4. Pikir Ulang
Sudah seminggu belakangan Veranda hampir tak pernah bangun dengan mata sembab. Hidupnya berangsur membaik, ia kembali menemukan semangat untuk melanjutkan hidup meski seorang diri. Tetapi, beberapa hari belakangan, ia seolah kembali ke titik nol, pada titik keterpurukan paling rendah setelah perceraiannya.
Saat Veranda dan Baskara sepakat untuk bercerai, ia menelepon budenya pada tengah malam waktu setempat. Di Indonesia sudah jam enam pagi, sehingga panggilan tersebut bisa langsung beliau angkat dalam beberapa deringan saja. Veranda lalu berbasa-basi sebentar, sebelum menyampaikan kabar utamanya. Mereka akan mengurus perceraian. Bude Veranda, wanita yang mengisi kekosongan figur ibu dalam kehidupan Veranda setelah kepergian ibunya, bahkan tak terlalu terkejut mendengar berita itu.
“Kalau itu sudah keputusan kalian, silakan saja,” jawab beliau datar. “Kamu nggak pulang aja ke Indonesia?”
Sejak mereka memutuskan menikah, budenya memang kurang merestui ikatan suci itu karena beliau tak suka dengan pria macam apa Baskara. Ia selalu meletakkan ibunya sebagai prioritas, bahkan di atas segala. Bagi Veranda, tak ada yang salah dengan laki-laki berbakti. Tetapi, Veranda jadi harus merelakan dirinya tunduk di bawah aturan serta segala keputusan yang Ibu Baskara buat untuk anak sulung beliau.
“Ceraikan saja istrimu yang mandul itu, lalu pulang. Kamu bisa dapat kerjaan yang bagus di Indonesia, dan Mama juga bisa kenalkan kamu sama anak-anak gadis teman Mama.”
Sayup-sayup Veranda mendengar perintah tersebut meluncur dari bibir ibu mertuanya ketika beliau berkunjung ke rumah mereka. Mereka berada di ruangan berbeda, tetapi dinding-dinding di flat-nya tak cukup tebal untuk membendung suara tersebut agar tak terdengar sampai luar. Veranda secara kebetulan sedang berada di depan unit tempat tinggalnya. Kunci flat sudah di tangan, siap digunakan untuk membuka pintu depan. Ia berencana untuk mandi sebentar dan mengambil beberapa barang sebelum kembali menghabiskan waktu di perpustakaan. Mungkin ia telah mendengar sesuatu yang tak semestinya diketahui, atau beliau memang sengaja mengungkit topik itu di saat Veranda tak di rumah. Tetapi yang jelas, ia sedikit kecewa karena Baskara tidak kunjung membantah perintah tersebut. Ia terdiam beberapa saat. Veranda bahkan menghitung dalam hati berapa lama waktu yang diperlukannya untuk berpikir, tetapi ia ternyata tak cukup sabar untuk menunggu, sehingga Veranda langsung kabur dari rumah tanpa masuk ke dalam.
Keputusan untuk bercerai yang diajukannya pun hanya diterima dengan pasrah oleh Baskara. Dia bahkan tak berusaha menahan Veranda agar jangan pergi. Tetapi, ia langsung membereskan barang-barangnya dalam diam lalu mencari tempat tinggal baru malam itu juga setelah permintaan talak Veranda dijatuhkan. Tempat yang sampai sekarang masih menjadi huniannya. Veranda pikir, setelah perceraiannya dengan Baskara selesai, ia kini bisa mulai memikirkan masa depannya sendiri, tetapi ia tak menyangka jika di sana ia menemukan sosok lain. Sosok yang akan terus mengingatkannya pada sang mantan suami. Buah hati mereka.
“Selamat, buah hati Anda kembar,” ucap dokter Lewis dengan mata terpaku pada monitor sonogram. “Ini yang pertama, ini kedua.”
Gel dan alat transducer yang menempel di perut Veranda terasa begitu dingin hingga membuatnya menggigil. Veranda mengikuti arah pandangan dokter Lewis di mana dia menunjukkan dua area gelap berbentuk kantong di layar. Teresa yang selalu ada di sampingnya menggenggam erat tangan Veranda. Ia bisa merasakan jika tubuh sahabatnya itu berguncang hebat, karena getarannya beresonansi pada dirinya sendiri. Pada titik ini, Veranda tak tahu siapa yang harus dikuatkan; dirinya sendiri atau Teresa, karena mereka berdua tampak sama-sama shock mendengar berita ini.
