Short Story 2: Best Friend and Lover
Maaf banget udah lama nggak update 😹. Buat kalian yang baca Emily's Lover pasti kalian tahu kalau cerita ini sama seperti part 22 di cerita sebelah. Aku hanya mengubah sudut pandangnya dari sisi Aldrich dan Felicia.
Cerita ini juga ak buat untuk mengonfirmasi hubungan Teddy dan Felicia dan mengakhiri kecemburuan Aldrich 😽. Ohya dan cerita ini terjadi sebelum short story 1 yaaa supaya kalian ga bingung.
Maaf gaje 😹 enjooy reading!!
________________________________
"Siapa yang tadi kamu bilang mau datang?" Aldrich meminta gadis itu mengulang seolah dia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Felicia. Walau nyatanya dia hanya tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
"Teddy, Al.." kata Felicia dengan takut-takut.
Teddy memang berada di deretan tertinggi sebagai hal yang paling sensitif dalam topik pembicaraan mereka sebagai pasangan, baik dulu saat berpacaran maupun sekarang setelah menikah. Dengan kata lain topik paling sensitif untuk Aldrich.
Felicia memang menyadari bahwa Aldrich adalah seorang lelaki posesif, tapi tingkat keposesifannya terhadap Felicia saat berkaitan dengan Teddy memang terlalu berlebihan.
Pasalnya Aldrich memang tidak pernah percaya dengan persahabatan laki-laki dan perempuan. Contoh konkritnya ada dalam keluarganya sendiri. Dia tahu seberapa lama persahabatan Mama dan Papanya, Vanessa dan Abby. Lebih dari lima belas tahun menjadi sahabat, dan pada akhirnya mereka menikah juga.
Hal tersebut yang selalu terpatri dalam benaknya. Baginya, kalau dibiarkan terus menerus, seberapa seringpun Felicia mengatakan hubungannya dengan Teddy tidak lebih dari sahabat, perasaan akan muncul pada salah satu dari mereka. Dan kalaupun hal itu terjadi, dia sangat berharap bukan Felicia yang memiliki perasaan itu. Karena dia tidak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya kalau Felicia memilih lelaki lain dan meninggalkannya. Aldrich sama sekali tidak ingin membayangkannya.
Dan kini, lelaki sialan yang mengaku 'hanya sahabat' Felicia itu baru saja menghubungi istrinya, di jam sembilan malam, serta mengatakan ingin meminta ijin untuk menginap di apartemen mereka ini dengan alasan dibuat-buat yang tidak dipahami oleh Aldrich sama sekali. Aldrich curiga ini hanya akal bulus lelaki itu semata untuk bertemu dengan istrinya malam-malam.
"Dia sama seseorang, Al. Nggak sendirian. Dan dia butuh bantuan kita banget. Katanya urgent." Jelas Felicia sejujur mungkin. Sebenarnya dia juga tidak terlalu paham. Teddy tadi menghubunginya dengan suara panik dan penjelasan terbata-bata yang membuat Felicia menyuruhnya lebih baik datang terlebih dahulu untuk menjelaskan.
Aldrich memutar bola matanya malas. Benar-benar alasan laki-laki. Tapi Aldrich tidak mau berargumentasi dan membuat Felicia semakin membela sahabatnya itu.
"Temennya itu cewek, jadi biar dia tidur sama aku di kamar. Nanti kamu tidur di ruang tamu sama Teddy ya, Al?" Felicia membujuk perlahan.
Aldrich membelalak tidak terima. "Kan dia yang mau nebeng, kenapa malah jadi aku yang susah?" Protesnya tidak terima. Alasan lainnya adalah dia tidak mau tidur dengan Teddy. Dia malas bercengkrama dengan lelaki itu.
"Kan kasihan temennya Teddy, Al. Dia kan cewek, masa kita biarin dia tidur di ruang tamu?"
"Aku nggak peduli," kata Aldrich merajuk.
Felicia menghela napas lelah. Suaminya ini memang selalu keras kepala kalau berhubungan dengan Teddy dan rasa cemburunya.
Belum sempat Felicia merayu lelaki itu lebih lanjut, bel pintu apartemennya berbunyi. Teddy pasti sudah tiba di depan. Felicia hanya bisa berharap suaminya ini masih bisa menjaga tata krama dengan tamu mereka walaupun dia tidak suka.
