(٠٢) Rizal Haqqi
“Tetaplah terjaga hingga engkau ditemukan oleh dia yang mengajakmu sehidup sesurga.”
[@Nadhillah_Gayvani]
××××
Rizal, itulah panggilan yang cocok untuk laki-laki bertampang sejuk. Menyelisik lebih dalam lagi, kita akan melihat kedamaian dan ketentraman yang terjadi di hidupnya. Pembawaan yang tenang, tak tergesa-gesa menggambarkan bahwa dirinya adalah lelaki yang perasaan hatinya selalu tenteram.
Setelah menolong adik kelasnya yang hampir tersungkur tadi, Rizal mengitari kembali koridor kelas sebelas yang menjelma menjadi ruang gugus. Menjabat sebagai Penanggung Jawab di organisasi MPK, ia harus mengatur jalannya agenda MPLS ini supaya berjalan dengan lancar. Tak lupa pula, dia adalah anggota ekstrakurikuler Majelis Ta'lim yang selalu ia tekuni. Bahkan, kini merangkap menjadi pemandu gugus dan juga penanggung jawab.
Memastikan bahwa tiap-tiap gugus telah ada yang memandu, Rizal pun menuju ruang gugus yang telah di-amanah-kan¹ padanya beserta rekan-rekan yang lain. Dan di sinilah ia berada, di depan pintu tertutup di mana insiden tadi terjadi. “Assalamu'aalaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,” tabiknya sembari membuka pintu.
“Afwan, telat, Yo.” Menepuk bahu Tio, rekan kerja yang selama tiga hari ini akan menjadi pemandu jalannya gugus dua bersamanya.
Sepertinya Tio yang sedang memperkenalkan diri di hadapan adik kelas berhenti sejenak membalas permintaan maaf Rizal dengan anggukan.
Rizal pun duduk di kursi guru. Ia pun mengamati ketiga temannya yang sedang berdiri memperkenalkan diri satu per satu.
“Sekarang kakak berdiam di kelas sebelas IPA tiga. Kakak menggeluti ekstrakurikuler PASKIB, sekalian promosi jika ada adek-adek semua mau masuk PASKIB, boleh hubungi kakak,” terang Tio.
“Akan dilanjutkan oleh Kak Wulandari,” jedanya sebentar. “Eh... Nggak-nggak tafadhol² buat kakak yang sedang duduk santai di kursi,” sindir Tio sedikit terkekeh.
Laki-laki itu menatap sinis ke arah Tio. “Biar Wulan dulu aja, Yo.”
Wulan pun mengambil alih. “Ok! Adik-adik sekalian, perkenalan nama kakak Wulandari. Sekarang kelas sebelas IPA empat. Kakak bagian dari ekstrakurikuler Majelis Ta'lim, sama seperti kakak yang duduk di kursi kerajaannya.” Ia terkekeh pelan. Kulit putih langsatnya mengeluarkan cahaya akibat pantulan sinar dari jendela. “Misi hidup kakak: laa tahzan, innallah ma'anna (Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita).”
“Kak, boleh tahu nama instagramnya?” timpal lelaki yang berada di pojok sebelah kiri. Sudut bibirnya melengkung bebas, menggoda sang kakak kelas.
Tio berdecak sebal.
“Jangan diembat Kak Wulannya, nanti ada beruang yang ngamuk.” Tawa Rizal pecah di penjuru ruangan kala mengucapkan kata beruang. Dilihatnya Tio menatap dirinya dengan sinis. “Ampun, Yo ampun!”
“Maaf kak, katanya anak majelis ta'lim kok pacaran?” tungkas perempuan berkerudung lebar dengan sangat hati-hati, yang tak lain adalah perempuan yang ditolong Rizal tadi.
Hatinya tersentak, matanya terbalalak. “Adek salah paham,” ucapnya penuh pertimbangan. “Gini ... Mereka berdua saling menjaga, dek. Kak Wulan nggak pacaran kok.”