“Sejauh ini mereka terlihat sehat dan normal. Organ-organ tubuhnya telah terbentuk dan jika nasib kita mujur, mungkin dalam beberapa hari ke depan kita bisa mendengar denyut jantung mereka. Hanya saja, tubuh Anda terlalu kurus untuk ukuran ibu hamil,” pungkas dokter Lewis setelah proses pemeriksaan selesai dan ia membantu Veranda membersihkan sisa-sisa gel yang menempel di abdomen. “Ada keluhan lain?”
Awalnya, Veranda merasa canggung karena direkomendasikan ke dokter spesialis kandungan pria yang masih muda. Tetapi sejauh ini, dokter Lewis memperlakukannya dengan sangat bersahabat dan bisa membuat Veranda merasa nyaman sepanjang pemeriksaan ini.
“Tidak ada—”
“Dia terus-menerus mual dan muntah,” jawab Teresa. “Dan pilih-pilih makanan.”
Dokter Lewis menganggukkan kepala dengan atentif seraya mencatat semua secara saksama. Jika selama ini profesi dokter identik dengan tulisannya yang berantakan dan terkesan terburu-buru, tetapi dokter Lewis mencatat semuanya dengan rapi, seperti sedang menulis buku harian alih-alih catatan kesehatan pasien.
“Wajar, karena ini kehamilan pertama Nona Trika,” ucapnya santun. “Ditambah lagi karena kehamilan kembar, perubahan hormonal di dalam tubuhnya mungkin jadi sedikit lebih banyak ketimbang kehamilan tunggal. Saya sarankan untuk mencoba makan sedikit demi sedikit di pagi hari. Minuman hangat dan manis juga diperbolehkan, asal tidak terlalu banyak. Dan sesekali melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki atau gerakan senam sederhana juga sebaiknya dilakukan untuk mempersiapkan tubuh untuk memasuki kehamilan trimester kedua.”
“Permisi dok,” panggil Veranda lirih. “Apa saya boleh meminta waktu untuk berpikir kembali?”
Dokter Lewis menatap Veranda lamat-lamat. Ia tahu ke mana arah pertanyaan ini. Usia kandungannya baru 13-14 minggu. Di Inggris, permohonan untuk terminasi kehamilan yang tidak diinginkan berlaku hingga usia kandungan maksimal 24 minggu. Bagaimanapun juga, keputusan ada di tangan pasien, jadi ia hanya bisa memberikan pengarahan saja.
“Tentu, Miss.” Dokter Lewis meletakkan pulpennya, lalu meraih kalender meja yang ada di sisi kirinya. “Jika Anda berubah pikiran, atau jika keputusan Anda sudah bulat, Anda bisa datang kembali menemui saya maksimal dua minggu dari sekarang sebelum kehamilan ini memasuki trimester kedua. Semakin cepat dilakukan, semakin baik.”
Teresa mengantar Veranda sampai rumah, tetapi ia buru-buru pulang karena ada urusan, katanya. Veranda tahu, jika Teresa yang biasanya bawel dan berjiwa tante-tante itu sedang memberinya kesempatan untuk memikirkan keputusan ini baik-baik. Veranda langsung masuk ke kamar, membongkar lemari pakaiannya hingga menemukan buku tabungan di bawah tumpukan baju. Ia membuka buku tersebut, lalu menarik selembar kertas dari atas meja nakas.
Veranda menggunakan sepanjang hari itu untuk berhitung. Bagaimana pengeluarannya nanti jika ia mempertahankan kehamilan ini. Sejauh mana pemasukan ditambah dengan tabungan yang ada saat ini, bisa membantunya bertahan hidup. Lalu pada pukul tiga dini hari, di saat ia sudah amat lelah, Veranda berbaring di ranjangnya yang luas dan dingin, menggulir nama kontak di ponsel.
Dering pertama, dering kedua …
“Assalamualaikum, Nduk,” sapa Bude hangat dari seberang sana. “Jam berapa di sana, kok belum tidur?”
