# Chapter 08

#Pria Pohon

Makanan fermentasi memiliki dampak yang positif bagi kesehatan. Luna percaya akan hal tersebut. Nyatanya, banyak pula para ahli di bidangnya yang mengatakan bahwa makanan fermentasi ini erat kaitannya dengan suasana hati dan berhubungan dengan kesehatan usus dan fungsi otak.

Studi menunjukkan bahwa seseorang kemungkinan lebih rendah secara signifikan dari keparahan depresi dan depresi klinis jika memiliki asupan makanan fermentasi yang tinggi. Tapi, makan terlalu berlebihan juga tidak baik. Jadi, sewajarnya saja.

Selain mendukung kesehatan usus yang baik, makanan fermentasi seperti asinan kubis, yogurt, dan kimchi juga dapat meningkatkan kadar serotonin. Makanan tersebut mengandung probiotik yang menurut banyak penelitian dapat mengontrol gula darah dan kesehatan metabolisme yang memengaruhi suasana hati dan otak. Hal tersebut sangat penting karena serotonin— kadang disebut hormon bahagia— bertanggung jawab untuk mengangkat suasana hati.

Selain itu, bahan kimia yang diperkaya dalam makanan fermentasi seperti flavonoid juga berdampak positif pada mikrobioma untuk mengurangi peradangan dan stres oksidatif, yang keduanya dapat berdampak negatif pada otak. Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali semangat Luna setelah ceramah ibunya, ia memilih mengkonsumsi yogurt sebagai alternatif.

Saat di dekat pertigaan kost, letak minimarket yang memiliki fasilitas lengkap bagi orang yang mengekost seperti Luna, menjadikan ia senang hati menghabiskan waktu luang di tempat tersebut. Namun, karena berlakunya jam malam di kost Bu Ai, Luna pun akhirnya--dengan terpaksa--hengkang dari tempatnya mendinginkan hati. Ia pun sengaja menghindari orang-orang dengan meninggalkan ponselnya di kamar, sebelum akhirnya keluar dari kost.

Barang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi jalan menuju kost sudah sangat sepi. Diam-diam Luna mulai membayangkan hal horor yang sering kali ia jumpai pada cerita-cerita fiksi. “Nggak Luna, tenang!” Ia menggeleng beberapa kali, kemudian menyugesti diri bahwa yang seharusnya ia khawatirkan bukanlah sejenis makhluk tak kasat mata, melainkan sosok manusia yang bisa saja berbuat hal yang tak lazim. Makanya, Luna mempercepat langkahnya. Ia benar-benar sudah berkeringat dingin. Saking berkecamuknya pikiran yang macam-macam hingga memompa denyut jantungnya.

Luna akhirnya bisa bernapas lega ketika sampai di gerbang kost yang hampir ditutup oleh satpam di sana.

“Oh, Mbak Luna!” sapa sang Satpam, tampak terkejut. Namun, dia tetap bersikap ramah. “Abis dari mana toh? Tumben baru pulang. Untung saja gerbangnya belum Bapak kunci.”

Luna memegang sisi gerbang yang terdapat di gagang selot, hampir-hampir bersandar di sana. Namun, mengingat gerbang itu memiliki permukaan yang dingin, Luna pun mengurungkan niatnya. Ia mengatur napasnya yang memburu. Kemudian menatap Pak Satpam dengan haru. “Terima kasih pokoknya, Pak!” ungkap Luna. Setelah itu, ia berdiri tegak. “Kalau gitu, saya pamit dulu ya, Pak. Malam!” Luna buru-buru kabur karena merasa kalau sedari tadi ada yang memerhatikan gerak-geriknya.

Usai berpamitan pada Pak Satpam, Luna masih merasakan ketidaknyamanan. Di sekitar kost memang rindang dengan pohon-pohon di dekat kebun Bu Ai, di belakang kost. Namun, karena ukuran pohon-pohon tersebut yang tampaknya sudah dewasa, jadi dari segala penjuru kost--bahkan dari gerbang sekali pun--rindang pohonnya sudah terlihat. Belum lagi semilir angin yang menggerakkan daun-daun, hingga ranting pohon yang saling bergesekan membuat Luna agak ngeri karena memandanginya terlalu lama.

Ketika sampai di pintu kost-nya, mata Luna tidak dapat diajak kerja sama. Ia terus melirik ke arah pohon-pohon yang seakan melambaikan dirinya pada Luna. “Fokus, Luna!” Namun, bukannya fokus, Luna malah sampai menjatuhkan kuncinya. Ia kehilangan fokus karena ketidaksesuaian hati dan pikirannya. “Ah, sudahlah!” Ia menyerah. Lalu mengambil kembali kunci kost dan berjalan--dengan takut-takut--ke arah pohon-pohon tersebut.

Luna meneguk saliva susah payah. Ia mengutuk dirinya sendiri karena bisa-bisanya berada sepuluh langkah lagi di depan pohon tua yang tingginya melebihi bangunan kost bertingkat 3 lantai. Ia menengadah, memerhatikan dedaunan dan ranting yang bermain dengan angin. “Kenapa aku mesti terhipnotis ke sini, sih!” gerutunya. Ia membenci dirinya jika sudah bertingkah labil seperti sekarang ini. Meski rasanya mau melarikan diri karena saking takutnya, tetapi nyatanya kaki Luna masih betah berdiam lama di sana.

