✨ R e j o [ 3 ] ✨

***

Belajar karena nangis
Nangis karena belajar

***

Aula yang tadinya ramai karena siswa-siswi kelas tiga, kini menjadi sunyi. Menyisakan tiga remaja yang tertidur pulas di lantai aula sambil berpelukan seperti membentuk kue lapis.

"Aduh! Syukurlah nggak hilang," ucap Ayna yang kembali masuk ke dalam aula karena lupa membawa buku sakunya. Baru saja ingin melangkah keluar, ekor matanya menangkap tiga remaja itu. Ayna mendekat dan sudah bisa menebak siapa saja mereka. Saat keluar tadi, Ayna tak nampak kalau Bastian, Nola, dan Ibra ini masih di dalam aula sebab para siswi lebih dahulu keluar dari aula.

"Astaga! Nih anak pada molor," kata Ayna yang kemudian tersenyum mengeluarkan ponselnya dan memotret mereka. Tampak Ayna lebih banyak mengambil wajah Bastian yang mulutnya terbuka.

"Woi bangun!" teriak Ayna yang duduk sambil menggoyangkan bahu Bastian tapi malah Ibra yang terbangun.

"Yang digoyang siapa, yang terbangun siapa." Ayna menatap Ibra.

"Gue di mana?" tanya Ibra yang kesadarannya belum pulih sepenuhnya.

"Di aula, Ibraaa!" jawab Ayna.

"Kok kosong kayak hati ini," ucap Ibra yang semakin ngelantur. Tangan kanannya menyentuh dada, dengan wajah memelas.

"Bas, bangun Bas!" panggil Ayna, tapi kali ini malah Nola yang terbangun.

"Udah selesai ya? Ceramah kepala sekolah," kata Nola sambil menguap diakhir kalimatnya.

Ayna mengangguk dan melirik Bastian, menyuruh Nola untuk membangunkannya. Ibra masih terdiam dan kini mulai menggaruk-garuk dadanya.

"Bastian bangun! Ada Bunga!" pekik Nola.

Tanpa menunggu, Bastian langsung berdiri seketika membuat mereka semua terkejut. Ibra sampai ingin terjengkang dari duduknya.

"Mana? Mana?" tanya Bastian antusias.

"Tapi boong," jawab Nola terkekeh dan Ayna hanya tertawa melihat tingkah Bastian. Gadis itu tak kaget kalau Bastian memang sangat menyukai Bunga sejak kelas dua SMA. Hal ini sudah menjadi rahasia umum yang hampir satu angkatan tahu. Apalagi dengan tingkah aneh ketiga remaja tersebut.

"Gue tampol, ya!" ujar Bastian.

"Kalian ini, bukannya dengerin kepala sekolah ngomong malah asik dengan mimpi-mimpinya." Ayna berdiri dan hendak ingin pergi.

"Ayna kok lama banget sih!" keluh April yang baru datang ke aula. Gadis itu langsung terlihat sinis menatap ketiga remaja tersebut.

"Ayna, pas kecil lo takut sama orang gila kan, terus pas gede kenapa lo malah gabung sama orang gila," ejek April yang menunjuk mereka satu persatu.

"Bilang aja kalau lo tergila-gila sama kita," ujar Ibra yang akhirnya berdiri dari duduknya begitupun dengan Nola yang tadi hampir melompat dikarenakan Bastian bangun.

"Mending gue gabung sama satpam sekolah dari pada remaja malas kek kalian!" hardik April yang kemudian berlalu sambil mendorong pelan tubuh Ayna.

"Besok ngumpul besti!" teriak Ayna sebelum keluar dari aula.

"Keknya cuma Ayna, cewek satu-satunya yang nggak galak sama kita ya." Bastian menatap kedua kawannya.

"Si Puspa juga kagak," ujar Nola.

"Ya karena dia sepupu loh bego!" bantah Bastian.

"Bye the way, belek lo gede banget." Ibra mendekat ke arah Bastian.

"Jangan sentuh!" Bastian mundur. "Karena laki-laki akan menangis, apabila ..."

"Apabila apa?" tanya Ibra.

"Apabila matanya lo colok!"

"Gue mendekat cuman memastikan Bastian, bukan mau bantuin lo bukain belek punya lo, yang kira-kira bisa dipakai untuk lempar mangga, haha," jelas Ibra.

"Setuju!" kata Nola.

"Eh, ngomong-ngomong bukannya aula sekolah kita angker ya kata Selfa." Bastian melirik kanan kiri. Selfa adalah teman sekelas mereka yang mengaku kalau dirinya adalah indigo. Entah benar atau tidak, tapi hampir semua siswa di kelas percaya. Salah satunya Ibra yang mulai merasa merinding. Karena dari mereka bertiga, Ibra yang paling penakut soal hantu. Saat keheningan tercipta tiba-tiba terdengar suara.

