-3-
"Jadi setelah ini kau akan benar-benar pergi?"
Renjun mengangguk kecil, badannya sudah berbalik membelakangi Dewa kematian. Manik biru safir itu sempat menangkap tatapan sendu yang Jeno layangkan kepadanya. Ia tidak menganggap hal tersebut sebagai bentuk penahanan agar Jeno bisa menundanya tetap pergi, tetapi lelaki itu selalu begitu. Mereka selalu seperti itu, kehilangan cahaya di raut wajah.
"Baiklah." Jeno berujar kembali meski pada kenyataannya tidak ada yang harus dia sahut sebab Renjun memilih diam.
Ia tidak tahu tentang sesuatu yang terjadi selama rutinitas pingsan keduanya. Ya, Renjun pingsan lagi setelah Jeno menyuruhnya beristirihat dan itu pun terjadi selama satu hari penuh. Sesuatu dalam bunga tidurnya yang membangunkan Renjun dari tidur panjang, bunga tidur yang cukup menyesakkan sehingga ia ingin segera bangkit.
Bunga tidur yang sederhana, tetapi memenuhi ruang hati hingga sesak.
Renjun berada di dimensi kosong berwarna biru langit. Dengan keadaan seperti habis terjatuh pula terduduk. Di tempatnya menumpukkan kaki dan pantat terasa panas membelenggu, tetapi di balik punggungnya begitu dingin seperti hujaman es dihantamkan padanya bertubi-tubi.
Rasanya begitu membingungkan. Pertempuran suhu yang sangat nyata hingga merasuk ke pori-pori tulang. Sampai Renjun sendiri tak sanggup berdiri bahkan merangkak untuk enyah dari sana.
Hal yang sanggup ia lakukan.
Hanyalah ....
Menitihkan air mata sekian lama.
Renjun meremat batu mulia yang menggantung pada leher dengan balutan kalung perak. Mungkin yang dilakukannya memang tidak jelas, tetapi ia tak bisa berhenti menggenggam erat benda tersebut hingga buku jarinya memerah.
Tetesan air mata berlomba menuruni pipi menyisakan jejak aliran yang tak pernah berhenti. Namun, kejanggalan berlangsung pada suara yang seharusnya menggaung di telinganya. Sedari apa pun yang dialaminya ini terjadi, seharusnya raungan dan teriakan pedih Renjun saling bersahutan. Akan tetapi, ia bisu, terus membuka mulut dan tak terdengar apa pun.
Sunyi senyap menyelubungi tempat itu.
Lebih dari semua hal ganjil yang terjadi, Renjun tiba-tiba merasa tarikan kuat pada punggungnya. Renggutan yang menarik paksa kulitnya terlepas dari sesuatu.
Pedih nan perih teramat menyakitkan.
Bagai cambukan keras menebas kulit, menguraikan guratan merah beserta lapisan luar tubuh yang terkelupas.
Renjun ingin menyudahinya, menyelesaikan kesakitan dengan cara tercepat. Meski harus mencabut jiwanya sendiri, ia ingin melakukannya agar rasa sakit yang teramat hilang dalam sekejap.
Persetan dengan kenyataan bahwa ia sedang dihadapkan dengan ilusi. Serbuan rasa paling mengerikan tak mampu lagi ia tahan, Renjun menyentak batu yang digenggam menuju pusat kehidupan.
Mendesak sudut tajam batu itu pada lingkaran intinya.
Suara hatinya mengeluh keras. "Anak adam ingin kembali!"
"Sangat ingin kembali!"
Renjun menggores jantungnya.
"Sudah kami jelaskan takdir anakmu begitu buruk, janji itu telah mengikat di dalam darahnya!"
"Ada cara lain! Pasti. Aku tak akan bersedia menyerahkan permata satu-satunya yang kumiliki!"
"Kita tidak akan tahu, Yang Mulia."
"Dia begitu indah. Kesempurnaan dalam dua sisi yang berbeda, sayang, aku tak akan membiarkannya diambil."
"Apa yang akan Anda lakukan, Yang Mulia?"
"Menjatuhinya hukuman."
Sahutan kalimat itu masih terngiang di pikirannya hingga waktu perpisahan dengan Jeno. Terus berkeliaran mencari arti sesungguhnya dari rangkaian yang tidak dimengerti.
Jantung Renjun yang tak seharusnya hidup pun terus merasa tertohok. Memikirkan apa yang sedang mengganggu perjalanannya sebagai Dewa. Setiap kali kilasan itu berputar, sekujur tubuhnya merinding. Belum lagi rasa sakit yang nyatanya ada benar-benar berkumpul di punggungnya, perih menyakitkan.
"Selamat tinggal," bisik Jeno pelan yang mengabur di udara bersamaan kepakan sayap berbulu putih.
Renjun mengembangkan sayap indahnya lebar-lebar.
Ia kembali menoleh pada Jeno sebelum akhirnya melepas pijakannya di bumi. Kepakan sayap lebarnya menghempaskan angin di sekitaran sangat kuat. Renjun merasa janggal dengan dua benda di balik punggungnya yang terasa berat. Meski memiliki sayap yang besar, kedua sayapnya itu sangat ringan jika dipakai terbang, tetapi belum beberapa inchi jaraknya dengan tanah, Renjun kembali mendaratkan kakinya.
Sebelah sayapnya seperti ditarik kembali ke bumi. Renjun kehilangan keseimbangan bahkan tekanan rasa sakit pada punggung di bunga tidurnya kembali, dengan intenitas lebih menyakitkan.
"Sakit!"
Renjun memegangi punggungnya yang seperti terbakar itu.
Namun, ....
