Part 9 - Caught!

Felicia mengerjapkan matanya. Kesadarannya perlahan kembali setelah melihat wajah lelaki yang sedang mengamatinya dengan jarak hanya sejengkal dari wajahnya sendiri.

Aldrich membelai rambutnya sayang.

Felicia menyadari bahwa tubuhnya masih tidak berpakaian sama sekali walau selimut sudah membalut tubuhnya. Pasti Aldrich yang menyelimutinya tadi.

"Aku ketiduran?" Katanya dengan suara lemah masih tidak bergeming dari posisinya. Seluruh ototnya terasa sangat lemas dan enggan untuk digerakkan sebagai efek aktivitasnya.

"Cuma lima belas menit," jelas Aldrich masih mengusap tengkuknya, "kamu klimaks, Fel."

Seketika wajahnya memerah mengingat bagaimana tubuhnya bereaksi dengan sangat tidak wajar tadi saat dia mencapai puncaknya. Dia tidak pernah mengalaminya sebelumnya, dan kenyataan bahwa dia melakukannya di depan Aldrich membuat wajahnya memerah karena menahan malu.

Aldrich tidak sanggup menahan senyumnya lagi. Senyumnya melebar melihat ekspresi polos perempuan itu. Kemana perginya perempuan penggoda yang mengeluarkan suara-suara erangan permohonan kepadanya untuk minta dipuaskan beberapa saat lalu. Dia curiga gadis itu memiliki kepribadian ganda.

"Al jangan ketawa!" Kata Felicia merengek dengan nada manja sambil memukul dadanya.

Aldrich mendekatkan bibirnya dan menciumnya dengan gemas. Menikmati sentuhan bibir mereka dengan lebih lembut setelah sebelumnya perlakuannya terhadap bibir itu terlalu kasar.

"Lain kali jangan minum lagi, ya, apalagi pas lagi nggak sama aku," bisik Aldrich setelah memisahkan diri.

"Habis kamu.." Felicia menghentikan kata-katanya di sana. Sebenarnya dia tidak berniat memperpanjang masalah kemarin, apalagi mereka sudah berbaikan seperti ini.

"Kenapa? Aku cuma nggak suka kamu ikut pengaruh buruk Bianca. Aku nggak suka cewek yang ngomongin orang lain."

"Bukan itu," katanya menjelaskan apa yang membuatnya kesal semalam, "kamu nggak mau dengerin aku ngejelasin semalem."

"Kalo gitu jelasin ke aku sekarang."

Felicia menggeleng sambil tersenyum, "udah nggak terlalu penting sekarang. Kamu udah di sini sama aku, Al."

Aldrich ikutan tersenyum. Mereka kembali saling bertukar pandang tanpa berbicara. Felicia mengelus pipi lelaki itu dengan jarinya, menikmati seberapa nyata lelaki yang dicintainya berada di hadapannya dan sudah menjadi miliknya. Miliknya seorang.

"Tapi," Felicia tiba-tiba ingat sesuatu yang mengganjalnya semalam, "kamu kenapa manggil Selomita dengan 'Mita'? Padahal temen kamu yang lain manggil dia 'Sel' 'Selomita'."

Aldrich mengerutkan keningnya bingung atas pertanyaan tersebut. Dia tidak pernah merasa ada yang aneh dengan bagaimana cara dia memanggil Selomita, dan gadis itu menanyakannya seolah dia melakukan hal yang aneh. Dia hanya memanggil mantan pacarnya itu dengan Mita karena lebih mudah disebut dan diingat. Itu saja. Tidak ada alasan lain.

"Kamu masih manggil dia dengan sebutan yang beda dari cara orang lain manggil dia. Makanya dia nganggep kamu masih ada perasaan sama dia." Tutur Felicia menambahkan.

Aldrich harus mengakui bahwa dia kagum, dengan perempuan dan pemikirannya yang luar biasa. Di luar dari perkara Selomita benar-benar berpikir seperti apa yang dituturkan Felicia barusan, bagaimana cara Felicia bisa berpikir seperti ini merupakan hal yang harus dikaguminya.

"Jadi kamu mau aku manggil dia apa? Sel? Selomita?"

"Ya terserah kamu, itu kan hak kamu," kata Felicia lagi.

