Chapter 3. Why It Ain't Easy
"Apa yang kau pikirkan? Hentikan kekhawatiran yang tidak perlu dan nikmatilah hidup. Sayang sekali aku tidak bisa mengatakan 'Kau Hanya Hidup Sekali' padamu tanpa diceramahi seharian penuh." Neg menepuk-nepuk pelan bahu Kenneth dan kembali mengumbar senyum tipisnya.
Kenneth memutar mata menanggapi cara berkelakar Neg, terutama pada bagian 'Kau Hanya Hidup Sekali'. Jadi, nikmatilah selagi bisa sampai puas, begitu?
Kalimat semanis madu itu bisa berubah menjadi racun bila remaja labil di luar sana melakukan semua hal sesuka mereka. Kenneth sama sekali tidak suka dengan cara penyampaian Neg, seolah-olah ia juga ingin bermain sepuasnya seperti anak kecil yang diberi sekotak mainan. Ia tidak akan membiarkan Neg melakukan 'Kau Hanya Hidup Sekali' versinya. Tidak akan pernah lagi.
Perhatian Neg dan Kenneth beralih pada remaja yang tiba-tiba sibuk mengacak-acak dan menarik-narik rambutnya sendiri, menunjukkan frustrasi yang tidak tersampaikan. Dua ujung alis tebal nyaris bertemu di atas pangkal hidung Nikko yang mancung akibat kerut-kerut di dahinya. Entah sampai kapan pertarungan dua sisi Nikko yang saling bertolak belakang dalam dirinya akan berakhir.
Tanpa Nikko sadar, Neg sudah menghampiri. "Aku suka jiwa mudamu! Kau ingin membuktikan bahwa kau tidak takut pakai hitam—Benar?" Mata Nikko bertemu dengan tatapan lugu Neg yang telah membungkuk sambil memperhatikan bahunya, mencari sesuatu yang disebut ketombe.
"Kepala Sekolah! Apa yang Anda lakukan?" Suara tegas Kenneth menyentak Nikko dari tempat duduknya.
"Apa ... yang Anda lihat?" Menyadari Neg masih bergeming, Nikko berusaha mengatur suaranya sedatar mungkin sambil membuang muka.
"Kulit kepala yang sehat. Bebas kutu putih." Neg memperhatikan kilau di rambut Nikko lalu mengusap-usap pelan bahu Nikko sambil tersenyum puas. "Tidak salah pilihanku pada warna hitam untuk seragam sekolah para murid. Warna putih hanya akan menyamarkan kutu putih yang jatuh. Kita tidak bisa mengabaikan kesehatan kulit kepala kalian. Keputusan yang jenius, bukan begitu Kenneth?"
Senyum emas Neg kembali membuat mata Kenneth berotasi. "Yang benar saja," dengkusnya pelan, tapi masih bisa didengar oleh Nikko.
Empat tahun lalu, Neg membuat keputusan pertama yang sama sekali tidak penting, yaitu mengganti desain dan warna dari seragam sekolah para murid dan baru kali ini ia mengetahui alasannya. Seragam sekolah yang sekarang memang lebih bagus daripada seragam lama. Neg juga membuat beberapa perubahan untuk desain dari seragam jajaran pendidiknya.
Desain seragam untuk para pendidik terdiri dari setelan jas yang ujungnya mencapai lutut dan celana panjang berwarna putih. Setiap bagian tepi dari jas selutut itu diberi aksen garis tipis setebal satu sentimeter berwarna emas. Aksen yang sama juga terdapat pada bagian kantong yang terletak pada kedua sisi pinggang bagian depan. Enam pasang kancing deret besar berwarna putih dengan lingkaran luar berwarna emas tersemat di bagian depan. Rompi berkancing lima dengan warna senada, wajib dikenakan sebelum memakai kemeja yang warnanya dibebaskan.
Kenneth memilih memadukan kemeja hitam dan dasi satin merah darah untuk menghiasi lehernya. Untuk sepatu, cukup pantofel putih dengan sol merah. Bila Kenneth memilih warna hitam untuk mengontraskan warna putih yang terlalu dominan, Neg justru makin menonjolkan warna putih. Ia memakai kemeja putih dan cravat dari bahan sutra berwarna emas. Pin bunga marigold berbahan emas, tersemat di kerah kiri jasnya—dekat dengan jantung. Di dada kanan setiap orang selalu tersemat papan nama yang diukir dengan tinta emas.
Seragam para murid mirip dengan guru mereka. Perbedaan terbesar hanya pada warnanya yang hitam dengan garis tepi berwarna putih. Mereka tidak perlu memakai rompi berkancing di balik jas yang hanya sebatas pinggul, tapi wajib mengenakan kemeja putih dan dasi hitam. Dasi hitam panjang untuk murid laki-laki dan dasi kupu-kupu lebar untuk perempuan.