“Rizal nggak usah buat gosip! Jangan percaya ya adek-adek semuanya, mulut Rizal emang ember,” jelas Wulan terus terang. “Terutama buat adek yang mengajukan pertanyaan tadi, Rizal memang mulutnya suka buat gosip!” Senyum simpul ia tunjukkan pada Teysa.
Teysa hanya menundukkan kepalanya tanda setuju atas jawaban dari perempuan bernama Wulan.
“Giliran Rizal kan yang memperkenalkan diri? Berhubung ia tadi membuat ulah, biar kakak yang menjelaskan dirinya secara singkat,” ada jeda sebentar. “Namanya Rizal Haqqi, kelas sebelas IPA satu.”
Lalu, dilanjutkan dengan absen satu per satu dari anggota gugus.
“Jal, kamu yang sebutin,” suruh Wulan dengan memberikan buku absen yang telah di sampul dengan kertas kado.
Lelaki yang masih betah duduk di kursi kerajaan itu menatap benda yang berbentuk pipih, berwarna hitam itu dengan amat serius. Jarinya dengan lincah meng-scrool layar tersebut. Membaca pesan yang ada di grup MPK dengan teliti.
“Rizal!” bentak Wulan kesal karena diacuhkan.
Menggaruk ubun-ubunnya, ia lantas mengangkat kepala dan memasukkan kembali teleponnya di saku. “Nggak bisa Lan, aku harus fotocopy soal tes kejurusan untuk besok,” jelasnya. “Permisi dulu ya, Assalamu'aalaikum.” Ketukan dari sepatunya beradu dengan lantai marmer yang membuat suaranya kian bergema di ruangan bernuansa cream, sebab tak ada suara yang berhasil menandingi aura santai yang dibawakan Rizal.
Sebelum mengeluari ruangan segi empat ini, dia sempat menyipitkan matanya kala melihat perempuan yang dari tadi ingin ia jadikan objek penglihatan tiada henti, namun otak warasnya masih berjalan. Ia takut akan terjadi zina mata.
🌃🌃🌃
Dua hari telah berlalu agenda yang diselenggarakan untuk menyambut para calon siswa-siswi di SMA Patra Mandiri. Hingga sampailah agenda ini di penghujung harinya.
Rizal menghembuskan napasnya dengan kasar. Setelah rapat dengan anggota majelis ta'lim tentang pembagian kelompok untuk menyosialisasi di tiap-tiap gugus. Bokongnya ia daratkan di batu besar samping papan nama mushola. Menghirup dalam-dalam udara sejuk di pagi ini. Rizal pun melirik arloji yang berada di lengannya, masih pukul 06:35 dan sekolah masih sepi, hanya beberapa orang yang terkait ekstrakurikuler merembukkan anggotanya agar menarik banyak calon anggota pada saat sosialisasi nanti.
Anggota-anggota majelis ta'lim pun masih sibuk dengan persiapan. Mulai dari formulir pendaftaran yang telah di copy banyak, dan perlengkapan untuk stan di depan mushola nanti.
“Hoi, enak bener ngelamun. Anak-anak pada sibuk, eh kamu santai-santai di sini. Memikirkan apa, sih Jal?” tanya perempuan yang kini duduk di teras.
Menggeleng pelan tanda jawaban yang diajukan oleh perempuan yang dulu ... Ah, jika mengingat masa itu rasanya ia tak ingin mengulang kembali mau pun menceritakannya.
“Jal, ingat nggak waktu itu kamu pagi-pagi sekitar jam segini jemput aku, mengajak aku jogging? Ternyata kamu baru bangun tidur dan langsung beranjak dari kasur ke kamar mandi cuma cuci muka. Pantesan waktu itu, belek kamu masih di mana-mana,” pancing Inaya dengan sedikit bernostalgia.
Tanggapan yang dipersembahkan untuk pernyataan dari Inaya hanya berupa dehaman.
“Kamu sholat shubuh nggak waktu itu, bisa kesiangan?”
“Iya,” jawab Rizal acuh tak acuh.
Inaya mengangguk pelan, ia pun berpamitan dengan pria masa lalu yang membuat dirinya sampai sekarang tak bisa dihapus dari memori. Jika ia tak dihimbau untuk menyelesaikan urusan, rasanya ia masih ingin berlama-lama dengan Rizal.
