6. Pria Menawan yang Muncul Tiba-Tiba

“Setelah kamu menyelesaikan bagian ini, kamu bisa melanjutkan penelitianmu sampai tahap akhir.” Profesor Singh menyerahkan kembali draf tesis Veranda padanya. Wanita itu lebih cocok membintangi film box office di bioskop karena parasnya yang mengingatkan Veranda akan aktris-aktris India berwajah rupawan. Tetapi, beliau memilih menjadi pengajar sekaligus peneliti di Cambridge. “Kamu bisa melakukannya dalam seminggu ke depan, Vera?”

Yes, Ma'am,” jawab Veranda cepat. Profesor Singh tersenyum puas mendengarnya.

“Senang bisa melihatmu kembali seperti dulu, Vee.” Profesor Singh menautkan kedua tangannya yang terlipat rapi di atas meja. Dari sekian orang yang mengenal Veranda secara pribadi—di luar petugas administrasi universitas di mana Veranda sering berinteraksi untuk mengurus dokumen penunjang pendidikannya—hanya Profesor Singh yang mengetahui jika status pernikahannya baru saja berakhir di meja sidang. “Well, apapun itu, kuharap kamu terus menemukan semangat seperti sedia kala. Kamu salah satu mahasiswa saya yang paling menonjol, jadi sayang sekali jika potensimu kurang bisa dimaksimalkan karena insiden yang baru-baru ini kamu alami.”

“Saya juga berharap begitu,” balas Veranda seraya mengulum senyum. “Terima kasih atas bantuan Anda selama ini, Ma'am, saya pamit dulu.” 

Veranda selesai membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja, seperti beberapa buku literatur dan pulpen, lalu berpamitan pada pembimbingnya. Ia beranjak dari ruangan yang hangat berkat pemanas ruangan elektrik bertenaga tinggi tersebut, lalu mendorong pintu berdaun ganda menuju ke luar dengan pundaknya. Namun, alangkah terkejutnya Veranda, saat ia mendapati jika seseorang menarik pintu tersebut dari luar, hingga ia terjerembab ke depan.

“Stop bothering me, Mate—”

Sepasang tangan menangkap tubuhnya, ketika Veranda sedikit oleng. Ia menyadari teman sekelasnya, Edgar Wilson, menyandarkan lengan di daun pintu agar mereka berdua tidak sama-sama limbung. Lalu ia berjongkok di hadapannya untuk mengambil buku-buku Veranda yang jatuh. Mereka berdua memang tidak cukup akrab karena tidak berada dalam lingkaran pertemanan yang sama. Orang-orang berkulit putih seperti Edgar, sering kali terlihat bergerombol dengan sesama Caucasian. Sedangkan Veranda berteman dengan orang-orang Asia; terlebih lagi jika mereka sama-sama orang Asia Tenggara, seperti Teresa dan Sand—Phassakorn Rhattanon. Kesenjangan budaya yang membentang antara budaya timur dan barat  membuat mereka tertarik pada kutub-kutub yang saling berseberangan. 

I apologize,” ucap Veranda cepat pada Edgar. “And to you too,” katanya pada seseorang di balik punggungnya yang menahan pinggang Veranda dengan tangan mengepal. Rupanya, pria itu cukup jentelmen karena mengerti gestur manner hands. Tujuannya agar mereka tidak bersentuhan secara langsung, terutama ketika Veranda tidak menginisiasi hal tersebut. “Are you both okay?”

No, are YOU okay?” ulang Edgar. “Maaf, tadi aku tidak tahu kalau ada orang di dalam.”

“Terima kasih, maaf merepotkan.” Veranda yang telah menemukan kembali keseimbangan, memisahkan diri dari pria di belakangnya demi menerima barang-barangnya yang diambilkan Edgar. Sudah semestinya Veranda berterima kasih atas bantuan Edgar, karena kehamilan membuatnya agak kesulitan untuk jongkok. 

“Nggak, sudah seharusnya aku tanggung jawab,” sanggah Edgar. Ia mengibas-ngibaskan sampul buku Veranda yang terkena debu hingga bersih seperti semula.

“Nggak apa-apa,” hibur Veranda. “Aku juga salah karena nggak—”

“Nggak, dia yang salah, kok,” potong pria yang tadi datang bersama Edgar. “Harusnya mendahulukan yang keluar, bukan yang masuk. Tapi dia tadi langsung nyelonong ke dalam ruangan Profesor Singh tanpa mengetuk pintu dulu.”

Geez, memang aku selalu salah di matamu, ya?” gerutu Edgar. Melihat kebingungan Veranda, dia buru-buru menambahkan dalam bisikan rendah, “Dia teman sekamarku, tolong abaikan saja.”

