# Chapter 07
#Dilema Hati
Kehidupan itu penuh dengan suka-dukanya. Tak jarang pula, ada orang yang mendefinisikan kehidupan itu sebagai sesuatu yang unik, penuh kejutan tak terkira dan bahkan ada yang menganggap bahwa hidup itu menggemaskan. Boleh saja kita mendeskripsikan sesuatu sesuai dengan konseptual yang kita miliki. Akan tetapi, satu hal yang pasti, yakni kebolehan kita berterimakasih pada Dia Yang Maha Pengasih.
Singkat cerita, lelaki itu menceritakan tentang pengalaman orang-orang yang dikenalnya--memiliki pengalaman serupa dengan Luna--kena tolak lamaran pekerjaan. Katanya, ada yang masih ditolak hingga 50 kali dalam setahun, walaupun pada akhirnya di tahun terakhir, berhasil mendapatkan posisi pekerjaan baik baginya. Lalu, ada pula orang yang sudah menyelesaikan tes tertulis dengan baik, karena memang ilmu yang diujikan merupakan keahliannya. Akan tetapi orang tersebut tetap gagal. Kemudian, ada pula orang yang berhasil masuk ke-10 besar di antara ribuan pendaftar, tetapi karena kuota yang minta hanya tiga orang, maka gugurlah dia.
Ada pula orang yang sudah lolos tes lisan dan tulisan, wawancara berjalan baik, dan sudah diterima kerja. Sudah siap bekerja. Namun, karena ada perubahan manajemen, dari manajemen baru yang menghapus keputusan manajemen lama. Sehingga, orang tersebut pun tidak jadi bekerja di perusahaan itu. Lalu ada pula orang sudah diterima di suatu pekerjaan dengan posisi manager, tetapi malah disuruh menjadi sales dari produk perusahaan tersebut.
Sang interviewer perusahaan tersebut berkata seperti ini, "Sebelum kamu menjadi manager, sudah seharusnya kamu memperkenalkan produk usahamu pada orang lain. Supaya banyak dikenal orang." Sementara itu, sang pelamar yang merasa ditipu akibat ketidaksesuaian antara informasi yang ada dalam selebaran dengan realita, akhirnya memilih untuk mengundurkan diri.
"Kamu tidak sendirian," ungkap lelaki asing itu. Ia melirik Luna sekilas, sebelum akhirnya berfokus pada orang-orang yang menikmati Taman Patung Diponegoro yang masih ramai di siang hari seperti sekarang ini. "Hidup ini hanya tentang bagaimana caranya tetap berusaha dan bersyukur secara bersamaan."
Senyuman itu terbit kala Luna memerhatikan bahwa lelaki asing yang duduk bersebelahan dengannya menularkan suntikan semangat padanya. Luna pun ikut melebarkan senyum. Ia mengikuti sang lelaki tersebut untuk memerhatikan sekelilingnya. "Yah ... kamu memang benar. Itulah keunikan hidup."
"Berusaha menggapai impian juga merupakan salah satu bentuk menghargai diri sendiri." Lelaki itu kembali berkata, "Intinya, rezeki orang berbeda-beda. Sudah ada yang mengatur segalanya. Tinggal kita saja yang berusaha, berdoa dan menikmati hidup."
Luna dibuat bungkam oleh perkataan orang yang baru pertama kali ini bertemu dengannya. Ada seperti tiupan angin sejuk yang menggelitik hatinya. Ia pun memejamkan matanya barang sebentar, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang mengibarkan rambut beserta menerpa wajahnya. Lalu, saat ia membuka mata dengan hati yang lapang, ia lantas menoleh ke samping.
Kosong. Luna mengerjapkan matanya. Takut-takut jika penglihatannya salah. Namun, tetap saja. Setelah dia merasa bahwa dirinya dalam keadaan sadar betul, Luna mencari ke sekitar. Ia berdiri dan mengedarkan pandangan. Lelaki yang memakai kemeja hitam digelung hingga sikut, dengan celana bahan berwarna senada, tampak tidak ada di mana pun Luna memerhatikan orang-orang.
"Aku ... tidak berkhayal, bukan?" gumam Luna sekian kali. Ia pun kembali duduk dengan perasaan linglung. Kehadiran seseorang itu sebanding dengan peribahasa yang mengatakan, datang tampak muka, pulang tampak punggung.
Kedatangan dan kepergiannya sama sekali tanpa permisi dan selalu tiba-tiba. Syukur-syukur karena Luna tidak memiliki riwayat serius perihal jantung. Sudah dipastikan kalau ia cemas sedikit saja, bukan hanya jantungnya saja yang perlu dicemaskan, melainkan umurnya pun patut dikhawatirkan.
Luna enggan mencemaskan sesuatu yang telah berlalu. Ia pun membiarkan kejadian tersebut menjadi bagian dari memorinya kelak. Seandainya Tuhan berkehendak mempertemukan mereka kembali, tentu saja Luna akan mengucapkan kalimat 'terima kasih' karena belum sempat ia katakan pada orang tersebut. Namun, hati kecil Luna meyakini bahwa kesempatan itu akan datang. Yah, suatu hari nanti. Aku yakin.