Hingga sebuah suara, menginterupsikan Luna secara tidak langsung untuk menoleh ke belakang. Kedatangannya bersamaan dengan bunyi seseorang yang telah berhasil memanjat sebuah tembok. Mata Luna pun mengarah ke samping kebun, dalam remang-remang pencahayaan, ia memicingkan mata. Ternyata memang ada tembok yang dibangun dari batako. “Kenapa manjat ke sana? Nggak takut kena omel Bu Ai?”

Rupanya cibiran Luna sama sekali tidak diindahkan oleh pria berjaket hitam itu. Tangannya bersembunyi dibalik saku celana denim yang dipakai. Ia menghampiri Luna, berdiri bersebelahan. Aryan, pria itu ikut memandang pohon yang sedari tadi memecahkan konsentrasi Luna. “Kamu tahu tentang filosofi pohon?” tanyanya. Ia menoleh pada Luna, menantikan jawaban.

Luna mengangguk sekali dengan ragu, tetapi segera menggeleng untuk mengkonfirmasi, ia pun menambahkan, “Nggak terlalu. Tapi, pohon ini ... menyeramkan.” Suaranya mengecil, tetapi masih dapat terdengar oleh Aryan yang sudah menahan tawa geli. “Tapi juga, pohon ini punya kesan kuat dan mungkin, sekali pun ada badai, pohon ini akan tetap bertahan, bukan?”

Aryan mengangguk sebagai jawaban. Ia kembali menatap pohon dengan pandangan serius. “Kamu tahu, Lun, pohon itu tidak akan menunjukkan amarahnya, walaupun ada badai yang mencoba untuk merobohkannya. Betul katamu barusan.” Aryan menoleh pada Luna, ia memandangi Luna dengan lekat, seolah menyampaikan pesan tersirat dari pandangannya.

Luna dibuat keki sendiri. Ia tiba-tiba jadi gugup. Padahal barusan, rasa-rasanya ia masih ngeri dan berharap bisa menjauhi pohon ini. Namun, tak bisa. Kini, Luna malah terjebak dengan Pria Pohon yang sulit sekali untuk mendeskripsikan pandangannya. Nyatanya, mata manusia itu memang tidak pandai menyembunyikan sesuatu. Tapi, sulit sekali untuk menebak sesuatu itu! Luna mengerang frustrasi, tetapi ia tutupi dengan membalas padangan Aryan menggunakan tatapan galak dan tak sabaran. “Apa, apa? Kenapa emang? Aku tadi asal bicara saja.” Sebisa mungkin Luna menghindari pandangan Aryan.

Hingga saat Aryan kembali bicara, pria itu hanya berjarak selangkah lagi dari pohon. Tangannya terulur menyentuh batang pohon yang selebar rentang tangan orang dewasa. “Mereka itu--para pohon--tidak akan membalas perlakukan makhluk yang merusak bagian tubuhnya. Ia tidak pernah melayangkan protes ketika ia dipaku demi keperluan dekorasi dan pembuatan rumah.” Aryan mengambil jeda sebentar, seakan dirinya ikut menjadi pohon yang sesungguhnya.

Pria Pohon, kata hati Luna. Ia jadi makin yakin bahwa kemungkinan besar kalau Aryan merupakan kerabat jauh dari pohon. Buktinya saja, ia pandai menjelaskan tentang bangsanya.

“Pohon tidak mengenal dendam dan marah, Luna. Ia bisa saja berhenti mengeluarkan buahnya sebagai tanda penolakan. Atau, bisa saja ia memilih untuk mengerdilkan dirinya dan berhenti menaungi makhluk lain sebagai bentuk pembalasan. Tetapi tidak, pohon tidak memilih jalan yang seperti itu. Sekali pun ia bisa melakukannya, ia lebih memilih untuk tetap tegar dan kokoh bertahan dengan makna yang ia miliki.

“Begitulah seorang manusia seharusnya mempelajari hakikat kesabaran. Jangan hanya karena takdir tidak berjalan sesuai kehendak kita, membuat kita hanya mau menyalahkan keadaan dan tidak berbuat apa-apa.” Aryan berjongkok, memungut beberapa sampah plastik yang baru Luna sadari ternyata ada di sana. Baru setelah membuang sampah tersebut, ia menepuk-nepuk tangan, membersihkan. Kemudian berdiri di samping Luna. Jelas saja, terlihat sekali perbedaan tinggi badan keduanya. Luna hanya sebatas dagu Aryan.

“Jangan hanya karena sebuah sandungan kecil, kita mengeluhkan pahitnya kehidupan yang telah dijalani, bukankah setiap ada sandungan, ada hikmah yang harus dipelajari dan menjadi introspeksi diri, bukan?” Aryan menutupi pertanyaan retorik dengan senyuman di akhir kata.

Sikap pria itu membuat Luna jadi bertanya-tanya. Aryan ternyata banyak tersenyum, pikir Luna. Karena setahunya, orang itu jarang sekali menunjukkan ramah-tamah seperti sekarang. Apalagi dengan berbaik hati menceritakan kisah sedih tentang kerabatnya.

Baru saja Luna hendak berkata, tetapi rupanya ada lengkingan suara yang sudah menginterupsikan mereka dan membuat Luna tambah kikuk.

“Sedang apa kalian di sana?”

~TBC~
Hati riang penuh tawa
Akhirnya aku kembali
membawa sebuah cerita
Semoga berkenan
di hati kita semua
Mari mulai ramaikan bersama-sama.
.
.
.
Setiap jejak yang kalian
tinggalkan
Penuh terima kasih
kuucapkan
Semoga kalian tidak merasa
kebosanan
Dan aku akan semangat
melanjutkan.
.
.
.

Next part? ASAP!
See u ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top