Bagian 1

Melalui kemarau, yang semestinya telah bertolak namun tak jua memperkenankan awan kelabu menyerbu, komplotan kecoak itu datang tanpa ba-bi-bu.

Enam sampai tujuh sewaktu subuh. Empat sampai lima tatkala siang. Sepuluh sampai sebelas menjelang magrib. Tak kurang dari sekodi bila ditotal. Itu baru sehari. Sudah empat puluh satu hari terakhir, persisnya, itu berlangsung. Menyerang teras depan, ruang keluarga, kamar tidur utama, juga dapur. Menggerogot keasrian sebuah rumah bercat hijau zaitun. Seolah, sekoloni makhluk yang konon ditemukan selamat pasca-dibom-atomnya Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II tersebut punya agenda rutin untuk bertamu.

Demikianlah, Pocut coba memahami. Berapa ekor, kapan, di sudut mana saja kecoak-kecoak dewasa itu bersuaka. Ibarat seorang dokter yang meresepkan dosis, alam meresepkannya pula kepada Pocut. Dengan perumpamaan: insektisida sebagai obat, rumah hijau zaitunnya sebagai pasien, dan kegusarannya sendiri selaku simtom.

Entahlah, apa pasal anomali itu timbul. Tidak Pocut, pun tetangga yang dianggap ahli ketika dimintai pendapat mengetahui. Segerombol insekta bersungut panjang tersebut bak digelontorkan secara magis oleh langit, menginvasi rumah minimalis tersebut begitu saja.

Sore ini, sekitar pukul empat. Pada warung kelontong tepat di seberang jalan depan rumahnya, "Stoknya masih ada?" Pocut bertanya.

"Tunggu!" pekik gadis penjaga warung, tersentak, dari sebalik meja-etalase kayu setinggi perut. Sadar siapa yang datang, dilepaskannya jua gawai dari mata dan genggaman. "Sebentar ya, Nek."

"Tak apa, Nay." Pocut memaklumi. Atap teras tempatnya berteduh berfungsi baik. Baju kurung jingga pupus yang melekatinya tak harus lengket oleh keringat.

Nay pun balik badan. Membelakangi Pocut. Menghadap rak kayu besar yang membidangi satu dinding warung. Merunduk. Berlutut tepat di muka rak berlabel "Kamar Mandi". Banjar yang depan telah dikuasai sabun dan sampo. Dipinggirkannya tabung-tabung itu sebelum menjulurkan sebelah tangan masuk ke dalam. Terus, merogoh, hingga lengan atasnya pun turut terbenam. "Kayaknya masih sisa deh satu," gumamnya sambil terus menggapai-gapai.

Jika tak kadung terpaksa, Pocut tentu enggan menyuruh Nay menyurukkan tubuh sedemikian rupa, hingga seragam SMP gadis berkulit sawo matang itu lusuh dibuatnya.

Lihatlah. Barang-barang, aneka kebutuhan harian rumah tangga, bersitumpat; seperti buta pada betapa krusialnya kesan pertama. Warung yang hanya terdiri dari sepetak ruang itu sudahlah sesak, ditambah rentengan saset yang bergelantungan pada bentangan tali di langit-langit, menjadikannya berkali lipat pengap. Plus, semrawut. Semua bagai saling sikut berebut pikat.

Pocut menyanggakan punggung pada meja-etalase. Bagaimanapun, ia menolak mengeluh.

Sembari menunggu, ia membawa pandang ke jalan besar di hadapannya. Rambu lalu lintas yang minim, tersebab keterpencilan. Markah jalan yang pudar, diampelas usia. Aspal yang sebagiannya compang-camping, mendamba perbaikan. Yang, pada dini hari nanti, truk-truk tronton pengangkut sembako (dari Jawa yang bakal mengedari Sumatra) baru akan menggaduhkannya. Tiada yang lebih dirutuk Pocut selain bukan main ugal-ugalannya para sopir truk itu di malam buta.

