Short Story 3 : Fredrich, The Savior (Jo&Bianca Story)
"Papa! Papa!"
Aldrich mengernyitkan keningnya, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sebelumnya masih berkelana di alam mimpi.
"Papa, Edrik mau pipis, Pa!" Kata suara yang membangkitkan kesadarannya itu sekali lagi.
Aldrich mengusap wajahnya sebelum membuka mata dengan sempurna. Dia melihat putranya sedang duduk di ranjang, di sisi tempatnya berbaring.
"Mama mana?" Aldrich bersuara serak sambil melihat sekelilingnya. Memang hanya ada dia dan Fredrich, putra berusia lima tahunnya di sana.
"Mama lagi ada tamu," jelas Fredrich sebelum mengulang keperluan pentingnya tadi, "Edrik mau pipis, Pa!"
Aldrich akhirnya berdiri dengan sigap sambil menggendong balitanya itu menuju ke kamar mandi. Dia menempatkan kursi kecil di depan kloset agar Fredrich dapat berdiri cukup tinggi dan buang air kecil sendiri di kloset.
Aldrich menunggu sambil menguap lebar. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh.
"Mama ada tamu siapa?" Tanya Aldrich kepada putranya setelah sadar apa yang dikatakan Fredrich kepadanya saat kesadarannya masih setengah.
"Tante Bian," jawab Fredrich masih asik dengan kegiatannya.
Aldrich mengangguk-angguk. Dia memutuskan mencuci muka, menyikat gigi dan mengenakan kaosnya yang memang tidak dikenakannya saat sedang tidur.
"Edrich udah sikat gigi belom?" Tanya Aldrich setelah putranya itu menungguinya di samping washtafel.
"Udah dong! Edrik udah sikat gigi, udah sarapan. Papa nggak bangun-bangun. Padahal Mama udah bangun, udah buatin sarapan. Terus Tante Bian dateng deh." Celotehnya panjang. Putra semata wayangnya itu memang sedang senang-senangnya berbicara tiada henti.
Aldrich juga heran kenapa Felicia, istrinya itu tidak ada lelah-lelahnya sama sekali. Setelah melayaninya semalaman, dia masih bisa terbangun pagi-pagi untuk membuat sarapan dan mengurus Fredrich, padahal perut sudah kembali membuncit. Anak kedua mereka akan segera lahir beberapa bulan ke depan.
"Kok kamu nggak nemenin Mama di depan main sama Tante Bian?" Tanya Aldrich lagi.
"Edrik disuru masuk kamar. Katanya mau omong orang dewasa." Kata Fredrich terdengar seperti gerutuan.
Aldrich tidak paham apa yang dikatakan putranya tersebut, namun dia memutuskan untuk keluar.
"Yuk, kita keluar," katanya membuka pintu untuknya dan Fredrich yang berjalan di belakangnya.
"Gue sama Jo udah putus, Fel."
Kata-kata pertama yang terdengar begitu Aldrich membuka pintu kamarnya sontak membuat lelaki itu menghentikan gerakannya. Sebenarnya dia ingin menguping sedikit lebih lama, tapi putranya yang sudah tidak sabar itu berlari keluar sambil mendorongnya.
"Papa kok berenti sih? Awas Edrik mau keluar," kata Fredrich sambil berlari keluar dan berhambur ke pelukan Felicia, "Mama! Tante! Putus apa sih?"
Aldrich melihat ke arah Felicia dan Bianca, yang sedang duduk di sofa ruang tamu mereka, sambil memberikan senyum bersalahnya. Sepertinya dia muncul di waktu yang salah.
***
"Pa, kita mau kemana sih?" Tanya Fredrich heran, "kok Mama nggak ikut?"
"Kita ke rumah Om Jo, ya." Jelas Aldrich sambil memasangkan sabuk pengaman untuk putranya di kursi pengemudi sebelum memasangkan untuk dirinya sendiri.
Aldrich terpaksa membawa Fredrich bersamanya. Pertama karena dia merasa bersalah ketahuan menguping pembicaraan dua perempuan itu. Dan kedua karena sepertinya Bianca perlu benar-benar berbicara empat mata dengan Felicia, istrinya, yang notabene sahabat baik Bianca. Dan kini, Aldrich juga harus menuju ke rumah Jonathan segera, karena sepertinya keadaan cukup genting bagi hubungan sahabatnya tersebut.
"Mau ajak Om Jo main ya Pa? Kita mau main apa Pa?"
