1 : Kenal :
1
: k e n a l :
2014
"Lihat, deh, cowok yang pakai kemeja hitam ganteng abis. Seger ngeliatnya."
Leia menoleh ke arah di mana mata teman-temannya tertuju; seorang lelaki berkemeja hitam dengan five o'clock shadow yang tipis di dagunya. Dia berdiri sambil bersandar di sudut ruangan, berbicara dengan seorang lelaki berkepala botak. Leia menyadari bahwa laki-laki berkemeja hitam itu adalah Hizraka, sementara pria di depannya itu adalah Mahesa. Keduanya merupakan sahabat baik Aksel Hadiraja, lelaki yang berulang tahun hari ini.
Leia melanjutkan maccaroni schotel di piringnya. Pesta ulang tahun Aksel Hadiraja berlangsung ramai. Mengenal Aksel sedari kuliah, Leia sadar bahwa Aksel memang tipe orang yang mudah berteman dengan siapa saja. The Birthday Boy hari ini pun tengah tertawa dikelilingi banyak temannya—terutama perempuan—dekat kolam renang.
Teman-teman Leia terlihat sangat menikmati suasana yang ada. Mereka ikut melebur bersama tamu yang lain. Kepala Leia mengangguk menikmati musik up-beat yang terputar.
Mengamati manusia yang berinteraksi di sana, matanya menyapu sekeliling. Hingga akhirnya, dia meringis saat merasa seisi perutnya dililit mendadak.
Leia membawa tangannya ke bagian bawah perutnya, meremasnya pelan karena di dalamnya terasa sakit. Suara napasnya melemah. Dia menggigit bibir saat merasakan perutnya kian perih.
Segera, Leia meletakkan sepiring maccaroni schotel-nya secara asal, lalu pergi ke arah kamar mandi tamu. Sesampainya di sana, ternyata kamar mandi tamu terkunci. Dia mengetuk-ngetuk pintu, bertanya apakah orang di dalam masih lama memakainya atau tidak. Namun, ujarannya dihentikan dengan suara lelaki di belakangnya.
Leia terdiam, lalu menoleh. Mendapati lelaki yang tadi memanggilnya adalah Bara Langit, kakak dari Aksel.
Meski terlihat masih siaga, pria itu juga terlihat lelah. Jas berwarna putih tersampir di bahunya. Leia menyimpulkan lelaki itu baru selesai kerja dari rumah sakit. Melihat lebih dekat, Leia menyadari ada kantung mata yang cukup tebal di wajah lelaki itu.
"Mau pakai kamar mandi?" tanya Bara.
Cepat, Leia mengangguk.
"Masih ada kamar mandi di lantai atas. Naik aja."
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari Leia. Yang ada di otaknya, dia harus segera membereskan 'urusan perempuan'nya. Dia baru ingat bahwa bulan ini dia belum datang bulan. Merepotkan sekali. Dia harus segera melakukan tindakan sebelum rok yang dia pakai ternoda oleh darahnya sendiri.
Selesai menggunakan kamar mandi di lantai atas, sakit perut Leia tak kunjung hilang. Ketika hendak turun ke lantai bawah, dia duduk di salah satu anak tangga, memegangi perutnya sembari meremasnya pelan. Seluruh darah terasa meninggalkan wajahnya. Dia merasa dingin dan pucat. Membenarkan posisi tas selempangnya, Leia pun berdiri, berusaha berjalan ke bawah. Dia akan mencari taksi untuk pulang.
Sampai di lantai bawah, Leia tak berpamitan dengan Aksel dan teman-temannya. Rasa sakit yang dideranya makin tak terperi. Dia duduk begitu merasa sakit di perutnya masih membuatnya terasa kram. Kemudian, dia menelepon salah satu temannya di sana untuk membantunya mencari taksi. Panggilannya berakhir tak diangkat.
Menghela napas berat dan lemas, Leia berusaha berjalan lagi. Namun, rasa kram di perutnya menghalanginya melangkah, sehingga dia memilih duduk di sofa ruang tamu depan rumah Aksel. Melihat tak ada orang di sana, dia pun berbaring, memejamkan mata sesaat. Di saat dia merasa perutnya sudah agak lebih baik, sebuah suara menginterupsi keheningannya.
"Sakit?"
Leia membuka mata, seketika beranjak dari posisi rebahannya di sofa. Bibirnya membulat melihat Bara di depannya. Pelan, dia mengangguk.
Bara pun duduk di sofa sebelah Leia. Matanya memindai gadis itu, seperti tengah mendiagnosa. "Salah makan?"
Pelan, Leia menggeleng. Agak sungkan, dia berkata, "Ini... sakit datang bulan."
