Prologue - Promise

CarpeNoctem Pusat, Striolia. Sepuluh tahun di masa depan.

Ledakan bom asap dan pembakaran gudang penyimpanan makanan dengan segera menciptakan kepanikan di dalam tembok Carpe Noctem. Biang keladinya adalah mereka—para pemuja kegelapan—yang merangsek masuk. Tujuan utama mereka hanya satu, merusak prosesi Penyegelan yang tengah berlangsung.

Suasana gaduh dan kacau akhirnya berhasil diredam. Para pelaku diringkus dan dikumpulkan di tepi lapangan dengan tangan terikat tali yang sulit diputuskan. Namun, ketidakjelian salah satu petugas pengamanan berbuah petaka. Gadis bertudung yang luput dari penangkapan, tahu-tahu muncul di belakang Neg Ergess dan menempelkan permen karet yang selama ini dikunyah pada kolom marmer putih bersimbol IV—angka romawi untuk nomor empat.

Seketika kolom marmer setinggi 1,5 meter tersebut meledak, menerbangkan keduanya jauh ke belakang hingga menabrak tembok bangunan tua mirip kastel bercat abu-abu cerah. Akibat ledakan, dinding cahaya yang saling terhubung antar 12 kolom lain dalam formasi melingkar buyar seketika dan kehilangan fungsi utamanya.

Dinding transparan tersebut didirikan untuk mengurung sosok berjubah yang menguarkan spora hitam—miasma. Hanya ada kematian instan bagi siapa saja yang tidak sengaja menghirup partikel-partikel halus tersebut.

Keadaan semakin memburuk tatkala hujan energi hitam turun dari langit, energi maha dahsyat yang ditembakkan seperti peluru dari portal raksasa mirip mata yang baru setengah terbuka. Makhluk-makhluk mengerikan dari Dunia Bawah juga turut menginvasi Dunia Tengah. Para pemegang Legacy ataupun Relique yang mengandalkan pertahanan, berusaha menyelamatkan sebanyak orang yang mereka bisa. Akan tetapi, selama lima menit dibombardir dengan energi, miasma, dan serangan para daemon kelas rendah, banyak yang tidak sanggup bertahan dan tumbang.

Separuh populasi Carpe Noctem lenyap begitu saja.

Setelah hujan energi hitam selesai, Neg sudah tertimpa atap bangunan yang runtuh. Ia tidak sempat membuat perisai energi karena memprioritaskan keselamatan gadis yang menginterupsi prosesi yang hampir selesai. Meski bagian dari para pemberontak, di mata Neg dia masih layak untuk diselamatkan.

"Cepat pergi sejauh mungkin dari tempat ini dan hiduplah dalam Jalan Terang!" perintahnya tegas sambil meringis menahan sakit.

Paha kirinya tertancap besi sepanjang setengah meter. Sambil menggigit kuat-kuat sapu tangan berbordir bunga Marygold, ia berusaha membebaskan diri. Celana yang semula putih dengan cepat memerah akibat rembesan darah yang memancur dari lukanya. Orang berhati lemah mungkin akan mual atau pingsan di tempat setelah melihat luka menganga yang tidak sedap dipandang.

Neg mengedarkan pandangan sejenak untuk memeriksa keadaan. Buruk, sangat buruk. Tim medis yang ada tidak sebanding dengan korban yang terus berjatuhan. Di sana, salah satu anggota tim medis tengah sibuk memberikan pertolongan pertama pada seseorang yang baru saja dibebaskan dari timpaan reruntuhan bangunan. Ia kritis. Secara harafiah, nasibnya bergantung pada pendar cahaya hijau yang keluar dari telapak tangan gadis berambut hitam. Cahaya hijau adalah ciri khas dari Restorasi, salah satu jenis Legacy, kemampuan istimewa yang masuk dalam kelas medis.

Napas Neg segera segera mengembus cepat setelah disadarkan oleh dua hal.Pertama, ia tidak memiliki Legacy medis yang sangat berguna di saat seperti ini. Kedua, tidak adanya pilihan selain menanggung dan menikmati siksaan tak terhindarkan.

"Baiklah," ucapnya sambil membulatkan tekad, "luka seperti ini tidak akanmembunuhku."