Felicia berjalan ke pintu depan dan membukakannya.
"Teddy!" Pekik Felicia dengan girang setelah melihat sahabatnya itu tersenyum lebar di balik pintu apartemennya. Felicia memeluk sahabatnya itu erat.
Kehadiran Teddy dalam hidupnya itu sudah seperti kakaknya sendiri. Gadis itu bahkan sudah sangat merindukan Teddy walau mereka baru berpisah tiga bulan lamanya.
Felicia tidak menyadari bahwa lelaki berstatus suaminya yang masih duduk merajuk di sofa ruang tamu mereka mengepalkan tangannya erat melihat pelukan mereka dan mendengar pekikan riangnya.
"Sorry ya ngerepotin kamu," kata Teddy setelah mereka memisahkan diri dari lepas kangen mereka.
"Nggak ngerepotin kok," kata Felicia cepat sambil mencari-cari sosok seseorang yang tadi disebut-sebut Teddy dalam pembicaraan mereka di telepon. Seorang wanita mungil yang tidak asing lagi baginya, dengan penampilan rapi dan formal menggunakan kebaya, digandeng dan tersembunyi di balik tubuh jangkung lelaki itu.
Felicia memang pernah bertemu dengan Emily. Dalam suatu kesempatan pada beberapa tahun yang lalu, Felicia pernah dikenalkan oleh Teddy dengan wanita itu, dengan status sebagai wanita yang membuat sahabatnya tertarik, walau saat itu Teddy dan Emily bukan siapa-siapa.
Bahkan ide Teddy untuk kuliah di luar negeri pun tercetus karena ingin menyusul wanita yang sedang mengambil S2 di Amerika itu.
Awalnya Felicia tidak menyangka kalau hubungan keduanya akan berlanjut lebih karena Emily lebih tua cukup jauh dari Teddy, dan wanita itu tidak kelihatan tertarik sama sekali kepada sahabatnya. Walau ternyata setahun belakangan ini berhasil mengubah banyak hal, karena di hadapannya saat ini wanita itu berada di sini bersama Teddy dengan tangan yang dirangkul erat oleh lelaki itu untuk menyatakan status kepemilikannya.
"Masuk," kata Felicia tersadar dari lamunannya sambil mempersilakan kedua tamunya masuk.
Teddy menggandeng Emily yang kelihatan kesusahan berjalan dengan kebaya panjangnya itu untuk masuk ke dalam apartemen mereka. Dan menurut Felicia itu semua terlihat sangat manis.
"Mana Aldrich?" Tanya Teddy sambil mengidarkan pandangannya dan langsung bisa menemukan subjek yang ditanyakannya.
Felicia melihat suaminya yang masih duduk merajuk di sofa mereka sambil melipat kedua lengannya. Aldrich kelihatan enggan bertatapan dengan tamu mereka dan Felicia merasa tidak enak walau tidak ada yang dapat diperbuatnya.
"Hai, Aldrich," sapa Teddy yang Felicia tahu sebagai usahanya bersopan santun dan ternyata masih tidak membawa hasil karena ternyata Aldrich masih berpura-pura tuli.
Felicia memandang Teddy yang dibalas lelaki itu dengan sama bingungnya. Suasana ini membuat mereka merasa canggung. Felicia bahkan mulai menyesal membiarkan Teddy datang atas keputusannya sendiri. Mungkin lebih baik kalau tadi dia menawarkan memesankan kamar hotel untuk sahabatnya itu saja.
"Oiya, Fel, boleh pinjam baju kamu?" Tanya Teddy sambil mengangkat tangannya yang menggandeng Emily, memberi kode bahwa wanita yang digandengnya itu membutuhkan pakaian ganti yang lebih nyaman.
Felicia sadar dari lamunannya dan ingat apa yang perlu dilakukannya, "Oh iya. Sebentar ya aku ambilin dulu." Felicia beranjak masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu.
Aldrich memperhatikan kedua tamunya tanpa berniat untuk mempersilakan mereka duduk sampai Teddy memutuskan untuk duduk sendiri bersama dengan Emily.
