Bagian 2
"Botol besarnya habis, Nek. Tinggal yang kecil ini. Bagaimana?"
Walau agak tak puas, Pocut akhirnya mengangguk. Kasihan, Nay sampai mandi keringat begitu. Gadis itu menyebutkan harga. Pocut menyerahkan selembar lima puluh ribu.
Nay memasukkan pembasmi serangga aerosol tersebut ke dalam kresek putih.
"Midah ke mana?" Pocut celingukan. "Kenapa kau yang jaga warung?"
"Emak ke pasar." Ketika Nay hendak menyerahkan kembalian, Pocut sigap menampilkan gestur telapak tangan mendorong, sehingga dengan tersipu Nay meraup balik uang itu. "Terima kasih, Nek. Oh! Emak tadi bilangnya mau beli kembang—apa begitu. Lupa. Ada keperluan apa ya, Nek?"
"Sampaikan saja ke emak kau," Pocut merapikan letak selendangnya dengan satu tangan, sedang tangan yang lain menjinjing kresek, "mohon maaf lahir dan batin dariku."
Nay pun mengernyit. "Lebaran kan masih lama, Nek. Kenapa Minal 'Aidin duluan?"
Pocut sekadar tersenyum sopan, sebelum kemudian berbalik dan undur diri.
Di belakangnya, Nay menggeleng terheran-heran, mengedikkan bahu, lalu kembali mengencani gawai yang terabaikan.
Tak terasa, udara berubah menggelongsorkan suhu.
Jalanan sudah sepi. Pocut bisa leluasa menyeberang. Lantaran hawa dingin yang sampai menembus baju, belanjaan tadi dibawanya bersedekap. Langit menggelap. Jala kemerahan rekah di ufuk barat. Kawanan kecoak itu pasti telah menunggu. Ia menggegas langkah.
Pocut menutup gerbang, menjejak ke teras depan.
Ubin marmer putih tulang menghampar. Sepasang jendela bersanding di kedua sisi pintu. Di kiri teras, tersusun seperangkat kursi dan meja bundar dari rotan.
"Duh, Bang, garasinya belum ditutup itu!" Pocut berteriak kepada Kasan, menaruh belanjaan di meja bundar, buru-buru menutup garasi.
Sejumlah kecoak ternyata sudah mengadang di teras. Pocut langsung menyemprotkan disinfektannya ke sepenjuru. Tong sampah di pinggir, kolong kursi dan meja rotan, sela-sela vas bunga; tiap sudutnya disemproti.
Di ruang tamu, salah seekor kecoak hinggap di lengan baju kurungnya. Namun, tak seperti kebanyakan perempuan yang bakal menjerit jijik, Pocut dapat dengan tenang menyingkirkan serangga kotor itu, menjatuhkannya ke lantai, untuk secepat kilat menyemprotnya. Pantang baginya menginjak. Kasan pernah memperingati. Sebab, di perut kecoak terkandung cacing berbahaya yang dapat dengan mudah menerobos kulit manusia. Pocut tak mendapati suaminya di sana. Ia melangkah ke ruang keluarga. Televisi menyala. Ah, di sini rupanya.
"Bang, makin hari makin banyak saja kecoak yang masuk. Baygon di warungnya Midah habis. Abang maukah mengantarku besok ke pasaraya?"
Pocut sudah dapat menebak, Kasan pasti tidak menjawab. Suaminya itu hanya menoleh barang sebentar, lantas kembali ke layar kaca.
Kecuali televisi, keheningan menguasai ruangan itu seketika. Tepatnya, menguasai rumah itu seluruhnya.
Pocut hanya mampu menghirup-embuskan napas. Perlahan. Dan, panjang.
Kecewa, tetapi sungguh ia tak sanggup terima bila nantinya beroleh dalih.
Sedih, tetapi ia sendiri gamam pada apa yang mesti dilaku selain merelakan diri pasrah.
Marah, tetapi ia pun tak kunjung mengelak karena percaya itu hanya buang waktu belaka.
Tidak membiarkan luruh sedu sedan adalah satu-satunya upaya....
Rumah satu lantai itu kini hanya ia dan Kasan yang menempati. Tentulah Rizal, putranya, selepas menikah memutuskan berdikari. Pocut dan Kasan sejatinya ingin anak angkatnya itu membangun rumah dekat-dekat sini, tetapi apalah daya Rizal terikat pekerjaannya. Alhasil dengan berat hati disetujuilah Rizal bermukim di ibukota provinsi. Syukurlah Rizal rutin berkunjung saban bulan, juga menghabiskan Lebaran di sini. Jadi, sejujurnya, tak ada yang perlu dirisaukan.
