# Chapter 04
# Saran dari Mantan Bos
Ketika tubuh kecapaian secara menyeluruh akibat berjibaku dengan segala tumpukkan tugas yang menggunung dan keruwetan di kawasan ibu kota, pilihan menyegarkan diri dengan mengunjungi taman di pusat kota menjadi alternatif bagi banyak kalangan. Terlebih lagi, di kawasan Menteng terdapat taman yang memiliki daya tarik tersendiri dalam memikat para pengunjungnya.
Taman Suropati menjadi ikon di Jakarta yang paling banyak dicari. Lokasinya yang ditumbuhi oleh pepohonan beragam jenis, tumbuh-tumbuhan beranekaragam, hingga terdapat tanaman hias dan air mancur di dalamnya, menjadikan taman tersebut memiliki suasana yang nyaman, tenang dan teduh di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan.
Alasan para pengunjung mendatangi Taman Suropati sangat beragam. Bukan hanya karena faktor kebutuhan terhadap Ruang Terbuka Hijau saja, tetapi karena taman tersebut memiliki nilai sejarah yang sangat penting. Selain itu, Taman Suropati juga berlokasi sangat strategis, hingga dapat dikunjungi dari berbagai waktu.
Tak hanya itu saja, kawasan taman ini juga kental dengan kisah mistis yang sempat berkembang dari mulut ke mulut. Penataan kawasannya pun sudah disesuaikan dengan kebutuhan kekinian. Sehingga masyarakat setempat dapat dengan leluasa menikmati berbagai aktivitas di taman ini.
Layaknya Luna yang sedari dulu bekerja tiada henti, seperti sudah mengilang, membajak pula. Akhirnya, kini ia dapat bernapas lega. Walaupun ia harus kena getah orang lain, akibat dirinya belum diresmikan sebagai pegawai tetap di sana, akhirnya Luna pun terpaksa minggat dari sana dengan membawa secarik surat yang diterimanya hari lalu.
“Okay, Luna! Mari kita lihat sisi baiknya.” Luna bermonolog, “Karena sudah bekerja keras seperti kacung di kantor, kini aku dapat dengan leluasa menikmati hari-hari tanpa perlu berpikiran tentang penyeleksian calon-calon SDM kantor.” Ia mengangguk-angguk pelan. Kemudian menepuk pipinya, guna menyadarkannya kembali. “Baik, segini saja sudah cukup.”
Saat Luna hendak beranjak pergi dari kursi taman, ia meregangkan dulu tubuhnya. Jalan-jalan selama setengah jam tersebut, ternyata berdampak banyak bagi reaksi tubuhnya. Ia pun mengedarkan pandang, hendak mencari makanan yang akan disantapnya. Sebab perutnya sudah demo sedari tadi. Namun, bukannya gerobak jajanan yang ia temui, melainkan perkelahian dua orang pria yang amat ia kenali. “Eh!’
Luna pun lantas menghampiri mereka. Niat hati ingin memisahkan pertengkaran dua orang pria dewasa itu, tetapi rupanya mereka sudah lebih dulu menyudahi kelahi tersebut, lalu saling berpelukan singkat sebelum akhirnya tertawa bersama.
“Sial, aku hampir saja kena tipu mereka,” geram Luna. Ia pun hanya dapat misuh-misuh. Karena jika saja rencananya untuk memisahkan pria dewasa itu terlaksanakan, Luna pasti harus menahan malu lebih dari sekarang.
Bukannya dapat bernapas lapang, akan tetap, salah satu di antara kedua sosok tersebut malah menyapa Luna begitu mata mereka berpapasan.
“Luna! Kemari!”
Luna lebih dulu menunduk, senam mimik sebentar. Setelah dirasa cukup, ia menampilkan muka riang sambil menghampiri kedua orang yang pernah satu kantor dengannya. Ia mendatangi mereka dengan berlari kecil, lumayan untuk sekadar berolahraga ringan.
“Halo, Pak Agi, Pak Kaisar!” sapa Luna. Ia agak membungkuk, lalu tersenyum ala kadarnya. Seakan tak melihat kejadian barusan.
Salah seorang dari mereka, yang Luna taksir setahun lebih muda dari ayahnya, Pak Agi. Sosok tersebut seakan nyaman dengan setelan olahraga yang jarang Luna lihat ketika berkantor. Pak Agi selalu identik dengan kemeja dan jas kecoklatan, kadang-kadang dikombinasikan dengan motif garis-garis, menjadikan tampilan Pak Agi yang sekarang ini menjadi sosok baru bagi Luna.