“Oh…” Veranda memandang mereka berdua secara bergantian, lalu membungkukkan badan. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Sampai ketemu di kelas, Wilson.”

Veranda yang terburu-buru pergi, tak mendengarkan sisa percakapan antara Edgar dan temannya. Teresa janji akan menemaninya belanja pakaian karena beberapa kemejanya mulai terasa sesak. Mereka harus buru-buru demi mengejar bus yang akan melewati halte dekat jurusan sejarah dalam beberapa menit lagi. 

“Mundur, Ollie, dia sudah menikah. Jadi jangan kepikiran yang macam-macam,” gertak Edgar saat menyadari temannya sama sekali tak mengalihkan pandangan dari punggung Veranda hingga dia menghilang di belokan. Pria yang menjadi teman sekamarnya sejak sekolah menengah atas di sekolah asrama khusus pria tersebut hanya cengar-cengir mendengar teguran Edgar.

You sure about that?” tanya Ollie seraya memicingkan mata. “Kok aku nggak lihat cincin kawin di jarinya, sih?”

“Bangsat!” umpat Edgar. Mereka berdua tahu makian tersebut lebih ditujukan untuk bercanda. “Sempat-sempatnya ngamati jari orang segala. Udah lah, Mate, cari cewek lain aja. Aku tahu kamu seleranya sama orang Asia, tapi masih banyak kok yang lajang. Udah, aku konsul dulu ke Prof. Singh. Kalo mau sabar, tungguin aja di sini.”

Semestinya hari Jumat sore ini mereka nongkrong di Eagle, salah satu pub paling terkenal di kota Cambridge, untuk merayakan ulang tahun Aoife, teman satu pergaulan mereka. Tetapi, Edgar telah membuat janji sebelumnya dengan Profesor Singh, jadi dia mungkin akan datang terlambat. Sebagai bentuk solidaritas, Ollie memutuskan untuk menunggu Edgar agar mereka bisa berangkat bersama. Di samping itu, Ollie ingin menghindari Nora, sahabat Aoife yang dengan terang-terangan menggodanya, tetapi dia sama sekali tak tertarik.

Ah, siapa tadi namanya? Ollie tak sempat bicara banyak dengannya. Ia bahkan baru tahu jika Edgar memiliki banyak teman sekelas yang menawan. Pantas saja dia betah sekali kuliah di sini. Mulai sekarang dia akan sering-sering mampir, mengingat jarak antara Fakultas Hukum ke Department of History and Philosophy of Science bisa ditempuh selama kurang lebih 11 menit dengan berjalan kaki.

***

Hi! Kita ketemu lagi,” Veranda yang sibuk bercanda dengan Sand—karena Teresa masih mengantre makanan—di kafetaria, mendongakkan kepala saat mendengar sapaan itu. 

Seorang pria muda tampan berdiri di hadapannya, mengulas senyum indah yang dibingkai lesung pipit. Rambutnya berwarna cokelat terang, senada dengan mata dan tas selempang bahan kulit yang tersangkut di lengan kirinya. Veranda mengernyitkan kening. Ia tidak mengenal pria itu, dan ia terlalu tua untuk berkenalan dengan orang baru.

Pardon?” tanya Veranda. Ketika dirasa tak kunjung ada jawaban dari pria tersebut, ia menambahkan, “Can I help you?”

“Oh, maaf. Sepertinya kamu lupa dengan saya.” Pria itu terlihat salah tingkah dengan respons Veranda. Mungkin tak menyangka jika sosoknya bisa dengan mudah dilupakan, padahal kejadian itu baru berlalu tiga hari saja. “Saya teman sekamar Edgar. Kita baru aja ketemu Jumat kemarin di depan kantor Prof. Singh. Sudah ingat, sekarang?”

“Oh, saya ingat!” Matanya yang indah tampak membulat saat mengenali Ollie. Membuat pria ini bersorak kencang dalam hati. “Terima kasih sudah menolong saya hari itu,” ucap Veranda tulus. Lalu pada teman prianya yang duduk di satu meja, Veranda menjelaskan, “Dia teman sekamar Wilson.”

Teman Veranda itu mengangguk mafhum, “Aah, temennya Wilson. Kok kamu bisa kenal juga?”

Veranda menggigit bibirnya, mungkin kebingungan bagaimana harus menjelaskan relasi di antara mereka. Namun, gestur tersebut justru membuat jantung Ollie seperti sedang dipacu lebih cepat. 