Bara membulatkan bibirnya. "Bawa kendaraan ke sini?" Dia bertanya. Leia menggeleng. "Ke sini nebeng temen?"
"I-iya, tapi saya telepon mereka, nggak diangkat."
"Jelaslah." Bara mendesah, melirik ke arah halaman belakang yang masih menyetel musik up-beat cukup keras. Matanya kembali memandang Leia. "Mau saya panggilin temenmu?"
"Ng...nggak usah," jawab Leia, dengan nada yang bahkan terlalu lemah di telinga Leia sendiri. Tapi, sungguh, tubuhnya terasa lemas sekali. Dia hanya ingin istirahat. "Kalau nggak keberatan... tolong cariin taksi...."
Bara mengangguk. "Rumahmu di mana?"
Leia memberi tahu alamat rumahnya. Kemudian, Bara berkata, "Rumahmu nggak jauh. Saya anterin aja, mau?"
Sungkan, Leia pun menolak sopan. "Saya nggak mau ngerepotin. Lagian, Kak Bara juga baru selesai kerja. Pasti capek."
"Nggak apa-apa," balas Bara. Sebelum Leia kembali bicara, lelaki itu sudah pergi meninggalkan ruang tamu dan kembali dengan sebuah baju yang dilipat dan kunci mobil. "Ini," ujarnya sembari menyodorkan baju itu.
Leia menerimanya dengan bingung. Dia melebarkan baju itu. Ternyata sebuah jaket. "Ini buat apa?"
Bara spontan mendengus tertawa. "Buat dipakailah."
"Ng-nggak usah. Saya nggak mau ngerepot—"
Tangan Bara yang terkibas di depannya menghentikan Leia bicara. "Kalau lagi sakit, nurut aja. Nggak usah rewel."
Leia hanya bisa mengangguk patuh.
"Bisa jalan, nggak?" tanya lelaki itu, mengalihkan pembicaraan.
Leia berdiri. Rasa sakit perutnya sudah sedikit mereda. "Bisa," ujarnya, lalu mengenakan jaket pemberian Bara. Dalam otaknya dia berkata, ini orang baik amat.
Bara pun melangkah ke garasi diikuti Leia. Mereka memasuki mobil, dan mobil pun melaju ke rumah Leia.
Musik yang terputar di mobil berbanding terbalik dengan musik di pesta ulang tahun Aksel tadi. Lagu-lagu Barat lama terputar dari music player, terdengar lebih menenangkan menemani jalanan malam yang sepi.
Jika dipikir-pikir lagi, Leia tak menyesal menerima tawaran Bara. Taksi agak jarang muncul di sekitar rumah Aksel—apalagi di jam-jam lewat tengah malam. Kebanyakan pada jam-jam ini taksi sudah kembali ke base mereka untuk ganti shift, bukan saatnya mencari penumpang, kecuali jika rumah penumpang itu searah atau tak jauh dari base taksi tersebut. Leia yakin dia pasti harus menunggu lama jika memilih naik taksi.
Sebenarnya, pulang lewat tengah malam seperti ini juga bukan kebiasaan Leia. Dia hanya ingin cari suasana baru. Dia teringat atasan di kantornya yang sudah lama dia suka ternyata akan menikah dengan perempuan lain. Leia pun mendesah. And the cycle comes again.
Suka, ternyata orang yang disuka naksir cewek yang lebih cantik dan cerdas, patah hati, ulangi, batin Leia. Gitu-gitu aja terus siklusnya sampai mabok.
Melihat Bara yang masih serius menyetir, Leia pun teringat sesuatu. Dia belum mengucapkan terima kasih. "Kak Bara," panggilnya. Bara hanya mengangkat alis tanpa mengalihkan pandangan dan bergumam sebagai respons. "Makasih, Kak."
Lagi, Bara hanya bergumam.
Mereka sampai di rumah Leia tak lama kemudian. Alamatnya memang tidak jauh dari rumah Aksel dan Bara. Turun dari mobil, Leia tak segera menutup pintunya. Dia memandang Bara, lantas tersenyum. "Makasih sekali lagi ya, Kak."
Bara hanya membalas dengan anggukan.
Setelah itu, mobil pun melaju pergi dari sana. Leia menggosok-gosokkan tangan pada lengan, memeluk diri sendiri. Kemudian dia sadar. Jaket yang dipinjamkan Bara lupa dia kembalikan tadi.
[ ].
-;-;-
Sebaiknya jangan langsung main ambil kesimpulan terhadap cerita ini sebelum membacanya sampai abis siah.
Tahun 2014 ojek online, taksi online, dll masih belum ngetren ya. Makanya si Leia nggak pesan taksi online.
Part-part selanjutnya bakal pendek-pendek.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top