Rizal pun teringat akan petuah yang disampaikan sang kakak ipar ketika mereka bercerita pasal perasaan.
“Jika bukan ... Biarkan melupakan, Jal.
Jika iya ... Biarkan tetap dilupakan.
Hingga waktu itu tiba, hati tetap terjaga.”
Dan sekarang dirinya mengerti dari setiap klausa-klausa yang dikatakan kak Rafif—suami dari kakak perempuannya bahwa dia harus menjaga rasa hanya untuk seseorang yang halal untuknya nanti.
Untuk sekarang, ia tak ingin bicara cinta. Akan sakit, perih dari sebuah pengharapan. Hingga butir-butir telah sampai pada waktunya atau pun sulit untuk dimusnahkan, baru ia akan berjuang.
Entah salah atau tidak, pupilnya menangkap siluet tepat berada dihadapannya. Kepalanya yang semula menunduk menilik jalanan yang berada di bawahnya, sontak mengangkat kepalanya. Siapa yang tak terperanjat, dirinya mendapatkan peri berbalut kerudung sampai ke pantat bak turun dari kayangan. Perempuan ini adalah objek yang ia teliti bagaimana bisa masuk sekolah umum seperti ini dengan pakaian layaknya penghuni madrasah?
“Assalamu'aalaikum, Kak,” sapa Teysa ramah.
“Wa'alaikummussalam. Ada apa, Dek?” tanya Rizal tanpa basa-basi. Jantungnya bagai lari maraton, setelah masa yang silam baru kali ini ia berhadapan kembali secara langsung bersama perempuan. Catat hanya berdua!
Objek di hadapannya ini hanya diam mematung tanpa membalas pertanyaannya ada apa gerangan menghampiri dirinya?
Setelah menimbang-nimbang apa yang akan diutarakan, sebelumnya perempuan itu menarik napas. “Kak, boleh panggilkan Kak Wulan? Ada hal yang harus dibicarakan.”
“Oh, iya Dek sebentar.” Kakinya pun melangkah ke mushola untuk memanggil Wulan. Ternyata ada perlu sama Wulan, toh.
Setelah memanggil Wulan, saat dirinya keluar lagi perempuan itu pun telah menjauh pergi. Perempuan yang langkah, batinnya sambil senyum simpul.
🌃🌃🌃
“Hallo Adek, salam kenal.” Perempuan beralis tebal itu membenahi posisi duduknya. Sekarang mereka berada di teras bagian pintu masuk akhwat.
Teysa senyum menanggapi hal itu. Ia pun sedikit risih, kala kedua kakak kelas yang kurang di kenalnya mengapit duduknya. Di sebelah kanan ada kak Wulan dan si sebelah kirinya yaitu seseorang yang ia pun tak tahu namanya.
“Teysa, kenalkan ini Kak Keira,” Wulan mengenalkan kakak kelas yang sedari kemarin membujuknya agar bisa bertemu dengan adik gugus yang ia bina. “Kak Keira adalah bagian dari majelis ta'lim. Sekarang Kak Kei kelas dua belas IPA tiga.”
Yang dikenalkan pun tersenyum penuh arti. Kerudung segi empat yang tersampir sebatas pinggangnya terbang-terbang akibat angin. “Senang bisa bertemu dengan Teysa,” katanya bahagia.
“Iya Dek, Kak Kei kayaknya suka sama kamu. Dari kemarin kirim pesan sama Kakak biar nyuruh kamu datang sedikit cepat. Soalnya nih Kak Kei, katanya banyak yang ingin ditanyakan sama kamu.” Wulan pun melirik sekilas ke arah seniornya. Yang dilihatnya pun tersipu malu akibat perkataan frontal dari Wulan.
“Bisa aja deh, Wulan,” timpal Keira sedikit tergelak.
“Dek, boleh Kakak bertanya?” suara lembut khas Keira mengalun sempurna bersamaan semilir udara. “Kamu nanti mau ikut ekskul apa?”