Aldrich gemas dibuatnya.

"Aku juga punya nama kecil," tambah Felicia lagi sambil tersipu, "Mama Papa di rumah manggil aku Cia biasanya."

Aldrich ingin segera mendekap Felicia kalau dia tidak sedang menunggu reaksi selanjutnya dari gadis itu.

"Cia?" Kata Aldrich mengulang yang membuat wajah gadis itu merona.

Tidak pernah ada yang memanggilnya demikian kecuali orang tuanya sendiri dan dia saat menyebut dirinya di hadapan orang tuanya. Dan mendengarnya dari mulut lelaki itu membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

Sudah menjadi tanggung jawab gadis itu sepenuhnyalah kalau Aldrich menyerangnya kembali saat ini. Bisa-bisanya gadis itu berekspresi tersipu dan dalam waktu yang sama menggodanya.

Aldrich mengecup kelopak mata perempuan itu dengan lembut sambil mengulang lagi, "Cia."

Aldrich kemudian mengecup batang hidung, pipi dan bibir gadis itu bergantian. Berkali-kali pula dipanggilnya gadis itu dengan nama kecilnya. Bahkan dari nama kecilnya saja sudah terlihat seberapa manjanya gadis itu di keluarganya.

"Jangan dipanggil terus!" Kata Felicia merenggut manja walau sangat terlihat dia menyukainya.

"Jadi kamu maunya aku panggil atau nggak?" Aldrich menahan senyumnya yang hampir semakin melebar. Dia sudah berhasil mengubah posisinya sehingga kini gadis itu kembali berada di bawahnya, dalam kungkungannya.

"Panggil, tapi jangan terus-terusan begitu, Al." Katanya malu-malu.

Aldrich kembali menciumnya dan Felicia membalasnya. Felicia sudah berhasil menggelitik nadinya dan membangkitkan hasratnya dengan cara yang berbeda kali ini. Dan Aldrich berjanji akan menikmati malam ini lebih perlahan sampai pagi tiba.

Dan dia merasa beruntung karena menemukan satu lagi kondom yang terselip didompetnya untuk menyelesaikan maksudnya.

***

"Pagi, Cia," kata Aldrich setelah berhasil menemukan gadis itu berada di dapur apartemennya.

Aldrich panik saat tadi pagi terbangun dan tidak menemukan gadis itu disisinya.

"Pagi, Al," sapa Felicia membalasnya setelah melihat Aldrich berdiri di sisi pintu kamar tidur yang mereka tempati semalam.

Felicianya sudah membersihkan diri dan nampak kembali segar dibandingkan tadi pagi saat Aldrich baru saja mengijinkannya tidur. Dia mengenakan kemeja lelaki kebesaran yang Aldrich yakin diambilnya dari lemari kamarnya. Aldrich memang menyimpan cadangan beberapa kemeja di apartemennya kalau dia sedang menginap di sana.

Sedetik kemudian Felicia kembali sibuk dengan kegiatannya.

"Kamu bikin apa?" Aldrich berjalan mendekatinya. Dia memeluk gadis itu dari belakang dan melingkarkan tangannya ke perut gadis itu.

"Sarapan buat kita. Tapi aku cuma nemu kopi instan sama biskuit di lemari. Nggak ada apa-apa di sini, Al."

"Aku memang cuma ninggalin makanan instan sama biskuit doang biasanya di sini."

"Aku nggak tahu kamu punya apartemen. Aku kira kamu tinggal sama orangtua kamu."

"Sebenernya apartemen ini punya Mamaku. Biasanya dia sewain ke orang. Cuma kalo lagi kosong kayak sekarang, Mama suka pinjemin kuncinya ke aku."

Felicia mengangguk paham.

"Kamu wangi," katanya sambil membenamkannya ke tengkuk gadis itu dan menciumi rambutnya. Aldrich sempat mengutuk dalam hati karena tubuhnya kembali bereaksi atas feromon gadis itu.

"Kamu belum mandi sih," kata Felicia menggodanya.

"Temenin aku mandi, yuk."

"Apa-apaan sih, Al," Felicia tertawa menganggapnya hanya gurauan walau Aldrich sungguh serius dengan ucapannya.

