Chapter 5 - Welcome to Nikko's Inner World

Neg mengintip jam dinding lagi. "Kenneth, bisa tulis aduanmu di sini? Aku sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal seharusnya," ujarnya sambil menyodorkan selembar formulir isian.

Kenneth menghela napas dan menerima formulir dari tangan Neg. "Ya, aku tidak akan menyita waktumu lagi. Tapi, kalau kau bermaksud menghadiri rapat komite sekolah, jadwalnya sudah dipindah. Lusa."

Neg berkedip gugup dan menghindari tatapan Kenneth. "Be-benarkah?" Tangannya meraih agenda dan sibuk mencari jadwal kerja.

"Ada di sini." Kenneth menyodorkan kalender duduk yang telah dilingkari spidol merah pada salah satu tanggal dengan catatan kecil di atasnya.

"Oh, ok. Sebentar, aku harus mengamankan beberapa surat penting ini."

Nikko terheran-heran dengan sikap Neg yang tiba-tiba sibuk atau ... salah tingkah? Namun, ia tidak ingin memasukkan diri dalam pencobaan untuk sekedar melemparkan tatapan bertanya pada pria yang sibuk memainkan pengunci pedangnya.

Saat pengunci dibuka dengan meletakkan ujung jari jempol pada posisi tertentu, bunyi 'klik' akan terdengar dan benda pipih keperakan yang tersembunyi akan menyembul keluar, memantulkan cahaya lampu di atas kepala mereka. Bila Kenneth menyingkirkan jempolnya, logam tipis bertepi tajam tersebut akan menyusup kembali ke dalam sarung.

Sekali dua kali tidak menjadi masalah bagi Nikko, tapi Kenneth melakukannya berulang-ulang hingga kilatan tersebut seperti berdenyut dengan ritme yang teratur. Entah mengapa pengulangan demi pengulangan ini membuat Nikko tidak nyaman, seperti melakukan sesuatu tapi selalu tertunda dan tak akan pernah berakhir.

Rasa tidak nyaman ini dengan cepat menjelma menjadi kejengkelan dan berakhir menjadi amarah yang tak bisa disalurkan secara verbal—terutama bila penyebabnya adalah orang yang paling ia takuti. Ia butuh pelampiasan dan salah satunya dengan menggigit bibir bawah kuat-kuat, padahal luka dari gigitan sebelumnya masih belum sembuh. Semakin dikonsumsi kemarahan, semakin kuat dan dalamlah geliginya tertancap. Nikko menarik napas dalam-dalam untuk mengenyahkan denyutan menyakitkan dari luka baru.

Ketidakmampuan Nikko untuk mengontrol emosi negatif terbesarnya sangat berpotensi untuk melukai diri sendiri. Ini mirip dengan kasus ketika ia meninju tiang listrik hingga bengkok dengan konsekuensi tangan terluka akibat ligamen otot yang sobek dan tulang retak.

Neg langsung mengangkat kepala setelah menghirup aroma karat yang sangat kuat. Ia mendeteksi napas Nikko yang berat. Matanya terpaku pada benda yang masih dimainkan oleh Kenneth. Cairan kental berwarna merah membasahi mulut dan sekitar dagu Nikko, membuatnya terlihat seperti Vampire yang baru menghisap habis darah korban.

"Kenneth, hentikan."

Kenneth berhenti dan menoleh pada Nikko karena bau anyir darah yang menyegat juga menyerang indera penciumannya yang lebih tajam dari manusia biasa. "Ada apa dengan anak ini? Dia ingin mati dengan menggigit lidah dan tercekik darahnya sendiri?"

"Tidak, kau hanya menyulut penyakit anehnya."

"Tapi, aku tidak melakukan apa-apa terhadapnya."

"Bantu aku."

"Ha~ah ... Menyusahkan." Kenneth meletakkan tongkatnya dan berdiri untuk memegangi Nikko.

Neg sibuk menekan kedua pipi Nikko hingga mulutnya yang terkatup rapat terbuka dan menyumpalnya dengan sapu tangan. Meski mata Nikko terbuka, tapi tatapannya kosong seperti mayat. Ia bergumam pelan, "Dia ke sana lagi?"

Kenneth menoleh pada Neg yang melambai-lambaikan tangan di depan wajah Nikko. Ia bahkan mengacungkan jari, seakan ingin mencolok sepasang indra penglihatan Nikko. Kebingungan segera menggeser pertanyaan dalam kepalanya dan semua tersorot jelas dari mata karamelnya. "Anda tidak akan melakukan seperti yang sedang kupikirkan, bukan?"