Darah Renjun terasa bergejolak cepat. Aliran yang tiba-tiba berubah sebab rengkuhan seseorang membalutnya dari belakang. Berangsur-angsur gejolak itu beralih menjadi desiran pelan. Seperti lullaby menemaninya bagai lantunan penenang jiwa.
"Aku seharusnya melarangmu pergi, kau tahu kenapa?" Jeno mengeratkan pelukan di sekitarnya, membungkus diri Renjun dengan lengan yang kini melingkar di perut.
"Je-jeno?"
"Rasa sakitmu itu ... akan terus terjadi, kau harus tetap di sini, bersamaku, penawar segala kesakitan yang kamu alami." Suara Jeno yang bergumam rendah sedikit terhalau sebab ia menumpukkan dagunya pada perpotongan leher Renjun.
Jeno terkekeh, bunyi sayap terbentang membuatnya beralih mencuri pandang pada sepasang sayap berbulu hitam di belakang. Sayap hitam yang megah dan perkasa. Renjun menenggak ludahnya gugup melihat kemashyuran sayap Dewa kematian.
"Apa yang ingin kamu lakukan padaku?" Renjun bertanya penuh kehati-hatian.
Lagi. Ia hanya menemukan sunggingan miring di bibir Jeno. Bersamaan dengan itu tubuhnya tak lagi menapak daratan. Jeno tetap membiarkan keadaan mereka yang berpelukan—secara teknis Jeno yang memeluknya— kemudian membawanya terbang entah ke mana.
Renjun sedikit memberontak dengan sisa tenaganya, ia hampir memekik sebelum Jeno menempatkan bibir menggesek permukaan kulitnya. Ia menegang dengan napas yang tertahan. "Kamu be-belum menjawabku!"
"Ikuti saja bagaimana seharusnya takdir mengikat kita." Jeno kembali berbisik rendah. Membuat Renjun bergidik kala hembusan menerpa tepat di telinganya.
Dengan perasaan penuh kecurigaan dan was-was, Renjun berusaha diam meski dalam pikirannya menumpuk daftar pertanyaan yang ingin ditujukan. Belum lagi ada debaran lain yang merambat dari elusan sang Dewa kematian pada perut Renjun. Apa pun itu membuatnya benar-benar terpaku.
Jeno tertawa ringan kemudian. "Jangan setegang itu, kau hanya akan membuat dirimu sendiri lemas saat kita sampai."
"Lalu ak—"
Kalimatnya tak tertuntaskan sebab Jeno sedikit mengubah posisinya. Tangan penuh gurat perkasa itu menuntun kepala Renjun menyandar di bahu. Bahkan Jeno mengelus lembut jari-jemari Renjun yang tergulung kaku. Hampir saja Renjun terbuai yang bisa membawanya terlelap. Akan tetapi, ia ingin tetap berusaha terjaga, untuk sesuatu yang akan menantinya.
Jeno menumpukkan pipinya menyentuh pucuk hidung Renjun. Embusan napas Dewa yang satunya langsung terasa menerpa kulit. "Perjalanan kita masih jauh, tidak ingin tidur, hm?"
"Tidak."
"Singkat sekali,"
Renjun menghela napas, Jeno mempermainkan pucuk hidungnya dengan gesekan kecil padahal ia tengah menahan setengah mati rasa gugup. " Tidak cukupkah aku tidur seharian di tempatmu?"
"Ah, kamu benar, baiklah, kuharap kau bisa bersabar atau mungkin ... kita bisa menghabiskan sesuatu bersama sekalian membunuh waktu?"
Manik Renjun mendelik tajam. Menantang tatapan pada tawaran sang Dewa yang membalasnya dengan kekehan.
"Fokus saja mengepakkan sayapmu!" tampik Renjun kesal. Ia sedikit meremang lantaran ada sesuatu menelusup di balik pakaiannya.
Tawa Jeno membahana seketika, untungnya mereka adalah makhluk tak kasat mata yang bahkan sedang terbang di awan. Untung lainnya pula sesuatu yang menyelinap di balik bajunya kembali memegangi perut Renjun.
Setidaknya dia belum harus khawatir, belum pada perlakuan menjurus yang dilakukan Jeno atau misteri apa yang mengikatnya pada satu takdir bersama Dewa kematian.
Ya setidaknya untuk saat ini.
.
.
.
eh hahaha ini ngaco 😂 gatau kenapa nulisnya malah begini coba
Aku gaada pegangan alurnya mau gimana
Betewe cape ga sih baca ini banyak narasinya doang? romancenya segitu doang mana menjurus terus eiy banyak ga jelasnya ya hihi
Yaudahlah ya semoga ini bisa selesai satu chapter lagi atau ada yg mau jadi dua chapter lagi? Wkwkw
Sekarang gamau janji update apa apa ah soalnya nanti malah jadi keteteran susah dilanjut 😅
Aku sangat menghargai kalian yang udah repot repot baca ke sini mana updatenya kayak se-abad sekali ❤❤ luv luv dah
Apalagi yang ngasih vote comment BIG LOVE FOR Y'ALL
Kasih aku kritik saran dong enaknya gimana sama ceritaku hehe
Tapi kalo bingung ga juga gapapa
Visualisasi dewa dewa ini sekarang udah dapet yg pas!
Dewa kelahiran
Dewa kematian
nah haha mampus hayo loooo
Aku gemes ih sama noren nikahan mulu tiap bulan
TERUS INI APAAN COBA MAKSUDNYA HAHA MUKA JENO NYEBELIN BGT IH
YAAAAAA KAN JADI NGEFANGIRL 😂
Sekali lagi
Vote comment
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top