Sementara, sekarang, selagi kemarau panjang seperti ini, kendati mentari semakin gemas menghampiri peraduannya, hanya anginlah pendamping tunggal gerahnya suasana. Menghamburkan debu dan kerikil ke sana kemari. Mendesaukan pepohonan jati yang menyemaki lahan-lahan kosong di tepi. Menjawili selendang brokat jambon di kepala Pocut hingga menyingkapkan rambut berubannya. Selebihnya, lengang.

Sehelai daun jati, ranggas, teronggok di aspal panas, diolak angin, terkatung-katung disabung gersang.

Di kejauhan, tampak genangan air berkilap-kilap; fatamorgana.

Apa mau dikata. Warung kelontong ibunya Nay inilah opsi tersisa. Tak banyak orang membuka usaha di pinggiran kabupaten begini. Lagi pula, buat apa ke pasaraya (serbaada tetapi jaraknya hampir satu jam berjalan kaki) hanya untuk beli sebotol pembasmi serangga?

Pocut mulai karib dengan osteoporosis. Umur sudah kepala enam. Berjalan kaki nyata bukan solusi. Angkutan umum apalagi (tak sudi menjangkau wilayah pinggiran begini). Mobil? Telah dihadiahkan kepada Rizal, putranya. Sepeda motor? Pocut tertawa. Kasan, suaminya, adalah pengharapan satu-satunya akan hal ini.

Ah, Kasan, batinnya. Pocut langsung dibikin tersenyum. Galur-galur penuaan di wajahnya mencuat.

Dan, tak ubahnya remaja pubertas yang digombali pujaan hati, ia terkikik.

Sepeda motor, Kasan, dan dirinya....

Kasan telah gagah di jok depan. Pocut menyusul duduk di boncengan, menyamping—menyesuaikan songket dan baju kurung yang membaluti. Pada satu motor bebek merah-hitam. Di kesyahduan langit rembang petang. Kemudian, laksana sudah tradisi, selalu sebelum berangkat, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda daripadanya itu lekas menyambar lembut kedua tangannya. Meletakkannya di pinggang. Membiarkannya mencengkeram. Meneguhkan sebidang punggung. Seakan, pada permukaan jaket parasut cokelat di badan kekar lelaki itu, telah terstempel garansi rasa aman bagi tubuh kurus Pocut untuk bersandar. Lalu, Kasan pun membisiki, "Siap?"

Tanpa ragu lagi, Pocut tiup-tiupilah tengkuk jenjang Kasan yang tak terlindung jaket. Menggelinjanglah sekujur tubuh lelaki itu, takluk terhadap geli. Tawa pun rebak membahana. Tanpa ungkapan, tanpa sentuhan yang berpeluang menjerumuskan, semata liukan udara yang didesirkan setangkup bibir. Ya, selugu itulah cara Pocut merespons "Siap?" tadi. Bukti, terlampau bernyawa cinta yang ia pumpun untuk lelaki berambut cepak tersebut.

Ganti Kasan yang membalas, dengan menoleh ke belakang, tepat ke paras jelitanya yang dibingkai selendang brokat jambon. Merekahkan selengkung senyum. Memamerkan lesung di pipi. Menatap Pocut tepat di inti netra. Mengunci tatap lekat-lekat. Menyelami kekasihnya. Menganggap dunia tak lagi menarik. Satu, dua—sekian detik. Dan, klik. Lantas berbalik. Memakai helm—begitupun Pocut di belakang. Menaruh genggam di setang kemudi. Pandangan lurus ke depan. Barulah dengan mantap melecut gas. Asap menjejas dari knalpot. Roda bergulir dan bersicepat. Siap membawa Pocut ke mana saja. Kecepatan rata-rata. Tak pernah tergesa.

Malahan, sudah sedari kencan pertamanya dengan Kasan, masa-masa lelaki itu kuliah Peternakan dulu, tabiat manis tersebut tidaklah lekang.

Roman muka Pocut serta-merta berseri.