Neg menjeling. Ia menolak menjawab pertanyaan wakilnya, justru tersenyum simpul. "Terima kasih untukmu."

"Razema, berhentilah berteka-teki. Apa maksudmu—"

Telunjuk Neg membentang di bibirnya sendiri. "Bawa dia ke atas," perintahnya sambil membantu menempatkan Nikko ke bahu Kenneth dan berjalan menuju bagian berlantai kayu.

Setelah melewati tangga melingkar di dekat perapian, mereka sampai di ruang tidur Neg. Kenneth membaringkan Nikko di ranjang dan menanyakan rencana Neg terhadap siswanya.

"Mengajakmu berkelana dalam dunia Nikko." Di telapak tangan kiri Neg muncul sebuah simbol yang berpijar keemasan.

"Kenapa aku harus melakukannya? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan anak bermasalah ini."

Neg hanya mengulas senyum. "Bukankah kau selalu ingin tahu alasanku untuk mengadopsi anak ini?" Telapak tangan Neg yang masih berpijar ditempelkan ke dahi Nikko, sementara tangan satu lagi memegang pergelangan tangan Kenneth.

Tidak lama, mereka terisap ke dalam pusaran cahaya menyilaukan.

***

Neg dan Kenneth terdampar di padang gurun hingga tidak terlihat batas tepinya. Pasir di sini tidak berwarna cokelat keemasan, tapi semerah darah. Tidak ada langit biru yang cerah, melainkan langit kelam dengan sekumpulan awan merah tebal. Di beberapa titik bahkan tampak gelap karena selalu diguyur hujan abu. Sesekali embusan angin kencang menerbangkan pasir, memaksa mereka memicing atau menutup mata.

Kenneth celingukan sampai berputar memperhatikan sekeliling. "Ini ... di mana?"

"Dunia Nikko." Neg mengeluarkan kompas berantai emas dari saku jas. Setelah melihat sejenak, ia mulai melangkah.

Kenneth langsung mengekor karena tidak ingin tersesat di dunia yang suram dan membuat perasaannya tidak nyaman. "Kuharap kau tahu ke mana kita akan pergi."

"Tentu saja. Ke sana." Neg menunjuk sebuah titik hitam yang sangat jauh dari posisi mereka sekarang. "Sebaiknya kita sampai di sana sebelum titik hitam itu pudar dan hilang."

Sekian lama berjalan, titik hitam yang mereka tuju tidak juga semakin dekat. "Kenapa kita seperti sedang berjalan di atas threadmill? Sudah 698 langkah dan titik itu tetap terlihat jauh," ujar Kenneth sambil memicing dan membuka jas. Meski dunia ini tidak ada matahari, suhunya melebihi temperatur gurun di tempat asal mereka. Peluh terus bercucuran dari dahinya.

"Pengendali api, tapi tidak tahan dengan panas?"

"Tentu saja, aku hanya anti terhadap panas apiku sendiri. Lagipula energi panas ini mengandung banyak aura ... daemon?"

Neg tidak menjawab, tapi kembali mengulas senyum yang sulit diterjemahkan artinya oleh Kenneth. Raut wajahnya menegang. "Razema! Jawablah, anak ini ... anak ini adalah daemon?" Ia tidak percaya bila selama ini Neg memelihara daemon, musuh yang harus mereka basmi. "Sial, aku meninggalkan tongkatku!" dengkusnya sambil menjambak rambut sendiri.

"Aku mengajakmu ke sini bukan untuk bertarung." Neg mencium cincinnya dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Zeb, keluarlah."

Percikan keemasan listrik statis melesat dari dalam cincin berukir elang. Elang bermata biru dan memiliki bulu emas kembali mengeluarkan lengkingan jeritannya yang khas sambil merentangkan sayap. Setelah terbang berputar beberapa kali, Zeb terbang serendah mungkin. Tubuhnya membesar hingga cukup untuk ditunggangi dua pria dewasa.

"Bawa kami ke sana, Zeb."

Angin yang ditimbulkan dari kepakan sayap Zeb menerbangkan butiran-butiran pasir merah hingga Neg dan Kenneth harus menutup mata dan menahan napas sejenak. Tubuhnya melesat seperti pesawat jet dan tidak butuh waktu lama untuk mencapai bola hitam yang terlihat sebagai titik hitam dari kejauhan.

