-2-

Kerlap-kerlip lampu khas natal berpendar menaungi sisi jalan di malam penyambutan istimewa. Memantulkan kilau kegembiraan dari balik kaca satu arah yang dapat memandangnya jelas. Warna-warni mencolok terpasang apik mendatangkan minat untuk mengagumi, tetapi kontras dengan dua obsidian elang yang terkesan redup dan datar.

Dari kilas kaca yang memantulkan bayangan semu bias lampu-lampu itu, Jeno menjatuhkan pandangannya. Kepulan asap Americano yang tersaji terus mengganggu penciumannya untuk beralih dari kaca toko. Namun, tak mengusik pertahanannya menatap pedestrian lengang dari balik kaca. Ditemani sayup-sayup instrumen khas natal jingle bell yang tak asing lagi di telinganya, Jeno menunggu.

Matanya bergulir refleks menuju pintu masuk toko ketika kilatan api putih muncul bersamaan wujud seseorang yang dinanti.

Ting.

Lonceng pintu berbunyi.

Dalam balutan mantel tebal kotak-kotak merah beserta lilitan scarf biru yang menempel di lehernya, Renjun memasuki coffee shop dengan terburu-buru. Tanpa makhluk itu sadari Jeno terus memperhatikannya hingga lambaian tangan mengarah di tempatnya duduk.

"Sudah lama menunggu?"

Jeno menggeleng tepat ketika Renjun menempatkan pantat manisnya di kursi. Segaris senyum menyertai pernyataan diam dari Jeno. Akan tetapi, Renjun tak melihat, tidak. Dia terlalu sibuk menepuk sisa bulir es di mantelnya.

"Maaf tadi aku kedapatan tugas mendadak, ada roh bayi di daerahku yang harus dilahirkan saat malam natal." Renjun beralih dari mantelnya. Menemukan sorot mata redup, tetapi terasa lembut menatapnya dari ujung kepala sampai kaki.

"Tidak apa. Itu sudah tugasmu, kan?" Jeno masih memandang lekat Renjun yang mengangguk pelan dan mengangkat seulas senyum manis mendebarkan hati. Rasanya organ yang tak harusnya hidup itu mengakselerasikan detakan dua kali lebih cepat. "Yang penting kau ada di sini sekarang."

Jeno mengusung senyum kemudian.

Renjun langsung saja menelengkan kepalanya ke samping. Kata beberapa juniornya, itulah reaksi alami dari kalimat yang ia pelajari tadi. Makna yang mendatangkan warna semu merah dan mungkin senyuman malu-malu. Ah Renjun terlihat makin manis dengan itu.

Renjun berdeham beberapa kali. Mungkin bermaksud menghilangkan canggung yang terasa menebal di setiap detiknya. Jeno tersenyum tipis nyaris tak terlihat, kali ini Renjun yang canggung malu-malu pun terasa menarik juga.

"Jadi kehidupan apa yang kau maksud harus kuberikan?"

Jeno menyandarkan punggung dengan kedua lengan yang bersedekap. Matanya menelisik tajam, tetapi tidak sedikit pun makhluk di hadapannya tertekan akan intimidasi yang menguar darinya. Jeno yang sekarang terlalu senang menebar senyum.

Penuh arti.

"Seharusnya kau tahu, Renjun," jawab Jeno dengan lantunan bicara lembut, tetapi terdengar menuntut di telinga.

"Kau memberiku nama yang katanya berharga, kau juga yang ...."

Jeno menjeda kalimatnya, ia beranjak setelah menyandar. Dengan mencondongkan badannya pada Renjun yang tengah bergeming akibat elusan tangan dingin Jeno di pipinya.

"Harus membawaku ke dalam kehidupanmu yang katanya tak ternilai."

"ARGH!"

Renjun menjerit kesakitan seketika begitu tangan dingin Jeno mengalirkan tegangan listrik di pipinya. Dia melempar jauh-jauh telapak sang Dewa kematian, meringis perih memegangi kulit pipi layaknya terbakar.

Bersamaan pula sekelebat bayangan melintas di celah penglihatannya. Kilasan demi kilasan tak urut terputar bak cuplikan dalam sebuah film.

Mendung.

Taman.

Darah.

Bunga sakura.

Pening menyerbu Renjun dengan ribuan jarum es menusuk di kepala. Belum lagi perih yang merambati seluruh kulit wajahnya. Pengelihatannya menjadi berbayang juga kabur, kebisingan perlahan senyap diikuti seluruh raga Dewanya yang tiba-tiba kehilangan fungsi.

Hitam.

Kegelapan menjemput Renjun.

______________

Renjun melihatnya.

Warna oranye yang terasa kabur berjatuhan mengelilinginya di tengah dominasi hitam. Menemaninya berhadapan dengan postur tinggi beberapa meter di depan.

Ada yang terasa aneh, semacam sorot cahaya datang dari sana mengajak kuat intuisi Renjun untuk mendatangi. Perlahan tanpa intruksi tak langsung pusat kendali otaknya, Renjun melangkahkan kaki.

Entah mengapa yang ia rasakan kini sangat ringan. Ketika hampir di dekat sana, sorot cahaya itu memperjelas siluet tinggi juga gugurnya bunga sakura di belakang. Renjun ingat ini seperti berada di atas sana, indah juga merileskan ketegangan syarafnya, sangat adiktif.

Namun, impuls tak sadar membawa telapak Renjun turut bergerak. Dalam balutan pikiran yang sejenak tenang, mungkin ia akan menikmati keindahan itu. Akan tetapi, tidak, Renjun tidak mengerti seluruh tubuhnya bergerak di luar kendali.