Akan tetapi, di depan sana, sebentuk kepastian: hari tua tengah menanti serupa salju sehabis gugur. Ya, demikianlah Pocut meyakini, menyadari satu demi satu denyut di rumahnya berai, rangup, untuk kemudian beku seiring waktu. Kendatipun Rizal tak mangkir beranjangsana, memboyong istri dan dua orang anak, tetap saja, Pocut tak pernah jeda merindu. Merindukan masa-masa saat rumah itu masih riuh dirubung canda.
Lantas, coba, tengoklah sekarang. Senyap. Sunyi hampir menyusup setiap jengkalnya. Gerisik dedaun tanaman di pekarangan bahkan mengentarakan. Apalagi di dalam. Celepik sesuatu pasti dengan gamblang dikenali. Dengung kipas angin di ruang keluarga, desis kulkas di dapur, derap langkah, derit pintu—semuanya menusuk kuping. Ditambah fakta bahwa penataan perabot yang terkesan membuat lapang ruang, Pocut merasa kegemingan ini malah salah.
Mengusik.
Semakin mengganggu.
Diperparah, lenyap sudah pesona jenaka lelaki itu. Seringai jail di wajah yang nyaris tak pernah dibingkai cambang itu pun lesap bagai biduk terisap riak. Kasan yang sekarang gemar menonton televisi tanpa benar-benar menyimak, gonta-ganti saluran tanpa seinci pun melirik remote, hanya mengulum senyum sewaktu diajak berbincang, paling maju semata anggukan atau gelengan.
Mungkinkah Kasan berubah akibat kemunculan kecoak-kecoak itu?
Gelenganlah jawabnya.
Senantiasa.
Di lain pihak, ia sebetulnya yakin suaminya itu baik-baik saja. Masih bugar meski tak lagi lari pagi, tak serta-merta temperamental, muka yang tak pernah muram, makan tepat waktu. Ya, sangat yakin.
Dirinyakah yang tidak baik-baik saja?
Ia rasa, dirinyalah yang memang tidak baik-baik saja.
Barangkali....
Kasan masih di sana. Pocut melanjutkan pembasmian ke dapur. Perlu ekstra waktu dan disinfektan, mengingat jumlah kecoaknya terbilang kurang ajar. Pocut menyasar kolong meja makan, sekitar kulkas, bawah meja kompor, seputaran dispenser. Satu per satu makhluk bersungut panjang itu pun terkapar. Perlakuan yang sama juga diperbuat di kamar tidur utama.
Beres, Pocut kemudian duduk di sofa panjang ruang keluarga, bersisian di samping Kasan. Lelaki itu jelas tak mengganti sikap, tetapi Pocut tetap membuka obrolan.
"Malam ini kita makan dendeng balado yang kubuat tadi siang saja ya, Bang. Lepas magrib akan kupanasi."
Tak ada respons. Dengan lembut Pocut merampas remote dari genggaman Kasan. Sesuai prediksi, Kasan hanya bergeming. Begitupun saat ia mematikan televisi, Kasan hanya tersenyum. Bahkan, sewaktu ia menggenggam tangan lelaki yang amat dicintainya itu, lelaki yang membersamainya puluhan tahun dalam bahtera pernikahan, orang terakhir yang diharapkannya beranjak dari nisan di hari pemakamannya kelak. Kasan ... tak ada perkembangan. Sampai pada akhirnya azan magrib berkumandang. Pocut beranjak ke kamar mandi, mengambil wudu.
Di kamar tidur utama, Pocut menunaikan ibadah salat. Seorang diri.
Setuntasnya, dalam tengadah tangan memanjat doa, setetes kristal bening jatuh dari sudut netranya. Tangis. Yang meski tanpa suara, runtuh semakin deras.
Sederas kemarau yang, bagaikan selamanya, akhir kata tutup buku. Sebab saat ini, tak terbantahkan tampak dari jendela kamar, hujan mulai mengguyur dengan lebat, bertubi-tubi menghunjam bumi.
Dan, hujan yang anomali serta sebotol pembasmi serangga adalah hal terakhir yang Pocut pandang, sebelum semua menjadi lengang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top