Di mata Aldrich, kenyataan bahwa Teddy lebih memilih wanita di depannya ini daripada Felicia adalah sebuah kebohongan dan penipuan. Emily, wanita itu, jauh dari kata menarik apabila dibandingkan dengan Felicianya. Mana mungkin Teddy lebih tertarik kepada wanita ini daripada perempuan secantik Felicia istrinya. Aldrich menolak untuk percaya akan hal itu. Sama sekali.
Tidak lama kemudian, Felicia kembali muncul dengan membawa satu set piyama dan perlengkapan lainnya, "Ini buat tidur malam ini ya. Aku sekalian bawain penghapus make-up sama kapas juga. Handuk sama peralatan mandinya udah ada di kamar mandi, dipakai aja." Jelas Felicia sambil menyerahkannya kepada Emily.
"Makasih," jawab Emily samar yang bahkan hampir tidak terdengar oleh Felicia.
Felicia memang sadar bahwa Emily tidak menyukainya sebagaimana dia tertarik pada wanita yang disukai sahabatnya itu. Felicia hanya menebak bahwa alasannya serupa dengan alasan Aldrich tidak suka pada Teddy. Namun mendengar gumaman kata pertama Emily padanya barusan berhasil membuatnya tersenyum.
Teddy pun tersenyum tidak kalah sumringahnya mendengar ucapan terima kasih dari Emily tersebut, "Makasih, Fel." Ulang Teddy sebelum kembali berbicara kepada Emily dengan cara bicara yang lebih lembut lagi sambil mengelus rambutnya sayang, "kamu mandi dulu ya, babe."
Sementara Aldrich menaikkan alisnya mengawasi perubahan sikap lelaki itu. Selama ini cara Teddy berbicara dan memperlakukan Felicia selalu berhasil membuat Aldrich merasa gerah dan kesal dengan kelembutan dan perhatian Teddy yang menurut Aldrich berlebihan. Namun mendengar Teddy barusan berbicara dan melihat perlakuan serta caranya memandang Emily membuat Aldrich berpikir bahwa semua interaksi Teddy dan Felicia selama ini terasa biasa saja. Bahwa Emily jauh lebih spesial dibanding wanita manapun juga.
"Ted, bisa bantuin aku? Bukain kancingnya." Tiba-tiba Emily yang beberapa saat lalu sudah masuk ke dalam kamar mandi kembali muncul di balik pintu sambil menunjukkan deretan kancing di balik tubuhnya yang membuat kebaya di tubuhnya melekat begitu sempurna.
Dengan sigap Teddy berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke kamar mandi seraya menutup rapat pintu kamar mandi, meninggalkan kedua pemilik apartemen di ruang tamu mereka sendiri.
"Teddy romantis banget ya, Al, kalau sama Emily," kata Felicia sumringah sambil menatap kagum ke depan pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat.
"Emily itu.. beneran pacarnya Teddy?" Tanya Aldrich masih ragu sambil melihat ke arah Felicia.
"Kan aku udah pernah bilang kamu kalo ada seseorang yang disukain Teddy di US. Kamu lupa ya? Teddy sengaja kuliah di sana cuma buat deket sama Emily. Padahal dari dulu Teddy nggak pernah bener-bener suka sama cewek manapun loh."
Bukannya Aldrich lupa bahwa Felicia pernah menceritakan atau lebih tepatnya menjelaskan hal tersebut kepadanya. Aldrich hanya memutuskan untuk tidak percaya saat dia masih dipengaruhi kecemburuannya waktu itu. Dia tidak bisa percaya bahwa hubungan Teddy dan Felicia hanya benar-benar sekedar sahabat.
Teddy keluar dari kamar mandi dengan sangat berhati-hati dan menutup rapat kembali pintu yang baru saja dibukanya. Aldrich menduga Teddy sedang berusaha menutupi pemandangan pribadi di kamar mandi karena dia baru saja membantu Emily membuka kancing pakaiannya.
Aldrich kembali mengawasi lelaki yang sedang beranjak duduk itu dan membuat mereka tidak sengaja beradu pandang beberapa saat untuk pertama kalinya semenjak tadi.
"Kamu belum cerita yang lengkap ke aku, Ted," kata Felicia yang sejak tadi menahan diri karena merasa tidak enak menyecar sahabatnya saat masih ada Emily di sana, "kamu beneran ajak Emily kabur dari pertunangannya?"
