# Chapter 09
#Salah paham yang bikin kesalahpahaman
Ketika buah lahir, ia tidak akan muncul menghadap pada ujung pucuk daun teratas. Namun, ia akan selalu menghadap ke bawah. Tidak pernah sekali pun bakal buah itu menyembunyikan diri. Sekali pun ia merupakan buah dari pohon yang tertimbun di tanah, barang mudah bagi kita untuk mendapatkannya--menggalinya. Selalu ada gravitasi bumi yang mengikuti buah tersebut. Akan tetapi, lain halnya dengan manusia. Ia terkenal sebab buah dikenal buahnya. Manusia diketahui oleh orang lain asal-usulnya, terlihat dari caranya bertingkah lalu.
Bu Ai sendiri sudah paham dengan tabiat penghuni kost yang satu ini. Namun, tetap saja asing rasanya saat menghadapi dua kombinasi aneh dari Aryan-Luna yang akhir-akhir ini sering Bu Ai temui mereka dalam satu waktu. Ia menatap galak pada Aryan yang lurus-lurus saja ketika diberikan delikan tajam dari sang pemilik kost.
Aryan tampak tak mempan meski sudah dua ratus tujuh puluh kali Bu Ai menceramahinya. Namun, tidak sampai hati pun Bu Ai benar-benar mengusirnya. Bu Ai hanya pernah menghukumnya, paling berat dengan pembayaran bulanan sewa kost dilakukan paling awal. Padahal, bukan itu yang diharapkan oleh Bu Ai.
Wanita paruh baya dengan daster motif Nusantara yang kaya dengan tone monokrom, menghampiri Aryan. Ia siaga untuk menjewer lelaki berkulit sawo matang itu, tetapi dengan lihainya Aryan dapat mengelak dengan mudah.
“Aryaaan!” gemas Bu Ai. Ia betulan geram dengan kelakuan Aryan yang tidak pernah tobat-tobat untuk tidak memanjat tembok kebunnya.
“Kapan sih, kamu kapoknya?” omel Bu Ai seraya bertolak pinggang. “Ibu dah, bilang, kan? Jangan panjat tembok kebun, jangan panjat! Kamu budek, ya?” tuding Bu Ai dengan memicingkan mata curiga.
Sang tersangka, bersembunyi dibalik punggung Luna yang terlalu sempit untuk menyembunyikan badannya yang sebesar gaban. “Ya maaf, Bu. Cuma sekali ini, ajaaa.”
Rayuan Aryan berbalas cibiran Bu Ai. “Bagaimana cuma bisa dibilang sekali, kalau kamu melakukannya tiap minggu, Aryaaan!”
Sementara itu, lelaki yang kena semprot Bu Ai malah memasang muka tanpa dosa. Ia menyengir lebar pada Bu Ai, sambil tetap berada di antara jarak yang ia yakini kalau Bu Ai tidak akan dengan mudah memberikan cap merah pada kupingnya. “Janji deh, besok aku bakalan bayar kost,” sumbarnya.
Bu Ai langsung berdeham singkat. Meski punya toleransi, penghuni yang bayar sewa lebih awal selalu menjadi anak emas baginya. “Kamu nggak bohong, kan?”
“Suer, deh!” Aryan mengangkat jari telunjuk dan tengah dari tangan kanan, untuk mengacung di udara sebentar. Lalu dengan jemari telunjuknya, ia mengacungkan jari tersebut di depan muka sendiri. “Ibu lihat, kan? Aku tuh, bukan orang yang melanggar janji lhoo.”
Pada akhirnya Aryan memenangkan perdebatan dengan Bu Ai. Lalu pandangan ibu kost itu mengarah pada Luna. Ia memiringkan kepalanya sedikit. “Kalau kamu bagaimana, Lun? Sudah ada pekerjaan yang didapat?”
Sang empu yang dimaksudkan menggeleng canggung. “Belum, Bu. Mohon doanya yang terbaik, ya.”
Bu Ai menghela napas sambil memandang Luna dengan iba. “Waktu kamu tersisa kurang lebih dari seminggu lagi sebelum tenggat, Luna,” katanya, mengingatkan.
Luna hanya bisa mengangguk lemah. Pipinya sudah terdapat semu kemerah-merahan, lantaran malu karena belum ada uang untuk memperpanjang sewa kost-nya. Lebih lagi, aibnya tersebut sampai ketahuan--dua kali--oleh lelaki yang sama pada tempo lalu.
Lalu, karena menyadari bahwa atmosfer di sekitarnya menjadi canggung, Aryan pun berdeham lumayan keras. Suaranya tersebut mampu membuat kedua wanita berbeda generasi itu saling melirik, seakan sepaham. Mereka pun silih lempar senyum.