"Halo!"

"Akhh!" teriak mereka bersamaan dan segera kabur dari aula sambil tarik-tarikan untuk menjadi orang pertama yang keluar dari pintu aula.

"Siswa di sini ada-ada saja, disapa malah pada kabur," ucap bujang sekolah yang baru saja tiba dari pintu belakang untuk membersihkan aula.

***

"Stop, stop! Capek anjir," perintah Bastian yang langsung duduk di lantai kasar parkiran.

"Iya nih, gue sampai engap," ujar Ibra yang menarik napas kuat-kuat, seakan oksigen tersisa sedikit di bumi ini.

"Nanti beli minum yok di minimarket," ajak Nola yang ikut duduk di samping Bastian. Hanya butuh mangkok saja, mereka akan terlihat seperti pengemis. Apalagi wajah melelahkan mereka terlihat sangat pas dengan hal tersebut.

"Hampir aja gue lupa! Gue juga mau mampir beli saos. Tadi Emak gue nitip." Bastian menepuk pelan jidatnya.

"Saos apa?" tanya Ibra.

"Saos murtad," jawab Bastian tak menengok sama sekali.

"Murtad? Emang ada?" Nola berpikir keras .

"Itu loh yang kuning-kuning," jelas Bastian.

Ibra langsung menjitak kepala Bastian.
"Mustard anjir!" jerit Ibra.

"Nah itu, hehe," kekeh Bastian.

"Tai," ujar Nola.

"Tai, tai! Mustard woi!" Ibra semakin merasa engap saja.

"Ya tai, terimakasih atas infonya," jelas Nola yang membuat Ibra menarik napas.

"Ya begini lah, umur-umur segini emang lagi gila-gilanya," ucap Bastian tak sadar diri.

Saat sedang asyik mengobrol, tanpa mereka sadari seorang wanita memerhatikan gerak-gerik mereka sambil menggelengkan kepala.

"Kalian ini nggak berubah-ubah," ucap wanita tersebut, yang ternyata salah satu guru matematika di sekolah mereka. Biasa dipanggil Bu Rahmawati, sekaligus istri dari kepala sekolah.

"Eh, Ibu, selamat sore Bu," ucap mereka yang hampir bersamaan.

"Selamat sore, dari awal kalian masuk kalian ini masih aja kek anak-anak. Bentar lagi ujian dan bahkan untuk mendengarkan kepala sekolah saja kalian tertidur, mau jadi apa kalian?" Bu Rahma menatap mereka satu persatu yang kali ini menunduk menatap sepatu mereka masing-masing.

"Kalian udah banyak dapat teguran dari guru kan," lanjut Bu Rahma. " Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan."

"Nggak usah dijawab, cukup kalian renungkan," kata Bu Rahma yang kemudian berlalu. Bu Rahma terkenal dengan cara mengajarnya yang sedikit keras. Mereka bertiga kadang bersyukur kalau bu Rahma tak mengajar di kelas mereka.

"Gue takut tatap muka bu Rahma, serem banget," bisik Ibra.

"Hust! Diem entar gurunya denger," balas Nola juga berbisik.

"Tapi, apa yang dibilang barusan ada benarnya juga, weh," kata Bastian menatap kedua kawannya.

Mereka terdiam sejenak, menatap satu sama lain. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Berusaha merenungkan apa yang dikatakan bu Rahma barusan. Tapi semuanya buyar ketika suara klakson mobil dari arah gerbang sekolah berbunyi.

"Eh itu Abang gue udah jemput, ayo pulang," ajak Ibra pada kedua kawannya. Baru kali ini mereka berjalan tanpa berceloteh satu sama lain.

"Lah ini muka kalian pada kenapa," tanya kakak Ibra, Tyo, ketika mereka masuk ke dalam mobil.

"Mampir di minimarket ya, Bang," ucap Ibra.

"Mau ngapain?" Tyo mulai menyalakan mesin mobil dan perlahan melaju.

"Mau beli murtad," celetuk Bastian yang kembali bersuara untuk memecah suasana batinnya.

"Mustard!" teriak Ibra.

Nola tertawa diikuti dengan Tyo.

"Ada-ada aja." Tyo mempercepat laju mobilnya. "Entar gue traktir es krim, deh," lanjutnya.

Mereka bertiga akhirnya sumringah tapi masih tak melupakan perihal tadi. Akan seperti apa mereka ke depannya? Jujur di hati kecil mereka juga terdapat kekhawatiran. Namun, apa jadinya kalau belajar saja membuat mereka akan menangis karena lelah.

***

Yuhuuu
Jangan pelit vote dan komen yang bestieee

Nah nah udh muncul konflik batin nih wkwka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top