Teddy memberikan senyuman tipisnya sambil mengangguk.
"Aku nggak nyangka kamu seromantis ini, lho, Ted." Kata Felicia sambil menatap sahabatnya dengan kagum.
"Dilihat dari sisi mana romantis, Fel? Yang ada tadi itu mengerikan. Kabur dari orang-orang papanya. Semoga aku nggak dituntut bawa kabur anak orang." Jawab Teddy mengaku jujur sambil memberikan ringisan ngerinya.
"Orang-orang?" Ulang Felicia sambil membelalakan matanya terkejut, "Emang Papanya Emily orang penting ya?"
Teddy menggeleng, "aku nggak tahu pasti, tapi yang aku tahu, Papanya politikus. Namanya Johan Setyawan.."
"Papanya Johan Setyawan?" Tanya Aldrich dengan terkejut akhirnya membuka suaranya penasaran.
"Lo tahu?" Tanya Teddy.
Aldrich mengangguk, "Dia kan ketua Partai Keadilan. Sering muncul di TV kok," Jelasnya sambil mengamati mimik tidak paham dan terkejut Felicia dan Teddy yang berhasil ditangkapnya, "..kalo kalian sering nonton berita."
Aldrich memang sering mengikuti perkembangan ekonomi dan politik negaranya. Dia tidak terlalu tertarik, namun dia tetap merasa perlu mengetahuinya apalagi dia kuliah bisnis ekonomi. Namun ternyata cukup banyak orang yang tidak mengikuti sama sekali. Dua contoh konkrit berada di hadapannya saat ini. Dan salah satunya berpacaran bahkan terlihat skandal dengan putri dari orang yang sering dilihatnya diberita tanpa sadar sama sekali.
"Terus habis ini kamu mau gimana, Ted?" Tanya Felicia lagi mengungkapkan rasa penasarannya. Dan mau tidak mau Aldrich juga sama ingin tahunya.
"Besok aku mau ketemu Papa sama Mama, Fel," jawab Teddy terdengar cemas, "aku belum bilang mereka aku udah balik ke Indonesia."
"Kamu ajak Emily ketemu mereka besok?" Tanya Felicia lagi.
"Ya iyalah. Aku harus kenalin Emily ke mereka kan," kata Teddy seolah pertanyaan Felicia terlalu aneh.
"Kamu bakal nikah sama Emily, Ted?"
Teddy terdiam beberapa saat membuat baik Felicia dan Aldrich merasa penasaran. Wajahnya menunjukkan kecemasan walau tidak menunjukkan keengganan. Sebelum akhirnya Teddy mengangguk mantap yang harus diakui Aldrich membuatnya merasa kagum. Usia mereka sepantaran namun Aldrich bahkan belum sempat benar-benar memikirkan pernikahan kalau keadaan tidak mendesaknya. Meskipun kini dia cukup menyesal karena hampir mengecewakan Felicia atas pikiran kekanak-kanakannya dulu.
"Tenang, Ted. Aku pasti dukung kamu di depan Tante sama Om!" Kata Felicia bersemangat sambil mengepalkan kedua tangan di depan dadanya sendiri.
Tidak lama kemudian Emily kembali keluar dari kamar mandi sudah mengenakan piyama bergambar kelinci milik Felicia. Dan lagi-lagi Aldrich menemukan ekspresi asing di wajah Teddy saat dia memandang Emily, yang tidak pernah ditangkapnya saat sedang melihat Felicia. Teddy seolah sedang menahan diri untuk tidak 'memakan' Emily.
Aldrich curiga. Jangan-jangan wajahnya selama ini saat sedang memperhatikan Felicia juga sekonyol ini di mata orang lain. Tidak heran kedua sahabatnya, Andreas dan Jonathan suka mengejeknya atas semua hal yang berhubungan dengan Felicia. Aldrich berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai saat ini dia harus belajar mengendalikan ekspresi wajahnya saat memperhatikan Felicia di tempat umum.
***
Aldrich kini hanya tinggal berdua dengan Felicia di kamar tidur mereka, setelah berada di tengah pembicaraan pasangan yang sedang kasmaran yang akhirnya memutuskan untuk tidur bersama di sofa ruang tamu mereka dibandingkan dipisahkan untuk tidur bersama pemilik apartemen.