“Kabar sehat, kan, Lun?”
Luna mengangguk dan menjawabnya dengan secukupnya. Ia sudah hapal dengan tabiat Pak Agi yang hendak memulai percakapan serius. Hal itu ditandai oleh ungkapan basa-basi layaknya pengantar lisan dalam buku-buku kepalanya.
Pak Kaisar yang jabatannya berada satu tingkat di atas Pak Agi, sebagai Wakil Pimpinan, hanya terpaut lima tahun di atas usia Luna, memiliki karisma yang membuat orang-orang jadi segan padanya.
“Sudah ada perusahaan yang kamu lamar, Lun?”
Pertanyaan yang tanpa basa-basi dati Pak Kaisar, kena sikut Pak Agi yang memberikan isyarat bahwa ia melakukan hal yang tidak baik. Namun, bukan seorang kaisar namanya, jika harus mengamini tiap bawahannya. Salah satu yang membuat Luna--mantan karyawannya--dan rekannya kerjanya dulu, mereka akan menciut seketika berhadapan dengan Pak Kaisar yang sering kali berbicara tanpa memedulikan perasaan lawan bicaranya, terlalu jujur hingga tiap perkataannya terkesan menusuk.
Luna tersenyum canggung. Ia berdeham sesaat. Walaupun dalam hatinya berisik karena Pak Kaisar sendiri yang menyuruhnya keluar dari perusahaan, tetapi sekarang malah menanyakan pertanyaan yang krusial membuat emosinya tak stabil. Namun, beruntung bahwa Pak Agi mengalihkan topik pembicaraan mereka ke arah lain. Hingga Luna pun jadi tak karuan perasaannya.
Pak Agi mengambil posisi tepat berada di pertengahan Luna dengan Pak Kaisar, seperti tembok pemisah.
Tak masalah, pikir Luna.
Sehingga akhirnya siang menjelang sore itu, Luna habiskan waktu bersama Pak Agi dan Pak Kaisar. Pak Agi lebih banyak berceletoh, jika dibandingkan dengan Luna. Sementara Pak Kaisar, lebih banyak menjadi penyimak dan mengambi motivator. Namun, satu hal yang mesti Luna syukuri dari pertemuan dadakan mereka kali ini adalah channel pekerjaan!
Pak Agi dengan suka hati--yang bisa saja merasa bersalah--pada Luna hingga sebelum ia berpamitan, Pak Agi memberikan secarik kertas sambil lalu. Ia melengkungkan bibirnya hingga membentuk lengkungan bulan sabit. “Ini... semoga bisa membantumu mengasah skill pekerjaanmu nanti,” nasehatnya. “Kabarin saya, oke. Apa pun hasilmu nanti, yang terpenting kamu sudah menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.
Luna menerima secarik kertas tersebut dengan hati lapang. “Terima kasih, Pak! Terima kasih.” Ia benar-benar tak menunda kesempatan yang diberikan.
Lekas setelah pulang dari Taman Suropati, Luna membaca brosur tersebut dengan seksama. Ketika matanya menangkap sebait informasi tentang posisi pekerjaan yang hendak ia lamar, bagaikan sudah mendapatkan keberuntungan tanpa akhir. Luna pun bersiap-siap menyiapkan segala berkas keperluan untuk melamarnya.
“Ayo, Lun. Semangat! Kamu pasti bisa!” monolognya.
Maka, di bawah pencahayaan lampu kamar kost, Luna sekali lagi menguatkan hatinya untuk tidak mengeluh.
~TBC~
Salam untuk kamu yang baca cerita ini~
Salam sejahtera,
semoga sehat selalu.
Barangkali ada yang sedang mengingat masa lalu.
Tak apa, jika ingin bersedih dahulu.
Ataupun..., tertawa bahagia mengingat kekonyolan di masa dulu.
.
.
Kalau sudah, jangan lupakan hari ini
mimpimu mesti segera kamu raih.
Jangan sia-siakan waktumu dengan menunda diri
Lakukanlah dari sekarang...
Sekecil apapun usaha yang kamu lakukan, itu akan membentuk pribadimu di masa mendatang.
.
.
Pye-pye semua!
Salam Hijau🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top