Aldrich sebenarnya paling malas menanggapi kalau anak lelaki itu sedang semangat-semangatnya berbicara seperti ini. Tapi kalau sampai Felicia tahu dia tidak menanggapi kata-kata Fredrich, dia pasti akan kena marah istrinya. Katanya Fredrich sedang masa penyerapan dan pembelajaran terbesarnya, kalau anak itu suka berbicara katanya akan semakin cepat pintar.
"Nggak main, Sayang. Edrich tadi denger kan Mama sama Tante Bian ngomong apa?"
Fredrich mengangguk. Seketika dia ingat lagi pertanyaan yang tadi diajukannya dan belum dijawab siapapun, "Putus apa sih Pa? Kok Tante Bian bilang mau putus sama Om Jo?"
"Putus artinya pisah. Udah nggak sama-sama lagi." Jelas Aldrich.
"Kok bisa gitu? Kenapa Tante Bian sama Om Jo mau putus?" Fredrich nampak terkejut.
"Papa juga nggak tahu, sayang. Makanya Mama lagi ngobrol sama Tante dulu, Papa juga mau ngomong sama Om. Urusan orang dewasa."
Fredrich terdiam. Dia kelihatan merenung dan berpikir. Aldrich penasaran apa yang sedang dipikirkan anak berusia lima tahun sampai keningnya berkerut sedemikian rupa, walau tidak berlanjut lama karena beberapa detik kemudian Fredrich kembali menanyakan hal yang mengganjal pikirannya.
"Papa sama Mama akan putus juga?" Tanyanya kelihatan cemas, "Papa Mama bakalan pisah?"
Aldrich tertawa melihat kecemasan putranya yang nampak menggemaskan.
"Nggak dong, Papa sama Mama nggak akan pisah. Kan Papa sayang sama Mama. Mama juga sayang sama Papa."
"Berarti Tante Bian sama Om Jo udah nggak sayang-sayangan lagi, Pa?"
Aldrich tiba-tiba merasa dirinya kalah pintar dari bocah berusia lima tahun itu. Dia merasa kalah berdebat dari putranya sendiri. Aldrich berusaha memutar otaknya sedikit lebih keras dalam pembicaraan tersebut.
"Hmm, bukan begitu, Edrich. Mereka saling sayang. Tapi ada beberapa hal dewasa yang bikin mereka harus pisah."
"Berarti Mama sama Papa kalo ada hal dewasa juga bisa pisah?" Tanyanya cerdas dengan wajah kembali khawatir.
Aldrich kehabisan langkah. Dia sudah terbiasa berdebat dalam meeting-meeting di kantornya, dengan divisi-divisi lain, untuk memenangkan project-nya, dan hampir jarang sekali dia kalah berdebat. Tapi kali ini dia kalah dari putra lima tahunnya sendiri.
"Mama sama Papa nggak akan pisah, Edrich," jelasnya sekali lagi. Kini dengan lebih sabar dan perlahan, berusaha memberikan pengertian, "karena Mama sama Papa udah punya Edrich. Terus ada dede bayi yang ada di perut Mama juga, yang artinya Papa masih sayang sama Mama. Mama sama Papa akan berjuang dan nggak akan pisah cuma karena ada hal dewasa yang nggak bisa Papa sama Mama selesaikan. Kamu ngerti kan?"
Fredrich tersenyum puas sambil mengangguk paham.
Aldrich tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. Dia mengusap kepala putranya dengan sayang.
***
Aldrich tiba di rumah sahabatnya yang sama sepi seperti hari-hari lainnya. Salah satu lengannya menggendong putra kecilnya sementara lengannya yang lain membuka pintu kamar Jonathan.
Ruangan itu penuh dengan asap rokok dan bau minuman beralkohol. Fredrich terbatuk-batuk segera setelah pintu kamar terbuka dan dia menghirup aromanya.
"Jo!" Panggil Aldrich menyadarkan sahabatnya itu dari lamunannya. Dengan cepat Aldrich membuka jendela kamar gelap itu dan merebut puntung rokok dari tangan Jonathan. "Anak gue dateng, jaga kelakuan lo!"
Aldrich memang selalu meminta sahabat-sahabatnya untuk menjaga kelakuan dan cara bicara mereka ketika putranya sedang bersama dengan mereka. Dia tidak ingin Fredrich meniru tingkah mereka yang diakuinya kurang dapat dijadikan panutan.