Padahal Aldrich yang sebelumnya enggan tidur seruangan dengan Teddy di ruang tamu sudah mempertimbangkan untuk bersedia berkorban tidak tidur seranjang dengan istrinya selama satu malam saja. Tapi ternyata wanita itu, Emily, menolak kebaikan hati pemilik rumah dan bersikeras tidur di sofa ruang tamu saja supaya bisa bersama pacar kesayangannya.
Aldrich merasa menjadi nyamuk di rumahnya sendiri tadi. Bahkan dia bertekad akan mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak keluar kamar sebelum pagi tiba. Dia takut menyaksikan hal yang tidak boleh dilihatnya di ruang tamunya sendiri.
"Memangnya orang tua Teddy nggak setuju dengan hubungan mereka?" Tanya Aldrich sambil melingkarkan lengannya pada tubuh Felicia untuk memeluknya sambil tidur.
Felicia menaikkan alisnya heran. Sebagian karena pernyataan Aldrich barusan dan sebagian lagi karena Felicia sangat jarang mendengar suaminya itu tertarik dengan urusan orang lain. "kenapa kamu mikir begitu?"
"Soalnya kamu bilang tadi mau bantu dukung mereka di depan orang tuanya. Aku pikir karena orangtuanya keberatan dengan hubungan mereka."
Felicia kelihatan berpikir sebentar, "sebenernya aku ngomong gitu karena orang tua Teddy malahan belum tahu sama sekali hubungan mereka sih, Al. Aku cuma khawatir tante sama om syok aja kalau tiba-tiba tahu mereka mau married."
Felicia terdiam sejenak untuk mempertimbangkan.
"Sebenernya kondisinya nggak beda jauh sama kita dulu, Al. Mama sama Papaku kan awalnya nggak tahu hubungan kita, dan nggak lama setelah mereka tahu, kita udah berencana untuk menikah, " kata Felicia melanjutkan, "Tante sama Om dari dulu selalu punya pemikiran yang sama kayak Mama dan Papaku. Mereka mengira aku sama Teddy itu sangat dekat dan suatu saat akan punya hubungan lebih."
"Aku juga mengira akan begitu," kata Aldrich jujur.
"Yang ternyata nggak terjadi, kan?" Tambah Felicia menegaskan.
Tidak semudah itu bagi Aldrich untuk bersikap biasa saja kepada Teddy walau hampir seluruh tuduhannya selama ini ternyata salah. Dan mau tidak mau dia harus mengakuinya.
"Sampai beberapa saat lalu aku masih berpikir Teddy itu punya perasaan spesial ke kamu," kata Aldrich jujur, "tapi setelah melihat sikapnya ke Emily, sepertinya aku salah."
Felicia tersenyum, ada sedikit perasaan lega di dadanya. Dia mencium Aldrich sambil merapatkan tubuhnya untuk membalas pelukan lelaki itu. "Aku senang kalau kamu berpikir begitu, Al. Teddy itu udah kayak kakak buat aku. Jadi aku sedih kalau lihat kamu nggak bersahabat sama dia."
"Aku cuma nggak suka lihat kamu deket sama lelaki lain, Cia," kata Aldrich sebal, "bukan karena aku nggak suka sama dia."
"Dari dulu aku dan Teddy selalu punya pemikiran yang serupa. Mungkin karena itu kita bisa dekat seperti sekarang. Karena kita bisa saling memahami. Dan buat aku dan Teddy, perasaan cinta itu lebih dari sekedar perasaan nyaman. Perasaan cinta itu bukan sesuatu yang bisa kita gambarkan, tapi hanya bisa kita rasakan. Kita saling merasa nyaman, tapi antara aku dan Teddy nggak pernah ada perasaan cinta. Kita menemukannya masing-masing dari orang yang berbeda. Orang yang nggak pernah kita sangka-sangka." Jelas Felicia, "dan buat aku itu kamu, Al."
Aldrich menciumnya, dan dia bersumpah tidak akan melepaskan Felicia malam ini setelah apa yang baru saja dikatakannya. Karena Felicia harus bertanggung jawab atas akibat dari kata-katanya barusan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top