1. Malam Panjang
Happy Reading ~
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa
.
.
Hujan. Seperti kebanyakan remaja lain yang menyukainya saat tetes demi tetes air menyirami bumi, Lareina Jishea juga sama. Mengurung diri di dalam kamar, melilit tubuh dengan selimut tebal sembari marathon drama korea, ditemani beberapa camilan dan coklat panas. Terdengar sangat menarik, 'kan? Tetapi, di sisi lain, Jishea juga membencinya. Seperti saat ini contohnya, ketika ia terjebak hujan di sebuah halte yang entah ada di mana. Hari semakin gelap dan hujan turun semakin lebat.
Jishea menyilangkan tangannya, mengusap lengan bagian atas yang hanya terbalut sweater rajut. Puluhan detik ia habiskan dengan menerawang jauh ke atas sana. Hingga, dua kali tepukan dibahunya membuatnya ia membalikkan tubuhnya.
"Mbak mau pulang?" Wanita berusia awal tiga puluhan itu kembali menyahut tatkala tidak mendapati respons apapun dari lawan bicara. "Kalau mau, mbak bisa pinjam payung saya dulu."
Jishea membuka bibirnya yang sedikit pucat, ia memang tidak tahan jika udara terlalu dingin. "Gapapa, Bu, saya nunggu di sini aja. Karena saya juga nggak tahu harus pulang ke mana," sahutnya pelan dan semakin hilang saat kalimat terakhir.
Wanita itu mengambil salah satu tangan Jishea, memberikan sebuah payung secara paksa. Lengkungan manis terukir, lalu berujar, "Ambil aja buat kamu, kebetulan ibu bawa dua hari ini."
Setelahnya, Jishea hanya bisa memandang wanita itu berjalan menjauhi halte, lalu pandangannya teralih pada payung putih di genggamannya.
"Kayaknya lebih baik aku pergi dari sini, cari hotel atau apa dulu deh," gumamnya.
Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekitar, cukup mengerikan ternyata. Hanya ada beberapa lampu jalan untuk membantu penerangan. Kendaraan juga jarang yang melintas, apalagi manusia? Tidak ada, selain dirinya. Buru-buru ia membuka payungnya dan pergi, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kakinya yang terbalut Flat shoes itu berhenti melangkah ketika indra pendengarnya menangkap suara grusak-grusuk yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Jishea bungkam lalu tanpa sadar meneguk ludahnya kasar. Kedua tangannya menggenggam tali sling bagnya erat. Ia mencoba untuk maju beberapa langkah lagi. Salahkan saja jiwa keponya yang muncul tak tahu tempat.
Tubuhnya kaku setelah merajut langkah beberapa meter. Jishea dapat melihat meskipun tak cukup jelas karena terhalang jarak dan penerangan. Di sana, terdapat banyak sekali pria dengan badan besar dengan tatto yang menghiasi lengan mereka.
Jishea membekap mulutnya sendiri, menghalau agar tidak ada suara yang keluar dari sana. Memejamkan kedua matanya, berharap agar mereka tidak akan melihatnya.
Dengan takut-takut Jishea membuka matanya, dan sejurus kemudian mata yang berhias manik coklat madu itu membelalak kaget. Mereka, dua orang di antara mereka telah melihat dirinya dan sekarang tengah berjalan ke arahnya.
Seketika payung dan koper yang ia genggam jatuh begitu saja. Ia hanya bisa mundur selangkah, meskipun dalam dirinya memberontak untuk segera berlari. Rasa cemas semakin menguasainya, jarak yang terbentang di antara mereka semakin menipis.
Jishea mengambil napas lalu menekan rasa cemasnya hingga tak bersisa. Ia sudah berancang untuk berlari secepat yang ia bisa, namun semuanya terlambat ketika lengan tangan kanannya ditarik kuat oleh seseorang yang Jishea yakini adalah salah satu dari preman tersebut.
"Hai, ada Eneng, nih." Salah satu dari mereka dengan lancang mencolek dagu Jishea membuatnya takut bukan kepalang.
Jishea dengan pelan memundurkan langkah, bergerak menjauhi kedua preman tersebut. "Jangan mendekat atau saya bakal teriak!" ancamnya sembari menunjuk mereka satu persatu.
"Teriak aja, Neng." Preman dengan rambut ikal panjang itu dengan sengaja melangkah maju. "Gak bakal ada orang di sini, atau kalau Eneng nekat teriak ..., kita bakal bawa Eneng ke markas." Preman itu tertawa dan di susul temannya.
Jishea tidak membuang kesempatan emas saat kedua preman itu masih sibuk tertawa. Perempuan itu menggerakkan kedua tungkainya secepat yang ia bisa. Kedua preman itu seketika sadar saat mendengar derap langkah yang berasal dari kaki jenjangnya.
