13 : Konklusi :


12

: k o n k l u s i :


2014



"Leia?"

Panggilan bernada tanya itu dilontarkan Radhia ketika melihat adik sepupunya mendatangi rumahnya. Radhia memang kenal dengan Leia, pernah beberapa kali mengobrol dan terakhir bertemu muka adalah ketika ada acara syukuran kakak sepupu mereka yang hamil. Selepas itu, Radhia tak pernah bertemu Leia lagi, hanya suka chatting beberapa kali. Maka ketika Leia mendatangi rumahnya langsung untuk bertemu, Radhia merasa ada sesuatu yang penting yang perlu dibicarakan.

"Hai, Radhia." Leia tersenyum dan memeluk sepupunya. "Lagi mau ngobrol."

"Ngobrolin apa?" tanya Radhia, sarat nada khawatir. Rumahnya dengan rumah Leia berjarak agak jauh. Sehingga dia yakin pasti ada masalah serius jika Leia sampai mengajak bertemu. "Ayo, masuk dulu."

"Iya. Bude Sasa ada di dalam?" tanya Leia seraya berjalan memasuki ruang tamu bersama Radhia.

Radhia menggeleng. "Lagi arisan kayaknya. Biasa. Sekarang kan, lagi weekend. Eh, kamu duduk aja dulu, Lei. Mau minum apa?"

"Nggak usah, haha." Leia tertawa kecil. "Aku ke sini buat ngobrol aja, kok."

"Aku bikinin teh, ya. Baru kita ngobrol. Nggak enak kalau belum menjamu tamu."

"Eh, nggak usah."

Radhia mengabaikannya. Perempuan itu berlalu ke dapur dan beberapa saat kemudian datang dengan secangkir teh hangat untuk Leia.

Ketika keduanya sudah duduk nyaman, Radhia bertanya, "Ada masalah apa, Lei? Sampai kamu datang ke rumahku gini."

Leia yang tengah mengambil cangkirnya sedikit membeku. "Maaf, Rad. Bukan berniat nggak mau silaturahmi."

"Iya, aku paham. Rumah kita jauh, kan. Makanya aku tanya, ada masalah apa?"

Leia menelan ludah. "Aku... baru tahu kalau Bara suka sama cewek lain." Hati Leia merasa berdenyut. Dia ingin memikirkan kemungkinan lain, hal-hal positif. Hanya saja, semua begitu jelas. "Aku pernah lihat dari postingan dia. Bara nulis quote buat cewek berinisial PMJ. Trus, komen-komen dari teman-teman Bara pada support Bara buat nembak si cewek itu, juga pada bilang kalau kode Bara terlalu keras." Dadanya terasa ditekan-tekan. Leia tak menyangka bahkan setelah dua minggu berlalu, rasa sakit itu tetap ada.

"Boleh lihat postingannya?" tanya Radhia. Tak lama, dia sudah mendapat ponsel Leia yang menunjukkan post Instagram Bara yang dimaksud. Alisnya menyatu saat mengembalikan ponsel Leia kepada pemiliknya. "Bisa jadi, itu cuma main-main sih, Lei. Mungkin aja Bara dikerjain temen-temannya, disuruh nulis surat cinta ke cewek."

Leia terdiam. "Udah baca komen-komennya? Banyak banget yang komen serupa."

"Udah, sih, tapi...." Radhia mendesah. "Kamu mau nyerah, Lei?"

Lagi, Leia terdiam. Matanya memanas lagi entah kenapa.

"Leia...," panggil Radhia. "Aku nggak bohong, deh. Bara nih beruntung banget bisa ditaksir sama kamu. Aku bukan cuma bilang dia beruntung karena kamu cantik. Aku bilang gini karena kamu tulus suka sama dia, Lei. Mungkin kamu belum kenal baik sama Bara. Mungkin kamu belum ke tahap cinta. Tapi, kamu yang masih cinta sama dia terlepas dari kekurangan fisik dia aja udah cukup buatku untuk yakin kalau kamu tulus. Kalau aku di posisi Bara, aku pasti senang banget kalau tahu ada seseorang yang suka sama aku setulus ini. Jadi, aku tanya. Kenapa kamu nggak bilang ke Bara, Lei? Kenapa kamu nggak gerak?"

Leia terdiam. Rasa panas di matanya mulai meleleh menjadi setetes air mata. "Aku ragu, Rad," ujar Leia, agak tercekat. "Aku... nggak yakin."

"Ragu kenapa? Ragu bakal diterima atau enggak? Takut ditolak?"