"Hei, jangan berseri-seri," goda Kasan suatu sore, bersantai di teras depan sepulangnya kerja. "Pipimu kelihatan gendut."

Menghidangkan segelas susu sapi hangat untuk Kasan, Pocut menepuk-nepuk pipi, coba membuktikan.

Kasan tersedak. Lantas, tertawa.

"Memang apa salahnya?" Pocut meninggikan suara, masih menepuki pipi dengan raut kelewat sebal. "Apa hubungannya wajah berseri-seri dengan pipi yang kelihatan gendut?"

Kasan mengerling. "Nanti matamu bakal ketindihan pipi tembammu itu lho."

"Hah?"

"Aku khawatir, kamu harus kerja keras buat melototi wajahku yang ganteng ini."

Pocut menyukai alangkah humoris lelaki itu. Memang, Kasan terbilang ceriwis. Namun, tentulah bukan serupa keripik kentang yang dikemas terlampau kembung untuk kemudian memerosotkan ekspektasi konsumennya. Guyonan Kasan, menurutnya, reflektif dan tak tertebak. Umpamanya seorang perempuan, televisi di ruang keluarga pasti sudah mencemburui Pocut manakala Kasan sedang beraksi.

Apa pun dapat jadi bahan kelakar. Mulai dari gesper Pak Lurah yang sebesar sabuk jawara tinju. Pembaca berita yang bersin saat siaran langsung. Nay yang suka cekikikan sendiri selagi asyik dengan gawainya. Midah, ibunya Nay, yang hobi berganti warna rambut meski tahu raga telah nyaris separuh abad. Kecoak yang selalu kentut setiap lima belas menit sekali. Sampai pada alasan ngawur perihal mengapa kaum adam diciptakan berputing padahal belumlah jelas apa faedahnya.

Tidak saja berakhir terpingkal-pingkal, Pocut bahkan pernah kelepasan mengompol. Angkat tangan pada bakat terpendam Kasan. Yakni, tidur telentang persis kecoak terbalik pada sofa panjang di ruang keluarga, dengan mata setengah tertutup, mulut menganga, dan dengkur menyala parau setelahnya.

Kasan pun akan amat sulit dibangunkan, kecuali,

"Bang! Bangun, Bang!" Pocut menjerit-jerit, menggelitiki telapak kaki suaminya. "Ada kecoak!"

Heboh, bersaltolah Kasan dari tidurnya, berdiri dan hormat gerak, membelalak, lalu berseru dua kali lebih seru ketimbang seruan sang istri, "Mana kecoaknya? Mana?!"

Bersilang tangan di depan dada, Pocut tersenyum puas mengarahkan dagu ke televisi.

Bersungut-sungut, Kasan terduduk lemas meredam emosi.

Barangkali, Kasan-lah satu-satunya manusia yang bercita-cita menjadi peternak kecoak.

"Kecoak bisa dibikin susu ya, Bang?" Pocut menceletuk.

Mengerti yang dimaksud sang istri, berbinar-binarlah raut muka lelaki itu. Pada layar televisi 21-Inch tersebut, diberitakan bahwa di masa depan kecoak dapat dijadikan suplemen alternatif sejenis susu. "Ya-ya!" soraknya kegirangan, mengguncang-guncang tubuh diam Pocut yang duduk berkerut kening.

Pocut, anehnya, justru memutar mata, berlagak tak antusias, membuang muka ke pojok ruang yang dinding dan perabotnya serba-hijau-limau itu.

"Hei, kecoak bergizi juga lho." Menyeringai jail, Kasan coleklah dagu istrinya.

Pocut mendelik, "Masa'?" yang ujung-ujungnya, tersenyum.

"Kristal protein yang ada di susu kecoak mengandung lemak, gula, asam amino, dan nutrisi lain empat kali lebih banyak dibanding susu sapi!"