Langkahnya semakin dipercepat kala mendengar derap langkah lain yang mengikutinya tak kalah keras. Namun, dengan bodohnya kaki sialannya membawa Jishea memasuki sebuah gang sempit dengan penerangan yang lebih rendah.
Rasa takutnya semakin menjadi membuatnya tak bisa berpikir tentang apapun. Hanya satu yang ia pikirkan, bagaimana jika preman itu menemukannya lalu menjualnya? atau memutilasi tubuhnya menjadi beberapa potong? Memikirkannya saja membuat nyalinya menciut dalam sekali kedipan.
Ia benar-benar ingin mengutuk kedua kakinya yang malah semakin menjerumuskan dirinya ke dalam lubang kematian dengan membawa dirinya memasuki gang sempit ini.
"Mau ke mana lagi, sih, Neng?"
Jishea memutar arah objeknya ke belakang dan mendapati kedua preman itu tengah menatapnya dari jarak kurang lebih tiga meter. Gadis itu semakin memacu kecepatannya, meskipun langkahnya sedikit bergetar seiring bertumpuknya rasa takut dalam dirinya. Seumur-umur ia tidak pernah dihadapkan dengan hal seperti ini.
Disaat ia mengira tidak ada harapan untuk kabur lagi, ternyata Tuhan masih begitu baik. Ia bertemu dengan seorang laki-laki tengah menyandarkan tubuh bagian bawahnya pada bagian depan mobil.
Jarak yang semakin tipis, Jishea menarik pergelangan laki-laki itu. Raut laki-laki itu terukir rasa kaget dengan begitu kentara. Tetapi, ia tidak memedulikan itu dahulu, ia berujar dengan suara bergetar. "Tolong ..., tolong bantu aku lari dari mereka."
Laki-laki itu mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan maksudnya. Manik hitam pekat itu teralih ketika preman itu semakin mendekat. Spontan ia menyembunyikan tubuh mungil Jishea dibelakangnya.
"Kamu ada masalah apa sama mereka?" tanyanya pelan.
"Aku gak tahu, tiba-tiba mereka ngejar aku. Padahal aku .... AHH!" Ucapannya terputus, berganti dengan jeritan melihat lelaki di depannya tumbang setelah preman itu melayangkan tendangan tiba-tiba.
Pemandangan itu membuatnya ingin mengeluarkan tangis, rasa takut bertemu preman ditambah rasa bersalah karena menyeret laki-laki yang tidak tahu apa-apa itu dalam masalahnya. Ia berniat mendekat untuk menolong, tetapi tertahan saat seseorang itu menyuruhnya untuk mundur.
Jishea berjongkok di dekat mobil yang terparkir. Kelopak matanya terpejam rapat kala mendengar suara pukulan demi pukulan itu menghampiri indra pendengarnya. Ia baru memberanikan diri membuka matanya, saat merasakan tepukan di atas kepalanya. Seketika, ia berdiri dengan pupil mata yang melebar saat disuguhi wajah laki-laki itu yang lebam di beberapa sisi.
Ia meringis, dengan ragu-ragu menyentuh luka di bagian pelipis. "Kamu gapapa? Maaf yaa, buat kamu seperti ini."
"Udah, gapapa," balas laki-laki itu sembari menahan tangan kanan Jishea yang terangkat, lalu menariknya kuat agar ia mengikuti langkah laki-laki tersebut.
"Kita ... kita mau ke mana?" tanya Jishea, bagaimanapun ia tidak akan mau jika diajak pergi begitu saja. Mereka tidak kenal satu sama lain. Bagaimana jika laki-laki ini juga orang jahat?
Seperti dapat membaca pikiran seseorang, ia menjawab, "Tenang aja, aku bukan orang jahat. Kita harus kabur, karena mereka bisa aja ngejar kita lagi."
Jishea terdiam, lalu tangan kirinya yang bebas menunjuk ke arah sebuah mobil putih. "Itu mobil kamu? Kenapa kita nggak pakai itu?"
"Nggak bisa, mobilku mogok."
Setelahnya, Jishea kembali ditarik untuk segera beranjak, mencoba untuk memberontak beberapa kali pun hasilnya nihil. Cekalan orang tersebut terlalu erat layaknya borgol. Mau tidak mau, Jishea ikut berlari menembus pekatnya malam.
Detik demi detik berlalu dan kini telah terhitung lebih dari dua puluh menit mereka berlari. Jishea beberapa kali ingin terjungkal jika saja laki-laki berhoodie hitam ini tak menggenggamnya erat.
Jujur saja, Jishea sangat bodoh dalam olahraga, bahkan nilainya semasa sekolah dulu selalu menyerempet nilai KKM. Dan kini takdir mempermainkannya untuk berlari menembus dinginnya malam hingga berapa meter?
