2| REMEDY
Ada rindu yang begitu sendu setiap kali Galuh memandang wajah pulas ayahnya.
Dia baru saja sampai rumah pukul delapan malam, dan hal pertama yang ia cari adalah Gandhi. Harun yang saat itu tengah berkutat dengan laptop di ruang tamu menunjuk ke atas, tanda bahwa Gandhi sudah masuk ke kamarnya.
Maka di sinilah Galuh berdiri. Di samping tempat tidur ukuran besar yang dulunya lebih hangat karena kehadiran Mama. Kini, tempat tidur itu tampak terlalu besar untuk ditempati Gandhi seorang diri. Papanya tertidur dengan posisi menyamping dan meringkuk, sembari memeluk sesuatu di dadanya.
Pemandangan yang...selalu menerbitkan sesak di dada Galuh. Tidak setiap malam Gandhi tertidur dengan memeluk foto ibunda Galuh. Tapi ketika Gandhi melakukannya, dia tahu saat itu Gandhi sedang sangat rindu pada mendiang istrinya.
Perlahan, Galuh membungkuk. Dengan hati-hati ia mengangkat lengan Gandhi dan mengambil figura Mayang, ibu Galuh. Gandhi bergumam cepat dalam tidurnya, namun tidak terbangun. Lekas saja Galuh membenahi selimut Gandhi hingga leher dan menaikkan suhu pendingin ruangan.
"Luka, akan mati kalau tidak kamu kasih makan."
Galuh ingat sekali, itu kalimat pertama Gandhi setelah pemakaman anaknya. Saat itu, dia yakin dirinya sedang berada di ambang ketidakwarasan. Yang ada di dalam otaknya hanya luka dan pertanyaan, mengapa ini semua terjadi padanya. Mengapa Galang tega sekali mengkhianatinya.
Dan mengapa, Tuhan jahat sekali padanya.
Yang dia lakukan hanya berjongkok di samping gundukan tanah basah sementara orang-orang sudah pergi satu jam yang lalu. Namun Galuh masih di situ. Menangis.
"Kamu tahu apa?" Gandhi meneruskan kalimatnya sembari membelai pundak Galuh. "Memori, rasa sesal dan rasa benci."
"Hapus luka kamu dengan memori baru. Timbun rasa sakit kamu dengan kenangan baru." Gandhi akhirnya ikut berjongkok di sampingnya, melingkarkan lengannya di pundak Galuh yang masih terguncang keras. "Jangan menganiaya diri sendiri dengan membiarkan kesedihan mengambil kuasa, Galuh. Putri Gandhi Caturangga adalah putri yang kuat."
Galuh terkekeh kala teringat nada Gandhi saat itu. Di tengah suara tegas Gandhi, Galuh bisa mendengar getarannya. Gandhi juga pasti terluka, tapi berusaha kuat karena Gandhi tahu Galuh membutuhkannya.
"Papa kan dari dulu memang begitu," celetuk Galuh tertawa pelan sambil menatap foto ibunya. "Kalau Mama, pasti ngomongnya lebih lembut. Lebih bisa dari hati ke hati."
Galuh melepaskan jaketnya, dan berbaring di samping Gandhi yang masih pulas. Tiba-tiba saja, dia ingin tidur di dekat Gandhi. Kapan terakhir kali dia tidur di samping Papanya? Mungkin sebelum Harun lahir, dan itu sudah dua puluh dua tahun lalu.
"Tapi Ma, kalau bukan Papa yang ngomong waktu itu, mungkin Galuh nggak bisa sekuat sekarang," tukas Galuh mengerucutkan bibir. "Sudah ya, sedari tadi Mama dipeluk Papa terus, sekarang giliran Galuh."
Galuh berguling dan meringkuk dengan menghadap ke arah Gandhi. Masih tersisa keindahan pada sosok Gandhi, hanya saja waktu memang tidak pernah bisa ditipu. Disadarinya gurat renta mulai menguasai wajah Gandhi. Keriput juga mulai tercipta di punggung tangannya, menyisakan vena-vena menonjol berwarna kehijauan di sela kulit yang mengkerut. Wajah itu biasanya ramah, dengan sorot mata tegas dan terkesan cerdas. Mulut itu sopan dan jarang bersuara, meskipun sekali bicara banyak mahasiswa yang terpana atau justru kelimpungan karena pertanyaan yang tidak terduga.