Ia kembali menghela napas. Kali ini tidak segera diembuskan karena satu gerakan kecil langsung membuat sel-sel saraf di sekitar luka meraung kesakitan. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk mengambil langkah pertama. Tujuannya hanya satu, mencari Nikko yang menghilang sesaat dinding cahaya buyar. Apa pun yang terjadi, Neg harus menemukannya lebih dulu.

Dengan langkah terseok-seok, Neg berjalan di antara reruntuhan bangunan akademi. Bau hangus menyengat dari sisa-sisa pembakaran memenuhi udara, bahkan kepulan-kepulan asap tebal masih terlihat di beberapa titik.

Wajah dan jubah putih yang dikenakan seolah menjadi kanvas lukisan abstrak akibat cipratan demi cipratan berwarna merah, hitam, dan hijau.Cipratan baru terus bertambah seiring dengan ayunan tangannya yang berbalut energi emas. Sesekali energi miliknya membentuk pedang atau sarung tangan besi berkait untuk menebas leher atau mencacah para makhluk berwajah buruk dan seram yang datang menerjang.

Di titik-titik strategis lain, portal-portal yang ukurannya jauh lebih kecil terus mengalirkan barisan tentara mayat hidup dari dimensi lain. Kuda-kuda tanpa kepala dikendarai oleh pasukan tulang-belulang manusia bertanduk bison. Di dalam rongga dada mereka terperangkap bola menyala, seolah berfungsi sebagai jantung. Dari atribut perang yang dikenakan, kemungkinan besar mereka adalah para tentara yang gugur di medan perang di masa lalu.

Tidak perlu menunggu waktu lama bagi mereka untuk memenuhi setiap ruas jalan berbukit menuju tembok terluar akademi, termasuk jembatan batu yang menjadi satu-satunya penghubung daratan benua utama dengan pulau tempat Carpe Noctem dibangun. Mereka mirip tumpahan tikus dan kecoa yang membawa wabah—wabah kematian.

Sisa-sisa penghuni akademi yang selamat, masih terus mempertahankan utas tali kehidupan mereka selama mungkin. Jeritan panik dan tangis putus asa, sesekali diserobot oleh teriakan komando dari siswa-siswi pemberani untuk melawan semampu mereka. Toh, tujuan mereka dipilih dan digembleng adalah untuk menghadapi pemenuhan ramalan beratus-ratus tahun lalu.

Bagi yang tidak siap atau berubah menjadi pengecut begitu mengetahui tipisnya harapan untuk keluar hidup-hidup, justru membantu para penyerang mengalahkan mereka tanpa kesulitan berarti. Formasi bertahan mereka sangat mudah ditembus karena kurangnya konsentrasi dan kemauan hidup yang terus meredup.

"Fokus kawan-kawan! Atau kalian lebih suka menjadi pupuk di tanah Neraka, hah!" Peringatan keras berbalut kegetiran dari seorang perempuan muda sedikit banyak menaikkan moral kawan satu timnya. Saat mendongak, salah satu makhluk bersayap meluncur cepat ke arah mereka. "Merunduk! Formasi bertahan Kura-kura Hitam!" teriaknya dengan suara lantang.

Kelelawar berkaki elang dan memilih zirah seperti armadilo, menabrak bola setengah lingkaran yang berhasil tercipta sepersekian detik, menyelamatkan kepala mereka tercerabut dari leher masing-masing. Gagal mengisi perut dengan mangsa yang seharusnya sudah terpojok, memantik gerakan-gerakan brutal sang musuh untuk menghancurkan dinding pelindung. Perlahan-lahan, pertahanan terakhir mereka mulai retak.

Roh mereka sedikit lagi terpisah dari raga. Namun, keberutungan datang dalam wujud cahaya yang melesat cepat dan meledak setelah melakukan kontak dengan kulit sang monster yang dipenuhi sisik. Ketebalan sisik-sisik tersebut, tidak mampu membendung daya ledak dari bom spesial yang diimbuhi sedikit energi milik Neg. Tubuh besarnya seketika berhamburan dan terserak di mana-mana.

