebelum menutup sambungan.

Wanita itu menyingkirkan berkas-berkas yang berserakan di mejanya. Ia meraih kaca kecil dan bercermin. Galuh menata kembali rambut yang sudah pasti acak-acakan dan menyapukan lipstik lagi agar bibirnya terlihat segar. Ia mengurai ikat rambutnya dan merapikannya sehingga rambut bergelombang sepanjang bahu itu tergerai rapi di sisi kepala. Dia selalu berpendapat, penampilan yang baik juga merupakan salah satu bentuk profesionalisme dalam pekerjaan.

Galuh sedang mempersiapkan beberapa berkas yang diperlukan ketika tirai kantornya tersibak.

Seorang pemuda--pria, lebih tepatnya, masuk tanpa ragu. Sepertinya pekerja kantoran, karena ia mengenakan kemeja meskipun dasi kini terpasang longgar. Suara sepatunya mengetuk pelan lantai ruangan Galuh. Tangan kiri mencengkram sebuah jaket kulit, sedang tangan kanan memegang secarik kertas yang segera dikenali Galuh sebagai kartu nama kateringnya.

Hampir tanpa sadar, wanita itu menghidupkan scanner pada laki-laki di depannya. Mengamati rambut hitamnya yang tampak sehat, tubuh tegapnya yang bugar, lengan yang terbentuk dengan bagus -mungkin dia berolahraga setiap hari-, punggung tangan dengan urat-urat yang kentara, dan perut yang bebas dari buncit mengingat mungkin laki-laki ini sudah memasuki usia dua puluh limaan. Karena biasanya pada saat itulah laki-laki mulai berinvestasi membentuk apple shape-body, sama halnya perempuan yang mulai membentuk pear shape-body.

Galuh menyambutnya dengan senyum sopan.

"Silahkan duduk," ucap Galuh. "Ada yang bisa kami bantu?"

Lelaki tadi duduk di depan Galuh. Ia menatap Galuh beberapa saat, kemudian mengangguk.

"Saya dengar di sini bisa memesan katering khusus. Apa di sini juga menyediakan katering untuk anak autis?" tanyanya. "Kantor kami akan mengadakan kunjungan ke rehabilitasi anak autis."

"Oh, ada. Silahkan memilih menunya lebih dulu," ucap Galuh menyerahkan daftar menu pada lelaki itu.

"Hmm...terima kasih," laki-laki itu berkata, masih memperhatikan gerak-gerik wanita di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Jadi, untuk kapan?" Galuh bertanya dengan fokus pada form di depan.

"Rabu minggu depan."

"Rabu minggu depan. Berarti tanggal dua belas, ya?" Galuh memastikan sembari mencatat. "Atas nama?"

"Karim Mahaputera."

"Karim Ma---"

Gerakan tangan wanita itu terhenti. Ia mengangkat wajah, dan menatap laki-laki di depannya dengan terkejut.

"Karim Mahaputera?" bisik Galuh lambat-lambat.

Bibir lelaki di hadapannya melengkung. Membentuk senyuman yang dihafal Galuh di luar kepala.

"Akhirnya sadar juga. Padahal aku langsung mengenali kamu tadi." Karim tersenyum kecil. Ia mengangkat kartu nama di tangannya, memperlihatkan pada Galuh nama Galuh yang terpampang sebagai contact person di kartu nama itu. "Ternyata ini memang benar kamu."

*TBC*

Galang ngegas yhaa...

Selamat malam, semoga berbahagia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top