✨ R e J o [ 9 ] ✨
***
Hormon apa yang membuat diriku jadi malas belajar?
***
Azan subuh belum berkumandang, Hana terbangun dari tidurnya hendak menuju kamar mandi. Namun, belum juga sampai wanita itu mendengar suara di ruang tamu. Langkah kakinya terhenti saat suara yang terdengar itu juga terhenti.
"Ahhh!" Suara itu terdengar lagi. Hana berjalan dengan pasti. Lampunya masih padam tapi terdengar suara gemericik air.
Baru saja tangan Hana menyentuh saklar lampu, orang yang membuat suara di subuh hari berbalik dengan wajah yang tampak lesu, lingkar bawah mata yang gelap, dan ada bekas liur mengering di pipinya. Remaja itu merendam kakinya di ember sambil memegang buku dengan sampul burung Garuda di tangan kirinya. Ponsel di tangan kanannya masih menyala.
"Astaga Bastian! Emak hampir mati muda!" teriak Hana memegang dadanya.
"Muda dari mana Emak?"
"Nggak usah diralat, emang kamu ngapain subuh-subuh di ruang tamu mana kakinya di rendam air, kamu nggak kesurupan kan?" tanya Hana yang langsung memegang kepala Bastian dan dibacakan ayat pengusir setan.
"Emak, Bastian lagi belajar," kata Bastian sambil mengangkat bukunya. Hana malah semakin keras merapalkan ayat-ayat yang dihapalnya. Bastian belajar artinya ada yang salah.
"Dih Emak, anakmu yang ganteng ini mencoba ambis," ucap Bastian yang menguap di akhir kalimatnya. Masih tak percaya Hana memegang wajah anaknya. Tak ada hujan tak ada angin Bastian bertingkah berbeda dari biasanya.
"Ini kamu kan?"
"Iya Emak sayang," ucap Ibra lalu mengeluarkan kakinya dari ember
"Lalu kenapa gelap-gelapan?"
"Bastian lupa Emak, nih makanya megang hape buat baca."
"Masih muda malah udah pelupa." Hana menepuk jidatnya.
"Terus air itu buat apa?"
"Ini tuh saran dari sosmed, Emak. Katanya kalau kaki direndam air terus sambil menghapal di subuh hari jadi cepat hapal, makanya Bastian bangun subuh," jelas Bastian.
"Jadi udah hapal dong."
Bastian menggeleng dan tersenyum.
"Belum, Mak."
"Udah keramas, Ma?" tanya Herman yang baru keluar dari kamar menggunakan sarung merk gajah kayang.
"Keramas?" tanya Bastian.
"Hehe, biasalah, Nak," kata Herman.
Bastian hanya bisa tersenyum kikuk.
"Yaudah lanjutin hapalannya," kata Hana.
"Lah, bukannya hari ini tanggal merah?" Herman melirik kalender partai di dinding rumahnya.
"Astaga iya, Emak lupa juga," kata Hana.
Bastian menganga tak percaya. Perjuangannya bangun subuh untuk menghapalkan materi yang akan ditest hari ini ternyata tidak berguna. Kenapa Bastian tidak memastikan tanggal dulu baru melakukan hal yang memakan waktu ini. Bastian menunduk pasrah. Melihat ibunya pelupa mengingatkannya dari mana sifat pelupa itu turun kepadanya.
Tiba-tiba niat belajarnya menguap bersama otaknya yang mulai terasa mengambang. Rasa malas mulai menyerang, Bastian meletakkan bukunya di atas meja.
"Hormon apa yang membuat diriku jadi malas belajar," keluh Bastian yang hilang semangatnya.
"Sabar ya, Nak," kata Hana menyapu lembut kepalanya.
"Karena kamu semangat belajarnya Bapak akan...."
Mata Bastian berbinar.
"Bangga," lanjut Herman membuat bahu Bastian yang tadi naik kembali turun seketika.
"Tapi nggak ada yang sia-sia. Kan kalau kamu udh belajar hari ini Minggu ke depannya kamu udah di luar kepala," jelas Hana.
"Iya di luar kepala. Karena adanya di luar jadi yang di dalam kosong," kata Bastian menunjuk kepalanya sendiri.