Hari ini wanita idamannya terlihat sangat cantik mengenakan kemeja warna krem dirangkap dengan rompi abu-abu yang senada dengan rok midi. Kedua tangannya terletak di atas meja, tangan kanan menggenggam sendok, sedangkan tangan kiri menangkup di atas ponsel pintar, mungkin untuk memberi sedikit privasi karena layarnya tengah menyala, menampilkan pesan masuk terbaru di notifikasi sembulan. Tidak tersemat cincin kawin di sana. Bahkan aksesoris jari pun tidak terlihat. Dia hanya mengenakan anting sederhana dan arloji tali kulit di pergelangan tangan kiri. Dilihat dari dekat begini, wanita tersebut tampak semakin memukau. Membuat Ollie kian terpesona.

“Kamu ke sini mau cari Wilson?” tanya Veranda padanya. Pada teman sekelasnya, ia berkata, “Sand, tadi lihat Wilson, nggak?”

Ollie ingin sekali menyanggah jika tujuannya ke sini bukan untuk mencari Edgar Wilson. Ia bahkan dengan sengaja bertanya pada teman sekamarnya itu di mana dia bisa menemukan wanita yang mereka temui Jumat sore kemarin setiap harinya di lingkungan kampus. Tetapi, ia benar-benar terlalu canggung untuk memulai perkenalan dengan baik. Rasanya seperti semua kepercayaan diri Ollie sirna bersamaan dengan terbitnya fakta bahwa ia dilupakan begitu saja oleh wanita ini, di saat ia tak bisa tidur sepanjang akhir pekan karena sibuk memikirkannya. Ollie membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemunculan seorang wanita di meja tersebut yang meletakkan nampan makan siangnya dengan sedikit gusar, membuatnya mengurungkan niat.

“Aku benci menu makan siang ini karena ada labunya!” serunya kesal. Meski begitu, ia tetap mengambil sup butternut squash and red lentil di nampannya. “Siapa yang mau ikut ke McRonald habis ini?” tanyanya pada Veranda dan teman pria mereka yang tadi dipanggil Sand. Jika dilihat dari parasnya dan warna kulit, Ollie menduga jika mereka sama-sama orang Asia Tenggara. Hanya Sand yang mengangkat tangan dengan antusias. Ah, apa wanita kesukaan Ollie tidak tertarik dengan makanan cepat saji?

Can I have the ice cream sundae instead?” rajuknya. Mungkin ia sedang mencari cara agar bisa tetap nongkrong dengan mereka berdua sore ini. 

Perempuan yang baru datang tampak seperti hendak meledeknya, tetapi dari ekor mata, ia menyadari keberadaan Ollie yang berdiri di dekat meja mereka. Sehingga, untuk sementara topik pembicaraan tentang McRonalds jadi terlupakan. 

“Kamu siapa? Ada urusan apa? Kayaknya bukan anak sini deh, kok nggak pernah lihat.”

“Nggak boleh gitu, Tessa,” sergah wanita itu cepat. “Dia teman sekamar Wilson.”

Dengan mata dipicingkan, Tessa menatap Ollie lekat, “Wilson jarang kelihatan di kafetaria. Biasanya dia nongkrong di Trockel, Ulmann & Freunde bareng Murray dan Lopez. Atau, kalau dia memang teman sekamarnya, dia kan bisa kontak lewat telepon atau apa.”

“Tessa,” tegur Veranda. 

“What?” balas Tessa sengit. “Dia bisa aja stalker atau orang aneh, demi Tuhan,” desis Tessa dari sela-sela rahangnya yang terkatup rapat. Ia bahkan diam-diam mencengkeram lengan Veranda, sebuah bahasa tubuh dari para perempuan jika mereka tak nyaman dengan keberadaan laki-laki ini di meja mereka. 

Ollie tahu jika keberadaannya di sini tidak diinginkan. Maka ia tak perlu berlama-lama lagi dan membuat suasana menjadi semakin canggung.

“Nggak apa-apa,” gumamnya lirih. “Kalau begitu, saya pergi dulu. Senang bisa bertemu kembali denganmu.”

Ollie tak menunggu lama lagi untuk segera cabut dari kafetaria. Barulah ketika dia tiba di depan Trockel, Ulmann & Freunde, kafe yang letaknya tak jauh dari sini, ia menyadari jika ia melewatkan satu hal yang amat penting; bertanya nama wanita yang ia sukai serta memperkenalkan diri. Pantas saja ia dianggap stalker oleh teman-temannya. Ah, mengapa sulit sekali mencari kesempatan mengobrol dengan perempuan ini?

***
Ollie di sini jauh lebih sehat dan memiliki masa depan cerah, dibandingkan Ollie versi lama. Aku berharapnya sosok pria yang mendekati Veranda lebih keren atau minimal sama keren dengan Baskara, makanya kubuat dia sebagai calon jaksa muda di pengadilan negeri-nya UK. Karena balas dendam terbaik adalah dengan menemukan sosok yang lebih spesial dari mantan, jadi aku ingin Baskara dibuat insecure sama cowok yang naksir mantan istrinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top