“Nah, gitu, dong! Adem,” celetuk Aryan, berbangga hati. Tampak seperti perantara yang sukses menegosiasikan keputusan yang pelik. Ia tersenyum lebar, lalu segera melingkarkan lengan pada bahu Luna dengan tak acuh. Padahal aslinya jantungnya berdebar. “Satuin saja tagihannya sama punya dia, Bu,” kata Aryan sambil mengisyaratkan kepada Luna lewat dagu. “Aku yang bayar.”
“Eh!”
Luna sudah kembali dikejutkan oleh keputusan spontan Aryan kedua kalinya. Pertama, sikap dia yang menunjukkan rasa akrab pada orang lain. Padahal, kita tidak sedekat itu, tahuuu! Kedua, tawaran mendadak yang diberikan oleh Aryan tanpa diskusi lebih dulu dengan Luna, terdengar lebih horor lagi. Sejak kapan kamu mau menawarkan bantuan!
Luna ingat betul kejadian tempo lalu. Ketika seminggu belakang itu ada seekor kucing yang kerap mengusili Luna di kost, Luna hampir saja melakukan tindakan yang tidak berperikekucingan. Namun, beruntungnya dia. Ada Aryan--si Pahlawan Kucing--sehabis olahraga langsung mengangkut kucing itu dari hadapan Luna.
Sebetulnya, bukan itu yang membuat Luna jadi skeptis dengan bantuan dari Aryan, hanya saja setelah memindahkan kucing--yang ternyata milik laki-laki itu ke kandangnya--Aryan yang bersikap kalem, seketika lenyap. Dia seolah digantikan oleh sosok baru, yang lebih suka berkomentar pedas.
Bagaimana Luna tidak tercengang dengan tindakan impulsif Aryan. Jika pengalaman pertama mereka berinteraksi saja, laki-laki itu malah memberikan kesan seakan-akan Luna adalah Penyihir Kucing.
“Menyiksa batin kucing,” komentar Aryan yang membuat Luna jadi cengo.
Waktu itu saja Aryan memperlakukan Luna seperti manis daging saja, bagai orang yang melakukan kesalahan. Padahal nyatanya, tidak begitu.
Namun, bukannya hanya Luna saja yang skeptis dengan ucapan Aryan yang terdengar jemawa, tetapi rupanya Bu Ai pun sepertinya sependapat dengan Luna. “Kamu nggak mempermainkan Ibu, kan, Aryan?”
Suara lelaki yang masih merengkuh Luna layaknya mereka kawan karib, terdengar jernit dan begitu dekat. Aryan tergelak pelan. Ia mendramatisir keadaan dengan memasang tampang minta kasihan.
Padahal aslinya, Luna ingin memberikan pukulan tinjunya pada rahang Aryan yang seakan tidak lelah menebar senyum.
“Perkataan Ibu membuatku sakit hati, lho,” ungkap Aryan dengan memeragakan kesakitan pada bagian dada. Jantung, katanya.
Bu Ai menatap jengah. Akhirnya, ia pun mengalah dan tidak memperpanjang masalah sewa kost Aryan dan Luna. Ia pun pamit pergi. Sebelumnya, ia berkata pada kedua sejoli tersebut sambil terbatuk-batuk, seperti sengaja. “Ibu harap, kalian tidak lupa jika salah satu peraturan di kost ini mengatakan bahwa ada larangan untuk berpacaran kepada sesama penyewa kost.”
Sementara Aryan yang kini gantian melongo, Luna yang mendengar perkataan Bu Ai pun hendak berkomentar, tetapi Bu Ai lebih dulu menyela hak bicaranya.
“Tak masalah jika kalian berteman baik. Itu bagus. Tapi, jangan lupakan peraturan itu untuk mengantisipasi perilaku yang tidak-tidak, okeee?”
“Tapi, Bu--!”
Bu Ai mengisyaratkan Luna untuk tutup mulut. Mau tak mau pun, gadis itu menurut. “Sudah malam, sebaliknya kalian lekas kembali ke kost.” Pandangan Bu Ai pun mengarah pada lengan Aryan yang masih bertumpu pada bahu Luna. “Aryaaan....”
Nada tersirat dari panggilan Bu Ai pada Aryan, sontak saja membuat nyali lelaki itu jadi menciut. Aryan pun menarik lengannya dari bahu Luna dan kembali menyembunyikannya di dalam saku celana.
Bu Ai tersenyum puas. “Yah, Ibu berharap yang terbaik untuk kalian,” tuturnya dengan sarat akan makna.
Sayang sekali, Luna hanya bisa menjerit dalam hati untuk menyuarakan kekesalannya. Apa-apaan maksud Bu Ai, sih!
~TBC~
.
.
.
Alhamdulillah, aku selesai nulis ini lagi. I'm come back!
Nggak nyangka banget bisa tetep nulis gini😂
.
.
.
Oke, terima kasih yang sudah menyempatkan diri karena telah membaca cerita ini.
Semoga aku bisa istiqomah up rutin, ya. Doakan!
See u next part!
Bye~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top