Apalagi pernah suatu kali ketika Aldrich membawa Fredrich bersamanya karena Felicia menyuruh Aldrich menjaga putra mereka, dan begitu pulang ke rumah, Fredrich tiba-tiba menggunakan kata 'man' dan 'bro' di akhir setiap kalimatnya, yang tentunya karena meniru pembicaraan Aldrich dan sahabat-sahabatnya.
Dan kejadian itu membuat Felicia mogok bicara kepadanya beberapa hari, yang termasuk membuat Aldrich kehilangan jatah malamnya. Dia merasa kasih sayang Felicia kepadanya kini sudah terbagi dua, entah bagaimana nanti setelah bayi keduanya yang kini masih ada di rahim istrinya akan lahir, kasih sayang Felicia akan terpecah lagi dan Aldrich akan ada di urutan ketiga setelah ini.
Jonathan menengok dan melihat sahabatnya yang datang bersama putra semata wayangnya itu. Wajahnya kusut dan rambutnya berantakan, bukti nyata bahwa Jonathan tidak tidur semalaman.
Fredrich turun dari gendongan Papanya dan berlari mendekati Jonathan, sebelum kemudian kembali berhenti tanpa memeluk lelaki itu.
"Om Jo bau!" Keluh Fredrich sambil menutup hidungnya.
Aldrich kembali menggendong putranya sambil duduk di ranjang di samping tempat Jonathan duduk.
"Kenapa muka lo kusut gitu?" Kata Aldrich sambil menepuk dada sahabatnya.
Jonathan mengusap kasar wajahnya, berusaha membuatnya sedikit lebih baik walau kenyataannya malah membuat wajahnya semakin terlihat kacau.
"Bianca lagi di rumah gue sekarang," jelas Aldrich yang membuat lelaki itu menengok cepat ke arahnya.
"Om Jo sama Tante Bian kenapa mau pisah?" Tanya Fredrich menyela pembicaraan mereka.
Jonathan melihat ke arah Aldrich, meminta penjelasan atas kata-kata yang keluar dari mulut putranya.
"Tadi Fredrich nggak sengaja dengar pembicaraan Bianca sama Felicia." Jelasnya.
"Kenapa Om? Om Jo udah nggak sayang sama Tante Bian?"
Jonathan sebenarnya sedang sangat malas menanggapi. Tubuhnya lemas dan jiwanya lelah. Bianca tiba-tiba mengatakan hubungan mereka berakhir semalam tanpa pemicu yang jelas. Yah, walau sebenarnya Jonathan sudah tahu apa pemicunya, dan selama ini dia hanya berusaha memperpanjang waktu saja.
Namun mendengar kekhawatiran terdengar dari mulut bocah berusia lima tahun membuatnya sedikit terhibur.
"Om sayang sama Tante Bian." Jawabnya sembari menghela napas.
"Terus kenapa? Karena ada hal dewasa itu ya?" Tebak Fredrich sok paham, walau sebenarnya dia tidak benar-benar mengerti yang dimaksudnya. "Om Jo sama Tante Bian kenapa nggak punya Edrik sama dede bayi aja kayak Mama Papa? Kata Papa, karena ada Edrik, Papa sama Mama nggak akan pisah."
Jonathan berusaha mencerna kata-kata bocah tersebut sementara Aldrich menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya benar apa kata istrinya, putra mereka sangat cepat menyerap apa yang didengarnya, dan kini anak itu sedang mencoba mengaplikasikannya.
"Nggak bisa ada dede bayi, sayang. Om Jo sama Tante Bian kan belum nikah," jelas Aldrich lagi.
Fredrich memiringkan kepalanya dengan bingung, "Terus kenapa nggak nikah aja? Om Jo sama Tante Bian kan sayang-sayangan. Edrik bingung," Fredrich kelihatan berpikir keras, "Mama sama Papa kan sayang-sayangan, terus nikah, terus ada Edrik, terus ada dede bayi, jadinya nggak pisah deh. Terus kenapa Om Jo sama Tante Bian nggak nikah aja?"
Aldrich dan Jonathan sama-sama memandang penjelasan balita itu dengan wajah bodoh. Terutama Jonathan, karena rasanya dia seperti baru saja dikuliahi oleh anak berusia lima tahun tentang kehidupan percintaannya dengan sangat mudah. Kehidupan percintaannya dengan Bianca yang sudah berlangsung hampir sepuluh tahun seperti berjalan di tempat karena dia tidak pernah mengambil langkah apapun, karena semuanya terasa terlalu sulit dan rumit dalam pikirannya. Dan Fredrich memberikan pemecahan untuknya.