"Awalnya kukira itu, tapi...." Leia berpikir lagi. "Bukan itu. Aku nggak ragu sama Bara. Aku justru ragu sama diriku sendiri. Aku ragu apa aku ini beneran cinta sama Bara atau enggak. Karena... aku nggak mau gerak duluan di saat aku yakin Bara nggak akan menganggap aku rendahan kalau aku mau kenal sama dia. Aku cuma... aku nggak tahu apa rasa sukaku ke Bara bisa bikin aku melakukan hal-hal gila demi dia."

Radhia menatapnya bingung, sekaligus turut sedih. Tangannya mengelus pundak Leia dengan lembut. "Jadi, kamu nggak berusaha deketin dia, karena kamu sendiri ragu sama perasaan kamu?"

Leia mengangguk. "Aku juga nggak mau otakku terlalu dipenuhi dengan pikiran bagaimana mendapatkan Bara," ujarnya. "Aku nggak mau hidupku seolah-olah hanya berputar untuk Bara dan hanya Bara. Aku... aku punya hal-hal lain yang menurutku lebih penting daripada mikirin dia. Mungkin... mungkin aku emang nggak secinta itu sama Bara seperti yang selama ini aku pikir. Aku cuma suka sama Bara and that's it. Aku cuma pernah beberapa kali berharap bisa jadi tempat Bara bersandar, but that's it. Aku cuma berharap dan merasa suka. Nggak benar-benar mau mengambil risiko untuk mendapatkan Bara atau mendapati harapanku jadi nyata."

"Trus, apa yang kamu mau, Lei?"

"I just wanna enjoy life by my own," jawab Leia. "Aku mau mengenali diriku sendiri lebih dalam, aku mau nyoba mengembangkan bisnis rajutanku, aku mau resign dari kantor tapi nggak mau pisah dari teman-temanku, aku mau buka toko es krim, aku mau belajar banyak hal, aku... I feel... I wanna be happy by my own. Is that selfish?"

Radhia tersenyum tulus dengan binar bangga di matanya. "Kalau menurutku, itu adalah bentuk 'keegoisan' yang baik. Welcome to the new stage of life," ujar Radhia sambil terkekeh. "Leia, kamu itu sebenarnya lagi mengenali diri sendiri buat tahu apa aja yang bisa jadi prioritas. Kamu nggak salah. Mungkin memang saat ini, prioritas kamu bukanlah urusan cinta. Kalau yang kutangkap, prioritas kamu sekarang adalah kamu mau mengenali diri kamu lebih dalam, enjoying life by your own, dan yah... trying to be happy with yourself. Is it?"

Leia manggut-manggut. "I think so. Aku juga nggak mau merasa bahwa kebahagiaanku terpusat di Bara aja. I wanna be happy on my own. Dan, aku masih semacam... belajar buat membahagiakan diri sendiri tanpa bergantung ke orang lain? Kayak gitu pokoknya."

"Kalau begitu, menurutku, kamu udah melakukan hal yang tepat." Radhia mengelus tangan Leia. "Semakin kamu mengenali diri kamu sendiri, kamu jadi tahu apa yang harus kamu prioritaskan, kamu juga secara otomatis bakal menerima diri kamu sendiri."

Leia memejamkan mata, merasa lega sekali setelah membicarakan hal ini dan mengetahui titik temu dari keganjilan yang dia rasakan. Dia makin yakin dengan apa yang harus dia lakukan. Ini bukan masalah apakah aku harus mendapatkan orang yang kusuka atau enggak, tapi masalah hal apa yang bisa kudapatkan dari pengalamanku saat suka sama seseorang, Leia mengingatkan diri sendiri.

"Barangkali nanti, aku tetap bakal sakit hati lihat Bara bikin ucapan-ucapan manis buat cewek lain dan di-post di medsosnya, atau kalau dia foto berdua dan kelihatan bahagia sama cewek yang dia suka," ujar Leia. "Sekecil apa pun harapan aku terhadap Bara, in case of love, it's still gonna hurt me anyway." Leia mendesah.

"Itu normal, Leia," ujar Radhia. "Berharap sama orang itu normal. Asal berharapnya nggak berlebihan, sewajarnya aja. Jangan sampai kegeeran berat gitu. Kayak, misal naksir, trus saat cowok yang ditaksir lagi berlaku baik, kita kegeeran mikir si cowok ini mengganggap diri kita spesial. Padahal, bisa jadi si cowok emang naturally baik aja."

"Bara naturally baik." Leia tersenyum. "Dia cowok baik-baik. Tapi, aku sadar kok, kalau dia berlaku baik ke aku karena, yah, dia naturally cowok baik."

Radhia tersenyum dan mengelus kedua pundak Leia. "So, how are you now?"

"I'll be okay," ujar Leia. Tersenyum dan menatap hangat mata Radhia. "It doesn't matter when or how. I just believe that in the end, I wil be okay."

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top