Tapi untuk pertama kalinya, murka menguasai Gandhi tiga tahun lalu di depan lelaki muda yang pernah dia beri amanah untuk menjaga putrinya. Tangan yang biasanya hanya memegang pena itu, pernah melayang hingga wajah Galang tak berbentuk dibuatnya. Mulutnya pun, mengeluarkan serapah mengerikan hingga Galuh merinding saat mendengarnya.
Mungkin...
Mungkin memang tidak selembut cara Mama. Tapi Galuh tahu jika Gandhi punya cara sendiri untuk melindungi dan menopangnya.
Galuh beringsut mendekati Gandhi, berusaha menyusup ke dalam dada hangat ayahnya dengan hati-hati. Wangi ayahnya selalu khas. Campuran cologne beraroma ringan yang dulu seringkali disemprotkan Mayang banyak-banyak hingga Gandhi jengah sendiri. Bercampur dengan parfum sprei yang baru saja diganti. Rasanya nyaman dan menenangkan. Galuh jadi malas keluar dan ingin segera tidur. Padahal, dia belum mandi.
Tiba-tiba saja tangan Gandhi terulur dan membelai pelan kepala Galuh.
"Tidur," katanya dengan mata masih terpejam. "Nggak perlu mandi."
Galuh mengangkat alis. Cengiran lebar tercipta di wajahnya. Dengan satu gerakan cepat, perempuan itu menyusup ke pelukan ayahnya dan meringkuk di sana seperti bayi.
***
"Jangan menganiaya diri sendiri dengan membiarkan kesedihan mengambil kuasa, Galuh. Putri Gandhi Caturangga adalah putri yang kuat."
Ada waktu dimana Galuh ingin sendiri. Mengunci diri di dalam kamar selama beberapa hari. Sama sekali tidak menggubris Gandhi, Harun, Farida, Kanya, Sena, Pak Danar, atau bahkan mantan mertuanya. Galuh hanya duduk meringkuk dan memeluk lutut dengan pandangan kosong.
Oh ya, dia tentu butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi Galuh juga sadar jika semakin lama dia berdiam diri, semakin ngeri bisikan-bisikan yang hadir di dalam otaknya.
Tidak sekali dua kali, dirinya melirik kabel di dinding dan bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kabel itu melilit lehernya. Bukan sekali dua kali dirinya menyentuhi cutter di atas meja dan bertanya sesakit apa jika arteri di pergelangan tangannya terbuka. Apakah aroma anyir memang akan tercium sedemikian kuatnya? Butuh berapa lama sampai dirinya mengalami syok hingga akhirnya tidak sadarkan diri?
Dan apakah Galang akan menyesali perbuatannya? Apakah laki-laki itu akan datang dan menangis sambil memohon ampun di sampingnya? Apakah Sarah akan merasa bersalah jika tahu akibat dari perbuatannya? Apakah dua orang itu akan merasa sangat tersiksa jika dia bunuh diri?
Lalu, apa?
Selalu saja, suara kecil dan dingin dari dalam dirinya menyela.
"Bagaimana kalau mereka sama sekali tidak menggubris bahkan setelah kamu mati? Rasa sakit itu cuma akan sia-sia. Kamu hidup selama 25 tahun dan memutuskan mati hanya karena patah hati, itu sia-sia."
Mungkin itu suara malaikat yang terlampau bosan dengan pemikiran manusia seperti Galuh. Atau mungkin saja, itu suara akalnya yang sedang bekerja. Jika sudah demikian, Galuh langsung mengalihkan pandangan dari kabel, cutter atau apapun yang bisa membuat pikirannya jadi kurang waras.
Dia...
sudah banyak membaca buku-buku milik ayahnya. Buku yang memuat tentang pemikiran banyak orang. Buku tentang self healing yang dibeli Gandhi ketika Mayang tiada.