“Rencananya sastra Kak.”
Pundak Keira melemas. Bibirnya sedikit manyun serta mimiknya berubah yang tadi ceria, kini datar. Sia-sia sudah, rencananya yang ingin merekrut adik kelasnya, lantas tak punya harapan lagi. “Nggak ada niat untuk masuk MT, dek?”
Di sinilah Teysa bimbang. Niat pertamanya memang ingin daftar di Majelis Ta'lim, namun setelah menimbang kembali anak Majelis Ta'lim kebanyakan ikhwan. Ia tak ingin nanti ber-ikhtilath³ dengan yang bukan mahram⁴, walaupun sudah ada hijab (Pembatas). Dan ia pun menemukan gagasan, alangkah baiknya ia ikut ekstrakurikuler sastra. Kebanyakan anak sastra, pencinta aksara yaitu perempuan. Mungkin sebagian ada laki-laki, tapi setidaknya tak banyak. Ia pun bisa menjaga jarak.
“Afwan Kak, nanti Tey pikirkan lagi, ya.” Rasanya pun, dia ingin turut serta menjadi bagian majelis ta'lim. Mengedarkan suara emasnya untuk penampilan nasyid. Ia pun terkenang dengan perkataan Ummi waktu itu:
“Libatkan Allah dalam setiap masalah nak, mau itu kecil atau besar.”
“Iya Dek, pikirkan baik-baik ya. Hehehe,” kekehnya pelan.
Bel pertanda masuk menginstruksi jalannya pertanda masuk. Mereka bertiga pun permisi bersamaan dengan langkah ke tujuan masing-masing.
Teysa pun menelusuri lapangan pertama di mana terdapat lukisan batu saat pertama kali ia memasuki sekolah ini.
Suara mikrofon dari kantor berseru kembali, “Silahkan masuk anak-anak kita akan tadarus bersama terlebih dahulu. Panggilan Rizal Haqqi, hari ini jadwalmu memimpin tadarus.”
“Rizal!” bentak suara dari sebrang sana yang mengisi seantero sekolah.
🌃🌃🌃
Rizal tersentak, dia baru teringat bahwa hari ini jadwal ia memimpin. Semula yang tadi berdiam di mushola beristirahat dari pikiran yang melelahkan, ia pun berangkat. Tanpa mengenakan sepatu, Rizal berlari dengan cekatan menuju kantor yang terletak di depan.
“Maaf Bu, maaf.”
Ia pun mengambil al-qur'an hijau di atas rak. “Silahkan buka qur'an kita surat Saba' ayat pertama.” Kalimat itu pun di ulangnya sebanyak tiga kali.
Berakhir sudah tadarus yang dipimpinnya selama kurang lebih 30 menit. Ia pun langsung menuju mushola mengambil sepatunya yang tadi tertinggal, lalu mengarah ruang gugus dua.
Rizal pun menghampiri Saras—rekan yang bertugas membimbing calon siswa-siswi di SMA ini. Perempuan berkacamata itu pun fokus melihat Wulan yang sibuk bercerita, entah lakon apa yang sedang ia bicarakan.
“Ras, mana Tio?” tanya Rizal.
“Tadi dipanggil Miss. Mei, kayaknya disuruh buang sampah,” sahut Saras yang hanya dibalas anggukan oleh sang lawan bicara.
“Itu Wulan lagi ngapain?” Liriknya kala mengawasi Wulan yang berkomat-kamit, entah bercerita tentang apa.
Saras terkekeh, “Bernostalgia saat dia mengikuti MPLS, ketika dia mengirim secarik kertas berisikan kritikan untuk teman gugusnya.”
Menarik sudut bibirnya bahwa Rizal mengingat hal itu.
Wulan yang sudah menyelesaikan sesi cerita yang dianggapnya berfaedah kini menghampiri Saras dan Rizal. Ruangan bernuansa cream tersebut sedang hening, tak tahu lagi apa yang akan dibicarakan. Suasana mereka pun masih canggung, tiga hari bersama tak ayal membuat mereka masih tahap-tahap pendekatan.