Ia berusaha mencekal kuat pergerakannya sendiri. Namun, usahanya berbuah nihil. Warna kabur oranye kini tertiup angin membentuk pusaran di antara mereka begitu pula gelap menutup sorot cahaya tiba-tiba. Ilusi keindahan lenyap seketika, kala tangan Renjun berada satu inchi lagi dari siluet tersebut.

Perubahan mencekam yang membuat Renjun menahan setengah mati tangannya tak menyentuh siluet itu. Terus begitu hingga bulir keringat turun melewati pelipisnya juga warna merah yang berkumpul di wajahnya, Renjun tak kuat lagi menahan.

Sret.

Satu tarikan menyelesaikan semuanya.

Pelukan dan benda kenyal yang menubrukkan bibirnya dengan rasa amis darah.

Renjun mengerang, "AKH!" Kilat seperti berkumpul di peraduan dua benda empuk.

Sampai rasa-rasanya amis dan kilat itu bercampur merasuki tubuhnya. Sangat tidak karuan memenuhi gejolak dalam perut Renjun. Ia ingin melepaskan sesuatu.

"ARGH!"

Renjun membuka matanya. Hal yang pertama ia dapati hanyalah plafon lusuh yang tidak terawat begitu juga sekeliling ruangan di tempat ia berada. Gelap dan lembab, bahkan lampu kuning redup seakan tidak membantu sama sekali.

"Di-dimana aku?" ucapnya entah pada siapa, yang jelas ini bukanlah tempat biasa Renjun tinggal.

"Oh kau sudah sadar?" Suara lain tiba-tiba terdengar sambil memasuki pintu di sudut.

Ia mendapati sosok yang baru dikenalnya datang membawa segelas air putih. Entahlah ada sesuatu yang janggal ketika Renjun melihatnya di sudut tadi. Namun, sodoran gelas padanya membuat Renjun mengenyahkan hal tersebut.

"Minumlah, kau terlihat lelah ... aku tidak tahu apa yang biasanya manusia tawarkan untuk seseorang yang baru bangun dari pingsan, jadi aku hanya bisa memberimu itu."

Renjun menerima gelas itu penuh kebingungan. "Sebenarnya apa yang terjadi denganku, Jeno? Bukankah tadi kita—"

"Aku tidak paham." Jeno mengedikkan bahu lemas. "Sepertinya frekuensi para Dewa sedang terganggu saat itu, kau pingsan dan aku terlempar jauh dari tempat duduk. Saat itu pun waktu ikut berhenti."

"Kau ... terlempar?"

Jeno mengangguk pelan. "Baru kali ini aku merasakan yang seperti itu."

Renjun menunduk, memandangi air tenang di dalam gelasnya. Hal yang ia ingat terakhir hanyalah Jeno mengelus pipinya. Akan tetapi, bukan hal terlarang bagi sesama Dewa untuk saling bersentuhan.

Lantas ada apa?

Bahkan dirinya sampai pingsan dan melihat sekelebat pengelihatan aneh.

Tunggu!

"Jeno!" seru Renjun memanggil sang Dewa kematian untuk menatapnya.

"Hm ada apa?

"Apa kau ... mendapat sebuah pengelihatan saat terlempar?"

Jeno mengusap dagu, dahinya mengernyit tanda dia sedang mengingat. "Aku rasa tidak, aku hanya melihat saat itu semua manusia yang ada di toko tiba-tiba berhenti bergerak."

"Tidak usah dipikirkan, mungkin saja yang di Atas sedang bermasalah, sekarang bagaimana memulihkan tenaga kita karena aku yakin energimu seperti habis juga, kan?"

Renjun mengangkat kepalanya mendapati manik kelam Jeno menjadi yang paling terang saat bersinggungan tatap dengannya.

"Kau benar, Jeno. Energiku seperti terkuras habis."

Kasur tempatnya tidur menurun akibat ketambahan berat dari lelaki yang sedari tadi berdiri. Jeno menduduKkan dirinya di pinggir Renjun.

Gelas dalam genggaman Renjun pun diambilnya, kemudian Jeno simpan di nakas samping tempat tidur.

Renjun sedikit terkejut ketika Jeno mengangkatnya demi membenarkan posisinya tidur. Rasanya terlalu canggung entah mendebarkan saat Jeno menaikkan selimut membungkus tubuhnya dengan hangat. Dalam jarak yang sangat dekat tentunya.

"Tidur saja, aku tahu tempatku ini tidak layak ditempati, tapi setidaknya kamu perlu beristirahat."

"Terima kasih, Jeno-ya." gumam Renjun tulus. Matanya terpatri lurus pada Jeno yang sudah menegakkan lagi tubuhnya.

Jeno mengangguk kecil dan berjalan keluar ruang tanpa suara.

Sedikit terlupakan bagi Renjun, Jeno yang tadi begitu banyak berbicara. Sangat kontras dengan sebelumnya. Namun, ia tak memusingkan hal tersebut dan segera memejamkan mata.

Tertidur.

Satu langkah.

Tersusul langkah lainnya yang terasa semakin buru-buru.

Berdiri di samping menatap sosok yang tak asing.

"Tidak, selamat tidur Huaren."

Kening yang kembali mengernyit dalam bunga tidur mendadak tenang ketika bibir merah tercampur darah mengecupnya.

.

.

.

3/4 chapteran aja hehe
Sekalian latihan buat aku balik lagi nulis mungkin :'

Hehe aneh kan ya? Biasanya kalo buat sesuatu udh terencana tapi ini ngalir aja sih aku juga gatau ini bakal gimana

Jadi aku sendiri belum ada bayangan soal relikui ini atau malah lebih musingin ntar wkwk

Here is our angel ❤

And ...

Byeeee ❤

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top