Dan dia tahu, jika Gandhi memang benar. Bahwa dia akan menganiaya diri sendiri jika membiarkan sedih menguasainya. Dia berhak untuk berkabung atas nasibnya yang malang. Namun dia juga tahu jika berkabung harus punya tanggal kadaluarsa.
Maka dengan niat penuh dan sedikit nekat, Galuh menyewa ruko kecil dengan dua lantai di pinggir kota. Satu-satunya tempat yang bisa terjangkau oleh tabungannya kala itu. Dan disanalah dia mendirikan usaha katering, yang diberi nama Hanggita Catering.
Dia memang perlu aktivitas gila-gilaan agar perhatiannya teralih. Dia perlu lelah yang teramat sangat agar dia langsung tertidur ketika malam menjelang. Dia perlu memori-memori baru yang harus ia ingat agar otaknya tidak terus-menerus mengingat kelakuan Galang.
Tidak masalah jika dia harus pergi ke kantor-kantor selepas pulang dari RS hanya demi menyebar selebaran tentang Hanggita Catering karena memang tempatnya kurang strategis untuk segera disadari orang. Tidak masalah jika dia mendapat pesanan hanya satu hari sebelumnya. Galuh akan dengan senang hati belanja dan memasak saat itu juga. Tidak masalah jika heels-nya patah dan kakinya lecet karena dipakai terlalu lama berjalan.
Tidak masalah sama sekali, selama dia punya aktivitas yang membuat pikirannya teralih dari duka dan rasa sakit yang hampir membunuhnya.
Awal dulu, Galuh hanya menjalankannya seorang diri. Terkadang Farida, Kanya atau Sena datang membantu. Tapi Galuh tahu dia tidak mungkin bisa bergantung selamanya pada mereka. Maka Galuh memberanikan diri mencari pegawai. Hingga sampai dua tahun ini, dia punya lima pegawai dengan pesanan yang lumayan stabil setiap harinya.
Semula Galuh tidak menyadarinya. Namun ketika melihat anak-anak itu bersemangat saat tiba tanggal gajian atau membahas akan kemana lagi destinasi wisata mereka, Galuh merasa berguna.
Rasanya...memuaskan.
"Mbak, kenapa telfonnya nggak diangkat?" Suara jengkel Aria menyadarkan Galuh dari lamunan. Wanita yang sedang duduk melamun di ruangannya itu mendongak.
"Kenapa?"
"Ada pesanan." Aria menjawab ketus. "Orangnya udah di depan ruangan. Aku suruh naik aja soalnya Mbak nggak angkat telfon dari tadi."
Galuh nyengir. "Maaf, ya. Makasih udah antar dia sampai ke atas. Suruh masuk aja."
Aria mengangguk dan segera berbalik. Galuh membenahi mejanya tepat ketika seseorang muncul. Ia menyibak gorden berbentuk untaian cangkang kepiting hermit yang sengaja Galuh pasang sebagai pengganti pintu.
Sebagai seorang dietitien, Galuh bisa menilai kondisi seseorang secara kasar dengan cukup cepat. Dia bisa menilai seseorang mungkin dehidrasi dilihat dari bibir pecah dan kulit yang kering. Dia bisa menilai mungkin orang itu mempunyai masalah pada ginjalnya dari warna kuku. Maka ketika seseorang mempunyai aroma nafas mirip aseton, mungkin dia menderita--
"Maaf, saya buru-buru. Saya dengar di sini melayani katering diet. Saya bisa pesan menu harian untuk satu bulan ke depan?" Seorang pria tambun berumur sekitar empat puluhan, memakai seragam berwarna khaki khas pegawai negeri sipil. Beberapa kancing di bagian perut bahkan terlihat ketat karena tertarik lebar perutnya. Ia berbicara dengan nafas tersengal meskipun hanya menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua.
"Menu untuk Diabetes Melitus, bisa?"
Galuh tersenyum dan mengangguk.
"Bisa. Silahkan duduk dulu. Bapak bisa memilih paket yang kami tawarkan." Galuh mengambil beberapa lembar kertas. "Apa ada hasil laboratorium yang mungkin dibawa?"
*TBC*
Selamat malam semuanya, semoga berbahagia ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top