Gadis itu menyempatkan diri untuk menoleh ke arah belakang. Seketika, matanya membola sempurna ketika melihat kedua preman itu masih kuat mengejarnya. Bukankah mereka tadi telah di hajar oleh laki-laki yang menyeretnya ini hingga babak belur?
Tanpa sadar Jishea mendekatkan dirinya ke tubuh laki-laki tersebut. Aroma mint menguar mendobrak indra penciumannya membuat Jishea sedikit terlena. Tidak! Vallua menggeleng kuat. Bukan saat ini waktunya ia harus mengagumi aroma laki-laki itu.
Dengan sedikit gemetar, ia menjulurkan tangan kirinya agar mengenggam lengan kokoh laki-laki tersebut. Jishea bercicit pelan, "Aku takut."
Laki-laki itu menoleh ke arah Jishea sebentar sebelum mengenggam tangan gadis itu lebih erat, dan sejurus kemudian menarik ... ralat, menyeret Jishea untuk memasuki sebuah kebun ilalang yang tampak sangat lebat.
Mereka berdua menembus ribuan tangkai ilalang yang tingginya hingga sampai sepaha. Dan hal itu membuat Jishea tidak dapat melihat jalan yang ia pijaki dengan jelas. Alhasil, ia tersungkur karena sebuah batu bata yang menghadang jalannya.
Akibatnya laki-laki berhoodie itu juga memberhentikan langkah karena kedua tangan mereka yang masih tertaut. Laki-laki itu menyugar rambut kebelakang sebelum berjongkok di hadapan Jishea.
"Kamu ... gapapa, 'kan?"
Jishea sedikit mendongak lalu mengangguk sebagai jawaban. "Gapapa, cuman luka kecil doang, kok."
Gelapnya malam sama sekali tidak menjadi penghalang Jishea untuk menikmati lekuk pahatan makhluk Tuhan di hadapannya. Wajah putih bersih yang disinari sinar rembulan itu begitu menghipnotis dirinya.
Srak! Srak!
Jishea memutar arah pandangnya ke arah belakang diikuti laki-laki tersebut. Seketika, perasaan cemas itu kembali muncul dalam dirinya, membuatnya tanpa sadar kembali mencengkram hoodie hitam milik sang lelaki.
Laki-laki itu mengusap puncak kepala Jishea pelan sembari melemparkan senyuman simpul. "Jangan takut. Ada aku di sini."
Setelahnya laki-laki itu berdiri dan langsung berhadapan dengan dua pria yang Jishea ketahui adalah preman yang mengejar mereka tadi.
Tampang mereka terlihat sangat liar dengan berbagai tindik dan luka yang mengiasi wajah. Jishea memandang mereka tanpa kedip sembari beberapa kali meneguk ludahnya kasar.
Bugh!
Jishea terkesiap ketika laki-laki itu tertonjok tepat di pelipisnya, lagi. Ia meringis ngeri membayangkan betapa sakitnya tonjokkan tersebut. Pasti besok akan meninggalkan bekas biru dengan gradasi ungu.
Menit berlalu dan laki-laki itu berhasil menumbangkan salah satu di antara mereka. Dan kini tersisa satu orang yang membawa benda tajam di tangan kanannya.
Jishea kembali menutup matanya, ketika laki-laki itu mendapat pukulan ataupun tendangan. Ia menggigit bibirnya cemas, bagaimanapun laki-laki ini telah menyelamatkannya tadi. Berarti sekarang Jishea juga harus membantunya.
Matanya dengan gusar bergulir ke sana-ke mari mencari benda yang sekiranya dapat membantu laki-laki hoodie hitam tersebut. Jishea menyunggingkan senyuman miring ketika mendapati batu bata yang menjadi tersangka dalam peristiwa tersungkurnya tadi.
Jishea mengambil batu bata tersebut lalu berdiri menghampiri keduanya yang sibuk berkelahi dengan kaki kanannya yang ia seret. Ia menunggu waktu yang tepat hingga preman itu memposisikan dirinya membelakangi Jishea. Dengan kelihaiannya Jishea melayangkan batu bata tersebut. Dan, yap! Tidak meleset sama sekali. Batu bata tersebut tepat menimpuk bahu kanan sang preman hingga membuatnya jatuh tersungkur.
Laki-laki itu sedikit terkejut namun, tak berselang lama karena beberapa detik kemudian ia mengacungkan jempol dan senyuman ke arah Jishea.
Terimakasih semuanya sudah mampir ♡︎
Kalau ada typo bilang aja yaa, karena belum sempat revisi, hehe
1 Januari, 2023
Lilac
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top