"Drich, anterin gue ke rumah lo sekarang juga! Gue perlu ngomong sama Bianca!"
***
"Lo mending pikirin baik-baik dulu, Bi,"
Felicia memberikan kedua buah gelas di tangannya kepada Bianca sebelum perlahan mendudukkan tubuhnya kembali ke sofa. Perutnya yang sudah membesar itu agak menyulitkannya untuk bergerak saat ini.
"Gue udah sangat banyak berpikir Fel. Tuh cowok yang nggak pernah mikir." Katanya sambil meminum air di gelasnya untuk meredakan emosinya.
Kini mata gadis itu menerawang jauh, "Gue udah ngabisin bertahun-tahun untuk berpikir dan memberikan waktu buat dia berpikir. Dan nggak ada hasilnya," Bianca tersenyum meringis ke arah Felicia, "Sementara bahkan lo udah menghasilkan Fredrich dan satu lagi di sini," Bianca mengusap perut buncit sahabatnya, "dan gue.. nihil."
Felicia menatap iba kepada sahabatnya itu, sahabat yang didapatkannya berkat Aldrich. Dia mengusap punggung tangan Bianca yang masih bertengger di atas perutnya.
"Nggak nihil, Bi. Tiap perempuan kan punya waktunya masing-masing. Gue yakin kok akan tiba saatnya buat lo." Hibur Felicia.
"Gue nggak pernah bilang minta dinikahin saat ini juga sama dia. Gue bahkan belum pernah bilang keinginan gue buat punya anak ke dia. Tapi buat ngomong serius aja dia selalu mengelak." Kata Bianca depresi, "Gue capek begini terus."
Tiba-tiba ponsel milik Felicia berbunyi, membuat wanita itu harus kembali berdiri mengambil ponsel yang tadi ditinggalkannya di kamar tidur.
Felicia masuk beberapa saat dan berbicara di dalam kamar, sebelum kembali keluar.
"Bi, gue tinggal ke bawah sebentar ya." Kata Felicia kelihatan sedikit terburu-buru.
Bianca mengangguk sambil memberikan senyuman tipis.
Tidak sampai beberapa menit Bianca menerawangkan pikirannya, seseorang kembali memasuki apartemen sahabatnya tersebut.
"Bi.." suara berat yang sangat dikenalnya memanggil Bianca dengan lemah.
Bianca menengok dan menemukan orang yang sudah diduganya tersebut. Jonathan yang semalam ditemuinya nampak baik-baik saja kini terlihat sangat merana. Lingkar matanya hitam dan rambutnya berantakan.
"Ngapain kamu di sini?" Tanya Bianca dingin.
Jonathan berjalan mendekatinya, "Aku mau ngomong sama kamu."
"Aku nggak!" Bianca bangkit berdiri sambil menarik tasnya hendak pergi dari sana.
"Bi, please, dengerin aku dulu." Kata Jonathan menahan lengan gadis itu.
"Lima menit," kata Bianca ogah-ogahan, "Aku cuma dengerin kamu mau ngomong apa dan nggak akan mengubah apapun."
Bianca kembali duduk di tempatnya semula sambil melipat kedua lengannya di depan dada, sementara Jonathan berlutut di hadapannya, supaya membuat tinggi mereka sejajar dan matanya bisa memandang mata gadis itu.
"Aku salah dan aku tolol." Kata Jonathan membuka pembicaraannya.
"Bagus kalo tau!" Kata Bianca menanggapi sama dinginnya.
"Dan semua yang aku lakukan selama ini.."
"Kamu nggak melakukan apapun, Jo!" Bianca memotong kalimatnya dengan kesal. Apapun yang keluar dari mulut lelaki itu saat ini terdengar salah baginya.
Jonathan menghembuskan nafasnya pasrah, "Iya, aku nggak melakukan apapun. Dan semua karena kekonyolan aku semata. Aku ketakutan akan sesuatu hal yang aku sendiri nggak tahu pasti apa."
Bianca masih hanya diam mendengarkan, menolak melakukan kontak mata dengan lelaki itu.