Semakin mendekati target, yang mereka temukan adalah kerangkeng kaca berlapis aura hitam dengan sedikit corak kemerahan. Setelah mendarat pada puncaknya, Kenneth langsung melompat turun dan disusul Neg yang mengusap-usap lembut leher si elang emas. Zeb memiringkan kepala sambil memejamkan mata karena sangat menyukai belaian tuannya.

Kenneth melempar tatapan siriknya. "Dia bukan kuda."

Merasa dibicarakan, Zeb berpaling dan mematuk kepala Kenneth sebelum kembali ke dalam cincin Neg dengan cara yang sama seperti dia keluar.

"Sepertinya itu salam perpisahan darinya," balas Neg sambil tertawa renyah.

Meski kesal, Kenneth memilih tidak merespon dan sibuk mengelus ubun-ubunnya yang berdenyut. Aura gelap yang terus berotasi di dalam kerangkep kaca menghalangi penglihatan mereka. Ia mengetuk-ngetukkan kakinya dan bertanya, "Ada apa di sini?"

"Sebentar." Simbol di telapak tangan Neg muncul dan kembali berpijar keemasan. Ia berlutut dan menapakkan simbol tersebut kuat-kuat hingga aura hitam pekat segera buyar seperti sekumpulan tawon yang sarangnya dilempar batu, tapi tidak cukup untuk melubangi lapisan keras mirip kaca transparan. "Dia di bawah sana. Sepertinya sedang menganiayamu."

"Siapa, aku?" Kenneth berlutut dan ikut mengintip bersama Neg. Benar, di bawah sana ada satu sosok bertudung hitam diselubungi aura yang sama. "Dia ... Nikko?"

"Ya. Kau lihat siapa yang terikat di sana dan berlumuran darah itu?"

Mata Kenneth menyipit dan berkonsentrasi penuh untuk menangkap sosok berambut pirang sebahu yang tertunduk lesu. Ia dalam kondisi terikat erat pada sebuah pilar besar berwarna hitam. Satu-satunya yang membuktikan identitas orang itu adalah sebilah pedang tipis yang diacungkan Nikko. "Gramclere? Kenapa relique milikku bisa berada di tangan—"

Anak itu.

Kenneth tidak sanggup menyelesaikan ucapannya akibat Nikko di bawah sana menghunjam dadanya—tepat di bagian jantung—dengan Gramclere, nama pedang tipis yang selama ini tersamar dalam bentuk tongkat. Untuk beberapa saat ia menahan napas dan menekan dadanya sendiri demi menghentikan 'pendarahan' setelah Nikko menarik pedang tersebut dan membuangnya begitu saja.

Neg yang masih berlutut hanya menggaruk-garuk pelipisnya, bingung dengan reaksi lelaki di sampingnya. "Sesakit itukah?" Penasaran dalam hatinya menang dan ia mencolek punggung Kenneth, di bagian yang akan berlubang jika tertembus pedang Gramclere.

"Akh!" jerit Kenneth sambil menjauhkan diri dari Neg hingga tersungkur. Wajahnya hampir saja beradu keras dengan permukaan kaca.

"Darahnya di mana?" tanya Neg sambil menunjukkan telunjuknya yang bersih tanpa noda merah. Satu alisnya terangkat.

Kenneth buru-buru mendudukkan diri lalu meraba-raba dada dan punggungnya sendiri. Aman, tidak ada darah sama sekali. Perasaan lega segera menyusup, tapi segera hanyut diterpa kekalutan yang membanjiri hati. Dadanya mengencang disertai debar menyakitkan, seolah memang ada luka yang tertoreh. "Razema. Apakah semua ini hanya ilusi atau ... masa depanku ...?"

Premonisi adalah satu kata yang terbit dalam benak Kenneth.

"Entah." Neg tidak memberikan kepastian yang dibutuhkan oleh Kenneth. "Dari sikapmu terhadapnya, aku tidak akan terkejut kalau ini akan terjadi padamu kelak." Tangannya terulur dan menepuk-nepuk bahu Kenneth.

Kenneth tersenyum kecut. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin menunjukkan ini padamu."