Wulan pun berbisik pada Rizal dan Saras di hadapannya, “Rizal, boleh minta tolong nggak?”
Tanggapan yang dipertontonkan oleh Rizal pun hanya dehaman.
“Kak Keira mau kalau adek itu harus ikut ekskul MT,” desisnya pelan sambil menggerakkan matanya menunjuk letak duduk perempuan yang kini sibuk dengan dunianya.
Suara yang baru saja masuk itu menimpali, “Ya udah, suruh aja dia untuk menjadi bagian MT.” Badan tegap khas anak Paskib itu pun berjalan dengan santai. Dengan kulit sawo matang dan tinggi semampai, ia tersenyum mengarah adik-adik didiknya.
“Itu masalahnya,” ujar Wulan dengan gelisah. “Dia berencana mau ikut sastra, dan ... malangnya nasib diriku Kak Keira memerintah supaya merekrut adek itu,” keluhnya dengan perasaan tak nyaman.
Dahi Rizal menyatu, “Jadi?”
Tatapan tajam dari pupil hitam milik Wulan mengarah pada manik milik Rizal. “Emang cowok tu nggak peka ya, aku minta tolong coba kamu bujuk deh adek itu!” gerutunya terus terang.
Rizal menyipitkan kelopak matanya sembari menggelengkan kepalanya. Ah, mungkin otak Wulan sedang tidak waras.
“Ayolah Jal, musaeada⁵,” rengek perempuan berkerudung putih sebatas pinggang. “Perintah Kak Keira ini, aku nggak berani nolaknya. Permintaannya juga baik, nggak ada hal yang nyeleneh.”
“Hm,” tanggap Rizal. “Siapa namanya?” tanyanya sedikit melirik kembali ke arah perempuan itu.
“Bidadari,” sahut Saras terkekeh.
Pupil coklat Rizal melotot. “Serius?”
“Iya-iya. Sana samperin, nanti keburu anak-anak datang untuk sosialisasi.” Tangan Saras mengibas-ngibas.
Akhirnya, sepersekian detik ia pun melangkah. Melewati barisan pertama dan kedua, sampailah ia sekarang di depan meja milik perempuan yang akan dia rayu supaya keyakinan untuk masuk Majelis Ta'lim terlaksana. Hatinya berdesir, jantungnya pun seperti mendadak berhenti kala suara perempuan di hadapannya mengalunkan nasyid yang berjudul Ya Habibal Qolbi. Ah, dia hapal sekali lirik-lirik nasyid tersebut.
Satu detik...
Dua detik...
“Eh, Ka-kak ada perlu dengan saya?” ujar Teysa terkejut. Matanya terpejam, menyesali kenapa ia harus merunduk, menikmati suara sumbang miliknya.
Lelaki ini salah tingkah. Aduh, Rizal, ia pun merutuki dirinya sendiri bisa-bisa tertangkap basah menguping alunan melodi perempuan. Astagfirullah, zina hati. “Ada yang mau dibicarakan, Dek,” jedanya sambil melirik lawan bicara. “Sebelumnya nama Adek Bidadari, ya?” tanyanya dengan menebalkan kata bidadari diucapan.
Lantas, yang mendengar ucapan dari Rizal pun terbahak-bahak. Sehingga ruangan yang bermula hening ini, menjadi cair karena ulah dari sang kakak gugus.
Tangan Tio pun mengepalkan selembar kertas yang berada di atas meja dan langsung saja melemparkan gumpalan tersebut mengarah ke Rizal sambil berteriak, “Modus lo Jal, sejak kapan Rizal kembali jatuh hati!”
“Sialan, kenapa harus percaya perkataan Saras tadi tanpa berpikir,” makinya untuk diri sendiri dengan suara pelan.
—–——————————
١. Di-amanah-kan: Dipercayakan
٢. Tafadhol: Silahkan
٣. Ikhtilath: Bercampur-baur
٤. Mahram: Haram dinikahi. [ex: Ayah, Kakak Kandung «lk»]
٥. Musaeada: Tolong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top