Dia memang benar-benar ingin mengajak wanita itu mandi bersamanya. Sebagian otaknya sedang berpikir mungkin lebih baik jika dia turun dulu ke minimart untuk membeli pengaman tambahan sebelum sesuatu yang diluar kendalinya terjadi.

"Mau aku beliin sarapan pagi dulu nggak di minimart bawah? Aku beliin roti daripada cuma makan biskuit aja?" Usulnya dengan ide lain dibaliknya.

Felicia mengangguk setuju dengan usulnya, "boleh. Mau aku temenin nggak?"

"Nggak usah, cuma bentar kok," kata Aldrich. Toh tujuannya hanya ingin segera membeli pengaman untuknya dan sarapan untuk gadis itu.

Aldrich baru saja hendak mengenakan sepatunya sebelum keluar dari apartemen saat pintu apartemen itu dibuka dari luar, walau Aldrich sangat yakin sudah menguncinya semalam. Dan seketika Aldrich tahu siapa yang membukanya dan dia mengutuk kesialannya.

"Ma," katanya memanggil wanita paruh baya yang baru saja muncul di hadapannya.

"Aldrich, ternyata bener kamu lagi di sini. Kamu nih ya, semaleman nggak pulang ke rumah bukannya ngabarin!" Celoteh wanita itu, Mama Vanessa, segera setelah melihat putra semata wayangnya.

Aldrich memamerkan giginya cengengesan, "semalem ada pesta temen, Ma. Kemaleman kalo balik rumah. Jadi Aldrich nginep sini. Mama sendiri ngapain kemari pagi-pagi? Tumben.."

"Iya, besok ada yang mau lihat apartemen Mama, mau sewa mulai bulan depan katanya," Mama Vanessa melepaskan sepatunya dan berjalan masuk ke dalam apartemen, "Makanya Mama mau beres-beres dulu.." langkah dan kalimatnya terhenti melihat ternyata ada orang lain yang berada di sana selain dirinya dan putranya.

"Ini siapa?" Tanya Mama Vanessa dengan penuh kekaguman melihat gadis muda cantik berada di apartemennya dan mengenakan kemeja lelaki.

Felicia gugup. Dia hanya terpaku dan tidak bisa berkata apa-apa.

"Temen kampus, Ma." Kata Aldrich buru-buru, "Namanya Felicia, kenalin. Kemarin dia pergi bareng Aldrich ke pesta temen, tapi karena kemaleman Aldrich suruh nginep di sini aja. Di kamar sebelah," katanya menekankan kedua kata terakhirnya.

Mama Vanessa memberikan pandangan 'bener tuh?!' kepada putranya sendiri yang kini memberikan wajah anak baiknya.

"Tante.." panggil Felicia sesopan mungkin. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya karena ketakutan.

Mama Vanessa membalasnya dengan senyuman sambil kemudian beranjak ke arah kamar tidur, "Anggap rumah sendiri aja yah, Tante cuma mau ngecek lampu, air sama furniture aja kok, takutnya besok pas yang sewa dateng kalo banyak yang nggak beres Tante nggak enak."

"Mama kenapa nggak bilang Aldrich aja? Kan Aldrich bisa bantu cek in," kata Aldrich buru-buru.

"Kamu di mana aja Mama suka nggak jelas. Kayaknya dulu Mama kuliah nggak sebandel kamu deh!" Gerutunya sambil melihat lampu dan langit-langit rumah serta ubinnya.

Aldrich hanya terkekeh sambil melempar pandangan kepada Felicia untuk menenangkan gadis itu dan menyampaikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sebelum Mama Vanessa menghilang ke balik kamar tidur dan berteriak.

"ALDRICH!!!"

Aldrich berjalan cepat masuk ke kamar tidur dan Felicia mengikutinya dari belakang. Seharusnya tidak ada apapun yang mencurigakan, karena dia sudah merapikan semua pakaian yang dilemparnya dengan sembarangan semalam. Dia menemukan Mamanya berada di kamar mandi dan mengetahui ketololan apa yang dilakukannya.

Mama Vanessa melotot dan menuntut pertanggungjawaban atas apa yang dilihatnya tergeletak di tempat sampah. Dua buah pengaman bekas pakai yang semalam menjadi korban pelepasannya.

Aldrich benar-benar mati kali ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top