•oOo•
Usai menghadapi semrawut kota metropolitan, kini Luna harus berhadapan dengan mereka yang sukses menjungkirbalikkan suasana hatinya yang semula membaik, menjadi lebih senewen.
Bukan tanpa alasan jika Luna yang jarang memaki orang, sekarang ini mulai menyalahkan keberadaan berbagai benda yang disimpan di kost. Itu semua, sebetulnya bukan salah benda tersebut, hanya saja Luna membutuhkan sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya.
Sepenggal ingatan mengenai percakapannya dengan sang ibu pun kembali menghantui Luna. Ia memilih merebahkan tubuh di atas kasur sembari menatap lekat pada langit-langit ruangan. "Haruskan aku menolak ajakan itu?"
Luna berbalik ke kanan. Ia membiarkan lengan kanan yang ditekuk, menyangga kepalanya. Pikirannya masih terbayang oleh perkataan ibunya.
•oOo•
"Sesibuk itukah kamu sampai tidak bisa pulang, Aluna!"
Suara melengking itu berasal dari sang penelepon, sosok paling berjasa dihidupnya. Akan tetapi, orang itu pun adalah orang yang sama memberikan luka hati pada Luna.
Panggilan dari ibunya, sudah beberapa kali Luna abaikan. Namun, entah kenapa kali ini, ia memberanikan diri menerima panggilan telepon yang bisa saja menyakiti banyak pihak. Hal itu terbukti karena sang ibu kembali membahas tentang perilakunya di masa lalu. Seakan-akan menuntut Luna supaya tidak melupakan masa lalunya.
"Seperti yang ibu pikirkan. Aku memang tidak bisa pulang sekarang, Bu," jelas Luna. Ia meminimalisir sedikit-tidaknya perkataan yang bersifat berbohong.
Namun, sang lawan bicara rupanya tidak mau mengalah. Ia kembali mengulang kalimat serupa. Petuah yang mengatakan bahwa tak baik jika seorang gadis berjauhan dari keluarga. Dan, serentetan omel yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang sudah-sudah. Ibunya mengomel sana-sini terkait pilihan hidupnya.
Luna hanya bisa menjadi pendengar yang bijak. Sebab, jika dia menyela pembicaraan orang tua itu, pidato kala siang yang terik ini dapat berdurasi panjang. Bahkan sampai petang. Mungkin.
Lalu, entah angin apa yang membawa ibunya membahas perihal kehidupannya di Jakarta. Padahal, sejauh yang Luna kira, ibunya hanya bisa selalu menuntut ini dan itu saja, tanpa mau mengetahui pengorbanan seperti apa yang harus Luna lakukan untuk memenuhi keinginan itu.
Sebelum menjawab, Luna menelan salivanya susah payah, takut ketahuan. "Una baik aja di sini." Kebohongan pertama. "Pekerjaan Una baik-baik aja. Una juga makan dengan teratur." Jelas betul jika dua kalimatnya merupakan fiktif belaka. Luna sudah hampir mengalami krisis keuangannya sendiri. Ia pun harus memutar otaknya guna membayar sewa kost..
"Ibu tidak percaya jika kamu baik-baik di sana, Una," kata ibunya, skeptis. Namun, memang betul jika keadaannya tidak baik-baik saja. "Kamu sudah terbiasa dibantu orang sejak dulu. Kalau begitu, lekas pulang, Una. Di sini pun tak jauh beda ketika kamu berada di kota."
Luna menjerit dalam hati. Ia meringis karena sang ibu tak pernah mau memberikan kebebasan yang ia minta. Pada akhirnya, yang Luna lakukan guna mengakhiri percakapan itu sesegera mungkin adalah mengiakan saja semua yang ibunya katakan. Bagai masuk ke telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri.
Luna baru bisa merasakan kelegaan yang luar biasa usai sang ibu yang menutupi telepon. Tentu saja ibunya meninggalkan petuah--suruhan--agar Luna segera pulang ke kampung halaman. Namun, jangankan untuk pulang kampung, ia pun kini harus berpikir ulang untuk sekadar makan saja.
"Kenapa Tuhan memberikan ujian seperti ini? Aku rasanya sudah mau menyerah saja."
~TBC~
Yeapie! Aku up, dong
So, bagaimana keadaan
kalian sekarang?
.
.
Semoga baik-baik
aja ya💚
.
.
Pesanku untuk kita semua:
Semua orang pantas untuk bahagia
Kamu, aku dan kita semua
pantas untuk dicintai
Kita berharga dan
tiada duanya
Kita hebat
Kita telah melakukan
yang terbaik
Semoga hari ini menyenangkan
.
.
See u next part!
Pye-pye~
Up lagi?
ASAP!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top