Neg segera menyambar jubahnya untuk dan menyembunyikan wajah dari lontaran beberapa bagian tubuh monster tersebut. Para siswa membuka perisai energi yang melingkupi mereka dan berlari menghampiri sang penyelamat untuk berterima kasih. Kepala sekolah mereka mengangguk singkat dan bertanya, "Lizeth, kau melihat Nikko?"

Lizeth menggeleng dan hendak bersuara, tapi sekelebat hitam yang meluncur dari arah belakang menyambarnya. Kelegaan yang terpancar dari wajah para murid Neg berubah menjadi tatapan horor sewaktu mereka mendongak. Ketua tim mereka terjepit di antara mulut makhluk bersayap di atas sana. Sesaat moncong panjang yang berisi deretan geligi setajam gergaji itu mengatup rapat, putuslah tubuh sang ketua sebatas pinggang. Bagian yang meluncur jatuh langsung disambar seekor buaya berekor kalajengking.

Kaki mereka lemas seketika. Jika salah satu siswa terbaik saja berakhir mengenaskan seperti itu, bagaimana dengan nasib mereka? Tamat, tamatlah sudah. Bukankah menerima uluran tangan Dewi Kematian jauh lebih mudah daripada hidup dalam teror dan ketakutan tiada akhir? Serangan ini hanya permulaan dari serangkaian serangan di tempat lain, di benua utama atau bahkan ... di seluruh dunia.

Inilah kiamat. Akhir dari dunia.

Jelas sudah. Makhluk-makhluk kegelapan yang mereka hadapi tidak pandang bulu, segala yang bergerak dan bernyawa pasti dilibas. Para penghuni Dunia Bawah yang selama ini terbelenggu rantai tebal, bebas berkeliaran dan terus merangkak keluar dari lubang-lubang hitam yang juga bermunculan dari tanah. Siraman deras hujan api yang dikeluarkan oleh beberapa guru senior mereka memang membakar kulit dan daging para mayat hidup, tapi tidak cukup untuk menghentikan nafsu mereka untuk mencabik sekumpulan manusia yang berkumpul di tengah-tengah lapangan terbuka.

Bukan, mereka bukan para manusia yang lelah menyelamatkan diri sendiri atau tersudut dan pasrah menerima kematian. Sebaliknya, para pengikut kultus akhir zaman seperti mereka justru menyongsong maut dengan perasaan senang yang berkobar-kobar karena merasa berjasa membangkitkan junjungan mereka dan bersiap hidup di dunia baru. Otak yang telah tercuci seperti mereka beranggapan mengorbankan diri sendiri dan seluruh penghuni Carpe Noctem adalah hal yang layak dan pantas.

Neg ditarik masuk ke dalam sebuah portal oleh bayangan tangan yang muncul di bawah kakinya. Para murid yang melihat bagaimana ia ditelan dan hilang begitu saja, tidak sempat bereaksi karena kejadian berlangsung dalam satu kedipan mata.

Sensasi ditarik gravitasi, baru berhenti setelah lututnya terantuk pada permukaan keras di dasar suatu ruang besar yang gelap gulita. Jentikan jari Neg langsung memantik percikan cahaya keemasan yang segera memadat seukuran kelereng dan mengambang stabil di samping kepala, lebih dari cukup untuk menjadi penerang yang efektif. Ia menemukan dirinya berada dalam sebuah gua berbau apek dan dipenuhi sarang laba-laba. Udara di sini sangat lembap hingga bernapas pun terasa seperti kegiatan menghirup dan merendam paru-paru dengan air.

Neg langsung tahu di mana ia berada. Ruang rahasia bawah tanah Carpe Noctem, tempat salah satu relik paling berbahaya yang harus terus-menerus disegel karena belum ada cara untuk memurnikannya. Mencoba untuk tetap tenang, ia berusaha menegakkan tubuh, walaupun harus bertopang di atas kaki yang gemetar menahan luka. Di depannya sudah berdiri satu sosok misterius yang terbungkus jubah hitam dan tertutup tudung bersimbol daemon junjungan para pemberontak yang berhasil menggagalkan prosesi.

