Tujuh
Note: Btw ini cerita Slow Build. Jadi romans itu hanya pemanis. Lebih fokus ke plot. So, jangan tanya lagi kapan adegan mesra SasNar atau KakaNaru nya. Nanti juga muncul dengan sendirinya.
.
.
.
Jiraiya setidaknya memperhitungkan bagaimana jika Naruto lepas kendali. Sengaja memilih tempat yang jauh dari khalayak umum. Ia menghindar dari serangan Cakra yang dilancarkan terus-menerus. Menangkap pergelangan sang blonde dengan tangan kiri. Yang kanan berusaha menggapai area leher.
Tawa bak setan menggelegar. Ekor merah yang terbuat dari Cakra menghempas legenda Sannin itu. Membuat dia terbatuk darah saat tubuhnya terlempar jauh dan menabrak beberapa pohon hingga tumbang.
Jiraiya mendelik pada telapak tangan yang berubah kemerahan merasakan panas membara saat menyentuh Naruto tadi.
"Naruto!" teriak si Sannin.
Namun, mata yang semula biru sudah kehilangan akal. Kekuatan Kyuubi lebih cepat memposesi pikiran Naruto. Jika begini, Hakke Fuin pun tak akan sanggup menahan agitasi dari kekuatan sang bijuu.
'Tak ada cara lain.'
.
Ia tak mengerti kenapa Sandaime memanggilnya kemari. Namun, tetap harus dijalankan segala perintah yang turun padanya. Beruntung ia tengah berada tak jauh dari tempat tersebut.
Tapi, begitu ia sampai pada lokasi, pikiran pertama yang muncul adalah apa yang terjadi?
Dari kejauhan ia melihat dua sosok bergerak dengan sangat cepat. Satu di antaranya dalam kondisi buruk. Pakaian robek dan bekas luka bakar terlihat.
"Tenzo, kemari."
Suara memerintah dengan urgensi membuat si ANBU berlari mendekat. Mata di balik topeng berdilasi tatkala sosok Jinchuuriki Kyuubi telah menyempurnakan keenam ekornya. Yang lebih mengerikan ada Cakra hitam yang ikut membalut membentuk sayap.
Bulu kuduk meremang. Kekuatan yang sangat luar biasa.
"Aku mengerti," balas si ANBU sebelum membentuk segel tangan.
Jiraiya dengan lihai menggiring sosok Naruto menuju perangkap. Satu sisi ia tak bisa melukai putra Minato, tapi di lain hal ia harus menghilangkan kekuatan gelap tersebut.
Saat jarak sudah pas, Tenzo segera menggunakan jutsu elemen kayu. Memerangkap sosok Jinchuuriki di dalamnya. Tangan dengan cepat membuat segel yang baru. Kungkungan berganda yang dapat menahan Naruto beberapa waktu.
Jiraiya mengambil napas dalam-dalam. Ia kelelahan dengan jelas. Nyawanya nyaris terancam tadi. Luka internal mulai terasa saat ia mengecek dengan Cakra.
"Uzumaki Naruto?" tanya Tenzo.
Jiraiya mengangguk. Kungkungan mulai retak dengan beberapa belahan kayu yang terbang.
"Aku tidak bisa menenangkan tanpa ada kristal milik klan Senju," lanjut Tenzo.
"Aku tahu. Aku hanya butuh waktu untuk mengumpulkan energi."
Tenzo mendelik pada Kungkungan yang hancur sepenuhnya. Mata mengerikan itu menatap pada mereka. Sayap hitam mengepak, keenam ekor berkibas-kibas.
"Aku akan menghambatnya," ujar Tenzo sebelum dia berlari ke arah Naruto.
Jiraiya segera menggunakan darahnya akibat serangan tadi sebagai ganti tinta. Menulis dengan telunjuk ke atas telapak tangan kiri. Membentuk Fuin-Jutsu yang lebih kompleks dari milik Kakashi.
Ia melirik sekali lagi, melihat Tenzo mengalihkan perhatian Naruto. Kayu-kayu membelenggu tangan, ekor, sayap, dan kakinya.
Setelah selesai menggambar di telapak kiri, ia melanjutkan di kanan. Dengan pergerakan terlatih Sannin itu melakukannya dengan sangat cepat. Sesaat kemudian ia membentuk segel tangan. Sebuah bola Cakra kebiruan muncul di tangan kanan.
Tanpa pikir lagi, ia menerjang Naruto yang terbelenggu.
Cahaya biru dan merah beradu.
Kekuatan rasengan milik Jiraiya bertemu dengan dinding pelindung Kyuubi. Cakra hitam bereaksi dengan membantu melapisi pertahanan.