Veranda merindukan ibunya. Di saat seperti ini, ia ingin bertanya pada almarhumah ibu, apa yang akan terjadi pada beliau jika dia tak pernah dilahirkan. Veranda tak ingin suatu saat nanti anaknya akan datang dan mengatakan jika mereka menyesal terlahir dari ibu seperti dia. Menjadi orang tua memberinya tanggung jawab ekstra; tidak hanya kesiapan menjamin hidup yang layak, juga mempersiapkan mereka untuk terjun dalam dunia yang kejam.
“Kenapa kok diem aja?” tanya Bude Narmi. “Kamu capek?”
“Bude,” Veranda berdeham karena suaranya tiba-tiba serak. “Bude bahagia punya Mbak Indah, Mas Darwis, dan Mas Satya?”
Ketiga nama yang Veranda sebutkan adalah nama anak-anak budenya. Karena ia tak bisa bertanya pada ibu apakah beliau bahagia memiliki anak sepertinya, maka Bude Narmi adalah tempat terdekat yang bisa ditanyai tentang itu.
“Ya jelas bahagia tho, Nduk. Kenapa kok kamu nanya gitu? Kamu kangen ibumu?” Veranda terisak saat mendengar ibunya disebut oleh Bude Narmi. Ia yakin budenya itu mendengar suara tangisan tersebut, karena beliau lekas-lekas menambahkan, “Bude yakin almarhumah pasti bangga sama kamu. Kamu satu-satunya anak di keluarga kita yang bisa kuliah ke Inggris. Sebagai orang tua, kita cuma bisa melihat mereka tumbuh besar dan memilih jalan hidup masing-masing. Anak itu titipan, Nduk, jadi Bude cuma menjalankan kersane Gusti Allah. Kalau mereka nggak bahagia punya orang tua kayak Bude, semoga sekarang mereka bisa menemukan bahagia itu masing-masing.”
“Bude,” ucap Veranda di sela-sela tangisannya yang pecah. “Aku hamil.”
“Oalah Nduk,” seru Bude Narmi kencang. Beliau tampak terguncang mendengar pernyataan Veranda. “Anaknya siapa? Ibas? Kalian kan …” Tetapi ketiadaan jawaban dari Veranda semakin menguatkan dugaannya. “Biar besok Bude naik kereta ke rumah mantan mertuamu itu. Ibas harus tanggung jawab!”
“Bude, Bude,” sergah Veranda cepat. “Tolong jangan kasih tahu keluarga Mas Ibas dulu, ya. Tolong, Bude. Bude mau bantu aku, kan? Aku minta tolong, Bude.”
Hening seketika mengisi kekosongan antara keduanya. Bude Narmi terdengar menghela napas beberapa kali, sedangkan Veranda kembali menangis sesenggukan dari balik telepon. Ketika Veranda sudah terdengar jauh lebih tenang dan Bude Narmi telah berpikir jernih, beliau berkata lagi.
“Selesaikan sekolahmu, pulang ke Solo. Jangan hubungi lagi mantan suamimu itu. Pindah rumah, kalau perlu. Ganti nomor telepon. Soal uang, besok lusa pas Mas Satya pulang ke rumah dari Lombok, Bude mau suruh dia buat transfer uang ke nomor rekeningmu. Nanti kirim ke Bude berapa nomor rekeningnya, atau gimana cara transfernya, biar Mas Satya yang urus. Udah, kamu jangan khawatir ya, Nduk. Sing sabar. Kamu harus kuat. Itu anakmu, Ibas nggak berhak tahu kabarmu dan jabang bayi itu.”
“Anak-anak, Bude,” ralat Veranda. “Aku hamil anak kembar.”
“MASYA ALLAH! Pak! Bapak! Sini!” teriak Bude Narmi memanggil suaminya. “Veranda hamil anak kembar. Kita mau punya cucu lagi.”
***
Memasukkan keluarga Veranda dalam cerita ini juga tampaknya jadi keputusan yang tepat buatku. Karena, yang bisa ngelawan emak-emak macam Bu Wigati, ya emak-emak juga. Bude Narmi adalah embodiment ibu-ibu Jawa yang hobi maido (ngatain orang), terutama kalau anaknya sendiri yang diusik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top