"Kau pernah mendengar ungkapan 'kesombongan yang mengubah malaikat menjadi iblis dan kerendahan hatilah yang menjadikan manusia sebagai malaikat', bukan?" Sederetan kata yang terucap, membuat Neg memuntahkan darah. Sebagian wajah kiri hingga ke lehernya telah menghitam akibat tinta hidup yang semakin agresif bergerak untuk mengambil alih tubuhnya. Sesuatu yang terus ditekan dan dipenjara dalam tubuhnya kini bangkit.

Sosok yang berdiam dalam diri Neg menyunggingkan senyum miring. Tentu saja ekspresi ujung bibir yang tertarik itu terwujud di wajah Neg sendiri. "Lihatlah dirimu, Yang Mulia Razema! Dengan kerendahan hati yang kau maksud itu, dia sudah menjadi malaikatmu?"

Ejekan telak yang menohok hati. Namun, Neg juga menyambutnya dengan seulas senyum dan mengembuskan napas pelan. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mengerti seorang pemberontak," bisiknya.

Mata Neg—lebih tepat, sosok yang ada dalam dirinya—berkilat-kilat."Aku menang ...," ucapnya pongah sambil mengulurkan tangan untuk menyambut todongan ujung tombak yang diselubungi aura hitam pekat. Tanpa keraguan sedikit pun, ia menuntun ujung tajam yang memantulkan cahaya tersebut ke dada kiri Neg.

Cukup satu hentakan dan jantung Neg terpancang tombak sepanjang 2 meter tersebut.

Disela napas penghabisan, Neg melangkah pelan hingga ujung tombak menembusi punggung. Sosok yang telah menikam tanpa ragu, berusaha menarik benda yang bersarang di antara rusuknya. Namun, Neg menahan gagangnya dan menggeleng. Dirasa cukup dekat, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi remaja yang telah menurunkan tudung dan berbisik pelan, "Sampai bertemu lagi...."

Senyum hangat dan tulus Neg dibalas tatapan bengis dari sepasang iris merah menyala. Dalam diam, ia terus memandangi mata biru jernih milik Neg yang merosot jatuh hingga tersimpuh dan perlahan menutup. Tetesan bening lolos dan bergulir menuruni pipinya sesaat kepala Neg tertunduk dan tidak pernah terangkat lagi.

Tinta hitam dari tubuh Neg membentuk banyak tangan-tangan mungil yang ingin menggapai si pemilik iris merah, merespon tinta hitam di tubuhnya yang juga bergerak untuk menyambut. Sesaat tangan-tangan tinta mereka bertaut, utuhlah persatuan mereka.

"Sudah kubilang, kalian tidak akan bisa merebut Abdi setia ini dari tanganku!" Tanduk hitam besar berulir, mencuat keluar dari sisi kepalanya.

Cahaya dari kelereng emas milik Neg berdenyar redup akibat kematian pemiliknya, ditangkap dan dipeluk erat oleh tiga pasang kaki-kaki kurus seekor kupu-kupu bersayap biru. Semisterius kemunculannya, sayap setipis kertas makhluk ini pun mengepak-ngepak cepat menuju suatu pusaran cahaya kecil berwarna biru terang yang terbuka di udara. Sulur hitam melesat cepat untuk menikam tubuh rapuhnya.

Terlambat. Tusukan berujung lancipnya hanya membuyarkan jejak debu-debu biru berkilau yang ditinggalkan dan terpotong akibat pusaran cahaya tersebut lebih dulu menutup.

Sosok bertanduk ulir mengendus-endus sejenak. Indra penciumannya mendeteksi wangi bunga yang didominasi aroma kayu dan tanah. Bunga Iris. Seringainya mengembang sewaktu mengetahui siapa yang telah menolong Neg. "Kau semakin payah, Amsera!"

***

Pusaran cahaya perlahan-lahan terbit di tepi danau berair jernih. Begitu terbuka cukup besar, seorang wanita bergaun putih dengan hiasan kepala berbentuk kupu-kupu biru keluar dari portal. Langkahnya sempoyongan hingga harus mendudukkan diri di atas batu.

Sambil terengah-engah ia menunduk dan memperhatikan sulur hitam berujung runcing mencuat di dada kiri. Ia beruntung karena sulur hitam yang masuk dari punggung tidak menembusi jantung.