Ia terus mendorong, hingga tameng energi itu hancur dan Naruto menjerit kuat.
Jiraiya tak menunggu lama. Tangan kiri menempel pada leher Naruto, tepat di atas Fuin-Jutsu milik Kakashi. Menambahkan kekuatannya di sana. Warna hitam mulai tertarik masuk.
Suara gauman sudah memekakkan telinga, namun Legenda Sannin masih fokus menyegel kekuatan tersebut.
Cakra yang ia gunakan terkuras dengan drastis. Luka internal terasa makin memburuk.
"Jiraiya-sama," panggil Tenzo khawatir.
Guru dari Yondaime Hokage tetap fokus memasukkan Cakra pada segel di leher Naruto. Menekan kutukan yang diberikan oleh Orochimaru.
Ia melihat keenam ekor makin bergerak kuat. Tenzo sendiri berusaha sekuatnya menahan.
Akhirnya sayap hitam menghilang. Segel kutukan berhasil dikunci.
Hanya tinggal satu lagi.
Ia mendelik pada tubuh Naruto yang terbakar Cakra Kyuubi. Bahkan pakaian yang digunakannya tidak selamat.
Tangan kanan tanpa ampun menekan pada pusar sang blonde. Cakra biru meresap ke sana. Menarik dengan kuat sisa segel Hakke Fuin yang sempat ia buka.
"Aku inginkan kekuatan ini!" Suara teriakan Naruto terdengar asing. Bergema kuat, yang disertai nada kebencian.
Jiraiya terus memfokuskan diri. Ia tak peduli jeritan kesakitan yang dikeluarkan putra dari muridnya. Terus dan terus. Sampai sosok bocah tiga belas tahun itu jatuh dalam ketidaksadaran.
Tenzo melompat dengan sigap. Membuka kungkungan kayu dan memeluk tubuh sang blonde. Ia mengernyit melihat betapa parah luka yang dialami. Melihat betapa polos Uzumaki Naruto, ia melepaskan jubah ANBU dengan satu tangan, lalu menutupi remaja itu.
"Jiraiya-sama apa kau baik-baik saja?"
Si Sannin tersungkur duduk di tanah yang retak. Ia mengedarkan pandangan, pada kerusakan yang terjadi selama sejam yang lalu. Wajahnya penuh lebam dan gores. Setidaknya tiga tulang rusuk retak. Luka internal lain pun mulai bereaksi. "Aku harus beristirahat sebentar."
Tenzo mengangguk. "Bagaimana dengan Uzumaki Naruto?"
"Kita akan membawanya ke Konoha. Aku butuh lima belas menit."
Tenzo sekali lagi mengangguk. Mata di balik topeng memperhatikan segel serupa tato yang menghiasi leher Naruto. Sebesar telapak tangan berbentuk bulat dengan intrikat yang sulit.
.
Dua hari lagi-lebih tepatnya besok, adalah final ujian Chuunin. Waktu yang ditunggu Naruto untuk mendukung Sasuke. Tapi, apa yang terjadi?
Bocah blonde itu masih tak sadarkan diri di ruang rawat intensif Rumah Sakit Konoha. ANBU khusus berjaga sepanjang waktu, bersamaan dengan Jiraiya yang ikut ke sana karena harus mengobati lukanya.
Ia harap kabar ini tak tembus ke orang yang salah. Apalagi dengan banyaknya tamu dari luar desa. Terutama mata-mata milik Orochimaru yang bisa ada di mana saja.
Jiraiya tentu menolak untuk beristirahat di rumah sakit. Ia menyerahkan Naruto pada penjagaan Tenzo. Sementara dirinya pergi menemui Hokage.
Sekujur tubuh si blonde terbalut perban. Harum obat sangat kental di ruangan tersebut. Yang menjadi andalan mereka saat ini adalah kemampuan regenerasi Kyuubi untuk menormalkan kondisi Naruto. Luka bakar dari Cakra merah dan hitam terlihat sangat parah. Beruntung kesadarannya belum kembali.
Ketukan pintu mengejutkan Tenzo. Ia mendelik, tidak mendapati tanda alarm dari ANBU lain yang bersembunyi. Sebelum dapat membuka pintu kamar rawat, sosok Kakashi lebih dulu membuka pintu. Di belakangnya Uchiha muda mengikuti.
Postur remaja raven itu langsung kaku. Manik obsidian membesar saat mendapati tubuh Naruto dibalut perban bak mumi. Hanya surai emas yang tampak pada ujung kepala, serta kelopak mata yang masih menutup.
Tenzo membungkuk kecil, "Kakashi-senpai."