Pocut manggut-manggut saja mendengarkan. Sebab, bila kecoak telah tersaji sebagai topik perbincangan, Kasan seringnya lupa bahwa dirinya tak lebih ibu rumah tangga biasa yang ijazah tertingginya pun cuma SMP. "Kecoak bukannya bertelur ya, Bang?"

"Ada satu spesies yang melahirkan. Diploptera punctata—," Pocut tertegun, mengamati, alangkah berapi-api gestur dan intonasi Kasan saat menerangkan, "—diolah jadi semacam ragi. Hebatlah pokoknya."

Pocut menggeser duduk lebih dekat, merebahkan kepala ke samping, perlahan. "Bakalan nangkring di warungnya si Midah dong?"

"Hmm, tidak...," Kasan tersipu, salah tingkah, mengotak-atik mangkuk tembikar kecil pada meja di dekatnya, "secepat itu juga." Sampai pada akhirnya, ia tuntun jua kepala Pocut agar terbaring nyaman di pangkuannya.

Terpejamlah Pocut serta-merta, bagai bayi dininabobokan, damai merasai jari-jemari Kasan bertualang di rambutnya. "Kenapa?"

"Kristal protein di ususnya kecoak diambil—hmm, rumitlah prosesnya. Lama. Belum biayanya, mahal. Kalaupun si Midah itu jual sebotolnya, kaya mendadaklah dia."

"Maniskah rasanya," Pocut kian terhanyut menikmati belaian itu, "susu kecoak itu?"

"Hambar seperti—"

Tak lagi menyimak, Pocut paguti punggung tangan Kasan dengan telapak tangannya, merabai debur tak beraturan napas lelaki itu di telinga, mengintimi detak jantung yang tak keruan itu seiring jemari yang telah labuh di dada bidang sang suami.

"—bakal pikir-pikir dulu deh buat nulis 'susu kecoak' di kemasannya."

Pocut terkekeh menanggapi.

"Eh," Kasan beringsut, bermalih tatap ke televisi, "kecoaknya hilang tuh."

Pocut buru-buru bangkit, sekenanya merapikan rambut. "Kecoak yang di acara berita tadi?" cecarnya kebingungan. "Kan lagi iklan itu, Bang."

"Pindah ke sini maksudnya."

"Hah?"

Terbahak-bahaklah Kasan, mengayunkan sebutir kurma dari mangkuk tembikar kecil tadi ke arah mulut lalu bersiap-siap hendak melahapnya.

"Bang! Belum magrib!"

Dan, begitulah. Perang gelitikan itu berlanjut hingga nanti tiba waktu berbuka puasa.

Tak sampai di situ saja. Di momen-momen lainnya, Kasan kerap pula bersenandung. Melagu dengan kata-kata puitis gubahan sendiri. Meminjam syair sembarang pujangga untuk diimprovisasi sekehendaknya. Fals, sudah pasti. Kacau, jangan ditanya. Tak ayal berterbanganlah kupu-kupu di perut Pocut kala dirayu sebegitu lucu dan romantisnya. Yang, dengan mati-matian dalam bungkam keterpukauan, ia tutupi dengan menunduk. Malu-malu, yang acap kali berbuah mau.

Maka, Pocut tak akan lelah tergelak. Menderaikan tangis bahagia. Menabur syukur di tiap doa. Entah itu ketika Kasan memberi sanjung pada dendeng balado racikannya. Menggodanya yang sedang serius menjajal bermacam rupa selendang brokat di pasaraya. Menyeka peluh di dahi selepas penat mencuci dan mengepel. Atau memujanya ibarat masihlah dara tatkala berlenggak-lenggok berbaju kurung sebelum menghadiri suatu walimah. Juga, perwujudan malu-malu tetapi mau tadi: saat-saat privat di balik kelambu....

"Nek, tinggal satu, nih."

Lamunan Pocut sontak bertemperasan bagai istana pasir yang dilamun ombak. Menggeleng, dikerjapkannya mata. Kemudian, berbalik menghadap warung.

Bertunaslah sejumput kecewa di hatinya begitu tahu apa yang Nay sodorkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top