Amsera menghela dan menahan napas. Bibirnya digigit kuat-kuat. Erangan kesakitan masih saja lolos dari celah bibir setelah segala upaya antisipasi yang ia lakukan. Sesaat sulur hitam bergerigi tercabut, gelenyar nyeri di sekitar luka menjalar ke seluruh tubuh.

Benda laknat yang menjadi sumber deritanya sempat dipandangi sebelum dibanding dan diinjak hingga hancur. Masih dengan napas tersengal, Amsera mengeluarkan sebotol porselen kecil berisi ramuan dan merobek ujung gaunnya. Secarik kain yang sudah dibubuhi serbuk ramuan langsung ditempelkan pada area luka. Dalam sekejap lukanya mengering, tapi meninggalkan bekas yang harus diolesi salep lain supaya bisa mulus seperti semula.

Tidak ingin membuang waktu, Amsera menyentuh hiasan kupu-kupu di kepalanya. "Neg, maaf aku hanya bisa kembali ke masa sepuluh tahun lebih awal dari penyerangan akademi."

Hiasan di kepala Amsera menjadi kupu-kupu hidup dan melepas kelereng emas milik Neg hingga melayang-layang di udara. Cahaya yang redup kembali menyala terang, memicu senyum terukir di wajahnya. "Pergilah, Neg. Temukan dirimu di era ini."

Cahaya keemasan melesat menembus rapatnya pepohonan di hutan yang menjadi rumah bagi Amsera. Saat menengadah ke langit, awan hitam sudah menaungi kawasan hutan. Firasatnya buruk, tapi tidak menduga akan berhubungan dengan putri semata wayangnya.

"Irina, Nana pulang, Sayang," bisiknya sambil menyunggingkan senyum, membayangkan disambut wajah sumrigah bocah berusia 6 tahun di teras rumah.

Langkah riang Amsera terhenti saat meniti jembatan yang mengarah ke pondok kecil di tengah hutan. Jantungnya berdegup kencang diikuti muntah cairan hitam beraroma asam menyengat. "Sulur tadi ... beracun...?" Seketika tubuhnya kehilangan tenaga seperti boneka tali yang dipotong dan tercebur ke danau.

Di tempat lain, Irina tengah memeluk erat batang pohon akibat terisap sebuah lingkaran portal biru yang terbuka hingga mirip kibaran bendera. Pada akhirnya, ia tidak sanggup bertahan dan tersedot masuk bersama Aspia, roh hutan berbentuk asap yang biasa disebut spryte, teman bermainnya.

***

Glosarium

Daemon: Salah satu entitas yang menghuni Dunia Bawah. Memiliki berbagai bentuk dan ukuran.

Miasma: Partikel yang bersifat racun untuk tubuh manusia. Bentuknya bisa berupa asap atau spora. Biasanya miasma keluar dari tubuh daemon dan makhluk-makhluk Dunia Bawah, atau seseorang yang dirasuki.

Legacy: Kemampuan seseorang yang bangkit di satu titik kehidupan mereka. Biasanya setelah melewati kejadian traumatis, atau bangkit secara alami. Beberapa ada yang menamai legacy milik mereka, tapi sebagian dibiarkan tidak bernama.

Relique: Relikui atau pusaka yang diwariskan turun-temurun dalam suatu keluarga. Bentuknya bermacam-macam, tapi lebih banyak dalam bentuk senjata. Terkadang relique bisa memiliki kesadaran sendiri hingga menjadi pusaka 'bertuah'. Jika ditarik ke belakang, semua relique yang ada berasal dari 12 Razell, ksatria awal yang melawan Kegelapan.

Restoration/Restorasi: Salah satu jenis Legacy yang masuk kelompok medis jika dipakai untuk 'memperbaiki' (=menyembuhkan/mengobati) seseorang. Restorasi sendiri termasuk salah satu Legacy yang memanipulasi waktu akibat cara kerjanya yang mengembalikan kondisi seseorang ke titik sebelum mereka terluka.

Razema: Gelar Neg Ergess sebagai salah satu dari jajaran 12 Razell. Ia adalahRazell ke-4.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top