"Yo. Bagaimana kondisinya?" Kakashi melangkah makin masuk. Meneliti tubuh Naruto yang tak sadarkan diri.
Mata di balik topeng jelas tengah mengamati Sasuke. "Sudah ditangani. Luka bakarnya terlalu intensif. Hokage tidak mengizinkannya pergi walaupun dia bangun nanti."
Kakashi tak dapat melihat segel yang dibuat untuk menekan kutukan Orochimaru. Perban membalut leher sang blonde dengan rapi. Napas teratur yang dikeluarkan, setidaknya membawa kelegaan. Namun, tetap sang guru menyentuh perlahan dan hati-hati pada bagian kepala yang tak tertutup.
"Apa yang terjadi dengan Naruto?" yang bertanya justru Sasuke. Calon Chuunin itu enggan mendekat. Terpaku pada tempatnya. Belum pernah ia melihat si blonde seburuk ini.
Bayangan bocah pirang banyak bicara yang selalu tersenyum lebar, sangat kontras dengan gambaran sekarang. Terbaring tak sadarkan diri.
"Kami tak bisa membicarakannya."
Ekspresi Sasuke berubah. Ia mendongak menatap langsung ANBU yang masih berdiri di samping ranjang Naruto. Namun, keturunan Uchiha itu tetap diam.
"Kalau begitu aku akan menjenguknya lagi besok." Kakashi menarik tangan dari puncak kepala sang murid.
"Tidak perlu, senior. Jiraiya-sama mengatakan agar kau fokus melatih Uchiha Sasuke."
"Ah," respon Kakashi sembari mengusap tengkuk. "Baiklah. Jika dia bangun katakan kami telah menengok. Aku tak mau dia berpikir kami menelantarkannya."
"Aku mengerti senior."
"Ayo, Sasuke."
.
.
Cahaya pagi menembus melalui celah korden yang terbuka. Angin sejuk mendesir masuk memberikan suhu yang rendah. Naruto tak dapat kembali tertidur, denyutan sakit pada seluruh tubuh sudah mampu membuatnya tersadar untuk beberapa waktu.
Nyeri yang secara konstan menggerayangi dari ujung kaki hingga telinga. Masih sedikit grogi dari sisa alam mimpi, manik biru mengedip. Kemudian mendelik pada pakaian khas rumah sakit Konoha.
Memori dari hari sebelumnya datang kembali ke ingatan. Panasnya seakan lava gunung mengisi darah dalam tubuh. Adrenalin kekuatan serta hasrat gelap ingin menguasai kekuatan masih dapat ia rasakan hingga sekarang.
Ia melihat tangan yang terperban. Sebelum kesadaran menghilang, ia ingat melihat Jiraiya-sama terpelanting dan terluka.
Menutup mata dengan kuat, ia mencoba menepis segala ingatan tersebut. Mengalihkan dengan fokus pada kondisi tubuh dan menerka berapa lama ia tak sadarkan diri?
Tanpa ada pengawasan. Ia mencoba turun dari ranjang. Bibir menekuk sembari menahan rasa sakit. Tiap langkah yang diambil menyambarkan nyeri ke seluruh kaki dan tangan.
Ia mendorong pelan pintu kamar mandi. Terdiam sesaat hanya demi menatap cermin.
Refleksi dari wajah tertutup perban, balik menatapnya.
Semua terasa berhenti saat ia mencerna gambaran yang terpampang di cermin.
Helaian pirang yang tampak familier dan sedikit kulit pucat terlihat di balik balutan perban yang bahkan menutup wajahnya. Manik biru balik menatap, ada hal ganjil saat ia memperhatikan saksama. Slit di tengah mata seakan memiliki bias kemerahan.
Dengan kasar ia menarik kain yang menutupi wajah. Ada bekas berwarna merah muda yang masih segar. Seakan baru saja sembuh.
Suara ramai mengejutkannya.
Detak jantung seakan terhenti. Ia buru-buru kembali keluar. Kini berganti untuk menatap ke jendela.
Ia berdiri diam menatap beberapa orang berlalu lalang cukup ramai. Tak seperti biasanya.
Barulah ia teringat akan final dari ujian Chuunin. Di mana Sasuke akan bertanding.
Ia mengedarkan pandangan.
Ada dua orang berjaga di luar kamar rawatnya. Aura mereka tertutup, namun insting dari tubuh dengan aneh dapat merasakan Cakra mereka.
Remaja itu tertegun sesaat. Sejak kapan intuisinya bisa setajam ini?
Tidak. Ia harus berpikir bagaimana caranya untuk lepas dari sini. Sasuke akan bertanding, ia harus datang. Apapun yang terjadi.
.
.
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top