***
Hari mulai siang, Bastian masih ada di ruang tamu. Pipinya yang mulai berisi itu tidur di atas buku. Suara ngoroknya mengisi ruang tamu tersebut. Indri yang lewat langsung menatap kakaknya tersebut dengan aneh.
"Ya Tuhan jauhkan Indri dari sifat malas seperti kakakku," doa Indri yang sengaja mengeraskan suaranya diujung kalimat.
Bastian yang sayup-sayup mendengar akhirnya terbangun, menatap wajah Indri dengan malas.
"Sana mandi, badanmu kecut," ejek Bastian sambil menguap beberapa kali. Bukan cuman ngantuk, dia sepertinya kekurangan oksigen di otak.
"Mulut kakak bau comberan," balas Indri lalu berlari dari hadapan Bastian, takut kena cubit.
"Kenapa rasa malas ini seperti pulau di Indonesia, sambung-menyambung menjadi satu." Bastian berdiri dari tempat duduk. Perutnya bergejolak ingin buang air besar.
"Mau berak pun rasanya malas banget buat jongkok," keluh Bastian yang berjalan lambat ke kamar mandi. Meski fesesnya sebentar lagi akan keluar.
Setelah melakukan ritual di kamar mandi Bastian keluar dengan wajah yang masih basah setelah dibasuh. Menggaruk kepalanya yang gatal disebabkan salah memakai shampo begitu pikirnya. Padahal itu terjadi karena Bastian jarang keramas.
"Aduh ngapain ya kalau libur gini," monolog Bastian.
Otaknya seolah berbisik untuk merebahkan dirinya di atas kasur lembut miliknya. Hatinya ikut berbisik membenarkan.
"Ini aku yang setan atau aku dirasuki setan."
Bastian bukan tak menyukai hari libur. Tapi hari seperti ini membuat hidupnya semakin tak berwarna. Kalau bukan rebahan dan scroll sosmed di ponselnya sampai panas, terus apa lagi?
Bagai dapat ide cemerlang Bastian tersenyum. Dia berpikir akan ke sungai tempat dia main dulu bersama Nola dan Ibra. Tentu saja dia akan mengajak kedua sahabatnya itu. Tanpa pikir panjang lagi segera dia ketikkan pesan mengajak di grup. Beberapa detik kemudian dijawab oleh Nola yang langsung setuju. Ibra masih mengetik entah dia mengetik apa hingga kejadian itu terjadi dua menit.
'boleh'
Itulah jawaban singkat yang diberi Ibra membuat Bastian geram.
***
Akhirnya mereka bertiga sudah berkumpul berjalan sebentar ke belakang rumah Bastian. Sekitar 200 meter dari pintu rumahnya. Perkiraan saja, siapa yang mau mengukur dan mau membuang-buang waktu.
Bagai monyet merindukan kekasihnya, mereka girang melihat air sungai yang jernih di siang hari. Tanpa basa-basi mereka langsung membuka baju.
"Gue lupa pake celana dalam," ucap Nola.
"Lupa atau emang lo nggak pernah pake celana dalam," ujar Ibra.
"Udah pake celana aja, jangan telanjang. Entar anumu digigit ikan, kasihan ikannya," kata Bastian membuat kedua sahabatnya itu tertawa.
Baru saja turun ke sungai, Aldi muncul dari seberang dengan memakai celana dalam motif manusia laba-laba.
"Kalian ngapain?"
"Anjir!"
"Kaget!"
"Tolong!"
Kata mereka yang terkejut bukan main. Nola bahkan mengelus dadanya yang rata sedangkan Ibra sudah jatuh ke dalam sungai. Bastian hanya bisa menghela napasnya yang sedikit memburu.
Bastian heran dengan tetangganya itu sekaligus takut. Tapi untung saja setelah bertanya tadi dia segera pergi sambil membawa dua ikan yang ditangkapnya siang itu.
Mereka akhirnya tenang mandi bersama. Mengobrolkan banyak hal. Hingga obrolannya berakhir pada bagaimana keadaan mereka kalau ketakutan akan tak lulus sekolah benar terjadi.
Mereka menolak, tapi bagaimana menyakinkan otaknya untuk bekerja sama kali ini. Mereka akhirnya sepakat bahwa mereka harus berusaha untuk lulus dengan nilai yang cukup karena berharap yang terbaik juga sepertinya mustahil.
***
Jangan lupa vote dan komen ya🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top