Padanan bawah untuk jas mereka terdiri dari celana panjang kotak-kotak—dengan kombinasi putih, hitam, abu-abu—dan rok berlipit-lipit kecil di atas lutut. Kaos kaki hitam panjang dipadukan dengan sepatu pantofel untuk laki-laki dan stoking hitam panjang dengan sepatu pantofel bertali satu untuk murid perempuan. Pin berlogo sekolah disematkan di kerah jas sebelah kiri di dekat jantung dan papan nama terpeniti di dada kanan.
***
Neg menautkan jemari di atas meja. Aura berwibawanya tumpah ruah. "Jadi, apa prestasimu hari ini?" Matanya melekat pada Nikko.
Baru saja Nikko hendak membuka mulut, suara Kenneth sudah mengudara lebih dulu. "Bukan prestasi, tapi dia mencari masalah denganku!" Kenneth gagal menjaga nadanya sedatar mungkin untuk meredam riak-riak kemarahan yang masih tersisa di dada.
"Tidak ada yang baru? Membosankan ...." Neg menggaruk pipi yang tidak gatal dengan ujung telunjuk untuk mendukung wajah bosannya.
"Tentu saja ini yang terbaru." Kenneth gagal menangkap maksud Neg yang malas mendengar aduannya.
"Baiklah. Nama, kelas, dan kasus. Setelah ini aku harus menerima tamu." Neg mengeluarkan selembar kertas dari laci lalu medongak untuk melihat jam antik yang tergantung di atas pintu masuk. Kenneth menghalangi jalur pandangnya hingga ia harus mengibas-ngibas supaya kepala wakilnya bergeser. "Lima menit dari sekarang."
"Nikko—maksudku Nicholas. Elendil. Cruz. Kelas 3-F." Menyebut nama lengkap Nikko cukup membuat Kenneth muak.
"Kelas 3-F? Kelas Urban Langres, bukankah seharusnya dia yang datang kesini sebagai Wali Kelasnya?" Mata Neg bergerak mengikuti gerakan jarum detik. Sepertinya menghitung setiap detikan jarum berlapis emas di sana jauh lebih menarik daripada harus mendengarkan aduan Kenneth.
"Tugas sosial selama tiga hari." Merasa tidak diacuhkan membuat mata karamel Kenneth berkilat-kilat kesal. Ia melirik Nikko yang masih berwajah masam.
Sampai sekarang Kenneth masih sulit untuk mengikuti jalan pikiran pria di hadapannya meski sudah lama berjuang bersama. Ia yang paling menolak keras keputusan Neg untuk membawa Nikko ke Carpe Noctem, apalagi sampai mengajukan diri sebagai wali pelindung. Nikko selalu membuatnya tidak nyaman. Terkadang, ia bisa mendeteksi aura yang sangat gelap dalam diri remaja di sampingnya.
Bukannya Neg tidak menyadari hal ini, tapi ia pernah mengatakan sesuatu yang sampai sekarang tidak bisa Kenneth mengerti.
"Melihatnya mengingatkanku pada Razetama." Perkataan Neg selalu terngiang jelas di kepalanya, seolah baru terjadi sedetik lalu. Tidak ada keraguan saat Neg menatap remaja itu lekat-lekat. Belum pernah Kenneth melihat sang guru seserius itu kecuali saat ia tengah mempersembahkan kurban dan doa kepada Yang Pertama dan Utama. Ia memang tidak pernah bertemu dengan pemimpin dari Persaudaraan Darah Omnia, seorang Razell bergelar Razetama.
Dari cara Neg bercerita, ia bisa mendapatkan kesan bahwa Razetama adalah seorang pemimpin karismatik, teguh dalam pendirian, dan tidak menoleransi segala bentuk kejahatan. Tidak ada satu pun ciri itu ditemukan dalam diri si remaja nakal. Baginya Nikko hanyalah anak ingusan yang berusaha mati-matian untuk mendapatkan respek setiap orang—yang kenyataannya gagal total. Orang-orang di sekitar Nikko tidak ingin melibatkan diri dan merusak citra mereka, apalagi latar belakangnya tidak jelas. Sebagian lagi tidak terima dengan kenyataan ia bisa menjadi salah satu pelajar di Carpe Noctem tanpa melalui proses seleksi karena yang menjadi penjamin adalah Neg Ergess sendiri.
Untuk masalah keteguhan, Kenneth harus mengakui bila Nikko memilikinya, tapi bila itu ditempatkan pada posisi yang salah maka itu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Masih teringat dengan jelas dalam benak Kenneth ketika ia harus memberi pelajaran pada Nikko bahwa mengambil sesuatu yang jatuh di jalan adalah salah. Kala itu Nikko sangat ngotot sekeping uang emas yang tergeletak di pinggir trotoar adalah miliknya karena tak ada satu pun yang mengklaim. Ia dan Neg beradu argumen selama dua jam tanpa henti.