"Tapi semalam kamu buat aku sadar, Bi. Kalo yang paling aku takutin itu kehilangan kamu." Kata Jonathan sungguh-sungguh, "dan aku merasa sangat konyol karena meskipun semalaman kemarin aku mikirin apa yang selama ini bikin aku takut untuk nikah sama kamu, dan aku nggak menemukan apapun."
Bianca menggigit bibirnya sendiri dengan kesal.
"Marry me, Bi." Kata Jonathan memohon, "Aku tahu kamu selalu mau dilamar dengan cara yang romantis dan yang aku lakukan sekarang sama sekali nggak romantis, tapi aku nggak mau kehilangan kamu, dan aku butuh dengar jawaban kamu sekarang Bi."
Mata Bianca berkaca-kaca walau dia masih menolak memandang Jonathan, "Selama ini aku selalu cerita sama kamu tentang gimana romantisnya temen-temen aku dilamar sama pacarnya, bukan berarti aku mau dilamar seperti mereka, bego!" Katanya sarkastis menyembunyikan air matanya, "Aku cuma lagi kodein kamu kapan akan lamar aku. Buat aku lamaran barusan jauh lebih romantis daripada semua cerita temen aku yang aku ceritain ke kamu."
Jonathan memandangnya penuh harap, "jadi? Kamu mau nikah sama aku?"
Bianca memandangnya untuk pertama kalinya dengan matanya yang berlinang dan senyum tersungging di bibirnya, "Yes, I do, Jo!"
Jonathan memeluk gadis itu sebelum kemudian menciumnya lama.
Dan suara seseorang berdeham menghentikan ciuman mereka.
"Cukup sampai situ aja, sisanya lanjutin di rumah kalian sendiri, okay? Di sini ada anak di bawah umur." Kata Aldrich terkekeh.
Dia menggendong Fredrich dan Felicia berjalan di sampingnya.
Sebenarnya tadi Aldrich yang menelepon istrinya. Mereka sudah tiba di depan pintu apartemennya dan meminta Felicia untuk keluar sebentar supaya Jonathan punya kesempatan untuk berbicara dengan Bianca.
Fredrich yang semenjak tadi bungkam dan juga berusaha mendengarkan pembicaraan kedua orang dewasa tersebut seperti Papa Mamanya masih tetap tidak paham dan kini kembali bersuara.
"Jadi? Om Jo sama Tante Bian jadi nikah nggak sih?" Tanyanya bingung.
"Jadi dong, Edrik Sayang," kata Aldrich kepada putranya.
"Asiik! Jadi nanti ada dede bayi lagi dong!" Kata Fredrich kegirangan.
Felicia dan Bianca sama-sama kelihatan tidak paham dengan apa yang barusan dikatakan bocah itu.
"Edrich yang nyadarin aku seberapa pentingnya kamu," jelas Jonathan kepada Bianca.
Bianca tersenyum sambil mengangguk-angguk paham.
"Terus apa maksudnya Edrich bilang bakalan ada dede bayi lagi?" Tanya Felicia lebih meminta penjelasan kepada suaminya.
"Kan kayak Papa sama Mama," jelas Fredrich ingin mendahului Papanya, "Karena Papa sama Mama sayang-sayangan, makanya Papa sama Mama nikah, makanya ada Edrik sama dede bayi, makanya nggak akan pisah. Nanti Om sama Tante juga gitu, abis nikah, nanti ada dede bayi terus nggak pisah deh."
Aldrich memamerkan giginya kepada Felicia yang mengerutkan keningnya atas penjelasan putranya tersebut.
"Aku cuma berusaha bikin Edrich ngerti, Cia. Soalnya dari tadi dia nanya mulu," jelas Aldrich buru-buru, takut kata-kata balitanya itu akan menjadi ultimatum jatah malamnya lagi, "Lagian berkat penjelasan aku, Edrich bikin Jo sama Bianca baikan lagi kan?" Katanya membela diri.
Felicia mengangguk-angguk sambil tersenyum, "aku belum ngomong apa-apa kamu udah panjang aja ngejelasinnya."
Aldrich hanya sekali lagi memamerkan senyumannya, merasa penjelasan paniknya terdengar terlalu konyol, hanya karena dia takut malam ini Felicia memilih tidur daripada melayaninya.
***
Aku nggak ada rencana untuk buat cerita Jonathan sama Bianca secara terpisah yaa. Ini hanya intermezzo aja buat ceritain ending pasangan yang satu ini.
Nb: picture di mulmed itu Jonathan dan Bianca yaaa
Enjoy reading 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top