"Apa yang terjadi kalau aku sedikit mengganggu kesenangannya di bawah sana?" Sorot mata Kenneth menajam, seolah bisa mengebor kaca di bawah kakinya. Jawaban Neg memantik penolakan dalam hatinya. Ia tidak sudi menerima nasib yang hampir sama dua kali. "Lagipula, bukankah kita harus membawanya pulang?"

"Dia bisa pulang sendiri. Satu lagi, kita tidak bisa masuk."

"Apa maksudmu? Kaca setipis ini pasti mudah dihancurkan."

"Coba saja."

Kenneth mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Incendis!"

"Pertunjukan dimulai." Sudut bibir Neg terangkat saat kepalan tangan Kenneth diselubungi oleh nyala api berwarna oranye dan sedikit kemerahan sesaat ia membuka segel dari Legacy bertipe api miliknya.

Tinju Kenneth melesat menuju lapisan kaca di bawah kaki mereka. "Vuistram Ignimus!"

Ledakan energi diikuti semburan angin panas dari tumbukan tersebut membuat Neg dan Kenneth terlempar. Tubuh mereka untuk sesaat menggantung di udara sebelum gravitasi menarik mereka dengan cepat, jatuh lebih cepat daripada yang seharusnya.

"Cornustra." Sepasang sayap yang mirip dengan milik Zeb muncul di punggung Neg. Kakinya juga memiliki cakar melengkung seperti elang. Praktis ia terlihat seperti Harpy.

Kenneth hanya bisa pasrah dengan dirinya yang terus meluncur cepat karena ia tidak memiliki Legacy yang bisa membuat si pengguna melayang di udara ataupun terbang. Neg melipat sayap dan menukik cepat untuk menangkap Kenneth dengan cakar di kakinya.

Dapat. Satu kaki yang tertangkap, jauh lebih baik daripada meleset sama sekali. Di dunia yang dipenuhi aura kegelapan dan tekanan energi negatif khas Dunia Bawah, membuat Neg tidak bisa menggunakan wujud manusia burung dalam waktu lama akibat kurangnya partikel-partikel manna yang bisa diserap dan disimpan sebagai cadangan. Ia harus segera mengudara dan sesekali mengepakkan sayap sambil menahan beban seberat dirinya sendiri.

Sesampainya di bubungan bola kaca, Neg segera melepas cengkeramannya hingga kepala Kenneth terantuk pada kaca tipis yang gagal dipecahkan tadi. Ia sendiri mendarat dengan anggun setelah kaki bercakar dan sayapnya lenyap. Tatapan protes yang dilemparkan wakilnya tidak dihiraukan. Toh, ia berhasil diselamatkan.

"Kaca ini terbuat dari apa? Tinjuku sama sekali tidak berguna." Kenneth meraba permukaan bening tersebut, sedikit tidak terima ada sesuatu yang bisa menahan tinju apinya.

"Lithazite."

"Lithazite ...?" Kenneth mencubit-cubit dagu, berusaha mengencerkan informasi yang telah membeku lama dalam kepalanya. Nama kristal yang disebut Neg sama sekali tidak asing, tapi entah mengapa ia kesulitan mengingatnya. "Ayolah, memoriku! Jangan berkarat di saat penting seperti ini!"

"Kau benar-benar tidak ingat?" Neg mengernyit, tapi hanya dibalas gelengan oleh Kenneth.

"Kau lihat pancang besar tempat kau terikat dan mati mengenaskan itu?"

"Ceh!" Kenneth tidak mau melihat ilusi berwajah dirinya yang telah meregang nyawa secara tragis.

"Pancang itu terbuat dari bahan yang sama dengan bola kaca ini. Sekarang jelas?"

"Benarkah?"

"Senjata milik Razetama adalah kristal yang berasal dari pecahan meteor. Kristal tersebut sangat keras. Kau tahu artinya? Bila dijadikan kubah pertahanan seperti ini tidak akan ada yang bisa menembusnya."

"Tunggu dulu, bagaimana caranya kristal tersebut bisa berada di dunia anak nakal ini?"

"Mudah. Meteornya berasal dari dimensi ini."

"Tapi, bukankah ini hanya alam bawah sadar Nikko? Dan bagaimana mungkin relique Razetama berasal dari dunia anak ini? Mereka hidup terpisah ribuan tahun, Razema."

Neg menepuk-nepuk bahu Kenneth. "Cobalah berpikir lebih keras. Aku tidak percaya kau tidak bisa membuat kesimpulan yang paling masuk akal."

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top