Kala itu Kenneth menyalahkan kepala sekolah mereka yang kehabisan kesabaran dan hendak menggunakan petir Zeb—burung elang dalam cincin Neg—untuk membungkam anak liar itu. Keduanya berakhir di rumah sakit setelah Kenneth menghajar mereka.
Kasus dirinya yang menghajar Neg lebih ke salah sasaran. Nikko menghindar ketika kepalan tangan sudah melesat. Hasilnya, tinjunya melukai pelipis kiri sang atasan. Meski Neg bisa dengan segera menghilangkan luka kecil seperti itu, ia membiarkan luka sobek tersebut terlihat sebagai bukti bagi Komite Disiplin Sekolah untuk menjatuhkan skors.
Ia dan Nikko harus melakukan kerja sosial selama tiga hari di Rumah Sakit Universitas Carpe Noctem. Sementara Neg lolos dari hukuman karena ia adalah Kepala Sekolah Carpe Noctem, sesederhana itu. Tidak ada yang percaya dengan laporan yang ditulisnya mengenai bagaimana Neg dan Nikko beradu mulut seperti anak sekolah dasar di dekat terminal bus. Hukumannya justru ditambah menjadi lima hari.
Terakhir, Nikko sangat suka berkelahi. Nikko memang memiliki jiwa keadilan yang tinggi, hanya saja ia sering berada di tempat dan waktu yang salah. Remaja yang tidak punya teman ini tidak pernah berpikir panjang untuk menceburkan diri dalam masalah orang lain, apalagi jika melihat seseorang yang teraniaya. Namun, caranya menyelesaikan masalah penuh dengan kekerasan, sehingga ia selalu berada di pihak yang dirugikan karena korban yang dibela malah balik menyalahkannya.
Kenneth tidak sadar tengah menatap tajam pada Nikko sampai lupa berkedip.
Tahu-tahu bulu Nikko meremang, takut 'binatang buas' yang sedari tadi mengincar akan menerkam dam menggigit lehernya hingga ia mati tercekik. Bukan hanya itu, suhu di ruangan juga meningkat. Bulir-bulir sebesar biji jagung mulai terbentuk di dahi dan perlahan-lahan mengalir menyusuri pipi sebelum menetes-netes deras dari ujung dagu. Sebagian lagi lebih suka melanjutkan penjelajahan ke bagian yang lebih rendah, menyusuri ceruk leher dan berakhir merembesi kerah. Bila ini terus berlanjut, mungkinkah ia akan terpanggang hidup-hidup?
"Kenapa kau berkeringat banyak sekali?" Nikko mendongak sewaktu telapak tangan sedingin es mendarat di dahi. Beberapa helaian rambut yang basah seperti tercelup air sampai menempel. Spontan ia menarik mundur dirinya, berusaha menjauh dari jangkauan Neg. Namun, sikap sang Kepala Sekolah dengan tegas mengatakan siapa pun tidak akan bisa menghalanginya untuk menunjukkan afeksi. Wajah Nikko kembali memanas karena malu dan tidak terima diperlakukan seperti anak kecil. "Nikko ... kemari."
"Hentikan! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" Nikko semakin menjauhkan wajahnya. Ia kesal karena Neg selalu gagal membaca bahasa tubuhnya yang sangat jelas menunjukkan penolakan.
"Aw ... kau menyakiti hatiku ...." Neg pura-pura merajuk. Air mukanya berubah sedih seperti seorang ayah yang meminta satu kecupan di pipi, tapi ditolak mentah-mentah oleh anak lelaki yang telah beranjak remaja.
"Jangan bersikap tidak hormat pada Kepala Sekolah, Nikko." Entah sejak kapan Kenneth sudah berdiri dan menodongkan tongkat di belakang kepalanya.
Nikko menegang sewaktu benda kurus yang ia benci kembali menyentuh bagian tubuhnya dan terdorong maju. Jelas ada ancaman dalam nada bicara orang sadis itu bila ia tidak menurut. Ia seperti kucing sial yang tercebur di selokan dangkal dan menerima sorot penuh kemenangan yang terpancar dari sepasang mata biru Neg.
Sapu tangan kuning berbahan lembut tengah menyerap keringat yang terus membanjiri dahi Nikko. Neg sama sekali tidak peduli dengan tatapan jengkel dari anak asuhnya. Padahal, Nikko berharap bisa mengubah seseorang menjadi batu hanya dengan menatap mereka.
"Begitu lebih baik. Kau memang penurut, Nikko." Wajah bahagia Neg membuat Nikko semakin kesal dan ingin menarik diri dari jangkauan Neg yang sangat leluasa melecehkan harga diri remajanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top